ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Senin, 24 Maret 2014

I Love My Husband [Part 1]






Author : KANG’s (Micheel Ppyong)

Lenght : Short Story/Chapter

Rated : PG-17

Genre : Romance, Family, Hurt

Cast
- Kim Jaera (OC)
- Lee Donghae


My Note :
FF ini lanjutan songfic terdahuluku, "This Not A Trap", kalian bisa baca itu dulu supaya cukup mengerti asal mula cerita ini. Tapi gak baca pun, gak masalah, karena tidak begitu mempengaruhi alurnya. Terima kasih sudah bersedia baca fic ini. Aku tidak memaksa kalian untuk menyukainya, juga untuk komen, tapi aku menghargai dan berterima kasih pada reader yang mau membaca karyaku. Thanks (:


*


Satu hari. Hanya butuh satu hari saja untuk benar-benar mengubah masa depanku. Kala itu, aku berhenti berharap dan pasrah akan takdir yang mempermainkan jalan hidupku. Aku tidak mengambil keputusan—lebih tepatnya, tak ada kesempatan bagiku untuk mengambil keputusan.
Aku bodoh atau bagaimana?

Satu hari. Hanya butuh satu hari saja, aku benar-benar kehilangan apa yang disebut sebagai kekasih jiwa. Aku mengusirnya kilat, menjauhinya dan berkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak punya kesempatan bersamanya. Aku tidak menyangkal—lebih tepatnya, tak ada hak bagiku untuk menyangkal.
Aku bodoh atau bagaimana?

Satu hari. Hanya butuh satu hari saja, aku benar-benar masuk dalam jeratnya. Merubah statusku sebagai gadis muda yang bebas berkarya di usia yang gemilang menjadi seorang wanita dalam sangkar. Aku tidak menolak—lebih tepatnya, tak ada cara bagiku untuk menolak.
Sekali lagi, aku bodoh atau bagaimana?

Dan bertahun-tahun kemudian, yang kulakukan hanyalah : 

terpuruk dalam penyesalan—atau mencoba menerima,

berduka dalam kehilangan—atau mengikhlaskan kepergian,

bersabar dalam keheningan—atau mencoba mencintainya..


*


PROLOG


Musim gugur kembali datang. Tentu, segalanya tetap berjalan seperti seharusnya. Semestinya. Dan sewajarnya. Musim tetap berganti bahkan setelah hitungan tahun kepergian jiwa yang dicintainya. 


Kini ia terduduk diam memperhatikan nisan putih di hadapannya. Ia mengelus lembut ukiran nama seseorang di masa lalunya. 


Ini tahun ketiga kau meninggalkanku.. 


Ia meletakkan sebuket bunga di atas gundukan tanah berumput di hadapannya. Bunga mawar putih, lambang cinta suci pria itu, yang tepat pada hari ini-tiga tahun yang lalu-pergi meninggalkannya dengan cinta tulus yang menyakitkan. 

Ia menunduk dalam, menatap penuh perhatian pada kedua lututnya yang tertekuk karena dirinya yang bersimpuh dan menjadikan tanah berumput sebagai alasnya. Sekilas, ia terlihat begitu tertarik pada lututnya yang tertutup gaun putih. Ya, sekilas ia akan terlihat seperti itu, walau ia tahu benar apa yang sedang ia lakukan saat ini. Mata gadis itu kosong, ia memandang jauh pada sesuatu yang kasat mata dalam benaknya. 


Ingatan tentang seseorang yang ia sebut sebagai belahan jiwa beberapa tahun lalu. Segalanya terasa berlalu begitu cepat. Tapi bagi gadis itu, ini semua baru terjadi kemarin sore. Di saat ia melepas apa yang ia sebut sebagai masa depan, dan kini ia sebut sebagai masa lalunya. Harapan dan cinta. Pengorbanan dan kehilangan. Seseorang, dan yang lainnya.. 


Setelah menunggu beberapa waktu, ia tak jua menemukan sosok yang ia rindukan itu. Bahkan seulas senyumnya. Ia berharap sebuah angin akan menghembus dan membuat rambutnya yang panjang dan terurai bergerak-gerak. Melayang. Seperti kebanyakan drama yang ia lihat. Sebuah angin yang akan membuat tokoh utama tersenyum karena merasakan kehadiran orang yang telah pergi itu. 


Ya, ia berharap. Sangat. Namun nyatanya, ia harus kembali pulang dengan kehampaan. 


Ia bangkit berdiri dan merapikan bagian bawah gaunnya yang sedikit berantakan. Ia menghadapkan dirinya pada nisan putih itu, menutup matanya sejenak. 


Gomawoyo. Jeongmal. Terima kasih, karena telah mengajarkanku apa itu cinta yang tulus.. 


Ia mengucapkan-apa yang ada di benaknya-dalam hati. Ia yakin, pria itu dapat mendengarkan ucapannya yang tulus. Tentu, ia yakin itu. 


Kakinya bergerak perlahan, melangkah menjauhi nisan itu. Hari ini, tak ada bedanya dengan setahun yang lalu. Ia tetap datang kemari, membawa karangan bunga mawar putih, mengucapkan terima kasih, lalu kembali pulang. 


Hatinya hampa, ia yang paling tahu itu. Namun untuk tahun ini dan setahun yang lalu, sudah tak ada lagi air mata. Cairan bening itu telah mengering pada tahun pertama peringatan kematian sang pria. Entahlah. 


"Aku.. akan kembali lagi, tahun depan.." ujarnya lirih. 


* 


Mentari kembali menyapanya hari ini. Cahayanya di pagi hari membuat permukaan kulit menjadi hangat. Ia tersenyum kecil, menyadari kicauan burung menenangkan hatinya. 


Gadis itu terduduk di atas tempat tidur. Ia mengalihkan pandangan pada gorden tipis berwarna putih di sudut kamarnya yang cukup luas. Salah. Ini bukan hanya kamarnya, ini juga kamar suaminya. Teringat kata suami, ia menengok pada seseorang yang tidur di sampingnya. 


Suami. 


Suaminya. 


Pria itu sedang tidur pulas. Wajahnya terlihat tenang, tanpa beban. Sepertinya pria itu benar-benar tidak ingin diganggu tidurnya. Pukul berapa ia pulang selamam? Gadis itu ingat, terakhir kali ia melihat jam adalah pada pukul 11 malam, dan itu pun tidak ada tanda-tanda suaminya pulang. 


Apa kau lembur lagi? tanyanya dalam hati. Selalu seperti ini. Segala bentuk perhatiannya pada pria itu hanya dapat ia ungkapkan dalam hati. 


Ia mendekati tubuh pria ituyang berada sedikit terlalu pinggir di atas tempat tidur. Ia memperhatikan wajah suaminya. Matanya yang terpejam, hidungnya yang mancung, serta bibirnya yang tipis. Bibirnya yang selalu datar, dan tetap datar bahkan saat ia tertidur seperti ini. 


Hal yang paling ia sukai dari wajah suaminya adalah mata pria itu. Matanya yang begitu tajam dan mempesona, sekaligus begitu dingin saat menatapnya. 

Bolehkah aku menyentuh wajahmu? 


Ani. Itu yang akan menjadi jawaban pria itu jika ia berani dan benar-benar menanyakannya. 


* 


Jaera sedang menata piring berisi masakannya ke atas meja ketika suaminya keluar dari kamar dengan setelan kantornya. Hari ini pun ia terlihat rapi, dan tampan tentunya. "Kau sudah bangun?" tanyanya sambil lalu. 


Pria itu meliriknya sekilas sebelum mengangguk singkat. Ia mendekati meja makan, menarik salah satu kursi lalu duduk di sana. 


Jaera ikut bergabung setelah meletakkan mangkuk nasi milik mereka ke meja. Ia meraih sumpit dan membiarkan apa pun yang terjadi pada suaminya. Ia tidak perlu peduli, karena itulah yang suaminya butuhkanketidakpeduliannya. 


Pria di hadapannya melakukan hal yang sama. Meraih sumpit dan mulai menyuapkan nasi ke mulutnya. Mereka makan dalam diam, seperti dua orang yang tidak saling mengenal. 


Ketika pria itu selesai makandengan cepat, dan ia tahu pria itu sengaja melakukannya—Jaera bangkit berdiri dan berjalan menuju sofa putih di ruang tengah. Ia meraih tas kotak berwarna hitamtas kerja suaminyalalu kembali ke ruang makan. Ia menyerahkan tas itu kepada suaminya yang baru saja meneguk habis kopi buatannya. 


Pria itu menerimanya dan meraih jas hitam miliknya yang tersampir di atas sandaran kursi kosong 90 derajat dari kusinya di meja makan. Tanpa mengenakannya, pria itu melangkah meninggalkan Jaera di ruang makan. Ia berangkat ke kantor tanpa sepatah kata pun pada istrinya. 


"Ne, aku akan baik-baik di rumah, menunggu kau pulang nanti. Kau tenang saja. Dan selamat jalan.." ucap Jaera lemah. Ia seakan-akan menjawab perkataan suaminya-yang tentu saja hanyalah karangannya semata. 


Ia mendengus dalam hati. Betapa menyedihkan dirinya. Sangat menyedihkan. Tapi apa mau dikata? 


Ia menerimanya. Harus menerimanya.. 


* 


"Bagaimana kabarmu sekarang?" 


Jaera mengapit ponsel di telinganya dengan bahu. Ia sedang menata buku-buku di rak yang baru saja ia bersihkan. Tangannya penuh oleh buku-buku itu, dan sedikit membuatnya kerepotan mengangkat panggilan dari kakak tercintanya, Jae-in. 


"Begini-begini saja, Ra-ya.." jawab kakak perempuannya itu. "Tapi aku membawa kabar gembira.." 


Kening Jaera berkerut mendengar perkataan kakaknya itu. Ia menghentikan aktivitasnya menata buku, beralih memegang ponselnya yang sejak tadi ia jepit di antara bahu dan telinganya. Terlalu lama seperti ini, ia yakin bahu kanannya itu akan pegal nanti. Ia memindahkan ponsel itu ke tangan kirinya, sedang tangannya yang lain ia gunakan untuk mengambil beberapa buku dan menatanya di atas rak. "Mwoya?" 


"Coba kau tebak dulu, Ra-ya.." ucap Jae-in di ujung sana, membuat Jaera sedikit kesal dengan tingkah eonni-nya yangterkadangsedikit kekanakan. 


"Astaga, Eonni. Kumohon, berhenti bermain tebak-tebakan! Aku sedang sibuk!" 


"Ya! Kau ini dongsaeng menyebalkan! Tidak bisa diajak bercanda! Memang apa yang membuatmu sibuk?"



"Haiss.." Jaera mendesis pelan saat salah satu buku di tangannya jatuh ke lantai. "Demi ramyeon yang masih mengepul, Eonni! Aku sedang membereskan apartemen!" 


"Hei, tak perlu emosi begitu! Aku kan hanya ingin memberimu kabar gembira! Begini saja, kau tinggalkan tugas bersih-bersih apartemenmu. Kita jalan-jalan saja, ne?" ucap kakak perempuan Jaera dengan antusias.


"Jalan-jalan? Yang benar saja! Apa aku harus ke Incheon untuk jalan-jalan denganmu?" 


"Hehehe.. Tidak perlu, adikku sayang.. Aku meneleponmu karna ingin mengabari bahwa aku baru saja sampai di Seoul, dan sedang dalam perjalanan ke apartemenmu.." 


"Mwoji? Kau bilang apa?" tanya Jaera kebingungan. Ia rasa ia salah dengar barusan. Atau telinganya memang sedikit bermasalah? 


"Kakak iparmu ada tugas di Seoul, Jaera. Jadi kami di sini selama beberapa hari. Dan dalam beberapa hari ini, kau harus setia menemaniku berbelanja!!" 


Astaga... ucap Jaera ngeri dalam hati.



* 



"Apa lagi yang mau kau bereskan, Ra-ya? Apartemenmu sudah sangat rapi.." omel Jae-in pada adik perempuannya yang sedang menuang sekotak jus jeruk ke dalam dua gelas tinggi. 


"Ruang kerja kami, Eonni. Sedikit berantakan, kalau kau mau tahu.." 


Jae-in tidak  mempedulikan   perkataan  adiknya.  Ia hanya berjalan ke ruang tengah dan memperhatikan foto berukuran besar yang tergantung di dinding belakang sofa. Foto pernikahan adik perempuannya dengan sang suami. 


Ini tahun ketiga pernikahan mereka, dua tahun lebih awal dibanding usia pernikahannya dengan Park Jungsoo, suami Jae-in. Dan Jae-in tahu dengan jelas bagaimana kondisi rumah tangga Jaera dan suaminya.  Walau mereka terlihat baik-baik saja dan 'tidak ada apa-apa' dalam artian sesungguhnya. 


Jae-in menyadari bahwa suami Jaera kelewat dingin pada adiknya.  Ia juga yakin, sepasang suami isteri itu tidak pernah berkomunikasi selayaknya pasangan suami isteri lain. Sangat disesalkan. Jae-in selalu beranggapan adiknya, Jaera, dan sang suami adalah pasangan paling serasi yang pernah ia tahu. Mereka benar-benar terlihat sebagai apa yang disebut 'lahir untuk saling melengkapi'. Tapi nyatanya itu hanyalah anggapan Jae-in, karena dua manusia itu benar-benar dingin dan acuh satu sama lain. 


Tak dapat disalahkan. Mereka menikah karena perjodohan. Kala itu kondisi keluarga Jae-in dan Jaera memburuk. Segalanya terjadi begitu cepat. Ayah mereka jatuh sakit, dan ingin salah satu dari kami, putri-putrinya,  menikah  dengan  pria  pilihan  appa  mereka.  Solusi ini dipercaya dapat membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik. 


Tak ayal, ia yang telah bertunangan dengan Park Jungsoo tidak dapat menerima solusi itu. Ia tidak akan sudi melepas pria yang telah ia cintai bertahun-tahun  lamanya.  Tapi ia juga tidak tega pada Jaera. Gadis itu tidak bersalah apapun, tidak tahu apa-apa, tapi ialah yang berakhir seperti ini. 


Ia dinikahkan dengan seorang pria terpandang, putra tunggal pemilik perusahaan besar, Lee Corp. Pria yang terlihat tampan dan mempesona. Ia tidak yakin berapa banyak wanita yang telah jatuh dalam pesona pria itu. Jika ia tidak mengingat Park Jungsoo, mungkin ia telah menjadi salah satu dari wanita-wanita itu, dan dengan senang hati menerima pernikahan inimenggantikan adiknya. Sedetik kemudian ia bergidik ngeri. Bisa-bisanya ia berpikir lancang begitu! Dan, baiklah. Ia mencabut kata-katanya. Ia tidak ingin punya suami sedingin pria itu. Tidak, terima kasih. Ia masih punya Jungsoo yang lembut dan penuh perhatian, dan jangan lupakanromantis. Ia tersenyum sendiri membayangkan pria itu. 


"Eonni? Perlukah aku menelepon rumah sakit jiwa?" tanya Jaera yang baru saja meletakkan dua buah gelas berisi jus jeruk di atas meja dan melihat kakak perempuannya tersenyum-senyum sendiri. 


"Mwo?!" ucap Jae-in tak percaya. 


Jaera terkekeh pelan. Ia kemudian duduk di sofa putih ruangan itu, disusul kakaknya. 


Keheningan menyelimuti mereka. Jae-in memikirkan apa yang ada di benaknya. "Apa kau bahagia dengan pernikahanmu?" tanyanya beberapa saat kemudian. 


Jaera terkejut mendengar pertanyaan kakaknya. Namun ekspresi itu hanya bertahan selama dua detik, sebelum ia menetralkan kembali  wajahnya dan mendengus kecil. "Jika tidak merasakan apa-apa bisa disebut bahagia, maka aku bahagia.." 


Jae-in memandang adiknya prihatin, tapi ia tahu Jaera bukanlah tipe orang yang suka dikasihani. Maka ia tersenyum kecil dan menggoda adik perempuannya itu. "Kalau kau ingin merasakan sesuatu, kau bilan padanya kau ingin punya aegi. Agar kau tidak kesepian.." 


Jaera melotot pada kakaknya itu. Sialan!! umpatnya. 


"Eonni, berhenti merecokiku dengan pikiran-pikiran anehmu.." 


"Mwo? Aneh? Justru kau dan suamimu yang aneh! Kalian sudah menikah selama 3 tahun, tapi sampai kini, kau bahkan tidak menunjukkan gejala-gejala wanita hamil.." 


Jaera kembali mendengus. Ia mengumpat dalam hati pada fakta yang hanya diketahui ia dan suaminya. "Usiaku masih muda, Eonni. Tidak sama dengan dirimu yang hampir menginjak kepala tiga.." 


Jae-in mencibir. Benar kata gadis itu, ia sudah semakin tua. Namun kemudian ia tersenyum kecil. "Ada hal yang ingin kusampaikan, Jaera.." 


"Mwo?" 


Jae-in terkekeh senang. Akhirnya ia bisa membagikan kabar gembira ini pada adiknya. "Aku sedang hamil, Jaera.." 


"Jinjja?" tanya Jaera tak percaya. 


Jae-in mengangguk dengan penuh semangat. "Usianya tiga bulan.." 


"Uwaaa!!" Jaera berteriak senang dan memeluk kakaknya. "Chukkahaeyo, Eonni. Chukkahae!!" 


"Gomawo, Ra-ya.." Jae-in mengucapkan terima kasih dan membalas pelukan adiknya. 


"Pantas saja kau terlihat lebih gemuk, Eonni.." canda Jaera setelah mereka selesai berpelukan. 


Jae-in memukul pelan bahu adiknya. Ia sedikit sensitif saat seseorang bilang bahwa dia bertambah gemuk. "Ya! Kau saeng paling menyebalkan yang pernah kutahu!" 


"Tapi kau menyayangiku kan, Eonni?" goda Jaera pada kakaknya. Ia senang sekali berbuat jahil pada kakak perempuan satu-satunya yang ia miliki itu. 


Jae-in mendengus dan mulai menggelitiki adiknya. Ia tahu dengan benar, Jaera sangat geli dengan gelitikan di pinggangnya. 


"Uwaa.. Hahaha, EonniGeuman! Berhenti! Haha.. Eonni!!!" 



* 



Ceklek 


Pintu apartemen terbuka oleh tangan Jaera. Ia melangkah masuk tanpa mengucapkan sala, ia tahu dengan benar suaminya tidak akan berada di rumah saat hari masih sore begini. Setidaknya pukul 9 malam pria itu baru akan pulang. 


Jaera melangkah masuk lebih dalam setelah mengganti flat shoesnya dengan sandal rumah. Tangannya hampa, tidak membawa barang apa pun. Hiraukan tas yang berada di bahunya, benda itu memang keharusan untuk selalu dibawanya saat berpergian. 


Ia menghabiskan sepanjang siang itu dengan Eonni-nya. Mereka pergi ke Hyundai Departement Store, memasuki berbagai toko di sanatoko pakaian dan perlengkapan bayi. Tentu saja ia pulang tanpa membeli apa-apa. Memang ia punya bayi yang harus ia belikan baju? 


Atau pantaskah ia ikut terserang penyakit ibu hamil seperti kakaknya yang terlihat sangat antusias dengan segala hal tentang bayi? 


Tidak, jangan bercanda. Ia tidak. Dan sama sekali jauh dari penyakit itu. 


Jaera meneguk minuman dingin yang diambilnya dari kulkas saat menyadari ada sebuah gelas kosong di atas meja makan. Seingatnya ia telah membereskan kedua gelas bekas minuman ia dan kakaknya siang tadi, sebelum mereka pergi. Lalu gelas siapa itu? 


Jaera berjalan mendekati kamar dan membuka pintu itu dengan perlahan. Ia melongok pada celah pintu yang ia buka tidak terlalu lebar.  Ia melangkah masuk ke kamar saat menyadari dugaannya benar, 100%. 


Ia mendapati suaminya tertidur pulas, terlentang di tengah-tengah tempat tidur mereka. Gadis itu mendekati tubuh pria itu, duduk tepat di sampingnya. Ia rasa, pria itu begitu lelah hingga tak sempat mengganti setelan kantornya dengan baju rumah. Dasi pria itu telah melonggar walau tidak sampai terlepas. Dua kancing teratas kemeja birunya juga terbuka, menampakkan bagian atas dadanya yang bidang. 


Di saat-saat seperti ini, Jaera bisa dengan puas memandangi wajah suaminya. Suaminya yang sedang tertidur dengan wajah damai. Wajah yang tanpa dosa.  Tanpa dapat dicegah, tangan kanan Jaera terangkat dan digerakkannya mendekati wajah itu. Wajah yang selalu ia lihat setiap harinya sejak tiga tahun yang lalu. 


Ia menyentuh pipi suaminya. Tubuhnya sedikit bergidik saat menyadari betapa lembutnya kulit wajah suaminya. Dielusnya pipi itu, yang tampak lebih pucat dari pagi tadi. Tangannya tergerak menyusuri rahang kokoh itu. Rahang yang sempurna. Ani, seluruh bagian wajahnya memang terpahat dengan sempurna. Dan itu membuat Jaera tidak pernah bosan memandangi wajah tampan suaminya. 


Tangannya kembali mengelus pipi itu. Dan suaminya merespon dengan bergerak-tepatnya menggeliat-menyamping ke arahnya hingga wajah pria itu menghadap paha Jaera yang menempel pada tempat tidur. Bahkan dalam keadaan tidak sadar, sang suami mengangkat kepala dan memposisikan dirinya tertidur di atas paha Jaera. 


Jaera terkejut dengan yang baru saja terjadi. Ia, mereka, tidak pernah sedekat ini. Bahkan selama tiga tahun pernikahan mereka, ia dan suaminya saling tidur di pinggir dan menyisakan banyak ruang kosong di tengah-tengah tempat tidur. 


Jaera mengelus kepala suaminya. Membenamkan jari-jarinya pada helai-helai rambut hitam pria itu. Dan Jaera kembali dibuat terkejut saat merasakan betapa halusnya rambut pria itu, tidak seperti rambut pria kebanyakan. 


Gadis itu memandang wajah pulas suaminya dengan pandangan kosong. Apa jadinya jika pria itu tahu mereka sedang dalam keadaan begini? Seperti ini? 


Apa pria itu akan marah? 


Salah tingkah? 


Atau menerimanya dan menganggap ini adalah hal yang wajar mengingat mereka adalah sepasang suami istri yang-seharusnya-memiliki bentuk kemesraan sepeti ini? Selayaknya pasangan-pasangan lain? 


Gadis itu membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu. Namun kata-kata itu seakan dibawa angin, pergi entah kemana, dan menyisakan kekosongan yang begitu hampa. 


"Aku.." lirihnya. Ia kembali mengelus kepala pria itu, dan melihat 'prianya' menggeliat, terlihat nyaman dengan perlakuannya terhadap pria itu. 


"Kau adalah suamiku.." ucapnya sangat pelan. Ia bahkan tidak yakin bahwa berhasil mengeluarkan suara untuk mengucapkannya. Tenggorokkannya tercekat dan ia ingin menangis saat itu juga. 


"Ne, kau adalah suamiku, sejak 3 tahun yang lalu.. Dan, walau sedikit terlambat.." Jaera menundukkan wajahnya, mendekat pada wajah pria itu. Mengarahkan dirinya mendekati telinga pria itu dan membisikkan kata dengan nada paling lirih yang pernah ia suarakan sepanjang hidupnya, "Happy Anniversary pernikahan kita yang ketiga..." 


Ia mengecup kening pria itu dengan lembut. Begitu lama. Tapi ia segera menarik wajahnya ketika merasakan matanya memanas dan detik berikutnya lelehan cairan bening mengalir di kedua pipinya. "Nae nampyeoni.." 



* 


Ia menatap gedung-gedung pencakar langit dan jalan raya Seoul di bawah sana melalui kaca gedung kantornya. Walau sampai kini pemandangan itu tak juga dapat membuatnya tenang, namun ia tetap melakukan kegiatan yang telah menjadi kebiasaannya sejak 3 tahun lalu itu. 


Benaknya tertuju pada hal yang ia sadari pagi tadi, ketika dirinya bangun dari tidur. Bayangan itu berkelebat dan membuatnya kelimpungan. 


Apa yang terjadi padanya saat tidur semalam? Atau lebih tepatnya, apa yang ia lakukan pada gadis itu semalam? 


Kenapa saat ia bangun, ia mendapati dirinya tengah tidur di atas pangkuan gadis itu, memeluk pinggang rampingnya, juga membenamkan diri pada perut istrinya? Dan lebih parahnya lagi, ia tidak pernah merasa tidur sepulas itu. Sepulas saat ia tidur memeluk istrinya. Begitu nyaman dan menenangkan. 


Ia meremas rambutnya kasar. Apa yang telah ia lakukan? Ia tidak boleh berlaku selayaknya suami pada istrinya, walau memang itu yang ia inginkan. Ia tidak pernah berniat berdekatan dengan gadis itu. Tidak akan pernah! 


Ia membenci gadis itu tanpa alasan yang jelas. Ia begitu membencinya hingga lebih memilih untuk mengacuhkan gadis itu selama tiga tahun pernikahan mereka ketimbang mencoba untuk bersikap selayaknya 'suami' pada istrinya. 


Ia harus membuat gadis itu merasakan hal yang sama seperti dirinya. Mereka harus tetap saling mengacuhkan, dan sebisa mungkin saling membenci satu sama lain. 



*



Jaera menatap gedung tinggi di hadapannya. Tak lama lagi, mimpinya akan terwujud. Apa yang selama ini ia cita-citakan akan segara tercapai. 


Ia melangkah mendekati pintu gedung dan memasukinya. Kakinya berjalan lurus menuju meja resepsionis di tengah-tengah gedung besar itu. Langkahnya berhenti, dan menatap meja resepsionis yang terlihat begitu sibuk walau hari masih bisa dibilang pagi. Masih pukul 10. 


Seorang wanita muda berseragam melihat kedatangannya. Ia tersenyum ramah pada Jaera dan menyapa gadis itu. "Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" 


Jaera membalas senyuman wanita itu lalu mengangguk. "Saya mendapat surat penerimaan guru tari baru dari perusahaan ini. Tadi saya juga telah dihubungi oleh Manager Lee. Ia menyuruh saya menemuinya hari ini.." 


Wanita itu mengangkat gagang teleponnya lalu menekan beberapa tombol. "Manager Lee, ada seorang nona yang ingin menemui Anda.." Ia diam sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Jaera. 


"Siapa nama Anda, Nona?" tanyanya. 


"Kim Jaera.." 


Wanita itu menyebutkan nama Jaera dan mendengarkan dengan seksama perkataan lawan bicaranya. Beberapa saat kemudian ia meletakkan gagang telepon dan tersenyum ramah untuk kedua kalinya pada Jaera. "Manager Lee sudah menunggu Anda di ruangannya, Nona. Anda bisa naik lift menuju lantai empat. Di sana Anda bisa bertanya di mana ruangan Manager Lee.." 


Jaera tersenyum kecil lalu melangkahkan kakinya menuju lift setelah sebelumnya ia mengucapkan terima kasih pada wanita muda itu. 


Ketika ia masuk ke dalam lift dan hendak menutup pintunya, ia melihat bayangan seorang pria yang baru saja keluar dari lift sebelahdi samping lift yang ia naiki. Perawakan pria itu mirip sekali dengan suaminya. Apa itu suaminya? 


Kening Jaera berkerut. Pasalnya, terakhir kali ia melihat sang suami adalah malam hari ketika pria itu tidur di pangkuannya. Ketika ia bangun keesokannya, pria itu telah berangkat kerja dan hingga pagi tadi, ia tidak bertemu suaminya. Ia rasa pria itu tidak pulang dua hari berturut-turut. 


Ini bukan pertama kalinya pria itu tidak pulang ke apartemen mereka. Hanya saja ia merasa sedikit tidak tenang. Akhir-akhir ini suaminya terlihat sedikit stress dan kelelahan. 


Jadi kenapa ia bisa melihat suaminya yang semalam tak pulang ada di tempat ini? 


Jaera kebingungan dan ingin sekali memikirkan berbagai alasan tentang ketidakpulangan suaminya, namun pintu lift telah terbuka dan panel di atasnya menunjukkan angka empat, yang berarti ia telah sampai di lantai tujuan.  Ia melangkah keluar lift dan mencari ruangan Manager Lee. Tidak begitu sulit, karena ruangan itu berukuran lebih besar dari ruangan lain dan terletak di ujung lorong. Ia mengetuk pintu ruangan itudan menunggu respon dari seseorang di dalam. Tapi sampai sepuluh detik kemudian, ia tetap tidak mendengar perkataan yang mempersilahkan dirinya masuk ke ruangan. Ia hendak mengetuk lagi ketika pintu itutiba-tiba terbuka dan menampakkan sesosok pemuda tampan di hadapannya. 


Pemuda itu memerhatikan wajahnya dan terlihat sedikit terkejut dengan Jaera. Gadis itu bisa merasakan pandangan menelisik sang pemuda tetapi ia mencoba mengacuhkannya. Ia membungkuk dengan sopan dan memperkenalkan diri. "Selamat pagi, Sajangnim. Saya.." 


"Kau Jaera, kan? Anae Donghae?" tanya pemuda itu tiba-tiba dan memotong perkataannya. 


"Eoh?" Jaera bingung setengah mati dengan pertanyaan pemuda itu. Kenapa pemuda itu tahu bahwa ia adalah istri suaminya, Lee Donghae? 


Pemuda itu membuka pintu ruangannya lebih lebar dan mempersilahkan gadis itu masuk. Ia menutup pintu ruangannya dan mendekati Jaera yang telah berdiri di tengah-tengah ruangan. 


"Aku Lee Hyukjae. Manager Lee yang meneleponmu kemarin. Dan masalah aku mengetahui bahwa kau adalah istri Donghae.." Ia mendekati mejanya lalu mengangkat sebuah pigura dengan foto tiga orang pemuda yang sedang tersenyum lebar. "Aku sahabat dekat suamimu. Aku juga datang ke pesta pernikahan kalian. Kau tidak ingat?" 


Jaera terkejut. Bukan pada perkataan pemuda itu, tetapi pada foto di tangan Hyukjae. "Kyuhyun? Bagaimana bisa ada Kyuhyun di fotomu itu?" 


Pemuda itu ikut memperhatikan foto di tangannya. "Kyuhyun juga teman dekat kami.." 


"Teman dekat?" gumam Jaera, lebih kepada dirinya sendiri. 


Pemuda itu mengangguk dan tersenyum. "Dia adik kelas kami sejak SMA.." 


Kepala Jaera terasa pusing. Pening sekali. Dan membingungkan. Bagaimana fakta ini bisa membuatnya begitu bingung? 


Kyuhyun? Teman dekat suaminya? 


Tapi kenapa mereka terlihat seperti musuh bebuyutan saat bertemu tiga tahun yang lalu? Saat pesta pernikahan Jaera dan Donghae? 


Astaga. Apa yang pemuda itu sembunyikan darinya? 


* 


Jaera meneguk segelas penuh air putih, beberapa saat setelah ia sampai di apartemennya. Pening di kepalanya belum juga hilang. Dan raut wajahnya jelas sekali menunjukkan kebingungan. 


Hal yang bodoh jika ia tetap memaksakan diri untuk bersosialisasi dengan perusahaan milik Lee Hyukjae yang telah menerimanya sebagai guru menari tetap di sana. 


Astaga Yang ia butuhkan saat ini hanyalah istirahat. 


Jaera melangkah gontai menuju kamarnya. Ia tidak mempedulikan map kuning berisi surat penandatanganan kontrak kerjanya yang tergeletak begitu saja di atas meja. Ia hanya ingin merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, dan itulah yang ia lakukan saat ini. Terlentang di tengah-tengah tempat tidur dan menatap langit-langit. 


Ia tidak pernah merasa sesesak ini. Dadanya sakit karena berbagai alasan, yang ia tahu dengan benar namun berulang kali ia coba untuk tidak memikirkannya.  Ia tahu dirinya, Kim Jaera, merasa begitu kehilangan sejak 3 tahun lalu. Sejak peristiwa maut yang membuatnya kehilangan apa yang dinamakan 'setengah jiwa'.  Ia merasakan bagaimana kehampaan saat rumah tangganya dengan suaminya dimulai. Ia tidak pernah menerima pernikahan ini secara terang-terangan, tapi ia juga tak kuasa menolak permintaan ayahnya. 


Ayah. 


Appa-nya. 


Seandainya beliau tahu bagaimana kehidupan rumah tangga putri bungsunya itu, apa yang akan dilakukan pria tua itu di sana? Bangkit dari kubur dan memperbolehkan putrinya berpisah dari sang suami? 


Jaera tak dapat membayangkan fantasinya sendiri. Semua terasa membingungkan. Dan itu membuatnya kesal. 


Kenapa hidupnya harus seperti ini? Begitu menyedihkan. Ia pernah berpikir bahwa rasa yang paling menyakitkan adalah ketika dirinya kehilangan 'setengah jiwanya' itu, namun sepertinya ia salah. 


Menjalani pernikahan tanpa cinta, suami yang begitu dingin, rasa iri hati pada kakak perempuannya sendiri.. 


Benar, ia iri sekali melihat bagaimana harmonisnya pernikahan Jae-in dengan suaminya, Jungsoo. Ia iri sekali karena tak lama lagi kakaknya bisa merasakan menjadi wanita sesungguhnya dengan melahirkan putra pertamanya. 


Sedangkan ia? 


Bagaimana ia bisa melahirkandan hamiljika berpelukan dengan suaminya saja ia tidak pernah? 


Hidup memang aneh, dan konyol. 


Dan hidupmulah yang teraneh dan terkonyol, Jaera.. 



*



Donghae terdiam menatap tubuh gadis itu, yang berbaring di atas tempat tidur. Ia sudah sering melakukan ini. Menatap kosong istrinya yang tertidur ketika ia pulang larut dari kantor. 


Sudah dua hari ia tidak pulang. Tapi ia tidak peduli. Ia mendengus dalam hati. Istrinya saja tidak peduli, kan? 


Jaera. Kim Jaera. 


Entah apa yang kini Donghae pikirkan tentang gadis itu. Yang jelas, ia akan berusaha untuk membuat gadis itu menyerah pada pernikahan ini dan melepaskan dirinya. 


Ia tidak peduli bagaimana mereka akan berakhir. Cara apa yang akan ia lakukan, yang penting adalah ia harus berpisah dengan gadis itu. 


Ia kejam? Benar, ia harus kejam pada Kim Jaera, istrinya sendiri. 


Pemikirannya terpaksa berhenti saat Jaera menggeliat dan berbalik pada dirinya yang masih berdiri tak jauh dari pintu kamar mereka.  Mata gadis itu terbuka dan tanpa sengaja menatap mata tajamnya. Mereka saling memandang. Jaera dengan pandangan bingung, Donghae dengan pandangan dinginnya. 


"Kau sudah pulang?" tanya Jaera memecah keheningan. Ia bangkit dan duduk di tepi ranjang. 


Donghae tidak menjawab pertanyaan gadis itu. Ia memilih untuk mendekati lemari pakaiannya, hendak mengganti setelan kantornya dengan piyama. 


Jaera mengikuti pergerakan suaminya. Bahkan ketika lelaki itu melepas kemejanya, ia juga tidak mengalihkan pandangan. 


Pria itu mengetahui dengan jelas apa yang sedang istrinya lakukan, tapi ia juga tidak ambil pusing. Bahkan jika gadis itu melihatnya dalam keadaan telanjang bulat pun, itu terserah dia. 


"Kau sudah makan malam?" ujar Jaera masih menatap punggung telanjang suaminya. 


Donghae mengenakan piyamanya, dan menghiraukan pertanyaan gadis itu. Setelah mengganti seluruh pakainnya, ia beranjak menuju tempat tidur dan merebahkan diri di tepian. Ia membelakangi Jaera yang masih saja menatap punggungnya. 


Gadis itu membeku. Dadanya terasa sesak mengetahui pria itu mendiamkan dirinya. Benar-benar mengacuhkan dan menganggap dirinya tak ada. 


Astaga. Ia ingin sekali menangis dan berteriak pada pria itu. Berkata pada pria itu bahwa Jaera sungguh membencinya. Namun akhirnya, ia hanya mengucapkan kalimat itu dalam hati. Sesuatu menahan gadis itu untuk mengatakannya. Sesuatu yang tidak ia ketahui apa itu. 


Akhirnya ia ikut berbaring membelakangi Donghae, dan melanjutkan tidurnya. Ia kembali ke alam mimpi, mendahului pria tak jauh di sampingnya yang masih juga belum tidur. Pria itu menatap tajam dinding di hadapannya. Ia sudah memulainya. 


Ya, aku sudah memulainya.. 



* 



Jaera mendengus kecil, mengiringi kepergian suaminya yang baru saja ke luar dari apartemen mereka. Ia menatap dingin masakan di hadapannya. Makanan itu akan segera berakhir ke tempat sampah. 


Ini sudah sarapan kedua puluh tiga kali yang ia buang. Pria itu berangkat ke kantor tanpa menyentuh sedikit pun masakan Jaera. Ia juga tidak meminum kopi buatan Jaera seperti biasanya. 


Jaera tidak tahu apa alasan pria itu berubah sikap. Walau pria itu bersikap dingin padanya, tapi setidaknya ia masih menjawab pertanyaan Jaerawalau dengan sangat singkatdan memakan masakan buatan gadis itu. Tapi pria itu benar-benar menganggap dirinya tidak ada hampir sebulan belakangan. 


Apa salah Jaera pada pria itu? 


Tanpa sadar air mata Jaera menitik. Kenapa juga hidupnya harus seperti ini? Jika saja ia tidak pernah menerima pernikahan mereka, mungkin saat ini ia tengah hidup bahagia dengan 'setengah jiwa'nya. 


Seandainya bukan pria itu yang menjadi suaminya. Ya, seandainya saja.. 


* 



"Jeongmal mashitta, Seosangnim!" ujar Nana pada Jaera yang tersenyum dengan terpaksa. Akhirnya ia membawa masakannya pagi tadi kemari. Ia membagi-bagikan makanan itu kepada murid-murid kelas menarinya di perusahaan. Tentu saja ia mengatakan bahwa dirinya khusus memasak untuk mereka, dan bukan berkata bahwa semua itu adalah makanan yang sama sekali tidak disentuh suaminya dan tidak jadi ia buang ke tempat sampah. 


"Kalau begitu kalian makanlah, seosangnim ke luar sebentar.." ujar Jaera pada murid-muridnya. Ia melangkah keluar ruang tari, menuju ruangan yang terletak satu lantai di atasnya, ruangan manager Lee. 


Senyuman sekertaris manager Lee menyapanya ketika mereka tak sengaja berpapasan di depan lift. Ia baru saja keluar, sedang gadis itu hendak melangkah masuk. "Anda mencari sajangnim, Nona?" tanya gadis itu padanya. 


"Ne. Apa ia ada di ruangannya?" 


"Ne. Anda bisa ke sana. Dan maaf tidak bisa mengantar Anda, Nona. Saya harus mengambil beberapa berkas.." 


Jaera tersenyum kecil dan mengangguk. "Aniyo. Gwaenchana.." 


"Algeseumnida. Saya permisi dulu.." Ia melangkah memasuki lift dan memberi hormat sebelum pintu besi itu benar-benar tertutup. 


Jaera melanjutkan niat awalnya menemui manager Lee. Ia menyusuri lorong panjang menuju ruangan manager Lee, atau Lee Hyukjae. Pandangannya tak sengaja mengarah pada cermin-cermin yang sengaja dipasang di sepanjang lorong itu. Ia cukup rapi untuk menemui atasannya itu kan? Astaga, apa yang perlu kau khawatirkan, Jaera? Bukankah semua guru tari memang terlihat berantakan setelah mengajar? 


Ia kembali melanjutkan langkahnya hingga sampai di depan pintu ruangan manager Lee. Tangannya terangkat dan bergerak mengetuk pintu itu. 


Tok tok tok 


"Masuk.." perintah manager Lee dari dalam ruangan. 


Jaera membuka pintu itu dan melangkah masuk. Ia melihat namja itu, Lee Hyukjae, tengah menatap proposal di hadapannya dengan serius. Keningnya berkerut dan-sepertinya-ia tengah berpikir keras. 


"Manager Lee.." panggil Jaera memecah keseriusan pemuda itu. 


Lee Hyukjae mengangkat kepalanya dan terlihat terkejut saat mendapati Jaera tengah berdiri tak jauh di hadapannya. "Jaera? Kupikir Seong Ri kembali kemari, ternyata kau.." 


Jaera mengangguk kecil dan mengambil tempat duduk di hadapan Hyukjae ketika pria itu mempersilahkannya duduk. 


"Ada yang ingin kau bicarakan denganku?" 


Jaera menatap mata pemuda tampan di hadapannya. Walau ia tahu pemuda itu termasuk jajaran pemuda paling digilai wanita se-Korea Selatan, tak ayal ia masih mengakui bahwa suaminyalah pria tertampan yang pernah ia kenal. "Aku ingin membahas tentang sistem mengajarku di tempat ini.." 


Dan pembicaraan mereka berlanjut hingga bermenit-menit kemudian, sebelum seseorang menerobos pintu dan mengejutkan mereka, terutama Jaera. 


"Hyuk-ah.." 


"Donghae?" ucap Hyukjae pelan. Ia menatap pemuda itu dan gadis di hadapannya bergantian, tak jauh berbeda dengan Donghae yang menatap tajam punggung gadis itu. 


Ia tak perlu menjadi pandai untuk mengetahui gadis itu adalah istrinya. Yang ia bingungkan adalah kenapa gadis itu ada di tempat ini? Di ruangan sahabat dekatnya? 


Jika Donghae penasaran dengan kehadiran istrinya di ruangan itu, Jaera justru terpaku dan membeku di kursinya. Tangannya mengepal dan berkeringat dingin. Danastaga!tubuhnya bergetar ketika mendengar suara sedingin es milik suaminya. "Sedang apa kau di sini?" 


Jaera merasa lemas dan kehilangan tenaganya. Ia tahu dengan jelas kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Dan kini, ia ingin seseorang membantunya mengubur diri dan menghilang dari jarak pandang pemuda itu, Lee Donghae.




TBC





Next Chapter :

Jaera berjalan mendekatinya dan berdiri di hadapan pria itu, yang tengah menghadap lemari pakaian-nya. 

PLAK 

Donghae terkejut mengetahui salah satu sisi wajahnya terasa panas dan perih. Gadis itu menamparnya! 

"Apa rasanya sakit?" tanya Jaera dengan nada dingin. 

Donghae hanya menatap gadis itu tajam sedang rahangnya mengeras menahan amarah. 

Tangan Jaera mengelus cap tangan berwarna merah di pipi pria itu. "Apa itu tidak perih?" tanya Jaera kembali. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar