I Won't Leave [2.2] - END
by Stephcecil
Cast : Jung Yunho, Yoon Bora, Jeong Jinwoon
Lenght : Chaptered || Genre : Marriage Life, Romantic, Angst || Rating : PG
Setelah proses perceraian mencapai titik akhir, Bora
menenggelamkan diri dalam pekerjaan barunya.
Ia memutuskan untuk menyetujui tawaran Yunho tempo lalu, yakni kontrak
temporer C&D. Berkat training singkat, keterampilan
berlenggak-lenggok Bora di atas panggung meningkat drastis, yang mana
mengaburkan imagenya sebagai total
amatiran –hanya bermodal tampang tanpa talenta- begitu ia latihan bersama para
model professional.
Pekan mode diadakan dua minggu kedepan, yang berarti
kesibukan para pekerja di balik layar –desainer, make up artist, dan staff- bertambah. Yoon Bora, sebagai model,
dibanjiri kesibukan pula. Pengukuran pakaian, sepatu, dan belasan gladi resik
memenuhi jadwalnya.
Pada awalnya Bora merasa frustasi, tetapi lama kelamaan, ia
berhasil beradaptasi. Sarapan kilat, makan siang fast food –jika sempat. Sedangkan untuk makan malam, Bora dan
senior-seniornya kerap mengunjungi restoran italia yang terletak satu blok di
dekat flower hall –dimana C&D
fashion week akan diadakan.
“Hey, let’s go grab a
dinner.” Ajak Kim Dasom, salah satu
senior Bora. Dia adalah wanita berdarah campuran Amerika-Korea, dengan kulit
seputih susu, rambut pirang alami, dan tinggi menjulang.
“Okay, wait a minute.”
Bora tersenyum ramah, lalu beranjak mengambil tas channelnya –pemberian Jinwoon. Kedua model pun merajut langkah
keluar gedung flower hall, sembari
berbincang-bincang. Berhubung Dasom merupakan pembicara natural dan berwawasan
luas, mereka nyaris tidak pernah kehabisan topik. Bora menyukai kepribadian
ramah dan rendah hati Dasom, yang tidak berlagak angkuh meski telah menggapai ketenaran.
Lobi depan gedung menghadap pintu utama bermaterialkan kaca
bening, sehingga siapapun yang berada di dalam dapat melihat ke luar, tepatnya
serambi depan dimana para supir taksi terbiasa menurunkan penumpang. Dan dari
situlah Bora melihat Porsche merah
familiar. Ia tidak begitu yakin, namun aktualitas prediksinya terbukti saat
sang pengendara mengalihkan kendali mobil pada supir pengganti –yang biasa
memarkirkan mobil di hotel berbintang-
lalu turun dari kendaraan.
Tulang dagu tajam, gaya rambut
berantakan, dan perawakan tanggung. Semuanya mengarah pada satu individu,
“Ji-Jinwoon?”
***
Bora terpaksa membatalkan acara
makan malamnya bersama Dasom karena Jinwoon. Lagipula, Ia tak kuasa menolak
persuasi dan tampang ‘kau-harus-ikut-denganku-apapun-yang-terjadi’ pria itu. Langit
tampak cerah bertabur bintang –yang cukup jarang terjadi- melalui jendela Porsche, sukses menyita fokus Bora
sepanjang perjalanan.
“Kemana kita akan pergi?” tanya
Bora, membuka pembicaraan. Ia menoleh ke kursi pengemudi dan memperhatikan
sudut kanan bibir Jinwoon terangkat ke atas, membentuk seringaian. Sang lawan
bicara pun memberi jawaban singkat nan padat, “Kau akan tahu nanti.”
Bora mendengus.
Tanpa berintuisi memutar otaknya
demi mendapat jawaban, Bora memilih menikmati angin hangat dari penghangat
mobil dan larut dalam melodi merdu John
Legend.
And I’m so dizzy I dunno what hit me, but I’ll be alright (John Legend-all of me)
***
Tempat tujuan misterius Jinwoon terungkap
sebagai gedung perusahaan mereka sendiri, Orxen
modeling. Heran berbaur penasaran merayapi benak, untuk apa mereka kemari? Ia ingin mengajukan protes karena Jinwoon
setengah menyeretnya –dengan mencengkeram pergelangan tangannya- berjalan cepat
melintasi koridor sunyi nan gelap dan menaiki tangga darurat –karena sudah di
atas jam operasional, lift mati.
Bora terengah sembari menapaki
satu persatu anak tangga, “Yah, sebenarnya
apa yang kita lakukan?”
Jinwoon yang berdiri dua anak
tangga di atas Bora pun menoleh, lalu menunjuk sebuah pintu di ujung tangga,
tak jauh dari posisi mereka kini. “Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” jawabnya
misterius, senyum Jinwoon tampak samar dalam pencahayaan remang-remang.
Tak lama kemudian, mereka pun
tiba di atap gedung. Well, Bora belum
pernah menginjakkan kaki kemari sebelumnya. Namun ia yakin bahwa sebuah atap
gedung normal, tidak akan terlihat
seperti ini.
Dilayangkannya pandangan demi mengobservasi
keadaan sekeliling. Lampu-lampu mungil –seperti hiasan pohon natal- terpasang
pada pagar pembatas, mencetak cahaya kekuningan. Meja kayu bundar beserta dua
buah kursi diposisikan di tengah-tengah. Satu lilin besar beraroma lavender
berdiri tegak di tengah meja, dimana spaghetti
dan wine tersaji. Tetapi dari semuanya, yang paling
menarik perhatian Bora adalah taburan
bunga mawar di lantai atap.
Indah. Menakjubkan. Bora tidak
tahu apa yang ia rasakan. Ia mematung seolah lem super dilekatkan pada ujung high heelnya. Jika bukan berkat suara bass Jinwoon, ia pasti tetap begitu
hingga bermenit-menit kedepan.
“Hey, noona?” Jinwoon menggoyang-goyangkan sebelah tangan di depan
wajah Bora, sukses menyadarkan wanita itu, “Y-ya?”
“Bagaimana pendapatmu tentang
tempat ini? Aku mempersiapkan semuanya ketika kau sibuk seharian, ” tanya
Jinwoon, lalu tangannya bergerak liar berusaha memamerkan karyanya. Seulas
senyum pun merekah lebar dan manik gelapnya berbinar penuh semangat, “Kau
terlihat lelah belakangan ini, jadi kupikir aku ingin memberimu sedikit
hiburan.”
“Ini-“ Jeda beberapa detik
sebelum Bora menjawab, “-keren. Aku menyukainya.”
“Hanya keren?”
Bora mengulum senyum, merespon
kerutan kecewa pada dahi Jinwoon, “Tidak, kok.
Ini sangat sangat amat keren.” Ia maju mendekati sang pria dan memberi
tepukan pelan di pundak, “Kau sudah bekerja keras.”
Menit-menit berikutnya, kedua
orang itu sibuk menyantap spaghetti dan
terlena oleh sensasi adiktif wine mahal.
Canda tawa mendominasi percakapan, seputar pekerjaan, teman dekat atau hal
ringan lain. Denting gelas beresonansi di udara ketika toast dilakukan demi kelancaran karir masing-masing. Segalanya
terasa dan terlihat sempurna.
Hidangan telah tandas dan botol wine nyaris kosong, hitam langit semakin
pekat, udara malam dingin menggigit,
tetapi Bora tidak ambil pusing. Beberapa bulan terakhir dilaluinya dengan jerih
payah dan duka berkesinambungan, jadi ia memutuskan untuk berbahagia malam ini,
meski terdapat suatu pengganjal pikiran.
Ia bertekad mengacuhkannya.
“Noona, ada yang ingin kusampaikan padamu.” Kata Jinwoon, menyela topik
yang tengah mereka angkat. Bora mengangguk singkat, “Tentu, katakan saja.”
Bora sama sekali tidak menyadari
getaran gugup dalam suara Jinwoon, maupun peluh dingin yang membentuk aliran
sungai kecil di pelipis pria itu. Tiada satupun prediksi dalam benaknya,
mengenai apa yang hendak dikatakan Jinwoon. Berlagak santai, ia –tanpa
disadari- mengacuhkan sepasang telapak tangan yang terkatup erat, dengan jemari
yang bergerak liar di atas meja bundar, dilanda kegugupan.
“Noona, sebenarnya aku-“
Berbanding terbalik dengan sikap
Jinwoon, dengan tenang Bora menyeruput winenya,
kemudian meletakkan alat minum tersebut di atas meja, menghasilkan bunyi duk lirih yang seolah menggema di
telinga Jinwoon, karena terlampau gugup.
Bora mendongak, menatap intens
sepasang manik gelap Jinwoon, “Ya?”
“Ak-Aku, kurasa noona, aku-“
Wanita itu menelengkan kepala,
mulai heran dengan perilaku aneh Jinwoon, “Em,
sebenarnya apa yang ingin kau katakan?”
Jiwoon membasahi bibir bawahnya,
mencerca kinerja jantung yang mendadak abnormal. Ia lebih dari tahu bahwa
kalimat yang terlontar dari bibirnya akan mempengaruhi relasi mereka. Atau
bahkan lebih buruk lagi, memberi titik akhir dari pertemuan dan segala
keakraban. Bukan tidak mungkin jika setelah pernyataannya nanti, mereka akan
beralih menjadi orang asing bagi satu sama lain.
Namun, menciptakan kesempatan
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dan kedamaian hati penyandang
marga Jung tersebut tidak akan kembali, hingga ia mengeluarkan rasa yang
senantiasa mengusik. Maka, setelah memantapkan tekad lalu menghela napas dalam,
Jinwoon pun berkata, tanpa jeda mengambil napas, “Noona, aku
menyukaimu. Bukan sebagai teman, hoobae, atau
CEO. Tetapi sebagai sebagai seorang pria. Maukah kau menerima perasaanku?”
***
Tindakan Changmin malam itu sama
sekali tidak diprediksi Yunho. Ia memang menyukai kejutan, namun menginjakkan
kaki di tempat tinggalnya ketika tengah malam, secara mendadak muncul di
kamarnya, lebih dari cukup untuk memicu adrenalin Yunho. Setidaknya, hingga
cahaya lilin yang diletakkan di atas kue tart
cokelat terpantul pada visual familiar Changmin, ia sungguh mengira
sahabatnya adalah pencuri.
“Selamat ulang tahun, hyung!”
Suara tenor Changmin membuat
Yunho menghela napas lega, lalu mencibir kesal, “Kau membuatku terkejut, dasar
manusia menyebalkan.”
Kalimat tersebut tentu ditujukan
dalam konteks candaan. Lagipula, ia memiliki setumpuk hutang budi pada
Changmin. Dia telah menjadi teman bicara terbaik, membantu Yunho melakukan
hal-hal dasar ketika ia masih belum beradaptasi menggunakan kruk, rutin
mengunjungi apartemen –yang terasa lengang begitu Bora pindah, dan kini
merayakan ulang tahunnya saat ia yakin bahwa tiada seorang pun yang repot-repot
mengingat hari kelahiranya. Rasa syukurnya terhadap Yunho tak dapat diungkapkan
melalui perkataan.
Changmin tergelak dan mengekori Yunho menuju ruang makan sederhana, dimana
mereka menyantap tart berukuran
medium tersebut, serta dua kaleng coke yang
telah disiapkan pula oleh Changmin.
Kedua anak manusia itu membunuh
waktu dengan celotehan riang. Sementara bentuk orisinil tart –tadinya bulat sempurna- kian berkurang, bahkan kini tinggal
separuh bak bulan sabit. Well, selera
makan pria memang tidak boleh diremehkan, terutama para pecinta cokelat seperti
Yunho.
Paradigma masyarakat mengenai
cokelat adalah olahan biji kakao, tetapi jika mendengar kata ‘cokelat’ yang
terbayang dalam benak Yunho adalah sosok Bora. Kenangan ketika mereka pergi ke
kedai untuk membeli es krim cokelat atau disaat membuat pancake cokelat bersama
–walau hasilnya hancur- terukir jelas dalam memorinya.
Detik ini pun, Yunho tidak dapat
mengarahkan fokusnya pada rasa manis yang melumer di lidah, maupun cerita
Changmin -tentang salah satu klien yang membuat dia naik darah. Benaknya seakan
disabotase oleh seorang wanita bernama Yoon Bora. Setiap tahun, ia selalu
merayakan hari kelahirannya bersama wanita itu, dengan kue cokelat buatan
tangan dan nyanyian merdu bermaksud tulus. Perayaan tahun ini terasa janggal
tanpa kehadirannya.
Melalui Changmin sebagai
perantara, Ia telah mendengar banyak tentang sang mantan istri. Tentang bagaimana
ia menggeluti dunia modeling secara
serius dan tinggal seatap bersama Jinwoon. Apakah ia bahagia atau tidak,
bagaimana kesibukannya, apakah ia masih larut dalam bayang-bayang masa lalu?
“Apakah kau tidak ingin
menghabiskan bagianmu?” tanya
Changmin seraya menunjuk dua potong kue yang tersisa, sukses membuyarkan
lamunan sang hyung.
Yunho menggeleng, kemudian
mendongak dan bertemu pandang dengan sahabat yang rela menjadi mata ketiganya
–rutin mengiriminya informasi tentang Bora, “Ngomong-ngomong, apa ada hal baru?”
Kunyahan Changmin memelan
seketika. Diletakkannya garpu di samping piring kecil, ditelannya potongan cake –yang baru dikunyah, lalu barulah
ia menjawab dengan berat hati, seolah terdapat beban imajiner pada kedua
pundaknya, “Hyung, aku tidak yakin
jika kau ingin mendengar ini. Tapi-“
“Katakan saja,” potong Yunho,
tegas.
Berbagai hipotesa bermunculan
liar dalam kepala Yunho, memicu frustasi serta kekhawatiran luar biasa. Ia merasa bahwa kalimat yang akan meluncur
dari bibir sang dongsaeng merupakan
hal negatif. Ia hanya mampu mengharapkan ketidaksesuaian antara hipotesanya dan
realita.
Tetapi, meskipun telah menyiapkan
diri demi probabilitas terburuk, tak urung hatinya hancur berkeping-keping, bagai
pecahan gelas kaca yang dilempar dari atap bangunan, begitu mendengar kabar
dari Changmin, “Hyung, sekarang Bora
berkencan dengan Jinwoon.”
***
Empat bulan telah berlalu sejak
pernyataan cinta Jinwoon. Bora ingat, bagaimana ia duduk dengan lidah kelu dan
mulut ternganga, sementara otaknya berjuang keras mencerna kata demi kata yang
terlontar dari bibir sang pria. Bagaimana dia mengakui timbunan rasa yang
sekian lama terpendam dalam relung hati –tepatnya sejak SMA, bagaimana usaha
Jinwoon menarik perhatian Bora, atau perjuangannya bersikap natural saat tahu
jika Yunho dan Bora berkencan. Segala hal dikisahkannya kepada Bora malam itu.
Bora yang tidak memprediksi akan
adanya penggemar rahasia nan setia, memilih duduk diam sembari membuka telinga
lebar-lebar. Pada awalnya, ia ragu bahkan menganggap pengakuan Jinwoon sebagai
lelucon. Namun kemudian, setelah berpikir lebih lanjut sekaligus menilik masa
lalu, ia tidak dapat memungkiri ketulusan Jinwoon, hoobae kekanakan yang selalu mengganggunya, membuatnya tertawa.
Melalui sorot intens dari manik kelam Jung Jinwoon malam itu, ia tahu bahwa dia
tulus. Dia tidak sedang bermain-main.
Disaat rembulan merefleksikan
cahayanya pada kulit porselen Jinwoon, ia berpikir betapa tampan dan
sempurnanya sang CEO. Bora berpikir pula, jika ia memilih untuk hidup bersama
pria ini nantinya, apakah ia akan dirundung penyesalan? Ia tidak tahu. Namun
satu hal pasti, ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, keluar dari bayang kelam
masa lalu.
Bora pun resmi menjadi milik Jung
Jinwoon malam itu.
***
Sejak menjadi kekasih Jinwoon,
Bora semakin mengenal dan larut dalam sisi penyayang pria itu. Memang,
terkadang dia bersikap arogan dan kekanakan –yang mana sukar dihindari sebagai
anak dari seorang chaebol. Tetapi
Bora menyadari, menghargai usaha Jinwoon untuk membuatnya bahagia. Di sela-sela
kesenggangan, Jinwoon pasti akan mengajaknya berkencan, entah ke lotte world, coffee shop, atau restoran
italia di dekat gedung perusahaan.
Contohnya saja malam ini. Seusai
pemotretan majalah ‘o’ dezign’, Bora
bergegas turun menuju tempat parkir studio, lalu menghampiri Porsche merah yang telah menantinya
dengan sang pengemudi bernama Jung Jinwoon.
“Kau sudah menunggu lama?” adalah
bentuk perhatian Bora, terhadap pria –yang begitu menyadari kehadiran Bora-
langsung turun dari kursi pengemudi dan membukakan pintu penumpang bagi wanita
itu, layaknya seorang gentleman.
Jinwoon tersenyum menanggapi pertanyaan Bora, menggeleng pelan, “Tidak,” tangannya
pun membuat gestur untuk mempersilahkan
Bora duduk, “Silahkan, my princess.”
Yoon Bora tersipu, menepis tangan
kekasihnya, “Jangan bersikap memalukan.”
Belum genap satu menit terhitung,
hingga sepasang insan duduk manis di dalam kendaraan mewah Jinwoon. Berdasarkan
rencana sang pria, mereka akan mengunjungi kedai es krim baru di daerah Gangnam
malam ini. Keduanya merupakan penggemar berat es krim.
Selama perjalanan, Bora seolah
mengalami déjà vu, hanya saja, kali
ini ia tidak sedang bersama Yunho melainkan Jinwoon. Saat menolehkan kepala ke
kiri, yang dijumpainya bukanlah sosok Yunho, tetapi Jinwoon. Kenapa déjà vu? Sebab dulu, setiap akhir pekan, ia dan mantan
suaminya akan pergi ke kedai es krim. Sama-sama mengendarai mobil, melintasi
jalan serupa, bahkan jam yang sama, pukul 10.
Alunan musik yang menyamarkan
deru halus mesin mobil pun berjudul sama, yakni lagu favorit mereka berdua.
Buah karya perwakilan perasaan mereka berdua, dulu.
I can call your name and I can hold your hand
Is the falling sunlight only shining on me? Can I be this happy?
You call my name and you lean on my shoulder
Is the sky’s sunlight only shining on you? Can you be that dazzling?
So lucky, my love
So lucky to have you
So lucky to be your love, i am. Hmm (EXO- Lucky)
Yoon Bora menghela napas seraya menonaktfikan indra
penglihatan, kepalanya disandarkan pada jendela samping. Mendengarkan lagu tersebut membuat memori yang
sempat terpendam temporer, kembali muncul ke permukaan, mengundang perih beradu
sesak.
Bora sadar, seberapapun jauh ia melaju dan berjuang
melarikan diri dari masa lalu, ia tidak akan mampu menghapus ukiran permanen
nama Jung Yunho dari dinding hatinya. Nama pria itu pernah ada, dan akan selalu
ada.
***
Tinggal bersama Jinwon, secara tidak langsung memberinya
tanggung jawab untuk mengurus apartemen, yang dengan senang hati Bora lakukan.
Toh, ketidakteraturan jadwalnya memberi keleluasaan lebih dibanding Jinwoon.
Begitu menyambut mentari pagi itu, ia pergi ke dapur berniat
menyiapkan sarapan. Setelah sekian lama hidup seatap, ia sukses mendeteksi
kebiasaan buruk Jinwoon setiap akhir pekan, yakni baru membuka mata saat matahari bersinar di atas
kepala manusia. Lebih tepatnya, sekitar pukul 12 siang. Dan oleh sebab itulah,
ia memutuskan untuk memasak kimchi soup sebagai
sarapan meski jam dinding telah menunjukkan pukul 10.45.
Selain dikaruniai intelegensi cemerlang dan kerupawanan
fisik, kemampuan kuliner Yoon Bora pun tidak dapat dipandang sebelah mata. Semasa
SMA dulu, ia adalah andalan teman-temannya dalam bidang tata boga. Mereka
bahkan menjulukinya sebagai pemilik tangan ajaib, karena bahan apapun yang
diolahnya pasti berakhir dengan acungan jempol.
Sembari bersenandung, ia mengeluarkan kimchi dari kulkas lalu mulai menumis bumbu. Aroma menggiurkan dan
kepulan asap masakan pun memenuhi dapur modern
apartemen. Dibutuhkan sekitar 40 menit hingga kimchi soup buatannya terhidang di atas meja makan, lengkap dengan
visual penarik selera.
Bora baru saja hendak membuat
kopi, saat bunyi ding –tanda ada yang
membuka kunci pintu apartemen- menggema di dapur. Ia mengernyit heran. Sejauh
ingatannya, password apartemen
Jinwoon hanya diketahui olehnya dan sang pemilik sendiri.
Lalu… siapa?
Mematuhi insting, Bora melangkah
cepat menuju hallway pintu depan. Keterkejutan
dan curiga mendominasi ekspresinya, begitu menjumpai sesosok ahjumma berpakaian mewah di sana,
berdiri dengan kesan arogan. Lapisan make-up
yang menutupi wajahnya sukses membuat wanita berusia 40an itu tampak lebih muda. Tas hitam bermerek channel berada dalam genggamannya.
Namun bukan hal diatas yang membuat
Bora berdiri kaku, seolah kemampuan motoriknya menguap. Melainkan cara sang ahjumma memandang rendah Bora melalui
mata sipitnya, dagu runcing yang dinaikkan, serta auranya yang mengintimidasi.
Ditambah lagi, fitur wajah –yang entah mengapa- terasa familiar bagi Bora.
Memerangi sikap pengecutnya, Bora
mencoba mencairkan atmosfir, “Nu-nuguseyo?
(Anda siapa?)” tanyanya terbata.
Tiada respon dari sang ahjumma selain sorot mata menandingi
sinar laser.
Bora menelan ludah, ia baru
bermaksud memanggil Jinwoon saat suara bass
kekasihnya tertangkap gendang telinga, sontak membuatnya menuju sumber
suara, bertatap muka dengan raut kusut dan sepasang manik sayu Jinwoon, “Ada
ap-“
Perkataan pria itu menggantung di
udara, begitu mengidentifikasi sosok di belakang Bora, “Eomma? Apa yang kau lakukan disini?”
***
Bora memandang gusar sang ahjumma –yang ternyata merupakan ibu
Jinwoon- mencicipi sup kimchi buatannya.
Bahkan, ketika nyonya Jung mengecap kaldu sup dan mengunyah kimchi, kearoganan terpancar secara
dramatis. Layaknya ibu tiri dari dongeng Cinderella.
Bora tidak habis pikir, bagaimana
mungkin dua kepribadian bertolak belakang terikat oleh hubungan darah?
Tanpa disadari, ia menahan napas
saat nyonya Jung menelan kimchi, seraya
berharap akan adanya kalimat positif meluncur kemudian. Tetapi detik
berikutnya, harapan Bora hangus.
“Terlalu asin.” Komentar nyonya
Jung, keningnya mengerut.
Bora menggigit bibir bawahnya, antara malu dan
sedikit kesal. Jujur saja, Ibu Jinwoon adalah orang pertama yang tidak
meninggalkan pujian setelah mencicipi masakan Bora. Padahal, Bora yakin bahwa
rasa kimchinya sudah pas tadi.
Ketiga orang itu makan dalam
keheningan, jauh dari definisi nyaman. Bora merasa ia akan tersedak setiap
bertemu pandang dengan nyonya Jung. Bahkan, dalam atmosfir seberat itu, gerak
peristaltik kerongkongannya seolah terhambat, membuatnya enggan menelan.
Tetapi, segalanya masih berjalan
lancar, hingga Ibu Jinwoon bertanya, “Bukannya kau lebih tua dari anakku?”
Bora tidak tahu mengapa, namun
intonasi datar nyonya Jung dan caranya memandang Bora sembari bertanya, menyakiti harga dirinya. Wanita itu memutuskan untuk melempar senyum
tipis, “Ya, dia adalah adik kelasku di SMA dulu.” Jawabnya sopan.
Kemudian, kehangatan familiar mengalir
dari tangan kirinya –yang berada- di bawah meja. Ia pun menunduk, mendapati tangan
lain yang menggenggam erat miliknya, mencoba menyemangati. Saat menoleh, ia
menjumpai visual samping Jinwoon, dengan rahang mengeras dan sorot mata intens.
Tanpa sarana kata pun, ia tahu bahwa emosi Jinwoon bergolak. Dia membenci
situasi ini, tetapi tidak sanggup membela Bora di hadapan sang Ibu.
Nyonya Jung menyesap kopinya,
tenang, “Aku tidak menyangka anakku
menyukai daun tua sepertimu,” diletakkannya cangkir kopi di atas meja, lalu
mendongak, “Lagipula, kudengar kau sudah bercerai. Lebih baik kau mencari pria
sebaya, daripada bermain-main dengan anakku.”
Layaknya anak panah, celaan demi
celaan Nyonya Jung menusuk hatinya. Matanya mulai memanas, membentuk kabut
tipis pada kedua manik kelam. Sementara cengkeraman tangan Jinwoon berangsur
menguat. Ia ingin mengelak, menghindar, bahkan membalas. Tetapi, setiap kata
seolah mengetuk kesadarannya. Bahwa mungkin,
Ibu Jinwoon benar adanya.
“Eomma, Bora tidak seperti itu.” bela Jinwoon.
Sang Ibu menaikkan alisnya, bak
tokoh antagonis dalam drama. Bahkan, dengusannya terdengar merendahkan di
telinga Bora, “Apapun alasanmu, aku tidak akan pernah menerima wanita macam
ini-” diberinya penekanan pada kalimat terakhir, sembari melirik Bora,
“-sebagai bagian dari keluarga kita.”
Kelopak mata Bora semakin berat,
terbebani oleh bendungan kecil yang mulai terbentuk. Kerongkongannya tercekat.
Dengan susah payah, ia menelan ludah. Ia hendak membuka mulut, merespon argumen
tak beralasan yang ditujukan padanya, tetapi lidahnya kelu. Kenapa Ibu Jinwoon
bersikap seperti ini terhadapnya? Padahal, baru satu kali mereka berjumpa.
“Eomma!” nada Jinwoon naik satu oktaf.
Nyonya Jung tersenyum sinis, lalu
mendecakkan lidah, “Aku tidak akan mengijinkan wanita ini menyandang marga keluarga
kita. Wanita bekas sepertinya, tidak
pantas bersanding denganmu.” Ia berujar, memandang lekat Jinwoon.
Mengacuhkan luapan amarah –yang
terpancar- melalui wajah Jinwoon serta ekspresi tersayat Bora, Nyonya Jung
bangkit dan meraih tas channelnya.
Ketukan sepatu hak tingginya terdengar konstan nan memekakkan, disusul debam
pintu apartemen yang ditutup.
***
Jinwoon sadar benar mengenai
reputasi keluarganya, yakni kalangan elit, dimana latar belakang dan etika tak
bercela menjadi norma utama. Tetapi, kebebasan mutlak di US membuatnya terlena
dan lupa diri.
Semenjak kembali menginjakkan
kaki di negeri ginseng, ia melupakan statusnya sebagai anak semata wayang
keluarga chaebol, bahwa masa depan
tidak berada dalam genggaman tangannya, melainkan orang tua.
Terlampau lalai, ia telah
menyakiti hati Yoon Bora. Lagipula, bagaimana mungkin ia berani mencintai
wanita itu? Perbedaan status mereka teramat mencolok kini. Jinwoon adalah pria
muda, tampan nan kaya. Sementara Bora adalah wanita matang yang telah mencicipi
pahit manisnya dunia pernikahan.
Terhitung empat hari sejak
insiden makan siang bersama ibunya terjadi. Selama empat hari pulalah, Jinwoon
dirundung kegalauan. Sebab semampu mungkin, wanita itu menjaga jarak darinya.
Setiap kali melihat batang hidung Jinwoon, Bora pasti mengambil langkah
seribu.
Bora menghindari Jinwoon dan ia
membenci situasi ini.
Meskipun sukar, ia masih mampu
menahan diri untuk tidak memaksa Bora berbicara dengannya. Jinwoon berusaha memberi
kekasihnya kebebasan dan waktu pribadi. Well,
ia yakin wanita itu membutuhkan
ketenangan demi menjernihkan pikiran.
Dari 24 pilihan jam sehari,
Jinwoon merupakan penggemar fajar. Menurutnya, sunrise is the most beautiful and pure thing that ever existed in
earth. Subuh menyediakan udara sejuk sarat oksigen, suasana sunyi, serta
fenomena matahari terbit. Kesunyian itu sendiri adalah hal favorit Jinwoon, waktu ketika ia
mampu mengkoneksikan hati dan pikiran.
Tetapi, sepucuk surat yang
tergeletak di atas tempat tidur Bora pada subuh berikutnya, membuat Jinwoon
membenci durasi waktu tersebut. Harapannya luntur, seiring runtuhnya dinding
kepercayaan dan kesabaran yang susah payah ia bangun.
Saat kau membaca surat ini, tolong jangan panik. Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin menjernihkan pikiranku. Kau tahulah, banyak yang sedang terjadi. Mungkin, pergi sementara adalah keputusan terbaik. Aku janji aku akan segera kembali, jadi tolong tenang, karena aku baik-baik saja ^^.Ah, ada satu hal lagi yang ingin kukatakan. Aku tahu kalau tindakanku inisedikitsangat tidak sopan. Tetapi, kurasa aku tidak akan sanggup mengatakannya secara langsung… Kalau boleh jujur, keputusan ini berat bagiku.
Hanya saja, setelah berpikir lebih jauh, kurasa kita harus putus. Ini tidak ada hubungannya denganmu atau ibumu. Ini hanya… entahlah, kurasa ‘segalanya’ terasa salah. Tolong maafkan aku.Jinwoon-ah, terimakasih untuk kebaikanmu. Aku berjanji akan membalasnya, suatu hari nanti =) Aku berharap, ketika kita bertemu lagi, aku dapat memandangmu sebagai dongsaeng terbaikku.
Your always caring noona, Yoon Bora.
***
Jinwoon mengacuhkan pesan Bora
untuk tidak panik. Faktanya, begitu selesai membaca surat Bora, kontan ia maju
teratur. Jinwoon segera mengendarai Porsche
merahnya ibarat anak hilang, menjelajahi setiap sudut jantung negeri Korea.
Kebisingan klakson serta umpatan para pengguna jalan lain hanya dianggap angin
lalu, sebab kadar adrenalinnya terlampau tinggi, beradu khawatir. Otaknya
tersita oleh sosok Bora.
Kemana wanita itu pergi?
Bagaimana kalau hal buruk menimpanya?
Menjelang malam, keputusasaan
menyergap. Seluruh probabilitas lokasi
telah dikunjunginya tanpa membuahkan hasil. Dimulai dari coffee shop, kedai es krim, gedung perusahaan, restoran italia,
hingga taman favorit mereka. Batang hidung Bora tidak dijumpainya. Nihil.
Jemarinya menari liar mengacak
helai rambut, kemudian mengusap kasar wajah. Ia frustasi, tidak tahu lagi harus
mencari kemana. Dihelanya napas panjang, memejamkan kelopak sejenak –mobilnya
diparkir di pinggir jalan- lalu sibuk menimbang dalam hati.
Sesungguhnya, ada
seseorang yang lebih mengenal dan
menghabiskan lebih banyak waktu
bersama Bora dibandingkan Jinwoon. Sebagai orang yang pernah mendampingi hidup
Bora, mungkin dia tahu dimana wanita
itu berada sekarang.
Ego sekaligus harga dirinya
memang berada di ujung tanduk, siap jatuh menanggung malu. Tetapi saat itu, Bora
adalah puncak prioritas.
***
Fajar nyaris menyingsing ketika dering familiar mengusik istirahat malam Yunho, lantang menandingi kesunyian tercipta. Ia pun mengerang kesal, sebelum meraih ponsel yang tergeletak di atas kabinet samping tempat tidur. Kelopaknya masih separuh terpejam, suaranya terdengar serak saat menyapa sang penelepon, “Halo?"
“Yunho-ssi?”
Helaan napas berat terdengar.
“Saya adalah Jung Jinwoon, kekasih- ah, sekarang mantan tetapi-“ sang penelepon berdecak tak sabar, “Ah sudahlah, kau tidak perlu tahu. Yang penting sekarang adalah-” lagi-lagi helaan napas berat, sebelum disambung, “Apakah anda tahu dimana Bora sekarang? Dia menghilang sejak tadi pagi. Saya sudah mencarinya ke seluruh penjuru Seoul, tapi hasilnya nihil. Jadi kalau an-“
Kantuknya menguap tanpa jejak. Akal sehatnya mogok temporer. Mengacuhkan bahaya berkendara di malam hari dan kondisi fisik yang kurang memadai, diluncurkannya mobil –baru tapi sangat sederhana- menembus kekelaman petang. Bora telah menjajah benaknya malam itu, diiringi kekhawatiran.
Kemana wanita itu pergi? Mengapa? Apa dia baik-baik saja?
Bora memilih pesisir pantai –dimana ia dan Yunho pernah menghabiskan bulan madu mereka- sebagai tempat persembunyian sementaranya, sebab hiruk pikuk kota Seoul membuat wanita itu sukar berpikir jernih. Ia ingin melarikan diri, meski hanya sejenak.
Malam telah menyapa dan sinar rembulan merupakan satu-satunya pencahayaan disana. Tanpa menghiraukan udara dingin menusuk tulang, Bora duduk menekuk lutut, beralaskan pasir putih pinggir pantai. Dipejamkannya kelopak mata, sementara indra pendengarannya sibuk menangkap deburan ombak yang saling bertalu-talu membentuk ritme dinamis.
Sangat menenangkan. Hanya ada dirinya, pasir putih, ombak, rembulan, serta taburan bintang malam itu. Diam-diam, Bora tersenyum tipis. Ia teringat bagaimana ia dan Yunho membunuh waktu di tempat ini. Memori dimana mereka saling mengejar dan bermain cipratan air, dimana mereka tertidur saat berbincang-bincang sembari memandang langit, kehangatan pelukannya, segalanya seolah terputar dalam benak Bora bak film layar lebar.
Kalau boleh jujur, hingga detik inipun Bora belum mampu menghapus nama Yunho dari hatinya. Ia telah memberi segalanya bagi sang mantan suami, hati sekaligus perasaannya telah dijarah habis. Jinwoon memang pria baik, namun Bora tidak dapat mencintai pria itu, karena dia bukanlah Jung Yunho.
Bora tidak dapat menggambarkan betapa besar kerinduannya terhadap Yunho. Ia ingin memeluk, menyayangi, dan berada di samping pria itu. Apapun yang terjadi. Tapi mengapa takdir begitu kejam? Kenapa kecelakaan itu harus terjadi? Kenapa Yunho tidak percaya padanya?
Tes.
Setetes buliran bening meluncur bebas, membentuk aliran sungai kecil pada pipi pucatnya. Kekosongan mendominasi perasaan Bora, kemudian beralih menjadi perih dan sesak, seiring dengan aliran sungai yang berangsur deras.
Bora menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan di atas lutut, ia menangis dan menangis. Memang benar kata orang, penyesalan selalu tiba terlambat. Seandainya ia dapat memutar waktu, ia tidak akan pernah meninggalkan pria itu. Ia tidak akan mengambil hati ucapan kasar Yunho. Ia akan selalu berada di sisinya dan membuat Yunho percaya, bahwa hanya ada dirinya di dalam hati Bora.
Entah berapa lama ia menguras persediaan air matanya, hingga penat –fisik dan mental- menguasai tubuh wanita itu. Merasa terlalu letih berjalan kembali ke hotel, Bora memutuskan untuk tidur beralaskan pasir putih dan berselimutkan langit kelam.
Layaknya di masa lampau.
“Karena lebih
mudah lagi bagiku untuk mencintaimu.”
“Yunho-ssi?”
Mendengar suara bass non-familiar dari seberang, sontak keningnya berkerut. Ia mengerjap, kemudian mengambil posisi duduk sembari bersandar pada kepala tempat tidur queen sizenya –yang kini terasa jauh lebih lebar tanpa Bora. Layar sentuh ponsel pun sempat diceknya, hanya untuk mendapatkan sederetan nomor tak dikenal.
Namun, rasa penasarannya gagal terekspresikan, tertunda oleh sahutan tergesa dari seberang, “Tolong jawab aku, apakah benar ini nomor telepon Jung Yunho?”
Kepanikan kental terkandung dalam nada interogatif sang penelepon, yang dengan misterius memacu adrenalin Yunho, mengirim sinyal-sinyal negatif ke otaknya. Entahlah, sesuatu terasa salah. Ia merasa suatu hal buruk akan terjadi. Vibrasi mendominasi suaranya, “Ya, saya adalah Jung Yunho. Ada apa?”
Helaan napas berat terdengar.
“Saya adalah Jung Jinwoon, kekasih- ah, sekarang mantan tetapi-“ sang penelepon berdecak tak sabar, “Ah sudahlah, kau tidak perlu tahu. Yang penting sekarang adalah-” lagi-lagi helaan napas berat, sebelum disambung, “Apakah anda tahu dimana Bora sekarang? Dia menghilang sejak tadi pagi. Saya sudah mencarinya ke seluruh penjuru Seoul, tapi hasilnya nihil. Jadi kalau an-“
Tanpa dikomando maupun mendengarkan penjelasan lebih lanjut, Jinwoon melempar ponselnya ke atas kasur. Secepat kilat pula diraihnya kruk di samping tempat tidur. Kemudian, dengan susah payah dikenakannya mantel hitam dan menyambar kunci mobil, sebelum memacu kemampuan motorik –berjalan- yang tersisa hingga batas maksimal, berkompetisi dengan waktu.
Kantuknya menguap tanpa jejak. Akal sehatnya mogok temporer. Mengacuhkan bahaya berkendara di malam hari dan kondisi fisik yang kurang memadai, diluncurkannya mobil –baru tapi sangat sederhana- menembus kekelaman petang. Bora telah menjajah benaknya malam itu, diiringi kekhawatiran.
Kemana wanita itu pergi? Mengapa? Apa dia baik-baik saja?
Kesadaran menghantam ulu hatinya. Meski ia telah berjuang untuk menghindari, bahkan membuang mantan istrinya jauh-jauh, Ia tahu bahwa tindakannya bodoh dan melawan hati nurani. Faktanya, ia tidak pernah ingin kehilangan Bora. Memandangi dan memperhatikan dia dari jauh saja sudah cukup menyiksa Yunho. Apalagi, jika ia tidak akan pernah melihat wanita itu kembali.
Tidak. Ia tidak akan membiarkan posibilitas tersebut menjadi realita.
***
Bora memilih pesisir pantai –dimana ia dan Yunho pernah menghabiskan bulan madu mereka- sebagai tempat persembunyian sementaranya, sebab hiruk pikuk kota Seoul membuat wanita itu sukar berpikir jernih. Ia ingin melarikan diri, meski hanya sejenak.
Malam telah menyapa dan sinar rembulan merupakan satu-satunya pencahayaan disana. Tanpa menghiraukan udara dingin menusuk tulang, Bora duduk menekuk lutut, beralaskan pasir putih pinggir pantai. Dipejamkannya kelopak mata, sementara indra pendengarannya sibuk menangkap deburan ombak yang saling bertalu-talu membentuk ritme dinamis.
Sangat menenangkan. Hanya ada dirinya, pasir putih, ombak, rembulan, serta taburan bintang malam itu. Diam-diam, Bora tersenyum tipis. Ia teringat bagaimana ia dan Yunho membunuh waktu di tempat ini. Memori dimana mereka saling mengejar dan bermain cipratan air, dimana mereka tertidur saat berbincang-bincang sembari memandang langit, kehangatan pelukannya, segalanya seolah terputar dalam benak Bora bak film layar lebar.
Kalau boleh jujur, hingga detik inipun Bora belum mampu menghapus nama Yunho dari hatinya. Ia telah memberi segalanya bagi sang mantan suami, hati sekaligus perasaannya telah dijarah habis. Jinwoon memang pria baik, namun Bora tidak dapat mencintai pria itu, karena dia bukanlah Jung Yunho.
Bora tidak dapat menggambarkan betapa besar kerinduannya terhadap Yunho. Ia ingin memeluk, menyayangi, dan berada di samping pria itu. Apapun yang terjadi. Tapi mengapa takdir begitu kejam? Kenapa kecelakaan itu harus terjadi? Kenapa Yunho tidak percaya padanya?
Tes.
Setetes buliran bening meluncur bebas, membentuk aliran sungai kecil pada pipi pucatnya. Kekosongan mendominasi perasaan Bora, kemudian beralih menjadi perih dan sesak, seiring dengan aliran sungai yang berangsur deras.
Bora menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan di atas lutut, ia menangis dan menangis. Memang benar kata orang, penyesalan selalu tiba terlambat. Seandainya ia dapat memutar waktu, ia tidak akan pernah meninggalkan pria itu. Ia tidak akan mengambil hati ucapan kasar Yunho. Ia akan selalu berada di sisinya dan membuat Yunho percaya, bahwa hanya ada dirinya di dalam hati Bora.
Entah berapa lama ia menguras persediaan air matanya, hingga penat –fisik dan mental- menguasai tubuh wanita itu. Merasa terlalu letih berjalan kembali ke hotel, Bora memutuskan untuk tidur beralaskan pasir putih dan berselimutkan langit kelam.
Layaknya di masa lampau.
***
“Yoon-“
“Yoon Bora…”
Suara bariton tersebut menembus gendang telinga Bora,
membuatnya terusik dari alam mimpi. Suara itu terdengar lembut, sedikit serak
nan familiar. Didorong rasa penasaran mengenai identitas sang pemilik suara,
Bora pun mengaktifkan indra penglihatan, perlahan namun pasti –karena masih
menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke mata.
Sinar redup mentari fajar merupakan hal pertama yang menyapa
Bora, disusul deburan ombak dan kicauan camar. Well, setidaknya begitulah pikirnya, sampai suara bariton tadi
kembali tertangkap telinga. “Bora-yah?
Kau sudah bangun?”
Ketika Bora menolehkan kepala menuju sumber suara, sontak manik
hitamnya membulat sempurna. Keterkejutan tergambar jelas melalui ekspresi,
tubuhnya seolah membeku. Ia mengerjap sekali, dua kali, mencoba membuktikan
bahwa ia berada di dimensi nyata, bukan imajiner. Tetapi, situasi di sekitarnya
terasa terlampau nyata untuk menjadi
khayalan belaka. Bora dapat merasakan buliran kasar pasir di bawah punggungnya
serta lembabnya udara subuh.
Segalanya terasa
nyata, kecuali sesosok manusia yang duduk di sampingnya, yang tengah
memandangnya dengan raut khawatir. Dan setelah beberapa detik disuguhi
keheningan semata, dia kembali
bertanya, keningnya berkerut dalam, “Bora-yah?
Apa kau tidak apa-apa?”
Yoon Bora masih tidak menjawab. Layaknya orang linglung, ia
perlahan bangkit dari posisi berbaring –punggungnya lumayan sakit karena tidur
di atas pasir- dan membalas ekspresi khawatir sosok tersebut dengan raut
bingung. Lebih spesifik lagi, jenis tampang yang akan kau berikan saat kau melihat
seseorang yang tidak seharusnya kau
lihat.
Merasa diabaikan, sosok itu mengulurkan sebelah tangan
–bermaksud menyentuh bahu Bora, mungkin ingin memastikan kalau dia baik-baik
saja- tapi gerakan sang wanita lebih tangkas. Dengan kasar, ia menepis tangan
Yunho.
Ya, Jung Yunho,
mantan suaminya.
Yunho tercengang. Ia sama sekali
tidak memprediksi reaksi negatif Bora, yang bertolak belakang dengan senyuman
ceria dan sikap hangatnya yang biasa ia terima. Visual rupawan yang berjarak kurang dari 1 meter di
sampingnya kini hanya memandangnya kosong. Seakan Yunho terjangkit virus
menular.
Keheningan senyap pun menyelimuti
atmosfir sepasang mantan insan tersebut, mencekik pernapasan. Keduanya saling
melempar isyarat melalui tatapan mata. Yang satu sarat penyesalan, yang satu
dipenuhi gurat luka.
“Bora-yah-“
“Apa yang kau lakukan disini?”
adalah kalimat pertama yang ditujukan Bora terhadap Yunho, setelah
berbulan-bulan dijarah kerinduan karena tak mampu berjumpa. Nadanya tajam dan
dingin, yang ia gunakan sebagai bendungan penahan luapan emosi. Ia tidak ingin
terdengar lemah.
Yunho tidak langsung menjawab.
Sebaliknya, ia membunuh aliran detik demi menganalisa pahatan nyaris sempurna
wajah Bora. Wajah yang muncul dalam bunga tidurnya, dimana sang pemilik menjadi
oknum utama dilema hati Yunho. Dihelanya napas panjang sebelum menjawab,
“Jinwoon meneleponku semalam. Dia bilang kau kau kabur dari apartemen. Dia
sudah mencarimu kemana-mana, tapi rupanya kau tidak ada di Seoul.”
“Lalu?”
“Lalu dia meneleponku untuk
mencarimu.”
“Kenapa kau ingin mencariku?
Bukannya kau ingin aku pergi sejauh mungkin darimu? Bukannya kau tidak sudi
melihatku lagi?”
Mengungkapkan emosi bukanlah hal
mudah bagi Bora. Semenjak dulu, karakteristiknya jauh dari kata ekspresif. Tapi
toh, tiada pilihan lain disamping memuntahkan ganjalan di hati. Dadanya terlalu
sesak dan perih, mendorong dibongkarnya muatan emosi terpendam. Karena itulah,
kata tanya –atau lebih tepatnya- pernyataan di atas diucapkannya dengan susah
payah.
Yunho meneguk ludah, “Itu tidak
seperti yang kau pikirkan.”
“Kalau kau ingin bersikap sok
pahlawan, menganggap hidupku akan lebih baik tanpa harus mengurus seorang pria
cacat. Kau salah besar, Jung Yunho,” sinisnya sembari memicingkan mata, “Ini
bukan telenovela, roman picisan, atau drama melankolis. Ini adalah realita. Dan tidak ada seorangpun yang
bahagia jika orang yang mereka cintai tidak lagi menginginkan mereka.” Bora
menarik napas dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Perasaanya bergolak, bercampur
aduk antara kesal dan sedih.
“Karena itu-“
“Walaupun kau lumpuh atau buta
atau entah bagaimanapun kondisi fisikmu, aku tidak akan bersikap bodoh dan
membencimu. Pikiranku tidak sedangkal itu. Perasaanku tidaklah semurah itu. Tapi kau malah bersikeras menyuruhku pergi.” Suaranya bergetar, mulai didominasi
kesedihan. Digigitnya bibir bawah, berusaha menahan air mata yang
mendesak untuk melesak, “Aku memang merindukanmu. Tetapi, sekarang, saat kau berdiri di depanku seperti ini, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.”
Bora menundukkan kepala, membuat
buliran Kristal bening meluncur di atas pasir pantai. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Ia
membenci Yunho karena pria itu mengusirnya pergi. Ia marah. Ia sedih. Tapi di
atas segalanya, ia membutuhkan pria
itu. Kelabilan emosi dan frustasi yang ia rasakan belakangan, membuat Bora tak
mampu mengontrol tangisannya lagi. Ia mulai menangis sesenggukan, dengan mata
dan wajah yang masih bengkak karena efek menangis semalaman. Di mata Yunho, Wanita
itu tampak teramat rapuh dan menyedihkan.
Tanpa kata, Yunho merengkuh Bora
dalam pelukannya –yang dilakukan susah payah karena sukar baginya bergerak
dengan kaki lumpuh. Awalnya, Bora menepis tangan Yunho. Namun setelah usahanya
yang ketiga, ia memilih pasrah. Toh, sudah berapa lama ia tidak merasakan
kehangatan pria itu? Sudah berapa bulan berlalu tanpanya menghirup aroma mint khas Yunho?
Tangisannya semakin gencar.
Tangan hangat yang kini mengusap
pelan punggungnya, suara baritone yang berulang kali mengucap lirih kata "maaf”, serta kemeja hitam yang Yunho kenakan,
terasa familiar bagi Bora. Ia merasa nyaman. Bak perantau yang menemukan sumber
air setelah berhari-hari tersesat di gurun pasir.
“Tolong maafkan aku, Bora. Aku
memang egois, aku bodoh.”
Tak ada respon. Wanita itu
memilih untuk menenggelamkan wajahnya di dada Yunho, yang kini terasa lembab,
karena air mata yang membasahi kemeja hitamnya. Seiring berlalunya menit,
tangisannya pun memelan. Mungkin, terlampau lelah terus menerus menumpahkan air
mata.
Fakta bahwa Yunho berada di
sisinya, memberi ketenangan tak terlukiskan bagi Bora.
Kemudian, Yunho melepas
dekapannya dan menangkup wajah Bora. Ditatapnya lekat sepasang manik gelap sang
mantan istri, yang –hingga sekarang- membuatnya terpesona, seakan bumi berhenti
berotasi. Ia mengusap lembut pipi Bora, tatapan matanya teduh nan dalam saat
bertanya, “Kuakui aku salah, aku sangat salah. Maukah kau memaafkanku? Maukah kau kembali padaku?”
Bora tidak menjawab. Ia kehabisan
kata-kata. Pertanyaan tak terduga Yunho menghentikan kinerja otak dan
jantungnya.
Yunho menghela napas panjang,
sembari diselipkannya helai rambut yang menari liar –karena angin pantai- di
belakang telinga Bora, “Aku sungguh menyesal.” Jeda beberapa detik digunakannya
untuk menundukkan kepala, lalu kembali mendongak, “Aku berjanji aku tidak akan
meninggalkanmu lagi. Aku tidak akan mengabaikanmu lagi. Maukah kau kembali
padaku?”
Pria itu terdengar putus asa. Namun melalui
perspektif Bora, tidak diperlukan rentetan kata khas pujangga ternama untuk
meluluhkan hatinya. Hanya dia. Keberadaan
Yunho telah mengkomando hatinya untuk luluh. Memang, tetap diperlukan waktu demi mengobati luka-luka hatinya.
Tetapi saat ini, ia tahu bahwa dirinya tidak akan hidup tenang tanpa seorang
Jung Yunho.
Ia tidak akan membiarkan egonya menutupi jalan menuju kebahagiaan.
"Kau berjanji?"
"Aku berjanji."
"Sayangnya, aku tidak akan memaafkanmu."
Tubuh Yunho seolah diguyur seember air es, "Ap-apa?"
Bora menggeleng, dipasangnya seulas senyum tipis, “Kenapa aku harus memaafkanmu? Kenapa aku harus kembali padamu? Aku tidak pernah meninggalkanmu.” Jawabnya,
Yunho mengerjap, tampak ragu. "Jadi, kau sudah memaafkanku? Semudah ini?"
***
A/N: Heyyoo! Finally, i've updated this fic. I have been so busy and i had so much struggling while trying to finish this fic. Writer's block, they say. Lack of ideas and mood. So, i need to tell you, especially the person who requested this story line, I'M SO SORRY. because the ending is so-uhm, it's honestly a crap ;;. And thank you for everything, i'll appreciate it if you give me feedback! and i want to announce my HIATUS, okay. I'm on my final grade in high school now. So, i need to focus on my study (cieeh). I hope i'll have the chance to comeback and write again ;;. Ah yeah, i'm planning on taking law for my college major after i graduate from high school. Wish me luck, okay?
I have always been enjoying writing. It's my world. Thanks for loving me, giving me the chance to share my hobbies. I love you all <3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar