Tittle : Ratter
Author : @Na_Illa
Cast : Cho Kyuhyun (SuJu). Lim Jae Im (OC)
Lenght : Oneshoot
Genre : Romance
Samar-samar terdengar suara ditelinga Jae Im. Alunan nada dari sebuah piano dan nyanyian dari seseorang. Yang sepertinya seorang laki-laki. Suaranya lembut sekali. Sangat menenangkan. Dan… sepertinya sangat familiar ditelinga Jae Im.
‘Manhi himdeul gettjyo nado algo isseoyo
Hajiman jigeum uri sai badadeulyeoyahaeyo
Jogeum deo mannanda haedo urin geudaereul
geoeyo
Geuroni geudae duryeoweo mayo gwaenchanha
geoya’
-*-*-*-*-*-
Suaranya semakin jelas terdengar ketika ia sampai di ruang
keluarga. Tapi tak ada seorang pun di sana. Yang ada hanya perabotan-perabotan
yang ditutupi kain putih yang mulai berdebu.
Dengan spontan kepalanya menoleh ke kanan dan kiri ruangan
itu. Tepat saat ia menoleh ke kiri, terdapat ruangan santai dengan piano di dalamnya
dan ada seorang laki-laki yang sedang duduk di kursi kecil di depan piano.
Secara tidak langsung Jae Im mundur, menghilang dari
pandangan laki-laki itu yang mungkin saja melihatnya. Bersembunyi di samping
pintu yang tak berdaun. Sehingga sinar sang surya dapat langsung menerobos,
memenuhi dua ruangan sekaligus.
Jae Im mencoba mengintip laki-laki itu dari samping kayu
yang membingkai manis di setiap sisi pintu. Terlihat laki-laki itu sedang
menikmati jentik jarinya yang sedang bermain-main di atas tuts piano.
‘Ggok dangshini anieorado deo joheun nugungarado heureuneun gangmule jinaji anhayo
Hajiman urineun pyeongsaeng heureuneun gangmuleul beuljabeu myeo
salagal
Ilhaehal su eobsneun geudae geudaedo nareul jeoldae ilhaehal su
eobsjyo’
Mendengarkan lagu ini. Ia terkesiap, lalu menutup mulutnya.
Wajahnya memerah. Kakinya pun membawa ia kembali ke samping pintu dengan
menimbulkan gesekan antara lantai kayu dengan sandal yang ia kenakan.
Ia baru tersadar kalau lagu inilah yang dimainkan oleh laki
- laki itu. Urban Zakapa, River.
Merasa ada sesuatu hal, laki-laki itu menoleh kearah pintu.
Melihat tidak ada—siapapun—dan—apapun, ia kembali fokus pada pianonya.
“Lee Jae Im, kamu harus kuat, kamu bisa melewati ini. Jangan
menangis Lee Jae Im!” menuntut dirinya sendiri, itulah yang ia lakukan setiap
kali mendengar lagu ini.
Ya, walau terkadang lebih sering menangis. Tapi untuk kali
ini ia tidak ingin melakukan kecengengannya itu. Karena ia tahu, bahwa ia harus
bisa melupakannya.
“Tapi siapa laki-laki itu? Kenapa dia bisa—memainkan lagu itu—disini?
Pemilik kunci rumah inikan hanya aku dan ‘dia’ yang memilikinya. Atau… rumah ini
sudah terjual dan dia pemiliknya sekarang?”.
Pertanyaan demi pertanyaan terbesit dibenaknya. Membuat
pikirannya terfokus ke tujuan itu.
Pertanyaan-pertanyaan itu juga membuatnya tidak berpikir
jernih. Karena itu, tanpa disadari ia berjalan keluar dari rumah itu dan
memasuki kendaraannya.
-*-*-*-*-*-
Sejenak ia berhenti. Mendengar gerungan seperti sebuah mesin
mobil yang sedang dinyalakan. Kyuhyun beranjak dari kursi kecilnya. Membuka
sedikit tirai yang berada tidak jauh dari grand
piano putihnya.
Terlihat sebuah mobil sedan putih berada di pekarangan rumah.
Kyuhyun terheran-heran. Ia tidak merasa ada yang memasuki rumah ini selain
dirinya. Rasa curiga dan khawatir menghampiri. Perasaan itu berkecamuk,
memenuhi otaknya. Bergantian muncul sebagai topik utama dipikirannya.
Kyuhyun hanya terdiam dalam kesunyian, membiarkan mobil itu
semakin menjauh. Tidak tahu harus berbuat apa.
Namun, tidak sengaja matanya menangkap plat nomor kendaraan
itu. Kegusarannya semakin menjadi-jadi. Raut wajahnya memperlihatkan dirinya
sedang berpikir keras.
“plat itu…”
“plat itu…”
Kyuhyun masih dalam posisi yang sama. Berdiri disamping
tirai hijau muda yang terurai panjang, sambil melihat kearah luar.
“plat itu…”
Terdiam sejenak.
“Jae Im!!”. Kyuhyun tersentak dengan pemikirannya itu.
“Tapi… mana mungkin dia. Lagipula dia masih di Inggris.
Kepulangannya juga masih…”. Kyuhyun berpikir kembali mengingat - ingat tanggal—yang
diberitahu Imo—kapan Jae Im kembali ke Seoul.
“Tunggu… sekarang tanggal 19. Sedangkan dia pulang tanggal…
18! Kalau begitu dia sudah pulang. Berarti mobil itu… ah tidak mungkin. Tidak
mungkin dia. Yaa semoga saja itu hanya orang yang memarkirkan mobilnya karena melihat
gerbang yang membelalak lebar, lupa kututup dan ditambah rumah ini yang kelihatan
tidak berpenghuni”. Kyuhyun meyakinkan dirinya.
-*-*-*-*-*-
Di perjalanan pikiran Jae Im masih melanglang buana. Memikirkan
laki-laki piano itu. Jae Im penasaran
dengan sosok misterius itu. Apalagi ditambah lagu yang orang itu nyanyikan.
Membuat perasaan Jae Jae Im tidak keruan.
Namun, setelah sekian lama berkendara Ia berhenti mendadak.
Ciiiiiiittttt…..
“Yaaaaa kenapa aku pulang. Akukan ingin mengambil barang yang
tertinggal di rumah itu.!”. Jae Im kesal akan kelalaiannya. Tapi ia justru
menyalahkan laki-laki itu.
“Aiihhh. Namja itu yang membuatku lupa.” Tanganya mengepal,
kesal.
Mengerem mobilnya mendadak, membuat mobil-mobil di
belakangnya bersautan mengklakson. Menoleh ke belakang dan melihat geraman
mobil-mobil itu membuatnya panik.
“ooo…mooonaaa”. Langsung ia tancap gas. Secepatnya pergi
dari jalan itu.
-*-*-*-*-*-
“Imooo? Eoddigayo?”. Suaranya menggema di seluruh rumah.
Namun, tidak ada jawaban dari Imo. Merasa itu bukan masalah besar Jae Im masuk
ke kamarnya dan langsung—sedikit—membanting tubuhnya ke atas tempat tidur.
“Ah coba saja aku tidak melihat laki-laki itu memainkan lagu
tersebut. Pasti aku tidak lupa akan tujuan awalku. Kalung itu kan dari Ibu.
Sudah 3 tahun aku tidak melihatnya. Huh menyebalkan”. Jae Im berbicara sambil
berbaring terlentang di atas kasurnya. Mengomentari tindakan bodohnya.
Seakan-akan ia sedang berbicara dengan bayangan dirinya sendiri.
Kelopak matanya sudah berat untuk dipaksa terbuka. Tidak
lama kemudian, Jae Im pun terlelap.
-*-*-*-*-*-
~Tomorrow Morning~
“Pagi!!”
“Pagi nona Jae Im”
“Kita makan apa pagi ini Imo? Aku sudah sangat merindukan
masakan Korea.”
“Pagi ini makanan utamanya… bibimbap, tapi kalo nona mau makanan biasa Imo sudah siapkam nasi
dan banchannya. Nona mau yang mana?”
dengan nada yang sangat halus Ia berkata.
“mmm… bibimbap
saja kalau begitu.”. Tentu Jae Im akan lebih memilih itu. Karena itu adalah salah
satu makanan Korea favoritnya.
“Baiklah.”
Imo mengambil semangkuk bibimbap
dan sujeo. Lalu menaruhnya di hadapan
Jae Im.
“Gamsahamnida.”
“Chanmanyeo.”
Jae Im sangat menikmati sarapannya itu. Setelah cukup lama
Ia dikelilingi makanan barat yang sangat membosankan.
“hmm… neomu masithaaa.”
Setelah makanannya habis, ia bangun dari sebuah kursi di
meja makan yang tidak terlalu besar itu, namun cukup untuk enam orang. Lalu melangkahkan
kakinya menuju taman belakang rumah.
-*-*-*-*-*-
Jae Im mulai membuka katalog fashion yang Ia bawa dari Inggris. Membuka lembaran demi lembaran
yang terisi oleh berbagai model busana dan aksesoris. Bagi Jae Im melihat-lihat
saja sudah membuatnya tergiur.
Pandangannya sesekali melihat keindahan taman yang sudah
lama ia tinggalkan itu.
“Nona?” Jae Im meoleh kearah suara itu berasal.
“Iya. Ada apa Imo?”
“Apa Imo boleh duduk.”
“Mmm tentu.” Jae Im menepuk kursi kosong disebelahnya.
“Kalau Imo tidak salah ingat, nona Jae Im sudah 3 tahun
meninggalkan Korea bukan?”
Jae Im menganggukkan kepalanya. Dengan pandangan yang masih
melihat ke katalog di atas pangkuannya.
“Nona kan baru kembali 2 hari lalu dan apa selama itu nona
sudah bertemu dengan…”
Imo berhenti berbicara. Membuat Jae Im menoleh penasaran.
“Tuan Kyuhyun?” Imo menyebutkan nama itu dengan hati-hati.
Karena tahu bahawa nonanya ini sangat sensitif jika mendengar nama itu.
Jae Im mengernyit kesal. Luka lamanya tergores kembali. Padahal
nama itu sudah terkubur bersama kenangan-kenangan pahitnya.
“Kenapa tiba-tiba Imo menanyakan hal itu?”
“Maaf nona bukannya saya lancang. Tapi saya harus menanyakan
hal ini. ini demi kebaikan nona.”. Imo terlihat mulai putus asa.
“Demi kebaikanku?” Jae Im meninggikan suaranya. “Mendengar
namanya saja sudah membuatku sakit Imo. Bagaimana mungkin ini sebuah kebaikan.
Ini justru sebuah penderitaan.”. Jae Im meluapkan emosinya.
Imo tidak berkata sedikit pun. Apa yang dicemaskannya sudah
terjadi. Jae Im marah padanya.
Tidak mau memperpanjang percakapan menyebalkan ini, Jae Im
berkata. “Imo. Bisa tidak Imo tidak usah bertanya atau mengingatkanku
tentangnya. Eotte?. Jae Im berbicara sambil memegang bahu Imo. Meyakinkan Imo
akan permintaannya. Namun, Imo hanya diam. Tak ada satupun jawaban dari orang
yang tahu segalanya dalam kehidupan Jae Im itu.
“Huh syukurlah kalau Imo mau mengerti.” Ia berkata demikian
untuk meyakinkan dirinya seolah-olah Imo setuju dengannya. Ia juga lebih
memperhalus nada bicaranya.
“Baiklah kalu begitu. Aku mau ganti baju dan jalan-jalan.”
Berpamitan dan menghilang ke kamar. Imo tidak menatapnya
atau memberi senyuman. Ia masih dalam posisinya tadi. Diam. Ia terlihat gusar
atas permintaan Jae Im akan Kyuhyun.
-*-*-*-*-*-
~Tomorrow Morning~
Dengan hati-hati Jae Im membuka kenop pintu kamar itu.
Kakinya mulai melangkah masuk ke dalam. Matanyapun mulai menyusuri setiap sudut
ruangan yang sudah tidak terurus tersebut. Debu dimana-mana, banyak sarang
laba-laba yang menghiasi atap ruangan yang dulu menjadi kamar Jae Im.
Jae Im tersenyum saat melihat tata letak di dalam ruangan
ini masih sama seperti 3 tahun lalu. Saat Ia meninggalkan rumah ini.
“Kau tidak merubahnya sama sekali Kyuhyun. Bahkan noda bekas
kopi di lantai ini masih ada.”
Tak ingin berlama-lama, ia langsung melakukan tujuannya datang
ke sini. Mencari kalung yang diberikan ibunya. Sebelum ibunya dipanggil tuhan.
Dari mulai membuka penutup putih, mencari di laci-laci,
bawah tempat tidur, tempat-tempat tersembunyi, sampai akhirnya menemukan kalung
itu terselip di sebuah buku kosong. Jae Im terlihat bahagia saat melihatnya.
Senyuman terus terpancar diwajahnya.
Sampai, saat ia hendak memutar tubuhnya menuju pintu,
senyumannya sedikit meredup. Ia melihat seseorang di luar jendela. Karena
tertutup tirai tipis, sesorang yang sepertinya laki-laki itu tidak terlalu
terlihat wajahnya.
Mendadak Jae Im teringat laki-laki waktu itu. Laki-laki piano. “Apa itu dia? Laki-laki itu. Tapi
kalau bukan, lalu siapa? Sungguh membuatku bingung.”
Jae Im keluar dari kamar itu. Namun, tidak lama Ia mendengar
namanya dipanggil. “J… Jae Im?”. Suara berat itu memanggilnya dengan nada ragu-ragu.
Jae Im menoleh ke arah suara itu berasal.
Seketika napasnya tercekat ketika melihat wajah
dihadapannya. Aliran darahnya juga seperti berhenti. Namun, jantungnya justru
berdegup kencang.
Bibir Jae Im bergetar. “Ayolah Jae Im sapa dia. Jangan
gemetar. Oke.”. Jae Im menguatkan dirinya dengan berkata demikian di dalam hati.
“Ann.. yeong kyuhyun-sshi.” Jae im sedikit menundukan kepala
untuk menyapa. Laki-laki itu juga. Yang dipanggil Kyuhyun oleh Jae Im.
-*-*-*-*-*-
Kyuhyun mengajak Jae Im duduk di balkon. Balkon yang tepat berada
di depan kamar Jae Im.
“Kamu sedang apa di sini?”
“Aku sedang mengambil barangku yang tertinggal. Kalau kau?”.
Jae Im menatap kedua bola mata Kyuhyun yang menatapnya intens sejak tadi.
Melakukan hal yang paling Ia hindari. Karena Ia selalu tertegun setiap kali
melihat mata kyuhyun yang sangat indah dan membuatnya tenang itu.
“Aku? Aku sering ke sini. Hanya untuk melihat – lihat.”
Seketika Jae Im teringat akan laki - laki pemain piano itu
lagi.
“Jadi, kau sudah tidak tinggal disini?”
Kyuhuyun mengangguk.
“Kalau dia tidak tinggal disini. Lalu… laki-laki itu piano itu siapa?” katanya di dalam
benak. rasa penasaran menyeruak keluar. Jiwa penasrannya yang berlebihan,
membuat ia ingin sekali bertanya pada Kyuhyun. Tapi Ia ragu.
“Jae Im gwaenchanayo?”
“aaa.. ne.” Jae Im sedikit mengukir senyumannya. Untuk meyakinkan
kyuhyun.
Jae bimbang antara ia bertanya tentang pemain piano itu atau
lebih baik mencari tahu sendiri siapa laki-laki itu.
Dengan nekad Jae Im pun bertanya, “Boleh aku bertanya?”
“Tentu. Waeyo?”
“2 hari yang lalu apa kau kesini?”
“Hmm. Iya.” Kyhuyun menganggukan kepalanya. “Memang kenapa?”
“Apa kau bermain.. piano
hari itu?”. Jae Im bertanya dengan suaran pelan.
“Yee.. darimana kau tahu?”. Keterkejutan terlihat dari
partikel suara kyuhyun. Ia menatap Jae Im dengan tampang penasaran.
Jae Im diam sejenak. “Hari itu aku ke sini. Aku ingin
mengambil barangku yang tertinggal. Tapi saat aku masuk dan melihat seseorang
sedang memainkan piano itu, yang kusangka pemilik rumah ini. Aku jadi ragu,
yasudah aku pulang.”
Seketika kyuhyun tenggelam dalam pikirannya. Ia menghadapkan
kembali kepalanya ke depan. Seolah-olah memandangi gedung-gedung menjulang
tinggi yang mungkin sekarang, para direktur perusahaan di dalamnya sedang duduk
santai di kursi berpunggung panjang dan tampak begitu bahagia di atas kerja keras
para bawahannya. Kyuhyun memikirkan mobil putih waktu itu. Ternyata dugaan
awalnya benar. Itu Jae Im. Mobil putih kesayangannya.
“Kyuhyun-sshi?”
Masih terdiam. Namun tak lama. “Hmmm?”
“Kenapa melamun?”
“Ah aniyoo.”
“Eo kalau begitu..”. sesaat Jae Im melirik jam di
pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul 10, 23.
“Maaf aku harus pergi.” Jae Im pun menundukkan sedikit
kepalanya. Lalu beranjak pergi dari pagar pembatas antara balkon dengan luar
bangunan.
“Ne annyeong!”. Kyuhyun hanya bisa menjawab sekedarnya,
karena pikirannya masih berada di sebuah kotak yang terisi akan pemikiran
tentang kejadian 2 hari lalu.
-*-*-*-*-*-
Kyuhyun masih setia berdiri
dipinggir pagar balkon. Tidak beranjak sedikit pun. Tatapan matanya kosong,
walau terlihat seperti sedang menikmati pemandangan. Ia masih memikirkan Jae
Im. Ia tidak meyangka kalau seseorang yang sangat dicintainya itu kembali. Dan
mampu menatap mata kyuhyun. Padahal terakhir kalinya ia melihat tatapan mata
Jae Im yang begitu menenangkan itu 3 tahun lalu. 2 hari sebelum Jae Im
memutuskan pergi dari rumah, pergi dari kehidupan cintanya bersama kyuhyun.
Yang semenjak itu tidak ada kabar secara langsung dari Jae Im. Ya walau
beberapa bulan kemudian keadaannya bisa diketahuinya dari Imo.
“Dia sama sekali tidak berubah.
Masih penuh perhatian. Tatapan menenangkannya. Bola mata yang begitu bening.”
Wajah kyuhyun merona. Ia merasa perasaan itu masih ada. Perasaan berdebar itu.
Pemikirannya memeperjelas kalau ia masih mempunyai perasaan itu. Apalagi
setelah ia tahu kalau Jae Im mengunjungi rumah ini. Hal itu semakin membuatnya dilema.
Disatu sisi hatinya masih mencintai Jae Im. Namun, disisi yang lain sudah mulai
terpenuhi oleh sosok wanita lain. Ia tahu kalau ia tidak mungkin mendua dengan
posisi saat ini. Namun, ia tidak merelakan hatinya terluka karena memaksakan
hatinya memenuhi sosok wanita lain seutuhnya.
-*-*-*-*-*-
~At Night~
Suhu malam hari di Korea memang tidak sedingin di Inggris.
Namun tetap saja membuat deretan gigi putih Jae Im bergemelutuk. Suaranya
menyebar keseleruh isi mobil.
Jae Im sedang mengendarai mobilnya yang terjebak kemacetan.
Di jam tangannya tertera pukul 8.12 malam. Jae Im hanya bias pasrah. Ia takut
kalau butik dan perancang busana langganannya menunggu lama. Ya, iya sedang
menuju salah satu butik. Jae Im ingin meminta designer itu untuk merancang
sebuah gaun pendamping pengantin wanita untuknya.
Satu jam berlalu…
Posisi Jae Im sudah bergerak cukup jauh. Dan mulai memasuki
daerah dimana butik itu berada. Yang seharusnya bukan daerah macet. Namun entah
ada apa kali ini kemacetan seperti tidak pandang bulu.
Dari siaran yang terdengar di mobil saat ini. Hampir semua
ruas jalan kota Seoul padat merayap. Padahal hari ini hari senin bukan hari
libur. Sangat kacau memang.
Menunggu…
Selangkah demi selangkah dilewati. Akhirnya sampai di tempat
yang dituju. Dengan wajah lesu dan khawatir Jae Im memasuki butik.
-*-*-*-*-*-
“Haaaaiii!” Mr. Kim menyapa Jae Im dengan begitu gembira dan
langsung memeluk Jae Im cukup erat. “Miss you Mr. Kim” Mr. Kim melepaskan
pelukannya. “Miss you too Jae Im. Ayo kita ke dalam.”
Ia menarik lengan Jae Im. Lalu mengantarnya ke dalam ruang
kerjanya yang selalu artistik untuk dipandang.
Mr. kim masuk terlebih dahulu disusul Jae Im yang mengekor.
Saat masuk, dipandangan Jae Im terlihat seorang wanita sedang duduk
membelakanginya. Rambut panjang bergelombang terurai kebelakang. Begitu menawan
memang. Wanita itu menoleh dan sedikit terkejut ketika meilhat Jae Im. Jae Im
pun ikut terkejut.
Jae Im menyadari suatu hal. Kalau wanita itu ternyata temannya.
Kim Na Ri. Yang memintanya menjadi pendamping pengantin wanita.
“Na Ri—ya?”
“Jae Im? apa?” mata Na Ri melirik kea rah Mr. Kim yang
sedang menatap kebingungan. Lirikkan yang memperjelas kalau ia bertanya “jadi
dia perancangmu?”.
“mmm kukira kau tidak kenal Mr. kim, kalau kenal aku dan kau
biasa pergi bersama bukan?”.
Na Ri wanita seumuran Jae Im yang baru menjadi teman
akrabnya saat kuliah di Inggris itu mengangguk tanda setuju.
-*-*-*-*-*-
Membicarakan dan memilih gaun pernikahan memang membutuhkan
waktu yang lama. Jae Im, Na Ri, dan Mr. Kim saling berargumen satu sama lain
tentang baju pengantin. Ditambah harus membicarakan gaun pendamping mempelai
wanita yang akan Jae Im kenakan.
Mr. kim terlihat mulai frustasi atas permintaan Na Ri yang
berubah-ubah. Seperti anak kecil.
Maka dari itu, di benak Jae Im, ia berpikiran untuk menyerahkan segalanya kepada
Mr. Kim. Jae Im sangat percaya pada designer kesayangannya itu.
Kreeekkk….
Pintu kayu mahoni itu terbuka. Semua orang yang ada di dalam
ruangan itu menoleh ke arah pintu.
Tampak seorang laki-laki dengan wajah tampan sempurna, kulit
putih susu, dengan tinggi dan tubuh ideal masuk ke dalam ruangan kerja Mr. Kim.
Secepat kilat wajah itu membuat Jae Im terdiam. Terperangah
akan wajah dihadapannya. Wajah itu…
“Yeobo…” Na Ri langsung menghampiri laki-laki itu.
Mata Jae Im membelalak kaget. Aliran darahnya seperti
berhenti. Kaku. Otaknya tidak mencerna apapaun. “Kyu… Na Ri…” Jae Im berkata
dengan suara parau dan pelan. Menahan tangisan diujung tenggorokan. Bola mata
Jae Im berair, matanya memanas sehingga produksi kelenjar air matanya
meningkat. Tetesan air mata semakin mendesak keluar. Namun, ia berusaha
menahannya. Ia lebih memlih keluar dan pergi dari tempat itu.
“Mr. Kim, karena sudah malam, sebaiknya aku pulang saja.
Semuanya aku serahkan padamu.” Hanya berpamitan dengan Mr. Kim, tidak untuk Na
Ri dan Kyuhyun yang sedari tadi masih terhanyut akan dunia mereka.
Jae Im pun membalikkan tubuhnya dengan kasar. Melangkahkan
kakiknya menuju pintu. Lalu keluar dari tempat itu.
-*-*-*-*-*-
Hanya bisa tersenyum sekenanya ketika Na Ri memeluk Kyuhyun.
Ia membalas pelukan hangat itu. Namun matanya fokus ke arah Jae Im. Kedua bola
mata kyuhyun berkaca-kaca saat melihat raut wajah Jae Im yang terlihat kecewa,
kesal, dan tidak keruan.
Kesedihan semakin menyelimuti Kyuhyun. Perasaan bersalah dengan
cepat memenuhi hati dan pikirannya. “Apa aku ini tidak memiliki perasaan seperti
seekor hewan? Apa diriku sebegitu hinanya? Sampai-sampai disamakan seperti
seekor hewan yang bisa mendua? Mengalihkan semua perhatian dan segalanya dalam
sekejap kepada orang lain. Hina sekali diriku ini. Tidak pantas untuk dicintai
dan mencintai.” Ia menjerumuskan dirinya ke dalam pusaran hitam nan kelam. Pusaran
tempat di mana suaranya menggema menghina dirinya. Semakin lama semakin menuju
pusat pusaran.
Seketika ia tersadar dari lamunanya. Dengan angkuhnya Ia
tidak menitikkan air mata sedikit pun. Walau tinggal sedikit lagi air mata itu
jatuh dari pelupuk matanya. Rasa gengsinya terlalu kuat dibandingkan
perasaannya.
“Oppa aku senang sekali kau datang.” Senyuman terukir
diwajah Na Ri.
“Aku Juga. Aku senang bisa menemanimu di sini.” Kyuhyun
mengatakan persetujuan. Berusaha membuat Na Ri senang dan tidak melihat ketidakfokusan
dirinya akan Na Ri.
-*-*-*-*-*-
Tangisan Jae Im semakin menjadi jadi. Rasanya seperti
menahan sakitnya peluru yang tertancap di selangka. Rasa sesak juga dengan
ganas menghampirinya. Hatinya hancur, serpihannya berserakan dan dalam sekejap
pun musnah.
“Aish untuk apa aku mengharapkan dan memerdulikannya. Untuk
apaaa? Kenapa kau pabo Lee Jae Im!!!” Jae
Im semakin menangis tersedu-sedu. Wajahnya basah. Terpenuhi air matanya.
Dalam perjalanan Ia masih terisak. Hanya isakan yang
terdengar di dalam mobil. Dan hanya ada dirinya, tidak ada orang lain. Orang
yang akan menyeka air mata di wajahnya. Seperti dulu.
Dulu saat Kyuhyun masih setia ada disampingnya. Masih
memiliki perasaan yang sama dengannya. Perasaan saling memiliki, saling
mebutuhkan, saling mencintai.
Mengingat hal itu, semakin membuat Jae Im menangis. Rasanya
Jae Im ingin menabrakkan mobil yang ia kendarai ke mobil lain dengan kecepatan
tingi agar ia tidak lagi merasakan rasanya sakit… sakit hati.
-*-*-*-*-*-
~At Home~
Pulang dalam keadaan wajah sedu, merah padam, dan basah.
Membuat Imo khawatir. Walau yang terlihat oleh Imo hanya aura kegalauan. Tapi
ia bisa merasakan ada yang tidak benar dengan nonanya itu. “Nona Jae Im?”
Jae Im pun menoleh kearah Imo dengan memasang wajah
datarnya.
“Nona tidak apa-apa?”
Jae Im tidak menjawab. Pikirannya kosong, hanya bisa
melangkahkan kaki di lantai rumahnya sebisa mungkin, agar sampai di kamarnya.
“Nona?”
Harapan Imo akan mendengar sebuah jawaban atau kata saja
dari Jae Im, tidak kunjung terwujud. Jae Im hanya tertunduk lemas.
Imo yang sedari tadi hanya memanggil Jae Im dari dapurpun
akhirnya menghampiri Jae Im yang sedang berjalan di ruang makan. “Nona?”
Kedua tangan Imo mencoba meraih rahang bawah Jae Im dengan
lembut. Imo sejajarkan wajah Jae Im dengannya.
Lirih rasanya melihat wajah Jae Im yang tidak keruan.
Apalagi wajahnya yang sedikit membenggak karena menangis. “Nona kenapa?” imo
bertanya dengan lembut.
Jae Im hanya menggeleng. Entah apa yang ada dipikirannya
sampai ia sebodoh ini. Melakukan tindkan yang sama sekali bohong.
Tetesan air mata itupun keluar dari pelupuk matanya.
Kekuatan pertahanannya goyah ketika ia melihat imo pada jarak yang sangat
dekat.
“Imooo!” kedua tangan Jae Im langsung merangkul tubuh imonya
itu. Tetesan bening itu semakin deras. Membasahi baju bagian bahu imo. Imopun
balas memeluk nona kesayangannya itu. Hanya imolah perempuan yang selalu ada di
samping Jae Im setelah ibunya meninggal.
Dieluslah punggung Jae Im dengan penuh kasih sayang. Setelah
cukup tenang, Jae Im melepaskan pelukannya. Segera imo mengusap bekas air mata
di bawah mata dan pipi Jae Im dengan lembut.
“Imo…”
“Hmm?”
“Aku sudah bertemu. Bertemu… Kyuhyun”
Seketika tangan imo berhenti. “Nona sudah?”
“Ya. Dan…”
Imo memenggal perkataan Jae Im. “Apa ia memberitahu suatu
hal?”
“Mmm bahkan tanpa bicara.”
“Maksud nona?” imo terlihat sangat heran. Ia merasa ada yang
janggal dengan pernyataan jae Im.
“Ya ia menjelaskan semuanya tanpa bicara sedikitpun.”
“Pe.. per.. nikahan itu?” Imo spontan berkata demikian.
Jae Im terbelalak kaget. Ia bertanya-tanya. Pernikahan?
Kenapa imo tahu. “ Imo.. tahu?”
Imo menganggukkan kepalanya. Lalu menunduk. “Maafkan saya
nona. Saya mohon, maafkan saya. Se..” Jae Im memotong perkataan Imo.
“Apa imo tahu semuanya?” terlihat nada penasaran disuaranya.
“Iiii… ya… nona. Imo ingin memberitahu nona saat di taman
waktu itu. Tapi karna nona melarangnya. Saya tidak berani.”
Jae Im hanya bisa menitikkan air matanya. Telapak tangannya
menutup mulutnya yang bergetar. Ia pejamkan matanya untuk menahan tetesan
bening itu.
-*-*-*-*-*-
Hari demi hari Jae Im habiskan di dalam kamar. Semenjak kejadian
itu Jae Im menjadi pemurung, tidak mau berbicara, makan pun susah.
Tulang rahang wajah gadis itu sangat terlihat. Semakin hari,
mukanya semakin tirus. Berat badannya juga turun drastis. Hampir-hampir Jae Im
terlihat seperti orang pengidap penyakit kanker stadium 4 yang sudah hampir
mati.
-*-*-*-*-*-
Tok… tok… tok…
“Nona? Ada tamu yang ingin bertemu.”
“………….”. Hanya kesunyian yang didengar Imo, tidak ada
sebersit suarapun yang terdengar ditelinganya.
Imopun membuka pintu kamar Jae Im dengan hati-hati.
Di dalam Jae Im terlihat sedang mendengarkan lagu dengan headphonenya. Sambil memegang iPad kesayangannya.
Imo menghampiri Jae Im. “Nona, ada tamu ingin bertemu.”
Jae Im menoleh lalu melepas headphone berwarna putih keungu-unguan itu. Ia bisa mendengar suara
Imo karena ia hanya memasang volume sedang pada headphonenya.
Imo dan Jae Im saling menatap. Belakangan ini ia lebih
menyukai berbicara lewat mata dibanding lewat mulut. Karena ia sangat tidak
ingin berbicara kecuali terpaksa.
“Sebentar Imo panggilkan tamunya.” Jae Im pun mengangguk
pelan.
Tiba-tiba seorang wanita seumuran Jae Im datang,
mengahampirinya yang sedang duduk berbaring di tempat tidur.
Tamu itu duduk dipinggir tempat tidur. Tepatnya di samping
pinggang Jae Im.
“Jae Im? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau jadi seperti
ini?” tamu itu membuka suaranya. Bertanya dengan nada yang sangat khawatir.
Wanita itu juga memegang punggung tangan Jae Im.
Jae Im memasang wajah sangat terkejut ketika mendengar suara
itu ditambah saat ia menoleh ke hadapan pemilik suara itu. Kemarahan bergejolak
hebat dihatinya.
Seketika jae Im berteriak. “Gaaaaa!!!!”. Menyuruh tamu itu—Na—Ri—pergi.
Kekesalan yang membeludak terlihat sangat jelas di raut wajahnya.
Na Ri terbelalak kaget. Ia bingung setengah mati, kenapa Jae
Im membentaknya. Menyuruhnya pergi. Padahal ia baru datang. Secara refleks dan
dengan perlahan Na Ri mundur, menjauh dari pandangan Jae Im yang sudah memelototinya
dengan tatapan mematikan.
Jari-jari Jae Imm menyisir ke belakang rambut depannya.
Berhenti di seperempat bagian kepalanya. Lalu menggenggamnya kuat. “Aaarrrrggghhh!!!”.
Semua perasaan negatif berkecamuk di hatinya.
Otak Jae Im memerintahkan kelenjar air matanya untuk
mengeluarkan tetesan bening itu. Jae Impun menangis. Semakin lama semakin
menjadi-jadi. Ia tekuk kakinya, ia sandarkan dagunya pada lututnya dan tanganya
pun merangkul kedua tekukkan kakinya. Meratapi kepedihan yang ia alami. Bukan
karena Na Ri ia menangis. Tapi karena laki-laki itu. Laki-laki yang dipilih Na
Ri sebagai calon suaminya. Ya walau tinggal satu minggu lagi laki-laki itu sah
menjadi suami teman dekatnya.
Yang terpikirkan Jae Im saat melihat Na Ri adalah ia seperti
melihat Kyuhyun. Laki-laki menyebalkan itu.
2 menit berlalu….
Ia berusaha meredakan tangisannya. Usahanya memang cukup
membuahkan hasil. Sekarang, hanya tinggal sesegukkan yang terdengar di ruangan
itu.
-*-*-*-*-*-
Kyuhyun melepaskan sandal rumah yang ia kenakan di samping
tempat tidur. Kakinya melangkah naik ke kasur, lalu duduk di ujung tempat
tidur. Sambil melipat kakinya.
Gerakan itu membuat tempat tidur Jae Im bergerak. Jae im pun
mendongak. Hanya sekitar 30 cm jarak antara dirinya dan Kyuhyun. Jae im hanya
bisa terpaku, tubuh dan mulutnya tidak bisa merespon pikirannya untuk menyuruh
laki-laki itu pergi.
1 menit berlalu…
Posisi mereka masih sama. Saling menatap satu sama lain
penuh arti.
2 menit berlalu…
Tidak ada yang berubah. Mereka berdua sama-sama membeku
seperti patung.
4 menit berlalu…
Tiba-tiba kyuhyun membuka mulutnya dan mengeluarkan suara.
“Kenapa.. kau jadi seperti ini?”
Jae Im langsung menunduk. Tidak mau menatap laki-laki itu
lagi. Dan ia tidak menjawab pertanyaan itu.
“Jae Im ayolah berbicara. Aku mohon… aku tahu kau tidak mau
berbicara padaku. Berbicara dengan laki-laki brengsek yang tidak sama sekali
pantas untukmu bukan?”
Jae Im tersentak. Pikiran dan hatinya kalut. Ia merasa tidak
tega melihat Kyuhyun menyalahkan dirinya sendiri. Tapi Jae Im tidak bisa
mengelakkan kalau memang Kyuhyun laki-laki seperti itu.
“Kyu….” Jae im menyejajarkan pandangannya dengan kyuhyun.
“Huh akhirnya. Ada apa?” Kyuhyun mengelus dadanya yang
sedari tadi sudah tegang.
“Apa aku boleh meminta satu permintaan?”
“Mmm tentu boleh. Sangat boleh.” Kyuhyun sumringah melihat
Jae Im mau membuka mulut dan berbincang dengannya.
“Aku mohon. Jangan pernah sekali lagi kau menghakimi dirimu
sendiri. Jangan pernah bilang kalau kau laki-laki brengsek. Kau itu bukan
laki-laki seperti itu. Kau itu sangat baik. Kau itu laki-laki paling baik yang
pernah aku temui. Laki-laki yang selalu tetap ada disini… di hatiku… menempati
setiap jengkal ruang dihatiku. Laki-laki yang selalu mendukung semua
keputusanku. Laki-laki yang dengan tulus menempati diriku di ruang kosong di hatimu.
Laki-laki yang menerangi hari-hariku ketika aku terpuruk.” Jae Im meyakinkan
Kyuhyun. Ia genggam tangan kyuhyun dengan lembut. Kyuhyun pun menerima hal itu.
Ia tersenyum terharu mendengarnya.
“Kau tahu Jae Im? Selama kita bersama. Kata-katamu adalah
semangatku, yang selalu membuatku bangkit dari jurang nan kelam.”
Jae Im memasang wajah datar. Ia tidak merespon pernyataan
kyuhyun. Karena sebenarnya ia tidak mau memberi harapan yang banyak terhadap
laki-laki itu. Apa yang ia lakukan tadi hanya supaya Kyuhyun tidak terpuruk.
Karena ia tahu. Kyuhyun tipikal laki-laki yang mudah terjerumus ke dalam
pikiran jeleknya sendiri.
Lalu perlahan Jae Im melepaskan genggaman itu.
“Tapi… kukira kau akan selamanya seperti itu. Ternyata
tidak. Ternyata diriku sudah tidak lagi menempati ruang kosong itu. Kau sudah
mengahapus diriku dan menggantinya dengan sosok lain. Sosok yang menurutku
memang pantas untukmu. Dia baik, cantik, pintar, religious, dan satu hal, ia
tak secengeng diriku. Na Ri. Ya Na Ri. 3 tahun aku bersamanya. Menjadi teman
dekat yang sudah cukup saling mengenal satu sama lain.”
Kyuhyun terkesiap. “Na.. Riii, Kim Na Ri?”
“Sudah kuduga reaksimu itu.”
“Teman, ah ani, sahabat? Itu tidak mungkin. Ia tidak pernah
bercerita tentang dirimu.”
“Haruskah seseorang yang dekat denganmu menceritakan
segalanya? Kau saja tidak menceritakan rencana pernikanmu padaku. Saat kita
bertemu dirumah itu. Setidaknya, kalau saja kau mau jujur dan bercerita
denganku bukan dengan imo. Mungkin diriku hari ini tidak akan pernah menjadi
seperti saat ini.”
Kyuhyun mengernyit. Iya menangkap sebuah kata yang janggal.
Imo. Ya imo. “Imo? Apa Imo menceritakkan semuanya denganmu?”
“Ani. Dia tidak bercerita. Tadinya ia ingin. Namun aku
melarangnya. Karena tidak mau mendengar kabar apapun darimu. Pernikahan ini,
aku tahu saat kau datang di butik Mr. Kim.”
Kyuhyun terdiam. Membatu. Tetesan air mata keluar dari
matanya.
Baru pertama kali Jae Im melihat Kyuhyun menangis. Ia tidak
menyangka bahwa laki-laki yang pernah—masih—dicintainya. Yang selalu bersikap
angkuh untuk menitikkan air mata. Akhirnya melakukan hal bergengsi untuknya
itu.
“Mianhaeyo. Jeongmal mianhaeyo. Semua keputusanku memang
salah sejak awal. Mengkhianatimu, menduakanmu sejak awal. Lalu setelah bertemu
kembali justru aku sedang menjalin hubungan dengan wanita yang berbeda.
Bukan bersama wanita yang membuat kita berpisah. Tapi justru
bersama sahabatmu. Sungguh aku ini laki-laki paling hina. Yang sama sekali
tidak perlu menjadi bagian dari kehidupanmu bukan?” Kyuhyun tertunduk, tak kuasa
menahan rasa bersalahnya.
Dengan tegas Jae Im menjawab. “Mmm memang seharusnya seperti
itu. Tapi… takdir berkata lain Kyu. Kau Cho Kyuhyun. Telah ditakdirkan menjadi
bagian perjalanan cintaku. Tuhan mengirimmu untukku, agar aku bisa mengerti
laki-laki. Mengerti bahwa ada laki-laki baik dan sempurna sepertimu.
Namun, lemah iman saat tuhan mengirimkan—godaan—cobaan.
Mungkin kau menyesal sekarang. Tapi semua sudah terjadi. Dirimu tidak bisa
berdiri tegak dengan segala kekuatan yang kau miliki untuk menahan terjangan
ombak air laut yang kuat. Kau hanya bisa terhanyut ke dalam ombak itu.
Mengikutinya sampai ombak itu terhenti dan kau sadar, bahwa kau sudah memilih
keputusan yang sangat salah.”
Kyuhyun berusaha mencerna kata-kata Jae Im dalam diam.
“Bisakah ku ulang waktu. Agar aku bisa kuat menahan
terjangan itu?”
“Pertanyaan rerotis. Tentu saja tidak.”
“Kau benar.” Dengan pasrah Kyuhyuhn mengiyakan apa yang Jae
Im katakan. Entahlah mungkin ia mulai menyadari segala sesuatunya.
Entah berapa lama kami terhanyut dalam diam. Lalu tiba-tiba
Kyuhyun berbicara.
“Maukah kau berjanji padaku?” Kyuhyun meminta sebuah
permohonan pada Jae Im.
“Apa itu?”
“Kau tidak mau menyesal dikemudian hari sepertiku kan?”
“Tentu saja tidak.”
“Kalau begitu, kau harus makan. Memulai hidup baru dengan
penuh semangat. Hapus semua penderitaan yang menyangkut diriku. Karna itu…
tidak penting untuk dipikirkan. Dan satu hal, jangan buat wajah cantikmu menjadi
seperti ini lagi. Eotte?”
Jae Im menarik kedua sudut bibrinya ke atas. Senyumman tulus
darinya memancarkan sinar yang membuatnya terlihat lebih segar.
Kyuhyun ingin memeluk Jae Im. Namun dirinya tidak punya
keberanian untuk hal itu. karena ia merasa tidak pantas untuk melakukannya.
Memberi kehangatan yang sudah tidak murni kepada wanita yang dengan tulus
menicintainya.
-*-*-*-*-*-
5 Months Later…
Hidupnya berangsur membaik. Melewatinya dengan penuh
kebahagiaan. Jae Im menemukan gairah semangatnya kembali. Yang beberapa bulan
lalu sempat terkubur sementara waktu pada peti kayu di hatinya.
Dan beberapa bulan lalu yang harusnya ia menghadiri
pernikahan mantan kekasihnya dan sahabatnya itu. Ia tidak melakukannya. Jiwa
dan batinnya tidak kuasa bertindak untuk menyakiti dirinya sendiri.
Jae Im tidak mau lagi menyakiti hatinya dengan sebuah belati
yang ia genggam sendiri. Sudah cukup apa yang ia lakukan waktu itu. Menusukkan
belati itu pada dirinya. Mematikan semua sistem pada tubuhnya.
Dan pada akhirnya walau perasaan itu hilang. Bekasnya masih
tersisa. Dan akan selalu terasa saat kenangan itu berputar kembali.
The
End
Omo,... keren thor,... berasa banget ceritanya :'( kutunggu ffmu yg lainnya ne?^^ Fighthing!
BalasHapus