ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Rabu, 19 Agustus 2015

I Won't Leave [2.1]



  I Won't Leave [2.1]

by  Stephcecil
Cast : Jung Yunho, Yoon Bora, Jeong Jinwoon
Lenght : Chaptered || Genre : Marriage Life, Romantic, Angst || Rating : PG
Disclaimer : The cast isn't mine, story line requested by @meydina.






***





“Kau masih saja memanggilku oppa, huh?”

Jung Jinwoon memasang seringai jenaka, memamerkan binar jahil nan kekanakan pada manik gelapnya. Tangannya –termasuk besar untuk ukuran pria- sibuk mengaduk Americano. Pria cerdas berdompet tebal di seberang Bora ini merupakan mantan hoobaenya semasa SMA.

Bagi orang yang tidak tahu-menahu mengenai kisah mereka, pastilah panggilan ‘oppa’ yang digunakan Bora terhadap Jinwoon terdengar aneh, berhubung Jinwoon lebih muda satu tahun. Namun tidak bagi sepasang teman akrab tersebut, dimana Bora pernah kalah taruhan dan terpaksa memanggil Jinwoon ‘oppa’ hingga mereka lulus SMA, dan konsekuensi tersebut beralih menjadi kebiasaan.

Bora mendengus, lalu menyeruput frappucinonya. Walaupun ia hanya mengenakan bedak tipis dan lipgloss bening, kecantikan wanita itu tampak menonjol. Rambut kecoklatannya tergerai sepunggung, bergelombang alami, sedikit berantakan karena seharian berjalan kesana-kemari.

Eish, taruhan konyol itu-“ Bora memutar mata, berlagak jengah, “Anyway, bagaimana kabarmu sekarang? Terakhir kali kita bertemu saat-“

“-saat kau menikah dengan Yunho hyung.” Sela Jinwoon.

“Ah- kau benar.”

Beberapa menit berikutnya, keheningan melingkupi atmosfir di sana. Masing-masing sibuk memainkan hipotesis dalam benak dengan cangkir kopi di tangan, sesekali menyeruputnya. Percakapan ringan pelanggan lain, alunan musik pop, serta pelayan yang berlalu lalang menjadi latar belakang. Warna hitam-putih mendominasi coffee shop yang mereka datangi, didesain classy-modern.

Jinwoon bukanlah penikmat kesunyian, menilik karakternya yang cenderung aktif bak remaja berdarah panas –meski telah berusia 20 lebih sedikit. Seringai khasnya kembali muncul saat ia membuka suara, “Kau tahu, setelah lama tak melihatmu, kau menjadi semakin cantik, noona.”

Bora –lagi-lagi- mendengus.

“Apa yang kau lakukan sekarang? Masih melalang buana dan menghabiskan uang orang tuamu, huh?

Aigoo-“ sang lawan bicara mendecakkan lidah, sembari melipat lengan dada di depan dada dan bersandar pada sandaran empuk kursi. “Noona, meski kuakui aku masih suka bertingkah kekanakan-“ ia berdehem, “Tapi aku tidak sama seperti dulu.”

Bora meraih cangkir kopinya, dan mengernyit begitu mendapati isi yang telah tandas. Ia sama sekali tidak sadar bahwa ia minum begitu cepat. Well, mengingat kadar stressnya belakangan, wajar jika ia mengonsumsi lebih banyak kafein.

Ia pun melambaikan tangan pada pelayan dan memesan black coffee untuk ronde kedua, barulah kemudian menoleh pada Jinwoon –yang sedikit merasa terabaikan, “Maaf, kau bilang apa barusan?”

Jinwoon menghela napas, “Intinya, sekarang aku adalah CEO dari agensi modeling. Meski tidak banyak yang kulakukan, mengingat kalau orangtuakulah yang memberiku posisi itu,” dikedikkannya bahu.

“Oh, jadi begitu.”

Jinwoon mengamati wanita rupawan itu memilin jenuh rambutnya, sebuah gerakan sederhana namun tampak luar biasa anggun. Bahkan, Jinwoon mendapati, hanya segelintir model di agensinya yang memiliki keanggunaan natural seperti Bora.

Mungkin ia memang tidak mewarisi darah bisnis dari ayahnya, atau insting pencari bakat seperti ibunya. Namun katakanlah, ada sesuatu yang menggelitiki benak Jinwoon, dan mendorong ia mengatakan, “Noona, kau ingin menjadi model di agensiku?”





*** 





Move. Pose. Expression.

Tiga hal diatas berulang kali dilakukan oleh model amatir, yang tengah unjuk kebolehan di depan kamera. Meski belum memiliki ‘jam terbang’, sang model sama sekali tak tampak canggung. Di sisi lain, pakaian modis desainer ternama –dress pink selutut berbahan sutra- melekat sempurna di tubuh proporsionalnya, membuat fotografer tersenyum puas. Well, ada beberapa orang dengan bakat natural, dan mungkin, Yoon Bora merupakan salah satunya.

Lipstick pink tua memoles bibir mungil Bora, dipadu eyeshadow ungu kemerahan dan beberapa perias dasar lain, sementara rambutnya disanggul modern dengan jepit mawar di puncak, menonjolkan kerupawanan wanita itu.

Bora tersenyum lega saat fotografer menurunkan kameranya, lalu berkata dengan nada ceria, “.. Okay, done! Good job everyone!”

Sebagai pendatang baru, sudah sewajarnya jika Bora berlaku sopan dan –sebagai formalitas- membantu staff di set, entah berbenah atau hal lain. Ia baru saja berniat membantu seorang make-up artist membereskan peralatannya, ketika visual familiar memasuki studio.

Eh? Jinwoon-ah!”

Jeong Jinwoon mendongak pada sumber suara, keterkejutan –lebih ke kagum- mendominasi ekspresinya beberapa detik saat mendapati Bora yang terlihat berbeda, lebih cantik nan memukau. Bahkan dia sempat berpikir, bahwa tidak seorangpun lelaki normal yang akan menolak Bora, dengan penampilannya sekarang.

Jinwoon tersenyum lebar –seiring munculnya binar jenaka pada kedua manik gelap pria itu- kemudian melambai antusias ke arah Yoon Bora, yang segera berlari kecil menghampirinya.

“Sudah selesai? Bagaimana? Apa noona merasa kesulitan?”

Bora menggeleng cepat, menggaruk canggung tengkuknya, “Ah, yeah… aku baru saja selesai,” ibu jarinya menunjuk melewati bahu, ke arah staff yang sibuk membereskan lokasi pemotretan, “semuanya berjalan baik. Tidak ada kesulitan.”

Jinwoon menepuk lembut pundak Bora, sebelum setengah menyeret wanita itu pergi, “Kajja, aku akan mengantar noona pulang.”




 ***






Jinwoon bersikeras mengantar Bora pulang , karena berbahaya baginya untuk pulang sendiri larut malam, yang diterima Bora dengan senang hati –sekaligus menghemat tarif taksi. Selama perjalanan, mereka membahas kenangan manis semasa SMA, dimana kedua anak manusia itu saling bercanda khas sunbae-dongsaeng, amukan Bora ketika sang wakil sekertaris –Jinwoon- yang kerap menghilang ketika rapat OSIS, serta hal lain yang mencetak memori indah dalam benak masing-masing.

Semuanya terasa menyenangkan hingga Jinwoon mengangkat sebuah topik sensitif, “Em, bagaimana kabar hyung?”

Bora tertegun, tidak langsung menjawab –atau lebih tepatnya, tidak tahu harus memberi jawaban macam apa. Sementara di sisi lain, Jinwoon yang tidak tahu-menahu kondisi rumah tangga mantan sunbaenya itu, kembali bertanya riang, “Noona? Apa kau tidak mendengarku?”

“Eh?”

Jinwoon tersenyum tipis, “Ani, aku hanya penasaran dengan kabar hyung. Kau tahu, kan, kalau aku baru pulang dari US? Kalau saja kita tidak kebetulan bertemu di coffee shop, pasti kita masih lost contact sampai sekarang.”

Berbanding terbalik dengan sikap ceria sang lawan bicara, Bora semakin tenggelam dalam pemikirannya. Haruskah ia menceritakan segalanya pada Jinwoon? Kira-kira seperti apa reaksi yang akan diberikannya nanti?

Noona?”

Bora merasa enggan, entah karena ia malu atas kondisinya kini, atau takut akan perubahan sikap Jinwoon. Selain dikhianati, Bora paling benci dikasihani. Ia adalah wanita kuat, dan tidak ada yang akan mengubah hal itu.

Tetapi, ini tidak seperti ia mampu mengubah realita, fakta, kenyataan yang terpampang jelas di hadapannya. Kalaupun dapat, sampai kapankah ia akan terengah, melarikan diri demi melindungi ego? Sebab kebohongan yang ditutupi sesempurna apapun, pada akhirnya pasti terkuak.

Dengan berbagai paradigma berkecamuk, sekaligus rasa takut yang ia kesampingkan, Bora menjawab sesantai mungkin, “Yunho kecelakaan, dia tidak bisa berjalan lagi sekarang,” ia menoleh, melempar senyum terpaksa, “Tapi kau tidak perlu khawatir, kami baik-baik saja.”

Sebagai reaksi, ekspresi syok –alis yang terangkat, mata membulat- menguasai wajah Jinwoon selama beberapa detik. Namun ia segera menguasai diri, berdehem, kemudian bersikap setenang mungkin, seakan jawaban Bora sama sekali tak mempengaruhinya.

Jinwoon yang sama sekali tak menduga jika ‘topik ringan’ tadi ternyata mampu mengubah atmosir dalam mobil, berinisiatif menyalakan musik demi mencairkan suasana. Dengan lagak canggung, ia mengaktifkan mp3 player, disusul oleh alunan musik pop lawas –yang merupakan favorit Bora.

Perkataan final yang digunakan Jinwoon untuk menutup percakapan sensitif malam itu adalah, “Oh, jadi begitu.”





***







Yunho mengernyit, sedikit terkejut mengamati visual Bora malam itu. Bagaimana tidak? sang istri pulang mengenakan riasan lengkap, rambut tertata, dan night dress hitam berpunggung terbuka dengan panjang di atas lutut. Terlebih lagi, jarum jam telah melewati puncak malam ketika Bora menginjakkan kaki di apartemen sederhana mereka.

Tanpa berminat membuka percakapan berbelit, Yunho menutup buku yang dibacanya tadi -sembari membunuh waktu menunggu Bora. Pun nadanya terdengar tajam menembus detak jam dinding dan ketukan hak tinggi sang istri, “Darimana saja kau?”

Bora –yang juga terkejut karena menduga suaminya sudah pulas- sontak menoleh, “Eh?”

Yunho menatap istrinya terang-terangan, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sementara kecurigaan ‘tak beralasan’ nya semakin menjadi, mencoba membutakan Yunho.

Di sisi lain, Bora mencoba bersikap setenang mungkin. Tanpa mengganti pakaian lebih dulu, wanita muda itu duduk di tempat tidur, di samping Yunho, “Jangan salah paham.”

Yunho tak bergeming, pandangannya mengeras menuntut penjelasan.

Bora menghela napas, “Sebenarnya kemarin aku bertemu Jinwoon, kau tahu dia kan? Hoobae kita semasa SMA dulu,” ia tersenyum canggung, “aku sangat terkejut saat tahu dia memutuskan menggunakan peluang kerja dari ayah chaebolnya dan menjadi CEO agensi modeling. Well yeah, agensi itu cukup terkenal, dan kurasa tidak ada salahnya kalau-“

“-kalau kau bekerja disana, mengumpulkan uang sekaligus merayu pria-pria muda.” Potong Yunho, sinis.

Tuduhan kasar itu membuat nyeri dada Bora, yang tak memprediksi jika kalimat pedas akan ditujukan padanya, oleh suaminya sendiri. Meskipun begitu, Bora menolak bersikap lemah –apalagi menangis- dan memilih untuk membalas kalimat tak berperasaan Yunho dengan lagak santai, “Aigoo, bisa-bisanya kau berpikir seperti itu?” dilebarkannya senyum palsu, jemarinya menari menelusuri tulang pipi Yunho, “Aku sudah memilikimu, untuk apa aku merayu para bocah ingusan? Hmm?”

Yunho menepis tangan Bora, mendengus.

“Terserah.”

Dingin.

Kehangatan senyaman perapian di pertengahan musim dingin tidak lagi terasa dalam sikap, ekspresi, maupun perkataan seorang Jung Yunho. Senyuman secerah mentari, telah lenyap seiring binar ambisius dalam manik beningnya. Dan Bora, lebih dari sadar akan perubahan negatif tersebut.

Selama beberapa detik, ia terhenyak, terdiam di tempat. Perlahan namun pasti, senyum sarat kepalsuan tadi lenyap tak bersisa, bahunya turun pula, bak anjing peliharaan yang berhenti mengibaskan ekornya. Pandangannya mengikuti gerak-gerik Yunho, yang kini tengah berbaring membelakangi Bora.

Walaupun bukan ia yang menjadi korban tragedi, bukan Ia yang kehilangan kemampuan berjalan, namun Yoon Bora lebih dari tahu tentang penderitaan Yunho. Ia turut merasakan keputusasaan belahan jiwanya itu, ketika kehidupan Yunho runtuh bagai bangunan mewah berfondasi lemah.

Ia bersedia, dan akan akan selalu berada di sisi Yunho, mengulurkan tangan bagi pria itu untuk bangkit kembali. Untuk berdiri tegak di antara reruntuhan puing bangunan.

Tapi apakah ia sanggup? Apakah ia mampu bertahan jika Yunho terus mendorongnya pergi? Terus mencoba menyingkirkan Bora? Membuat Ia merasa teracuhkan dan tak berharga?

Malam itu, ketika Bora mengulurkan tangannya –berniat mengelus puncak kepala Yunho- indra pendengarannya menangkap kalimat tabu nan fatal yang mampu menghancurkan benteng pertahanan Bora. Kalimat yang mampu mematikan benih harapan kehidupan pernikahan mereka. Kalimat yang bertolak belakang dengan sumpah sehidup-semati sepasang insan tersebut.

Hanya berupa ancaman, tetapi cukup untuk menimbulkan antipati Bora. Sebab kalimat itu memiliki arti, bahwa Yunho tidak lagi percaya padanya. Lantas, apalah arti sebuah hubungan tanpa kepercayaan?

“Kalau kau tidak berhenti dari pekerjaanmu, lebih baik kita cerai.”




 ***







Bora tidak bermaksud meremehkan ancaman suaminya. Hanya saja, ia terlampau bimbang mengambil keputusan. Lagipula, tidaklah mudah memilih satu diantara dua pilihan fatal. Ia tidak ingin meninggalkan Yunho, sedangkan di sisi lain, ia tidak ingin membuang kesempatan langka yang diberikan Jinwoon.

Bagaimanapun juga, tidak semua orang mampu memasuki dunia modeling, entertainment. Bora yakin jika banyak orang diluar sana memicingkan mata, memandang iri posisinya kini, sosok model amatir yang memasukki dunia idaman mereka melalui koneksi.

Sisi glamor dalam diri wanita itu menuntut untuk bertahan, sementara hatinya meneriakkan nama Yunho.

Noona?

Bora terperanjat ketika mendengar namanya dipanggil. Ia pun mendongak, berhadapan dengan wajah tampan yang memandangnya heran, “Ya?”

Jung Jinwoon, teman makan Bora siang itu –yang merangkap sebagai atasan dan manager sementara- menunjuk piring Bora yang nyaris tak tersentuh. Sedari tadi, Jinwoon mendapati modelnya hanya bermain-main dengan pisau-garpu, sesekali menyeruput cappuccino. “Kau tidak perlu diet, tubuhmu sudah cukup kurus. Jadi, makanlah yang banyak, hm?”

Bora mendengus, “Aku tidak sedang diet.”

Aigoo, kalau begitu makan yang benar. Tidak tahukah kau kalau harga makanan di restoran ini termasuk mahal?”

“Tidak, aku tidak peduli. Lagipula kau sendiri yang ingin mentraktirku,” dikedikkannya bahu. Ia meraih peralatan makan dan memasukkan sepotong daging ke dalam mulut, meski nafsu makannya nyaris mencapai titik nol.

Yah! Beraninya kau-“

Bora menjulurkan lidah, sengaja menggoda Jinwoon yang kini melotot –berpura-pura kesal. Wanita itu tertawa kecil saat sang teman makan mencibir lalu menghabiskan sisa makanannya sembari mengumpat kesal –yang sedikit dilebih-lebihkan, sengaja melucu.

Sebagai salah satu orang terdekat, -dan karena Bora tidak memiliki telinga lain untuk mendengar keluh kesahnya- ia telah menceritakan sandungan pernikahannya pada Jinwoon. Tidak banyak komentar yang terlontar melalui bibir pria itu, dia hanya sesekali menimpali atau menepuk pundak Bora, menenangkan wanita itu ketika tiba pada topik sensitif.

Jung Jinwoon adalah pendengar yang baik.

Bahkan kini, Jinwoon mampu mengukir tawa Bora.





 ***







Sebagai manager sementara Bora –berhubung dia masih sangat pemula, Jinwoon memutuskan untuk membimbingnya secara pribadi- sebagian besar waktunya dihabiskan bersama wanita itu. Dimulai dari sesi photoshot, kelas acting, latihan runway, dll. Apakah ia lelah? Tentu saja. Namun kebahagiaan yang ia rasakan saat mereka bersama, jauh mendominasi.

Keduanya tengah bersantai menikmati kopi di sore hari, di ruang kerja Jinwoon yang menyediakan pemandangan fantastis matahari terbenam, lewat dinding kaca. Sofa bulu angsa yang menjadi tempat mereka mendaratkan pantat terasa nyaman pula.

“Ada kontrak bagus dari brand C&D, mereka ingin memberi kesempatan bagi model-model pemula untuk ikut serta di fashion week.” Ujar Jinwoon tiba-tiba, memecahkan kesunyian positif.

Bora mengangguk, “Lalu?”

“Lalu, aku berniat memberikan kontrak itu padamu.”

Cangkir kopi mahalnya nyaris menyerah pada gravitasi, namun –untungnya- ia berhasil menguasai diri sebelum benda tersebut berubah menjadi kepingan keramik. Borapun menoleh dengan alis yang terangkat dan mata membulat sempurna, tampak belum mampu mengenyahkan keterkejutannya, “Apa maksudmu?”

Decakan lidah Jinwoon terdengar lantang di telinga wanita itu.

Ckckckck,” sang atasan mendekap kedua tangan, punggunya disandarkan pada sofa merah, “Tidak perlu kaget begitu. Aku ingin memberimu kesempatan karena kau layak mendapatkannya. Percayalah, kau berbakat.”

Bora mengerjap.

Kalimat terakhir Jinwoon bergema dalam benaknya, ‘kau berbakat…’. Heck, bahkan belum genap sebulan sejak dia mengenal dunia modeling. Tapi, tak urung wanita itu merasa nyaman melakukan pekerjaan barunya, seakan dunia ini merupakan dunianya. Bak air bagi ikan, atau bintang di angkasa.

Sadar akan keraguan Bora, Jinwoon melempar senyum meyakinkan, “this authority is yours. Pilihlah apa yang kau inginkan. Kalau kau setuju, kujamin namamu akan mulai dikenal di dunia entertainment. Tapi-“ Jinwoon mendesah, “-kalau kau lebih memilih waktu luangmu untuk menjaga hyung, aku tidak bisa memaksamu.”





*** 







Bora melambaikan tangan sembari mengamati BMW hitam yang berangsur lenyap ditelan kegelapan malam, tak lain dan tak bukan merupakan milik Jinwoon. Seperti biasa, pria itu mengantar Bora pulang.

Fajar nyaris menjemput bulan ketika Bora menyelesaikan pekerjaannya –satu photoshot, latihan runway. Penat mendera sekujur tubuh, ditambah pula kekacauan dalam pikirannya yang masih bertempur saling mendominasi, membuat Bora ingin beristirahat secepatnya. Karena ketika tidur, ia tidak perlu melakukan atau memikirkan apapun.

Siluet manusia yang duduk di atas sofa ruang depan sukses mengejutkan Bora. Wanita itu berjengit. Bukan tanpa alasan sesungguhnya, melihat fakta bahwa jam telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Di hari-hari biasa, saat Bora pulang sekitar pukul 9-10 malam, ia pasti mendapati suaminya tertidur pulas. Namun yang terjadi malam ini adalah sebaliknya.

Bora membasahi bibirnya, tegang. Entah mengapa, ada hal yang terasa salah. Raut datar, bibir tanpa senyum, dan tatapan dingin suaminya seolah mengirim sinyal-sinyal negatif.

Bora maju beberapa langkah, memasang senyum canggung, “Kau belum tidur? Em, ada training tambahan hari ini, jadi aku terlambat pulang.” Ia beralasan.

Keheningan melingkupi atmosfir tak nyaman di ruangan tersebut, mencekik Bora. Meskipun yang menaungi benaknya saat ini adalah: tidur pulas.

Tetapi apa yang terjadi selanjutnya sontak mengenyahkan harapan Bora.

Training tambahan? Aku penasaran dengan apa yang kau lakukan selama ‘training,” Yunho mendengus, seringai sinisnya muncul, “Menghabiskan waktu bersama model-model tampan, atau merayu bos kayamu, apa itu yang kau sebut ‘training?”

Bora terlalu lelah secara mental maupun fisik. Tenaga dan pikirannya bagai dikuras habis. Maka, helaan napas panjang merupakan respon terbaiknya terhadap –lagi-lagi- tuduhan tak berdasar Yunho. Bora memejamkan mata, membiarkan kata-kata tajam Yunho mengiris ulu hatinya. Toh, ia berpikir, semua ini hanyalah luapan emosi temporer Yunho.

“Kenapa kau diam saja, huh? Apa semua yang kukatakan ini benar adanya?”

Bora membuka mulut –hendak menyatakan ketidaksetujuannya- namun dikatupkannya kembali begitu menyaksikan emosi Yunho yang berkilat pada manik kelamnya. Sebab ia lebih dari tahu, dalam kondisi semacam ini, seluruh tangkisannya akan dianggap angin lalu oleh Yunho.

Bora memilih diam.

Rupanya Yunho menafsirkan reaksi pasif sang istri sebagai konfirmasi, bahwa segala hipotesisnya merupakan kebenaran. Bahwa ia telah dikhianati dan ditinggalkan. Bahwa janji yang mereka buat di altar, tidaklah lebih dari ungkapan hasrat semu.

Dengan kasar, pria itu memungut map hijau yang tergeletak di Sofa –Bora baru sadar mengenai keberadaan benda itu- lalu setengah melemparnya ke atas meja kayu sederhana yang berperan sebagai pemisah di antara mereka.

Perhatian Bora otomatis tersita. Ia mengamati map hijau tersebut, penasaran.

“Cepat ambil dan baca.”

Bora pun melakukan apa yang diperintahkan Yunho. Tangannya sedikit bergetar saat hendak membalik cover hijau map. Jantungnya berdebar. Sekujur tubuhnya seakan tahu bahwa apapun makna hitam di atas putih yang tercetak pada dokumen tersebut, bukanlah hal baik.

Bora segera mengucapkan doa singkat dalam hati, agar hipotesisnya tidak beralih menjadi realita.

Namun terkadang, takdir memang terlampau kejam. Karena seringkali, apa yang disuguhkan oleh dunia, merupakan lawan dari apa yang kita harapkan, apa yang kita pikirkan sebagai jalan terbaik. Karena hidup, kata orang, jauh dari definisi monoton dan selalu berupa lika-liku.

Yoon Bora seakan kehilangan kemampuan motoriknya, begitu sederetan huruf kapital pada bagian tengah-atas kertas di lembar pertama berhasil ia baca. Sedikit kabur memang –karena matanya mulai berkaca-kaca- tetapi ia masih mampu membacanya, walau dengan susah payah.

SURAT PERCERAIAN.

Pada detik itu pula, ia tahu jika ia harus menyerah. Sudah tiba waktunya untuk berhenti mengulurkan tangan. Sebab kata ‘percaya’ telah musnah dalam hubungan mereka.





***





Jinwoon menawari Bora untuk tinggal bersamanya, yang disetujui wanita itu karena ia tidak tahan seatap dengan Yunho lebih lama. Bernapas dan bergerak dalam radius pendek di antara mereka, membuat Bora sesak sekaligus lelah mental. Lagipula, ketika mengajukan surat cerai, secara tidak langsung Yunho telah ‘mengusir’ Bora.

Cklek.

Jinwoon membuka pintu apartemennya. Ia pun tersenyum dan memberi gestur untuk mempersilahkan Bora masuk terlebih dahulu. Gentleman, komentar wanita itu dalam hati seraya merajut langkah memasuki bagian depan tempat mewah tersebut. Singkat kata, desain apartemen Jinwoon mencerminkan kepribadian sang pemilik. Warna-warna mencolok –didominasi merah, biru, hijau- bertebaran di seluruh penjuru. Sementara berbagai barang modern –TV layar lebar, game player, sound system- memenuhi ruang tengah. Terdapat sofa merah –mirip yang ada di ruang kerja Jinwoon- di depan televisi, dan meja rendah sebagai pemisah.

“Bagaimana menurutmu, hm?”

Bora menghentikan kegiatannya semula –mengecek area dapur yang juga didesain serupa- demi menoleh ke sumber suara dan mendapati Jinwoon yang berada di belakangnya, tak jauh dari tempat ia berdiri. Senyum antusias diberinya sebagai respon, “Ini keren.”

“Tentu saja keren. Aku mendesain semuanya sendiri.”

Ey, sombong sekali kau.”

Bora mendecakkan lidah dan menjitak pelan dahi Jinwoon. Sementara mantan juniornya itu tersenyum jenaka. Dia pun memberitahu letak peralatan P3K, dimana cadangan makanan ditaruh, dll, sebelum akhirnya menunjukkan kamar baru Bora –kamar tamu- yang berada tepat di sebelah kamar Jinwoon.

“Sudah malam. Sebaiknya kau tidur sekarang. Sampai jumpa besok pagi, noona.”

Bora mengangguk singkat. Diputarnya tubuh menghadap pintu. Tangan kirinya mengenggam erat pegangan koper merah tua, sedangkan tangan kanannya hendak memutar kenop, ingin segera mengistirahatkan raga penatnya. Namun gerakannya terhenti di udara begitu ia teringat sesuatu.

“Terimakasih.” Ujarnya lirih. Ditolehkannya kepala demi mendapati pemuda itu menatapnya heran, “Terimakasih sudah memberiku pekerjaan dan membiarkanku tinggal di sini. Aku berjanji akan membayar semua ini… nanti.” Sambungnya.

Jinwoon tampak bingung sesaat, tetapi kemudian tertawa renyah, “Aku hanya ingin membantu noona. Lagipula, noona berbakat sebagai model. Aku serius.” Dia mengacungkan jempol, yang direspon dengan ekspresi malu Bora. Gadis itu mengibaskan sebelah tangan.

Keheningan sempat melanda saat masing-masing bibir saling terkatup, larut dalam hangatnya suasana serta kecanggungan yang –anehnya- terasa nyaman. Bunyi air keran yang dinyalakan dari arah kamar mandi –Jinwoon menunggu air di bak penuh sebelum mandi- tertangkap lantang oleh indra pendengaran.

Bora menggigit bibir bawahnya, “Em- selamat malam.”

Yeah, malam. Tidur yang nyenyak noona.”

Kenop pintu itu akhirnya diputar, disusul suara berdebam pelan saat menciptakan kontak dengan bingkai kayu. Bora menghela napas panjang seraya bersandar pada daun pintu di belakangnya. Terlampau banyak peristiwa mengejutkan terjadi, dan keputusan-keputusan –yang sama sekali tak terpikir akan diambilnya.

Lelah.

Tanpa mengganti pakaian lebih dulu, Bora menghempaskan raga ke atas kasur barunya. Aroma lavender menguar lembut dari bed cover –mungkin harum detergen, ia berpikir. Ditambah nikmatnya hembusan angin dingin dari AC, mengantar wanita itu menuju alam mimpi.





***





Beradaptasi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, begitupun bagi Bora. Menerima dan menjalani kehidupan barunya merupakan proses sarat rintangan. Mendalami ranah karir yang sama sekali berbeda, ia harus menyesuaikan diri dengan keras nan gemerlapnya dunia hiburan.

Di sisi lain, kondisi mental Bora tergolong labil. Kehilangan sosok suami yang setia menemaninya beberapa tahun terakhir berdampak negatif bagi Bora. Ia depresi. Luka-luka di hatinya masih menganga lebar. Ia tahu jika terdapat akhir dalam setiap hubungan, tapi salahkah ia mempercayai janji suci mereka dulu? Agar biarlah maut yang memisahkan mereka, bukan kecemburuan semu maupun salah paham belaka. Bukan karena makna kepercayaan yang telah luntur.

Well, kita tidak dapat meramal masa depan, kan?

Di mata Bora, sosok Jung Jinwoo tak ubahnya malaikat penolong, bak ibu peri dalam dongeng Cinderella. Ketika dunianya hancur, Jinwoo adalah orang yang mengulurkan tangan baginya. Jika bukan karena mantan juniornya itu, ia tidak tahu bagaimana ia akan berpijak pada dunia.

Hari dimana ia berjumpa kembali dengan mantan suaminya, adalah hari dimana hakim menjatuhkan status cerai. Bora mengingat jelas setiap kata yang dilontarkan hakim, kesaksian Yunho, dan pembelaan pengacara Yunho, Shim Changmin. Betapa datarnya eskpresi Yunho di meja hijau, seakan perasaan dan kenangan yang mereka rajut bertahun-tahun tidaklah bermakna baginya, secuilpun.

Menilik kondisi finansial dan kesehatan Yunho, hakim meniadakan pemberian kompensasi, yang Choi seunghyun –pengacara Bora, setelah berbicara dengan kliennya- setujui. Lagipula, tidaklah etis menagih biaya dari Yunho. Seperti memeras kantung teh kering, pikir Bora. Persidangan pun berjalan lancar nan singkat, layaknya proses formal yang memakan waktu kurang lebih 1,5 jam.

Dok, Dok, Dok.

Bunyi ketukan palu yang disusul oleh suara berwibawa, bernada final sang hakim, seolah mengaktifkan akal sehat Yoon Bora. Ia sadar, bahwa mulai saat ini, detik ini, ia tidak memiliki relasi apapun dengan Yunho. Tiada lagi yang tersisa di antara mereka, selain kenangan semata. Mungkin di masa depan, Bora akan mengingat kenangan manis itu sebagai bab favorit dalam buku perjalanan hidupnya.

Tetapi kini, ia tahu jika ia harus melangkah maju.




***







Bulan tengah menggantikan tugas mentari ketika persidangan usai. Melalui kaca bening kedai- yang menghadap langsung ke luar- Bora menyaksikan pemandangan malam kota Seoul, dimana aktivitas masih mendominasi jantung negeri ginseng tersebut. Gedung-gedung berlantai tinggi, pertokoan, serta berbagai kendaraan yang berlalu lalang dalam ranah pandang Bora tampak statis. Sebab setiap harinya, toh, ia akan disuguhi fenomena malam serupa.

“Kukira noona paling menyukai es krim cokelat.”

Bora tersenyum simpul mendengar penuturan Jinwoon. Dikunyahnya sesendok es krim vanilla chocochip sebelum menjawab, “Memang,” ia mengedikkan bahu, kemudian menoleh ke arah Jinwoon yang duduk di sebelah kirinya, “Tapi aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Lagipula-“ Bora menancapkan sendoknya dalam mangkuk, “-kurasa vanilla cukup enak.”

Chocolate adalah rasa favorit Yunho. Setiap kali mereka membeli es krim, pria itu pasti akan merekomendasikan rasa chocolate, yang juga –akhirnya- dipilih pula oleh Bora. Hal ini berlangsung sejak keduanya masih di SMA, berlanjut saat mereka menjadi pasangan di universitas, lalu menjadi kebiasaan hingga sekarang. Hari ini, Bora sengaja memilih rasa vanilla karena ia ingin meninggalkan bayangan dirinya di masa lalu.

Setidaknya, es krim vanilla tidak akan mengingatkanku pada Yunho, batin Bora.

“Ah,” Jinwoon mengangguk, lalu mengeruk sesendok es krim mochanya. Diarahkannya sendok tersebut di depan wajah Bora, yang direspon oleh raut heran wanita itu, “noona tidak ingin mencoba punyaku? Kujamin yang ini lebih enak dari rasa chocolate.” Persuasi Jinwoon.

Bora tampak ragu sejenak, tapi ujung-ujungnya, ia menyambut suapan es krim Jinwoon –dengan canggung tentunya. Rasa mocha yang melumer terasa asing di lidah Bora, namun di sisi lain, ia menyukainya. Menggiurkan dan sedikit adiktif. Ia pun mengacungkan jempol, menyetujui apa yang dikatakan Jinwoon tadi, “Kau benar, ini enak sekali.”

Seiring gerakan statis jarum jam, waktu pun terus bergulir. Topik- topik ringan bergiliran diangkat oleh kedua anak manusia itu. Sementara sensasi nikmat di lidah dan lelucon Jinwoon mampu mengalihkan perhatian Bora dari kekecewaannya terhadap Yunho –terutama ekspresi datar mantan suaminya tadi siang.

Wanita itu bersyukur membiarkan Jinwoo menyeretnya kemari setelah makan siang, meski sedikit enggan. Well, mungkin mulai sekarang, ia akan memilih rasa mocha dibanding chocolate.




 ***





Kantuknya menguap entah kemana malam itu. Setelah puluhan kali berganti posisi –mencari posisi nyaman untuk tidur, menghitung domba dalam kepala, bahkan mendengarkan musik ballad, ia tetap tidak dapat tidur. Jarum jam menunjukkan pukul 2.45 AM saat Bora menyerah dan berniat menonton televisi, mungkin kegiatan tersebut mampu memancing kantuknya.

Gelak tawa Jinwono adalah hal pertama yang ditangkap oleh gendang telinganya, begitu menginjakkan kaki di ruang tengah ‘apartemen mereka’. Bora melirik layar datar nan lebar televisi Jinwoon dan mendapati wajah Yoo Jae Suk mendominasi layar –adegan close-up.

Mengetahui jika acara favoritnya sedang di putar ulang, ia memutuskan untuk bergabung dengan Jinwoon. Sofa rendah yang mereka duduki –menghadap layar televisi- terasa sempit seketika, meski ada jarak setengah meter di antara kedua orang tersebut.

Eh, noona? Kenapa belum tidur?” tanya Jinwoon, mengalihkan sejenak perhatiannya dari layar.

“Tidak tahu.” Jawab Bora dengan suara serak, yang kerap dialaminya saat kelelahan, “aku sangat lelah tapi tidak bisa tidur.” Disilangkannya kaki sembari menyandarkan punggung pada sandaran empuk sofa.

Jinwoon tersenyum tipis, “Mungkin noona akan mengantuk sebentar lagi.”

Bora mengangguk kecil dan balas tersenyum, kemudian meletakkan bantal sofa di atas pangkuannya. Dipeluknya bantal merah persegi itu seraya menikmati acara ‘running man’, yang -sebelum sibuk bekerja dulu- selalu ia tonton setiap minggu.

Tawa mereka terdengar lantang di saat adegan lucu terjadi, dan beralih serius ketika menebak-nebak identitas detektif di antara member running man. Bora bersikukuh bahwa Song Jihyolah sang detektif, sementara Jinwoon berpikir sebaliknya. Wanita itu menoleh dan hendak mengemukakan alibi lemah Jihyo, namun kalimatnya seakan menggantung di udara begitu menjumpai visual samping Jinwoon.

Ia sadar mengenai imageflower boy’ pria itu. Bahkan semasa SMA, Jinwoon memiliki klub penggemar sendiri. Jung Jinwoon, sang junior dengan suara emas, prestasi gemilang, serta senyum memukau –kata mereka, bukan Bora. Sedangkan Yoon Bora sendiri, ia tak pernah memahami alasan gadis-gadis itu berubah menjadi jelly raksasa di hadapan Jinwoon.

Sampai saat ini.

Potongan sederhana rambut lurus Jinwoon tampak sempurna baginya, dengan panjang poni mencapai alis. Memang sedikit berantakan, namun malah menjadi nilai tambah di mata Bora, yang selalu memiliki kekaguman terhadap orang-orang yang mampu terlihat rupawan tanpa usaha. Mata sipit Jinwoon menyerupai bulan sabit ketika ia tertawa lepas, dagunya termasuk tajam meski perawakannya tidak terlalu kurus, serta warna kulit yang pucat sukses membuat Bora terpana.

“Apa kubilang? Song Jihyo bukan detektif.” Jinwoon mendecakkan lidah, mencela prediksi tak akurat Bora. Pandangannya masih terpaku pada layar televisi.

Wanita itu mengerjap. Tanpa sadar, ia sempat melamun barusan, dan suara Jinwoon menyeretnya menuju realita. Ia pun tertawa kecil, canggung, “Instingmu tajam juga rupanya.”

“Tentu saja.”

Di saat running man mencapai separuh durasi tayang, penat mulai mengetuk kantuk Bora. Ia mengerjap beberapa kali untuk menjaga kesadaran, agar tidak terlelap saat menonton. Namun akhirnya, Bora pun terlena. Kepalanya yang sedari tadi bergerak searah gravitasi, kini bersandar pada bahu kanan Jinwoon.

Pria itu terkejut begitu merasakan massa di bahunya. Saat menoleh, senyumnya terkembang otomatis, mengetahui bahwa Yoon Bora –meski tanpa disengaja- bersandar padanya. Ia mengulurkan tangan kirinya dan membenarkan posisi kepala Bora. Selama beberapa saat, ia diam mengamati kesempurnaan fitur wajah mantan seniornya tersebut. Dia terlihat sangat tenang.

Entah apa yang merasuki Jinwoon malam itu. Mungkin, kecantikan Bora menghipnotisnya. Atau mungkin, ia terbawa situasi. Atau mungkin-

Jinwoon mencium puncak kepala Bora, lembut.

Noona, bolehkah aku menyukaimu sekarang? 




***






Indra penglihatannya memang terpejam. Raganya memang dalam kondisi santai. Namun pikirannya melalang buana, walau ia sudah mencoba menonaktifkannya. Seandainya terdapat tombol matikan-nyalakan untuk kesadaran manusia, pasti akan ia gunakan dengan senang hati.

Yunho berbaring di atas tempat tidur, sebelah tangan menutupi dahinya.

Hening. Gelap. Sejauh telinga mendengar, yang mampu ia tangkap adalah suara jangkrik beradu detak jarum jam, bersahut-sahutan membentuk ritme statis. Suara itu seharusnya dapat merangsang kantuk dan ketenangan seseorang, mengantarnya menuju alam mimpi. Namun tidak bagi Yunho, sebab rasa bersalah dan kehampaan dalam hati membuatnya gelisah.

Ia tidak akan mampu mengenyahkan raut kecewa nan terluka Bora saat di persidangan. Maupun jerit putus asa hati nuraninya sendiri. Meski tiada satu orang pun yang tahu –dan ia sendiri tidak akan membaginya dengan orang lain- namun ia tahu bahwa perasaannya kepada Bora tetaplah sama.

Yunho masih mencintai Bora. Kepercayannya tidak pernah luntur.
.
.
.
.
.
TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar