ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Senin, 21 September 2015

I Won't Leave [2.2] - END

 

 I Won't Leave [2.2] - END

by  Stephcecil
Cast : Jung Yunho, Yoon Bora, Jeong Jinwoon
Lenght : Chaptered || Genre : Marriage Life, Romantic, Angst || Rating : PG
Disclaimer : The cast isn't mine, story line requested by @meydina.




***



Setelah proses perceraian mencapai titik akhir, Bora menenggelamkan diri dalam pekerjaan barunya.  Ia memutuskan untuk menyetujui tawaran Yunho tempo lalu, yakni kontrak temporer C&D.  Berkat training singkat, keterampilan berlenggak-lenggok Bora di atas panggung meningkat drastis, yang mana mengaburkan imagenya sebagai total amatiran –hanya bermodal tampang tanpa talenta- begitu ia latihan bersama para model professional.

Pekan mode diadakan dua minggu kedepan, yang berarti kesibukan para pekerja di balik layar –desainer, make up artist, dan staff- bertambah. Yoon Bora, sebagai model, dibanjiri kesibukan pula. Pengukuran pakaian, sepatu, dan belasan gladi resik memenuhi jadwalnya. 

Pada awalnya Bora merasa frustasi, tetapi lama kelamaan, ia berhasil beradaptasi. Sarapan kilat, makan siang fast food ­­­­–jika sempat. Sedangkan untuk makan malam, Bora dan senior-seniornya kerap mengunjungi restoran italia yang terletak satu blok di dekat  flower hall –dimana C&D fashion week akan diadakan.

Hey, let’s go grab a dinner.”  Ajak Kim Dasom, salah satu senior Bora. Dia adalah wanita berdarah campuran Amerika-Korea, dengan kulit seputih susu, rambut pirang alami, dan tinggi menjulang.
Okay, wait a minute.” Bora tersenyum ramah, lalu beranjak mengambil tas channelnya –pemberian Jinwoon. Kedua model pun merajut langkah keluar gedung flower hall, sembari berbincang-bincang. Berhubung Dasom merupakan pembicara natural dan berwawasan luas, mereka nyaris tidak pernah kehabisan topik. Bora menyukai kepribadian ramah dan rendah hati Dasom, yang tidak berlagak angkuh  meski telah menggapai ketenaran.

Lobi depan gedung menghadap pintu utama bermaterialkan kaca bening, sehingga siapapun yang berada di dalam dapat melihat ke luar, tepatnya serambi depan dimana para supir taksi terbiasa menurunkan penumpang. Dan dari situlah Bora melihat Porsche merah familiar. Ia tidak begitu yakin, namun aktualitas prediksinya terbukti saat sang pengendara mengalihkan kendali mobil pada supir pengganti –yang biasa memarkirkan mobil di hotel berbintang-  lalu turun dari kendaraan.
Tulang dagu tajam, gaya rambut berantakan, dan perawakan tanggung. Semuanya mengarah pada satu individu, “Ji-Jinwoon?”





***



Bora terpaksa membatalkan acara makan malamnya bersama Dasom karena Jinwoon. Lagipula, Ia tak kuasa menolak persuasi dan tampang ‘kau-harus-ikut-denganku-apapun-yang-terjadi’ pria itu. Langit tampak cerah bertabur bintang –yang cukup jarang terjadi- melalui jendela Porsche, sukses menyita fokus Bora sepanjang perjalanan.

“Kemana kita akan pergi?” tanya Bora, membuka pembicaraan. Ia menoleh ke kursi pengemudi dan memperhatikan sudut kanan bibir Jinwoon terangkat ke atas, membentuk seringaian. Sang lawan bicara pun memberi jawaban singkat nan padat, “Kau akan tahu nanti.”

Bora mendengus.

Tanpa berintuisi memutar otaknya demi mendapat jawaban, Bora memilih menikmati angin hangat dari penghangat mobil dan larut dalam melodi merdu John Legend.
And I’m so dizzy I dunno what hit me, but I’ll be alright (John Legend-all of me)




***




Tempat tujuan misterius Jinwoon terungkap sebagai gedung perusahaan mereka sendiri, Orxen modeling. Heran berbaur penasaran merayapi benak, untuk apa mereka kemari? Ia ingin mengajukan protes karena Jinwoon setengah menyeretnya –dengan mencengkeram pergelangan tangannya- berjalan cepat melintasi koridor sunyi nan gelap dan menaiki tangga darurat –karena sudah di atas jam operasional, lift mati.

Bora terengah sembari menapaki satu persatu anak tangga, “Yah, sebenarnya apa yang kita lakukan?”
Jinwoon yang berdiri dua anak tangga di atas Bora pun menoleh, lalu menunjuk sebuah pintu di ujung tangga, tak jauh dari posisi mereka kini. “Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” jawabnya misterius, senyum Jinwoon tampak samar dalam pencahayaan remang-remang. 

Tak lama kemudian, mereka pun tiba di atap gedung. Well, Bora belum pernah menginjakkan kaki kemari sebelumnya. Namun ia yakin bahwa sebuah atap gedung normal, tidak akan terlihat seperti ini.
 
Dilayangkannya pandangan demi mengobservasi keadaan sekeliling. Lampu-lampu mungil –seperti hiasan pohon natal- terpasang pada pagar pembatas, mencetak cahaya kekuningan. Meja kayu bundar beserta dua buah kursi diposisikan di tengah-tengah. Satu lilin besar beraroma lavender berdiri tegak di tengah meja, dimana spaghetti dan wine  tersaji. Tetapi dari semuanya, yang paling menarik perhatian Bora adalah  taburan bunga mawar di lantai atap.

Indah. Menakjubkan. Bora tidak tahu apa yang ia rasakan. Ia mematung seolah lem super dilekatkan pada ujung high heelnya. Jika bukan berkat suara bass Jinwoon, ia pasti tetap begitu hingga bermenit-menit kedepan. 

Hey, noona?” Jinwoon menggoyang-goyangkan sebelah tangan di depan wajah Bora, sukses menyadarkan wanita itu, “Y-ya?”

“Bagaimana pendapatmu tentang tempat ini? Aku mempersiapkan semuanya ketika kau sibuk seharian, ” tanya Jinwoon, lalu tangannya bergerak liar berusaha memamerkan karyanya. Seulas senyum pun merekah lebar dan manik gelapnya berbinar penuh semangat, “Kau terlihat lelah belakangan ini, jadi kupikir aku ingin memberimu sedikit hiburan.” 

“Ini-“ Jeda beberapa detik sebelum Bora menjawab, “-keren. Aku menyukainya.”

“Hanya keren?”

Bora mengulum senyum, merespon kerutan kecewa pada dahi Jinwoon, “Tidak, kok. Ini sangat sangat amat keren.” Ia maju mendekati sang pria dan memberi tepukan pelan di pundak, “Kau sudah bekerja keras.”

Menit-menit berikutnya, kedua orang itu sibuk menyantap spaghetti dan terlena oleh sensasi adiktif wine mahal. Canda tawa mendominasi percakapan, seputar pekerjaan, teman dekat atau hal ringan lain. Denting gelas beresonansi di udara ketika toast dilakukan demi kelancaran karir masing-masing. Segalanya terasa dan terlihat sempurna. 

Hidangan telah tandas dan botol wine nyaris kosong, hitam langit semakin pekat, udara  malam dingin menggigit, tetapi Bora tidak ambil pusing. Beberapa bulan terakhir dilaluinya dengan jerih payah dan duka berkesinambungan, jadi ia memutuskan untuk berbahagia malam ini, meski terdapat suatu  pengganjal pikiran. Ia bertekad mengacuhkannya.

Noona, ada yang ingin kusampaikan padamu.” Kata Jinwoon, menyela topik yang tengah mereka angkat. Bora mengangguk singkat, “Tentu, katakan saja.”

Bora sama sekali tidak menyadari getaran gugup dalam suara Jinwoon, maupun peluh dingin yang membentuk aliran sungai kecil di pelipis pria itu. Tiada satupun prediksi dalam benaknya, mengenai apa yang hendak dikatakan Jinwoon. Berlagak santai, ia –tanpa disadari- mengacuhkan sepasang telapak tangan yang terkatup erat, dengan jemari yang bergerak liar di atas meja bundar, dilanda kegugupan.

Noona, sebenarnya aku-“

Berbanding terbalik dengan sikap Jinwoon, dengan tenang Bora menyeruput winenya, kemudian meletakkan alat minum tersebut di atas meja, menghasilkan bunyi duk lirih yang seolah menggema di telinga Jinwoon, karena terlampau gugup.

Bora mendongak, menatap intens sepasang manik gelap Jinwoon, “Ya?”

“Ak-Aku, kurasa noona, aku-“

Wanita itu menelengkan kepala, mulai heran dengan perilaku aneh Jinwoon, “Em, sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” 

Jiwoon membasahi bibir bawahnya, mencerca kinerja jantung yang mendadak abnormal. Ia lebih dari tahu bahwa kalimat yang terlontar dari bibirnya akan mempengaruhi relasi mereka. Atau bahkan lebih buruk lagi, memberi titik akhir dari pertemuan dan segala keakraban. Bukan tidak mungkin jika setelah pernyataannya nanti, mereka akan beralih menjadi orang asing bagi satu sama lain.
Namun, menciptakan kesempatan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dan kedamaian hati penyandang marga Jung tersebut tidak akan kembali, hingga ia mengeluarkan rasa yang senantiasa mengusik. Maka, setelah memantapkan tekad lalu menghela napas dalam, Jinwoon pun berkata, tanpa jeda mengambil napas, “Noona, aku menyukaimu. Bukan sebagai teman, hoobae, atau CEO. Tetapi sebagai sebagai seorang pria. Maukah kau menerima perasaanku?”




***





Tindakan Changmin malam itu sama sekali tidak diprediksi Yunho. Ia memang menyukai kejutan, namun menginjakkan kaki di tempat tinggalnya ketika tengah malam, secara mendadak muncul di kamarnya, lebih dari cukup untuk memicu adrenalin Yunho. Setidaknya, hingga cahaya lilin yang diletakkan di atas kue tart cokelat terpantul pada visual familiar Changmin, ia sungguh mengira sahabatnya adalah pencuri.
“Selamat ulang tahun, hyung!”
Suara tenor Changmin membuat Yunho menghela napas lega, lalu mencibir kesal, “Kau membuatku terkejut, dasar manusia menyebalkan.”

Kalimat tersebut tentu ditujukan dalam konteks candaan. Lagipula, ia memiliki setumpuk hutang budi pada Changmin. Dia telah menjadi teman bicara terbaik, membantu Yunho melakukan hal-hal dasar ketika ia masih belum beradaptasi menggunakan kruk, rutin mengunjungi apartemen –yang terasa lengang begitu Bora pindah, dan kini merayakan ulang tahunnya saat ia yakin bahwa tiada seorang pun yang repot-repot mengingat hari kelahiranya. Rasa syukurnya terhadap Yunho tak dapat diungkapkan melalui perkataan.

Changmin  tergelak dan mengekori  Yunho menuju ruang makan sederhana, dimana mereka menyantap tart berukuran medium tersebut, serta dua kaleng coke yang telah disiapkan pula oleh Changmin.

Kedua anak manusia itu membunuh waktu dengan celotehan riang. Sementara bentuk orisinil tart –tadinya bulat sempurna- kian berkurang, bahkan kini tinggal separuh bak bulan sabit. Well, selera makan pria memang tidak boleh diremehkan, terutama para pecinta cokelat seperti Yunho.

Paradigma masyarakat mengenai cokelat adalah olahan biji kakao, tetapi jika mendengar kata ‘cokelat’ yang terbayang dalam benak Yunho adalah sosok Bora. Kenangan ketika mereka pergi ke kedai untuk membeli es krim cokelat atau disaat membuat pancake cokelat bersama –walau hasilnya hancur- terukir jelas dalam memorinya.

Detik ini pun, Yunho tidak dapat mengarahkan fokusnya pada rasa manis yang melumer di lidah, maupun cerita Changmin -tentang salah satu klien yang membuat dia naik darah. Benaknya seakan disabotase oleh seorang wanita bernama Yoon Bora. Setiap tahun, ia selalu merayakan hari kelahirannya bersama wanita itu, dengan kue cokelat buatan tangan dan nyanyian merdu bermaksud tulus. Perayaan tahun ini terasa janggal tanpa kehadirannya.

Melalui Changmin sebagai perantara, Ia telah mendengar banyak tentang sang mantan istri. Tentang bagaimana ia menggeluti dunia modeling secara serius dan tinggal seatap bersama Jinwoon. Apakah ia bahagia atau tidak, bagaimana kesibukannya, apakah ia masih larut dalam bayang-bayang masa lalu?

“Apakah kau tidak ingin menghabiskan bagianmu?tanya Changmin seraya menunjuk dua potong kue yang tersisa, sukses membuyarkan lamunan sang hyung.

Yunho menggeleng, kemudian mendongak dan bertemu pandang dengan sahabat yang rela menjadi mata ketiganya –rutin mengiriminya informasi tentang Bora, “Ngomong-ngomong, apa ada hal baru?

Kunyahan Changmin memelan seketika. Diletakkannya garpu di samping piring kecil, ditelannya potongan cake –yang baru dikunyah, lalu barulah ia menjawab dengan berat hati, seolah terdapat beban imajiner pada kedua pundaknya, “Hyung, aku tidak yakin jika kau ingin mendengar ini. Tapi-“

“Katakan saja,” potong Yunho, tegas.

Berbagai hipotesa bermunculan liar dalam kepala Yunho, memicu frustasi serta kekhawatiran luar biasa. Ia merasa bahwa kalimat yang akan meluncur dari bibir sang dongsaeng merupakan hal negatif. Ia hanya mampu mengharapkan ketidaksesuaian antara hipotesanya dan realita.

Tetapi, meskipun telah menyiapkan diri demi probabilitas terburuk, tak urung hatinya hancur berkeping-keping, bagai pecahan gelas kaca yang dilempar dari atap bangunan, begitu mendengar kabar dari Changmin, “Hyung, sekarang Bora berkencan dengan Jinwoon.”



***



Empat bulan telah berlalu sejak pernyataan cinta Jinwoon. Bora ingat, bagaimana ia duduk dengan lidah kelu dan mulut ternganga, sementara otaknya berjuang keras mencerna kata demi kata yang terlontar dari bibir sang pria. Bagaimana dia mengakui timbunan rasa yang sekian lama terpendam dalam relung hati –tepatnya sejak SMA, bagaimana usaha Jinwoon menarik perhatian Bora, atau perjuangannya bersikap natural saat tahu jika Yunho dan Bora berkencan. Segala hal dikisahkannya kepada Bora malam itu.

Bora yang tidak memprediksi akan adanya penggemar rahasia nan setia, memilih duduk diam sembari membuka telinga lebar-lebar. Pada awalnya, ia ragu bahkan menganggap pengakuan Jinwoon sebagai lelucon. Namun kemudian, setelah berpikir lebih lanjut sekaligus menilik masa lalu, ia tidak dapat memungkiri ketulusan Jinwoon, hoobae kekanakan yang selalu mengganggunya, membuatnya tertawa. Melalui sorot intens dari manik kelam Jung Jinwoon malam itu, ia tahu bahwa dia tulus. Dia tidak sedang bermain-main. 

Disaat rembulan merefleksikan cahayanya pada kulit porselen Jinwoon, ia berpikir betapa tampan dan sempurnanya sang CEO. Bora berpikir pula, jika ia memilih untuk hidup bersama pria ini nantinya, apakah ia akan dirundung penyesalan? Ia tidak tahu. Namun satu hal pasti, ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, keluar dari bayang kelam masa lalu.
Bora pun resmi menjadi milik Jung Jinwoon malam itu.


***



Sejak menjadi kekasih Jinwoon, Bora semakin mengenal dan larut dalam sisi penyayang pria itu. Memang, terkadang dia bersikap arogan dan kekanakan –yang mana sukar dihindari sebagai anak dari seorang chaebol. Tetapi Bora menyadari, menghargai usaha Jinwoon untuk membuatnya bahagia. Di sela-sela kesenggangan, Jinwoon pasti akan mengajaknya berkencan, entah ke lotte world, coffee shop, atau restoran italia di dekat gedung perusahaan.

Contohnya saja malam ini. Seusai pemotretan majalah ‘o’ dezign’, Bora bergegas turun menuju tempat parkir studio, lalu menghampiri Porsche merah yang telah menantinya dengan sang pengemudi bernama Jung Jinwoon.

“Kau sudah menunggu lama?” adalah bentuk perhatian Bora, terhadap pria –yang begitu menyadari kehadiran Bora- langsung turun dari kursi pengemudi dan membukakan pintu penumpang bagi wanita itu, layaknya seorang gentleman. Jinwoon tersenyum menanggapi pertanyaan Bora, menggeleng pelan, “Tidak,” tangannya pun  membuat gestur untuk mempersilahkan Bora duduk, “Silahkan, my princess.

Yoon Bora tersipu, menepis tangan kekasihnya, “Jangan bersikap memalukan.”

Belum genap satu menit terhitung, hingga sepasang insan duduk manis di dalam kendaraan mewah Jinwoon. Berdasarkan rencana sang pria, mereka akan mengunjungi kedai es krim baru di daerah Gangnam malam ini. Keduanya merupakan penggemar berat es krim. 

Selama perjalanan, Bora seolah mengalami déjà vu, hanya saja, kali ini ia tidak sedang bersama Yunho melainkan Jinwoon. Saat menolehkan kepala ke kiri, yang dijumpainya bukanlah sosok Yunho, tetapi Jinwoon. Kenapa déjà vu?  Sebab dulu, setiap akhir pekan, ia dan mantan suaminya akan pergi ke kedai es krim. Sama-sama mengendarai mobil, melintasi jalan serupa, bahkan jam yang sama, pukul 10.

Alunan musik yang menyamarkan deru halus mesin mobil pun berjudul sama, yakni lagu favorit mereka berdua. Buah karya perwakilan perasaan mereka berdua, dulu.


I can call your name and I can hold your hand
Is the falling sunlight only shining on me? Can I be this happy?
You call my name and you lean on my shoulder
Is the sky’s sunlight only shining on you? Can you be that dazzling?
So lucky, my love
So lucky to have you
So lucky to be your love, i am. Hmm (EXO- Lucky)

Yoon Bora menghela napas seraya menonaktfikan indra penglihatan, kepalanya disandarkan pada jendela samping.  Mendengarkan lagu tersebut membuat memori yang sempat terpendam temporer, kembali muncul ke permukaan, mengundang perih beradu sesak. 

Bora sadar, seberapapun jauh ia melaju dan berjuang melarikan diri dari masa lalu, ia tidak akan mampu menghapus ukiran permanen nama Jung Yunho dari dinding hatinya. Nama pria itu pernah ada, dan akan selalu ada.



***



Tinggal bersama Jinwon, secara tidak langsung memberinya tanggung jawab untuk mengurus apartemen, yang dengan senang hati Bora lakukan. Toh, ketidakteraturan jadwalnya memberi keleluasaan lebih dibanding Jinwoon.

Begitu menyambut mentari pagi itu, ia pergi ke dapur berniat menyiapkan sarapan. Setelah sekian lama hidup seatap, ia sukses mendeteksi kebiasaan buruk Jinwoon setiap akhir pekan, yakni baru membuka mata saat matahari bersinar di atas kepala manusia. Lebih tepatnya, sekitar pukul 12 siang. Dan oleh sebab itulah, ia memutuskan untuk memasak kimchi soup sebagai sarapan meski jam dinding telah menunjukkan pukul 10.45.

Selain dikaruniai intelegensi cemerlang dan kerupawanan fisik, kemampuan kuliner Yoon Bora pun tidak dapat dipandang sebelah mata. Semasa SMA dulu, ia adalah andalan teman-temannya dalam bidang tata boga. Mereka bahkan menjulukinya sebagai pemilik tangan ajaib, karena bahan apapun yang diolahnya pasti berakhir dengan acungan jempol.

Sembari bersenandung, ia mengeluarkan kimchi dari kulkas lalu mulai menumis bumbu. Aroma menggiurkan dan kepulan asap masakan pun memenuhi dapur modern apartemen. Dibutuhkan sekitar 40 menit hingga kimchi soup buatannya terhidang di atas meja makan, lengkap dengan visual penarik selera. 

Bora baru saja hendak membuat kopi, saat bunyi ding –tanda ada yang membuka kunci pintu apartemen- menggema di dapur. Ia mengernyit heran. Sejauh ingatannya, password apartemen Jinwoon hanya diketahui olehnya dan sang pemilik sendiri.

Lalu… siapa?

Mematuhi insting, Bora melangkah cepat menuju hallway pintu depan. Keterkejutan dan curiga mendominasi ekspresinya, begitu menjumpai sesosok ahjumma berpakaian mewah di sana, berdiri dengan kesan arogan. Lapisan make-up yang menutupi wajahnya sukses membuat wanita berusia 40an itu  tampak lebih muda. Tas hitam bermerek channel berada dalam genggamannya.

Namun bukan hal diatas yang membuat Bora berdiri kaku, seolah kemampuan motoriknya menguap. Melainkan cara sang ahjumma memandang rendah Bora melalui mata sipitnya, dagu runcing yang dinaikkan, serta auranya yang mengintimidasi. Ditambah lagi, fitur wajah –yang entah mengapa- terasa familiar bagi Bora.

Memerangi sikap pengecutnya, Bora mencoba mencairkan atmosfir, “Nu-nuguseyo? (Anda siapa?)”  tanyanya terbata.

Tiada respon dari sang ahjumma selain sorot mata menandingi sinar laser.

Bora menelan ludah, ia baru bermaksud memanggil Jinwoon saat suara bass kekasihnya tertangkap gendang telinga, sontak membuatnya menuju sumber suara, bertatap muka dengan raut kusut dan sepasang manik sayu Jinwoon, “Ada ap-“

Perkataan pria itu menggantung di udara, begitu mengidentifikasi sosok di belakang Bora, “Eomma? Apa yang kau lakukan disini?”




***





Bora memandang gusar sang ahjumma –yang ternyata merupakan ibu Jinwoon- mencicipi sup kimchi buatannya. Bahkan, ketika nyonya Jung mengecap kaldu sup dan mengunyah kimchi, kearoganan terpancar secara dramatis. Layaknya ibu tiri dari dongeng Cinderella. 

Bora tidak habis pikir, bagaimana mungkin dua kepribadian bertolak belakang terikat oleh hubungan darah?

Tanpa disadari, ia menahan napas saat nyonya Jung menelan kimchi, seraya berharap akan adanya kalimat positif meluncur kemudian. Tetapi detik berikutnya, harapan Bora hangus.

“Terlalu asin.” Komentar nyonya Jung, keningnya mengerut.

Bora  menggigit bibir bawahnya, antara malu dan sedikit kesal. Jujur saja, Ibu Jinwoon adalah orang pertama yang tidak meninggalkan pujian setelah mencicipi masakan Bora. Padahal, Bora yakin bahwa rasa kimchinya sudah pas tadi.

Ketiga orang itu makan dalam keheningan, jauh dari definisi nyaman. Bora merasa ia akan tersedak setiap bertemu pandang dengan nyonya Jung. Bahkan, dalam atmosfir seberat itu, gerak peristaltik kerongkongannya seolah terhambat, membuatnya enggan menelan.

Tetapi, segalanya masih berjalan lancar, hingga Ibu Jinwoon bertanya, “Bukannya kau lebih tua dari anakku?” 

Bora tidak tahu mengapa, namun intonasi datar nyonya Jung dan caranya memandang Bora sembari  bertanya, menyakiti harga dirinya. Wanita itu memutuskan untuk melempar senyum tipis, “Ya, dia adalah adik kelasku di SMA dulu.” Jawabnya sopan.

Kemudian, kehangatan familiar mengalir dari tangan kirinya –yang berada- di bawah meja. Ia pun menunduk, mendapati tangan lain yang menggenggam erat miliknya, mencoba menyemangati. Saat menoleh, ia menjumpai visual samping Jinwoon, dengan rahang mengeras dan sorot mata intens. Tanpa sarana kata pun, ia tahu bahwa emosi Jinwoon bergolak. Dia membenci situasi ini, tetapi tidak sanggup membela Bora di hadapan sang Ibu.

Nyonya Jung menyesap kopinya, tenang, “Aku tidak menyangka anakku menyukai daun tua sepertimu,” diletakkannya cangkir kopi di atas meja, lalu mendongak, “Lagipula, kudengar kau sudah bercerai. Lebih baik kau mencari pria sebaya, daripada bermain-main dengan anakku.”

Layaknya anak panah, celaan demi celaan Nyonya Jung menusuk hatinya. Matanya mulai memanas, membentuk kabut tipis pada kedua manik kelam. Sementara cengkeraman tangan Jinwoon berangsur menguat. Ia ingin mengelak, menghindar, bahkan membalas. Tetapi, setiap kata seolah mengetuk kesadarannya. Bahwa mungkin,  Ibu Jinwoon benar adanya.

Eomma, Bora tidak seperti itu.” bela Jinwoon.

Sang Ibu menaikkan alisnya, bak tokoh antagonis dalam drama. Bahkan, dengusannya terdengar merendahkan di telinga Bora, “Apapun alasanmu, aku tidak akan pernah menerima wanita macam ini-” diberinya penekanan pada kalimat terakhir, sembari melirik Bora, “-sebagai bagian dari keluarga kita.”

Kelopak mata Bora semakin berat, terbebani oleh bendungan kecil yang mulai terbentuk. Kerongkongannya tercekat. Dengan susah payah, ia menelan ludah. Ia hendak membuka mulut, merespon argumen tak beralasan yang ditujukan padanya, tetapi lidahnya kelu. Kenapa Ibu Jinwoon bersikap seperti ini terhadapnya? Padahal, baru satu kali mereka berjumpa.

Eomma!” nada Jinwoon naik satu oktaf.

Nyonya Jung tersenyum sinis, lalu mendecakkan lidah, “Aku tidak akan mengijinkan wanita ini menyandang marga keluarga kita. Wanita bekas sepertinya, tidak pantas bersanding denganmu.” Ia berujar, memandang lekat Jinwoon.

Mengacuhkan luapan amarah –yang terpancar- melalui wajah Jinwoon serta ekspresi tersayat Bora, Nyonya Jung bangkit dan meraih tas channelnya. Ketukan sepatu hak tingginya terdengar konstan nan memekakkan, disusul debam pintu apartemen yang ditutup.




***




Jinwoon sadar benar mengenai reputasi keluarganya, yakni kalangan elit, dimana latar belakang dan etika tak bercela menjadi norma utama. Tetapi, kebebasan mutlak di US membuatnya terlena dan lupa diri. 

Semenjak kembali menginjakkan kaki di negeri ginseng, ia melupakan statusnya sebagai anak semata wayang keluarga chaebol, bahwa masa depan tidak berada dalam genggaman tangannya, melainkan orang tua.

Terlampau lalai, ia telah menyakiti hati Yoon Bora. Lagipula, bagaimana mungkin ia berani mencintai wanita itu? Perbedaan status mereka teramat mencolok kini. Jinwoon adalah pria muda, tampan nan kaya. Sementara Bora adalah wanita matang yang telah mencicipi pahit manisnya dunia pernikahan.

Terhitung empat hari sejak insiden makan siang bersama ibunya terjadi. Selama empat hari pulalah, Jinwoon dirundung kegalauan. Sebab semampu mungkin, wanita itu menjaga jarak darinya. Setiap kali melihat batang hidung Jinwoon, Bora pasti mengambil langkah seribu. 

Bora menghindari Jinwoon dan ia membenci situasi ini.

Meskipun sukar, ia masih mampu menahan diri untuk tidak memaksa Bora berbicara dengannya. Jinwoon berusaha memberi kekasihnya kebebasan dan waktu pribadi. Well, ia yakin wanita itu membutuhkan ketenangan demi menjernihkan pikiran.

Dari 24 pilihan jam sehari, Jinwoon merupakan penggemar fajar. Menurutnya, sunrise is the most beautiful and pure thing that ever existed in earth. Subuh menyediakan udara sejuk sarat oksigen, suasana sunyi, serta fenomena matahari terbit. Kesunyian itu sendiri  adalah hal favorit Jinwoon, waktu ketika ia mampu mengkoneksikan hati dan pikiran.

Tetapi, sepucuk surat yang tergeletak di atas tempat tidur Bora pada subuh berikutnya, membuat Jinwoon membenci durasi waktu tersebut. Harapannya luntur, seiring runtuhnya dinding kepercayaan dan kesabaran yang susah payah ia bangun.


Saat kau membaca surat ini, tolong jangan panik. Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin menjernihkan pikiranku. Kau tahulah, banyak yang sedang terjadi. Mungkin, pergi sementara adalah keputusan terbaik. Aku janji aku akan segera kembali, jadi tolong tenang, karena aku baik-baik saja ^^.
Ah, ada satu hal lagi yang ingin kukatakan. Aku tahu kalau tindakanku ini sedikit sangat tidak sopan. Tetapi, kurasa aku tidak akan sanggup mengatakannya secara langsung… Kalau boleh jujur, keputusan ini berat bagiku.

Hanya saja, setelah berpikir lebih jauh, kurasa kita harus putus. Ini tidak ada hubungannya denganmu atau ibumu. Ini hanya… entahlah, kurasa ‘segalanya’ terasa salah. Tolong maafkan aku.
Jinwoon-ah, terimakasih untuk kebaikanmu. Aku berjanji akan membalasnya, suatu hari nanti =) Aku berharap, ketika kita bertemu lagi, aku dapat memandangmu sebagai dongsaeng terbaikku.

Your always caring noona, Yoon Bora.



***




Jinwoon mengacuhkan pesan Bora untuk tidak panik. Faktanya, begitu selesai membaca surat Bora, kontan ia maju teratur. Jinwoon segera mengendarai Porsche merahnya ibarat anak hilang, menjelajahi setiap sudut jantung negeri Korea. Kebisingan klakson serta umpatan para pengguna jalan lain hanya dianggap angin lalu, sebab kadar adrenalinnya terlampau tinggi, beradu khawatir. Otaknya tersita oleh sosok Bora.

Kemana wanita itu pergi? Bagaimana kalau hal buruk menimpanya?

Menjelang malam, keputusasaan menyergap.  Seluruh probabilitas lokasi telah dikunjunginya tanpa membuahkan hasil. Dimulai dari coffee shop, kedai es krim, gedung perusahaan, restoran italia, hingga taman favorit mereka. Batang hidung Bora tidak dijumpainya. Nihil. 

Jemarinya menari liar mengacak helai rambut, kemudian mengusap kasar wajah. Ia frustasi, tidak tahu lagi harus mencari kemana. Dihelanya napas panjang, memejamkan kelopak sejenak –mobilnya diparkir di pinggir jalan- lalu sibuk menimbang dalam hati. 

Sesungguhnya, ada seseorang yang lebih mengenal dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Bora dibandingkan Jinwoon. Sebagai orang yang pernah mendampingi hidup Bora, mungkin dia tahu dimana wanita itu berada sekarang.

Ego sekaligus harga dirinya memang berada di ujung tanduk, siap jatuh menanggung malu. Tetapi saat itu, Bora adalah puncak prioritas.





***




Fajar nyaris menyingsing ketika dering familiar mengusik istirahat malam Yunho, lantang menandingi kesunyian tercipta. Ia pun mengerang kesal, sebelum meraih ponsel yang tergeletak di atas kabinet samping tempat tidur. Kelopaknya masih separuh terpejam, suaranya terdengar serak saat menyapa sang penelepon, “Halo?"

“Yunho-ssi?”
Mendengar suara bass non-familiar dari seberang, sontak keningnya berkerut. Ia mengerjap, kemudian mengambil posisi duduk sembari bersandar pada kepala tempat tidur queen sizenya –yang kini terasa jauh lebih lebar tanpa Bora. Layar sentuh ponsel pun sempat diceknya, hanya untuk mendapatkan sederetan nomor tak dikenal.
Namun, rasa penasarannya gagal terekspresikan, tertunda oleh sahutan tergesa dari seberang, “Tolong jawab aku, apakah benar ini nomor telepon Jung Yunho?”
Kepanikan kental terkandung dalam nada interogatif sang penelepon, yang dengan misterius memacu adrenalin Yunho, mengirim sinyal-sinyal negatif ke otaknya. Entahlah, sesuatu terasa salah. Ia merasa suatu hal buruk akan terjadi. Vibrasi mendominasi suaranya, “Ya, saya adalah Jung Yunho. Ada apa?”

Helaan napas berat terdengar.

“Saya adalah Jung Jinwoon, kekasih- ah, sekarang mantan tetapi-“ sang penelepon berdecak tak sabar, “Ah sudahlah, kau tidak perlu tahu. Yang penting sekarang adalah-” lagi-lagi helaan napas berat, sebelum disambung, “Apakah anda tahu dimana Bora sekarang? Dia menghilang sejak tadi pagi. Saya sudah mencarinya ke seluruh penjuru Seoul, tapi hasilnya nihil. Jadi kalau an-“
Tanpa dikomando maupun mendengarkan penjelasan lebih lanjut, Jinwoon melempar ponselnya ke atas kasur. Secepat kilat pula diraihnya kruk di samping tempat tidur. Kemudian, dengan susah payah dikenakannya mantel hitam dan menyambar kunci mobil, sebelum memacu kemampuan motorik –berjalan- yang tersisa hingga batas maksimal, berkompetisi dengan waktu.

Kantuknya menguap tanpa jejak. Akal sehatnya mogok temporer. Mengacuhkan bahaya berkendara di malam hari dan kondisi fisik yang kurang memadai, diluncurkannya mobil –baru tapi sangat sederhana- menembus kekelaman petang. Bora telah menjajah benaknya malam itu, diiringi kekhawatiran.

Kemana wanita itu pergi? Mengapa? Apa dia baik-baik saja?
Kesadaran menghantam ulu hatinya. Meski ia telah berjuang untuk menghindari, bahkan membuang mantan istrinya jauh-jauh, Ia tahu bahwa tindakannya bodoh dan melawan hati nurani. Faktanya, ia tidak pernah ingin kehilangan Bora. Memandangi dan memperhatikan dia dari jauh saja sudah cukup menyiksa Yunho. Apalagi, jika ia tidak akan pernah melihat wanita itu kembali.
Tidak. Ia tidak akan membiarkan posibilitas tersebut menjadi realita.


***






Bora memilih pesisir pantai –dimana ia dan Yunho pernah menghabiskan bulan madu mereka- sebagai tempat persembunyian sementaranya, sebab hiruk pikuk kota Seoul membuat wanita itu sukar berpikir jernih. Ia ingin melarikan diri, meski hanya sejenak.

Malam telah menyapa dan sinar rembulan merupakan satu-satunya pencahayaan disana. Tanpa menghiraukan udara dingin menusuk tulang, Bora duduk menekuk lutut, beralaskan pasir putih pinggir pantai. Dipejamkannya kelopak mata, sementara indra pendengarannya sibuk menangkap deburan ombak yang saling bertalu-talu membentuk ritme dinamis.

Sangat menenangkan. Hanya ada dirinya, pasir putih, ombak, rembulan, serta taburan bintang malam itu. Diam-diam, Bora tersenyum tipis. Ia teringat bagaimana ia dan Yunho membunuh waktu di tempat ini. Memori dimana mereka saling mengejar dan bermain cipratan air, dimana mereka tertidur saat berbincang-bincang sembari memandang langit, kehangatan pelukannya, segalanya seolah terputar dalam benak Bora bak film layar lebar.

Kalau boleh jujur, hingga detik inipun Bora belum mampu menghapus nama Yunho dari hatinya. Ia telah memberi segalanya bagi sang mantan suami, hati sekaligus perasaannya telah dijarah habis. Jinwoon memang pria baik, namun Bora tidak dapat mencintai pria itu, karena dia bukanlah Jung Yunho.

Bora tidak dapat menggambarkan betapa besar kerinduannya terhadap Yunho. Ia ingin memeluk, menyayangi, dan berada di samping pria itu. Apapun yang terjadi. Tapi mengapa takdir begitu kejam? Kenapa kecelakaan itu harus terjadi? Kenapa Yunho tidak percaya padanya?

Tes.

Setetes buliran bening meluncur bebas, membentuk aliran sungai kecil pada pipi pucatnya. Kekosongan mendominasi perasaan Bora, kemudian beralih menjadi perih dan sesak, seiring dengan aliran sungai yang berangsur deras.

Bora menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan di atas lutut, ia menangis dan menangis. Memang benar kata orang, penyesalan selalu tiba terlambat. Seandainya ia dapat memutar waktu, ia tidak akan pernah meninggalkan pria itu. Ia tidak akan mengambil hati ucapan kasar Yunho. Ia akan selalu berada di sisinya dan membuat Yunho percaya, bahwa hanya ada dirinya di dalam hati Bora.

Entah berapa lama ia menguras persediaan air matanya, hingga penat –fisik dan mental- menguasai tubuh wanita itu. Merasa terlalu letih berjalan kembali ke hotel, Bora memutuskan untuk tidur beralaskan pasir putih dan berselimutkan langit kelam.

Layaknya di masa lampau. 



***


“Yoon-“

“Yoon Bora…”

Suara bariton tersebut menembus gendang telinga Bora, membuatnya terusik dari alam mimpi. Suara itu terdengar lembut, sedikit serak nan familiar. Didorong rasa penasaran mengenai identitas sang pemilik suara, Bora pun mengaktifkan indra penglihatan, perlahan namun pasti –karena masih menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke mata.

Sinar redup mentari fajar merupakan hal pertama yang menyapa Bora, disusul deburan ombak dan kicauan camar. Well, setidaknya begitulah pikirnya, sampai suara bariton tadi kembali tertangkap telinga. “Bora-yah? Kau sudah bangun?” 

Ketika Bora menolehkan kepala menuju sumber suara, sontak manik hitamnya membulat sempurna. Keterkejutan tergambar jelas melalui ekspresi, tubuhnya seolah membeku. Ia mengerjap sekali, dua kali, mencoba membuktikan bahwa ia berada di dimensi nyata, bukan imajiner. Tetapi, situasi di sekitarnya terasa terlampau nyata untuk menjadi khayalan belaka. Bora dapat merasakan buliran kasar pasir di bawah punggungnya serta lembabnya udara subuh.

Segalanya terasa nyata, kecuali sesosok manusia yang duduk di sampingnya, yang tengah memandangnya dengan raut khawatir. Dan setelah beberapa detik disuguhi keheningan semata, dia kembali bertanya, keningnya berkerut dalam, “Bora-yah? Apa kau tidak apa-apa?”

Yoon Bora masih tidak menjawab. Layaknya orang linglung, ia perlahan bangkit dari posisi berbaring –punggungnya lumayan sakit karena tidur di atas pasir- dan membalas ekspresi khawatir sosok tersebut dengan raut bingung. Lebih spesifik lagi, jenis tampang yang akan kau berikan saat kau melihat seseorang yang tidak seharusnya kau lihat.

Merasa diabaikan, sosok itu mengulurkan sebelah tangan –bermaksud menyentuh bahu Bora, mungkin ingin memastikan kalau dia baik-baik saja- tapi gerakan sang wanita lebih tangkas. Dengan kasar, ia menepis tangan Yunho.

Ya, Jung Yunho, mantan suaminya.

Yunho tercengang. Ia sama sekali tidak memprediksi reaksi negatif Bora, yang bertolak belakang dengan senyuman ceria dan sikap hangatnya yang biasa ia terima. Visual rupawan yang berjarak kurang dari 1 meter di sampingnya kini hanya memandangnya kosong. Seakan Yunho terjangkit virus menular.

Keheningan senyap pun menyelimuti atmosfir sepasang mantan insan tersebut, mencekik pernapasan. Keduanya saling melempar isyarat melalui tatapan mata. Yang satu sarat penyesalan, yang satu dipenuhi gurat luka.

“Bora-yah-

“Apa yang kau lakukan disini?” adalah kalimat pertama yang ditujukan Bora terhadap Yunho, setelah berbulan-bulan dijarah kerinduan karena tak mampu berjumpa. Nadanya tajam dan dingin, yang ia gunakan sebagai bendungan penahan luapan emosi. Ia tidak ingin terdengar lemah.

Yunho tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia membunuh aliran detik demi menganalisa pahatan nyaris sempurna wajah Bora. Wajah yang muncul dalam bunga tidurnya, dimana sang pemilik menjadi oknum utama dilema hati Yunho. Dihelanya napas panjang sebelum menjawab, “Jinwoon meneleponku semalam. Dia bilang kau kau kabur dari apartemen. Dia sudah mencarimu kemana-mana, tapi rupanya kau tidak ada di Seoul.”

“Lalu?”

“Lalu dia meneleponku untuk mencarimu.”

“Kenapa kau ingin mencariku? Bukannya kau ingin aku pergi sejauh mungkin darimu? Bukannya kau tidak sudi melihatku lagi?”

Mengungkapkan emosi bukanlah hal mudah bagi Bora. Semenjak dulu, karakteristiknya jauh dari kata ekspresif. Tapi toh, tiada pilihan lain disamping memuntahkan ganjalan di hati. Dadanya terlalu sesak dan perih, mendorong dibongkarnya muatan emosi terpendam. Karena itulah, kata tanya –atau lebih tepatnya- pernyataan di atas diucapkannya dengan susah payah.

Yunho meneguk ludah, “Itu tidak seperti yang kau pikirkan.”

“Kalau kau ingin bersikap sok pahlawan, menganggap hidupku akan lebih baik tanpa harus mengurus seorang pria cacat. Kau salah besar, Jung Yunho,” sinisnya sembari memicingkan mata, “Ini bukan telenovela, roman picisan, atau drama melankolis. Ini adalah realita. Dan tidak ada seorangpun yang bahagia jika orang yang mereka cintai tidak lagi menginginkan mereka.” Bora menarik napas dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Perasaanya bergolak, bercampur aduk antara kesal dan sedih.

“Karena itu-“

“Walaupun kau lumpuh atau buta atau entah bagaimanapun kondisi fisikmu, aku tidak akan bersikap bodoh dan membencimu. Pikiranku tidak sedangkal itu. Perasaanku tidaklah semurah itu. Tapi kau malah bersikeras menyuruhku pergi.” Suaranya bergetar, mulai didominasi kesedihan. Digigitnya bibir bawah, berusaha menahan air mata yang mendesak untuk  melesak, “Aku memang merindukanmu. Tetapi, sekarang, saat kau berdiri di depanku seperti ini, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.” 

Bora menundukkan kepala, membuat buliran Kristal bening meluncur di atas pasir pantai.  Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Ia membenci Yunho karena pria itu mengusirnya pergi. Ia marah. Ia sedih. Tapi di atas segalanya, ia membutuhkan pria itu. Kelabilan emosi dan frustasi yang ia rasakan belakangan, membuat Bora tak mampu mengontrol tangisannya lagi. Ia mulai menangis sesenggukan, dengan mata dan wajah yang masih bengkak karena efek menangis semalaman. Di mata Yunho, Wanita itu tampak teramat rapuh dan menyedihkan.

Tanpa kata, Yunho merengkuh Bora dalam pelukannya –yang dilakukan susah payah karena sukar baginya bergerak dengan kaki lumpuh. Awalnya, Bora menepis tangan Yunho. Namun setelah usahanya yang ketiga, ia memilih pasrah. Toh, sudah berapa lama ia tidak merasakan kehangatan pria itu? Sudah berapa bulan berlalu tanpanya menghirup aroma mint khas Yunho?

Tangisannya semakin gencar.

Tangan hangat yang kini mengusap pelan punggungnya, suara baritone yang berulang kali mengucap lirih kata "maaf”, serta kemeja hitam yang Yunho kenakan, terasa familiar bagi Bora. Ia merasa nyaman. Bak perantau yang menemukan sumber air setelah berhari-hari tersesat di gurun pasir.  

“Tolong maafkan aku, Bora. Aku memang egois, aku bodoh.” 

Tak ada respon. Wanita itu memilih untuk menenggelamkan wajahnya di dada Yunho, yang kini terasa lembab, karena air mata yang membasahi kemeja hitamnya. Seiring berlalunya menit, tangisannya pun memelan. Mungkin, terlampau lelah terus menerus menumpahkan air mata. 

Fakta bahwa Yunho berada di sisinya, memberi ketenangan tak terlukiskan bagi Bora.

Kemudian, Yunho melepas dekapannya dan menangkup wajah Bora. Ditatapnya lekat sepasang manik gelap sang mantan istri, yang –hingga sekarang- membuatnya terpesona, seakan bumi berhenti berotasi. Ia mengusap lembut pipi Bora, tatapan matanya teduh nan dalam saat bertanya, “Kuakui aku salah, aku sangat salah. Maukah kau memaafkanku? Maukah kau kembali padaku?”

Bora tidak menjawab. Ia kehabisan kata-kata. Pertanyaan tak terduga Yunho menghentikan kinerja otak dan jantungnya. 

Yunho menghela napas panjang, sembari diselipkannya helai rambut yang menari liar –karena angin pantai- di belakang telinga Bora, “Aku sungguh menyesal.” Jeda beberapa detik digunakannya untuk menundukkan kepala, lalu kembali mendongak, “Aku berjanji aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku tidak akan mengabaikanmu lagi. Maukah kau kembali padaku?” 

Pria itu terdengar putus asa. Namun melalui perspektif Bora, tidak diperlukan rentetan kata khas pujangga ternama untuk meluluhkan hatinya. Hanya dia. Keberadaan Yunho telah mengkomando hatinya untuk luluh. Memang, tetap diperlukan waktu demi mengobati luka-luka hatinya. Tetapi saat ini, ia tahu bahwa dirinya tidak akan hidup tenang tanpa seorang Jung Yunho. 

Ia tidak akan membiarkan egonya menutupi jalan menuju kebahagiaan.

"Kau berjanji?"

"Aku berjanji."

"Sayangnya, aku tidak akan memaafkanmu."

Tubuh Yunho seolah diguyur seember air es, "Ap-apa?"
 
Bora menggeleng, dipasangnya seulas senyum tipis, “Kenapa aku harus memaafkanmu? Kenapa aku harus kembali padamu? Aku tidak pernah meninggalkanmu.” Jawabnya,

Yunho mengerjap, tampak ragu. "Jadi, kau sudah memaafkanku? Semudah ini?"

“Karena lebih mudah lagi bagiku untuk mencintaimu.”



***


A/N: Heyyoo! Finally, i've updated this fic. I have been so busy and i had so much struggling while trying to finish this fic. Writer's block, they say. Lack of ideas and mood. So, i need to tell you, especially the person who requested this story line, I'M SO SORRY. because the ending is so-uhm, it's honestly a crap ;;. And thank you for everything, i'll appreciate it if you give me feedback! and i want to announce my HIATUS, okay. I'm on my final grade in high school now. So, i need to focus on my study (cieeh).  I hope i'll have the chance to comeback and write again ;;. Ah yeah, i'm planning on taking law for my college major after i graduate from high school. Wish me luck, okay?
 
I have always been enjoying writing. It's my world. Thanks for loving me, giving me the chance to share my hobbies. I love you all <3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar