ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Sabtu, 10 Januari 2015

Like A Fairytale [Chapter 1- The Writer and Composer]

 

Like A Fairytale [Chapter 1]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.



***

          Jemarinya menari lincah di atas papan ketik. Merancang kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan akhirnya membentuk seuntai kisah. Kedua manik hitamnya menatap lekat layar komputer, seolah mencurahkan segenap fokus disana. Selang beberapa menit kemudian, Bomi menghentikan aktivitas. Ia menggeliat dalam posisi duduk, memejamkan mata, serta menguap.

           Tanpa terasa jarum jam telah menunjukkan angka 03.00. Hal tersebut sama sekali tak membuat Bomi terkejut. Ia terbiasa bekerja hingga pagi. Menjadi penulis memang pekerjaan abstrak, kau butuh mood dan ide untuk dapat bekerja. Bomi bukan penulis tenar, namun setidaknya ia menghasilkan cukup banyak uang untuk hidup, bahkan membeli apartemen pribadi. Memiliki tempat tinggal sendiri memang penting bagi Bomi, sebab ia tidak mampu bekerja dalam suasana gaduh.

           “Aigoo!“

           Bomi mengerang, tubuhnya tak sanggup diforsir lebih jauh. Iapun bergegas menonaktifkan komputer kesayangan, lalu setengah menyeret kedua tungkai menuju kamar tidur. Ruangan seluas 7x8 meter tersebut didesain sederhana, namun memberi kesan chic dengan warna cokelat muda mendominasi. Ada jendela besar disana, sebagai sarana Bomi mengamati pemandangan kota Seoul melalui ketinggian lantai 7 apartemen.

          Ia melempar tubuh letihnya di atas kasur queen size dengan cover pink bermotif bunga, tanpa ambil pusing mengganti pakaian terlebih dahulu. Lagipula, kaus dan celana pendek yang dikenakannya cukup nyaman kini. Dan dalam hitungan detik, sang gadis telah berkelana menuju alam mimpi.



***


           “Kopi anda, Tuan.”

           Xi Luhan mengangguk singkat pada sang asisten yang kemudian berlalu pergi. Ia mengambil cangkir tersebut dan menyesapnya perlahan. Hangat nan manis. Ya, dia tidak menggemari kopi pahit. Entahlah, lidahnya mengajukan protes jika ia terpaksa mengonsumsi cairan itu.

           Segera setelah tubuhnya menghangat –karena kopi. Luhan pun melanjutkan kembali kegiatan semula, membuat lirik. Beberapa minggu dihabiskan ia untuk menciptakan lagu baru, dan kini hal terakhir yang perlu ditemukannya sebelum meluncurkan karya itu adalah : lirik. Namun jujur saja, belakangan ini dia tidak mendapat inspirasi. Luhan tidak tahu kisah cinta macam apa yang layak ia tuangkan dalam lirik kali ini.

           Pria cina tersebut menghabiskan satu jam berikutnya dengan merenung, berpikir. Sayang, dewi fortuna sedang tak berpihak padanya. Belum ada ide tersirat. Luhan menggerutu sembari mengetuk-ngetukkan ujung pena di atas meja. Menghasilkan bunyi tak-tuk beraturan. Meski pada ujungnya, ia memutuskan untuk menyerah dan pergi tidur.



***


          Pagi ini Son Naeun kembali disambut wajah lesu Bomi. Kantung mata sang penulis muda tampak jelas ketika dia melangkahkan kaki menuju meja pojok, tempat favorit di restoran favorit mereka pula. Naeun dan Bomi sama-sama menyukai makanan Cina. Entahlah, mungkin karena sensasi eksotis hidangan negeri tirai bambu begitu mengesankan.

          “Yah, kau tidak tidur lagi semalam?“

           Bomi segera mendaratkan pantat di atas bangku, sekaligus menyandarkan punggung di sandaran kursi. “Bagaimana aku bisa tidur jika ide muncul begitu saja di dalam kepalaku? Aku harus menulisnya secepat mungkin, sebelum aku melupakannya.” Bomi mendesah pelan. Kedua pelupuk mata ia pejamkan, indranya itu terasa panas sebab terlalu lama bercengkerama di depan layar komputer.

           Decakan kecil adalah respon Naeun. Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada. “Tidak semua penulis adalah makhluk malam sepertimu!”

          Tidak terima dengan olokan sahabatnya, Bomi memilih kembali mengaktifkan indra penglihatan dan memutar bola matanya, mendramatisir. “Oh tolonglah, aku manusia bukan kelelawar.” Naeun hanya mendengus tak percaya. Dan sebelum perdebatan antar sahabat itu berlanjut, seorang pelayan restoran menghampiri meja. Sang pelayan membungkuk hormat sebelum meletakkan buku menu di atas meja, yang segera diambil alih oleh Bomi.

          “Ma Yi Sang Shu, Jiaozi, Chow Mein… dan secangkir teh cina.” Begitulah Bomi menyebutkan pesanannya, disusul oleh Naeun yang hanya menginginkan tahu ma po. Well, tidak perlu otak cemerlang untuk menebak seberapa besar nafsu makan Yoon Bomi. Lalu sang pelayan pun undur diri, sementara Naeun mengacungkan dua jempolnya, “Selera makanmu luar biasa, daebak! Aku tidak tahu bagaimana perutmu sanggup mencerna semuanya.“

           Sesungguhnya Bomi tahu jika Naeun mengolok selera makannya. Tapi hey! Ketika fokus menulis di rumah, ia tidak akan menginjakkan kaki ke luar selama berhari-hari. Dan itu berarti, Bomi tidak memiliki kesempatan mengonsumsi makanan enak –dia tidak bisa memasak. Otomatis, Bomi harus puas dengan Ramyeon.

           “Aku tahu aku memang hebat, Arrachi?” Bomi melakukan aegyo sebagai tanggapan atas ‘ejekan’ Naeun. Sementara lawan bicara hanya mengibaskan sebelah tangan, berakting jengah.

           “Jadi, sudah sejauh mana kau mengerjakan bukumu?“

           “Err-“ ia bertopang dagu. “Kira-kira 40%? Entahlah, belum terpikir olehku bagaimana akhir ceritanya.“ jawabnya jujur. Memang sebagai seorang penulis, Bomi lemah dalam merancang ending. Secara pribadi, ia lebih menggemari sebuah kisah dengan akhir bahagia. Namun, bukankah cerita akan lebih menarik dan mengaduk emosi jika berakhir menyedihkan?

           “Belum muncul ide sama sekali?“

           Otomatis Bomi menggelengkan kepala seraya eskpresi suram tercetak pada wajahnya. “Kuharap aku bisa mengatakan hal sebaliknya. Tapi sayang aku tidak bisa. Yeah, belum ada ide.” Ia menghela napas dalam. Sementara Naeun mencondongkan tubuh ke depan agar dapat menepuk pelan pundak sahabatnya, sekaligus melempar seulas senyum penenang. “Eish, kau pasti bisa menyelesaikannya cepat atau lambat. Semangatlah, oke?”

           Bomi mengangguk singkat menyetujui ucapan Naeun. Memang benar, cepat atau lambat ia pasti menyelesaikan karya ketiganya. Beberapa menit kemudian, hidangan merekapun tiba. Kedua manik hitam Bomi berpendar bahagia melihat semua makanan favoritnya. “Wow, berapa lama aku tidak makan seenak ini? “ kemudian Bomi mulai menyantap chow mei dengan rakus.

           Naeun mengabaikan tingkah Bomi dan makan dalam diam. Berbeda 180 derajat dibandingkan teman makannya itu. Jika ada kata pendeskripsi Son Naeun secara keseluruhan, maka kata tersebut merupakan: Anggun, Cantik. Sudah dapat diduga sesungguhnya, berdasar fakta pekerjaan Naeun sebagai seorang model.

           “Oh ya, bagaimana dengan kau? Pekerjaanmu lancar-lancar saja? “ pertanyaan Bomi terlontar dalam sela-sela kegiatannya mencerna makanan. Membuat Naeun mengernyit tak nyaman. “Yah,telan dulu makananmu!” Dan setelah kerongkongan Bomi menamatkan gerak peristaltiknya, Naeun menyahut, “Tidak ada hal istimewa. Hanya photoshot, runway.. pekerjaan biasa.”

            Acara makan mereka terusik ketika ponsel Bomi berbunyi nyaring. “Seulpeun hajiman nonono.. honjena anniya nonono~ “ Identitas sang penelepon yang terpampang di layar touchscreen membuat Bomi menghela napas seketika. Ia menekan tombol jawab dengan tampang suram. Dari sanalah Son Naeun dapat menebak jelas siapa lawan bicara Bomi di telepon.

           “Ne, Seungah-ssi?

           Oh Seungah merupakan kepala editor di perusahaan percetakan –yang mempublikasi buku Bomi. Sesungguhnya wanita muda itu memiliki tampang menarik, sayang Seungah seorang Workholic. Dia terlampau ambisius hingga terkadang membuat para penulis malas berurusan dengannya.

           Yoon Bomi menaikkan kedua alisnya, memberi sinyal pada Naeun bahwa ia hendak melanjutkan perbincangan telepon di luar restoran. Tempat tersebut memang lumayan ramai, membuat Bomi tidak mendengar jelas suara sang editor. Begitu Naeun mengangguk mengerti, Bomi segera melenyapkan diri dari sana.

           “Tunggu sebentar Seungah-ssi, di sini sedikit ramai.



***


           Xia Luhan memarkir Ferrari hitam miliknya di halaman parkir restoran. Setelah mematikan mesin mobil, ia pun turun dari kendaraan tersebut. Ia sempat terdiam mengamati restoran Cina yang telah lama tak dikunjunginya itu. Secara tak sadar, seulas senyum tipis terkembang perlahan menghiasi wajah Luhan. Seiring dengan puluhan kenangan yang tersirat dalam benaknya mengenai tempat itu.

           Langkahnya konstan nan ringan saat memasuki restoran. Ia bertekad untuk berjalan langsung menuju lantai tiga, tanpa menyapa para pegawai restoran. Well, Luhan dapat menemui mereka nanti. Sayangnya, peristiwa tak menyenangkan membuat aktivitasnya tertunda sesaat.

           “Seungah-ssi, aku akan menyelesaikan buku itu 7 bulan lagi. Beri aku sedikit waktu. Arraseo? Apa? 4 bulan? Aku tid- aduhh! “

           Terlampau larut dalam perbincangan di telepon, seorang gadis tanpa sengaja menabrak Luhan. Dan otomatis –karena kekuatan fisik yang berbeda- sang gadis terjungkal ke belakang. Luhan terkejut. Tentu saja. Namun anehnya, ia tidak merasa kesal sama sekali.

           Di sisi lain, Bomi dilanda panik. Bukan karena rasa sakit di pantatnya. Bukan juga karena ia menabrak orang asing dan takut orang yang berdiri di depannya ini marah. Tetapi, karena ia tanpa sengaja –saat jatuh tadi- menekan tombol untuk mengakhiri panggilan.

          Tamatlah riwayatmu, Yoon Bomi.

          “Hei, kau baik-baik saja?” suara pria asing itu menembus gendang telinga Bomi, membuatnya sontak mendongakkan kepala. Dan sekarang Bomi berani bersumpah, bahwa wajah pria itu merupakan wajah paling menarik yang pernah dilihatnya seumur hidup. Bagaimana mungkin seseorang memiliki wajah tampan sekaligus cantik? Oh Tuhan. Karena Bomi tidak menjawab, maka Luhan kembali bertanya, kali ini dengan mengeraskan sedikit volume suaranya.

          “Hei? Aku bicara padamu.” Luhan menggoyang-goyangkan sebelah tangan tepat di hadapan wajah Bomi, membuat gadis itu ‘tersadar’ seketika. “Ha?” selama beberapa detik, ia menjadi salah tingkah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian Bomi menerima uluran tangan Luhan seraya bangkit berdiri. Dirasakannya sensasi hangat melalui tangan sang pria asing. Nyaman. Begitu Bomi berhasil berdiri tegak menggunakan kedua kakinya sendiri, Luhan membungkukkan badan sedikit –ucapan salam di korea- kemudian berlalu pergi. Bahkan sebelum kata ‘maaf’ sempat meluncur melalui bibir sang penabrak.

          “Ah, sudahlah.. “


 ***


           Luhan menaiki tangga secepat mungkin, bahkan melewati dua anak tangga sekali melangkah. Kegembiraan membuncah di dada. Belum lagi gairah dalam memenuhi rindu yang menumpuk. Tanpa secuilpun keraguan tersirat, Luhan memutar kenop pintu dan melangkah masuk dalam ruangan luas –seperti dalam apartemen. Sensasi sejuk pendingin ruangan menyapu lembut permukaan kulit Luhan. Pandangannya melayang mencari sosok spesifik yang ia harapkan kehadirannya disana.

           “Mama! (sebutan Ibu bahasa Cina) ”

          Suara Luhan yang menggema di seantero tempat tinggal membuat nyonya Xi sontak terkejut, bergegas pula ia meninggalkan pekerjaan dapur dan meringsek menuju pintu depan. Seulas senyum terkembang di bibirnya begitu mendapati sang buah hati mengunjunginya. Diapun merengkuh Luhan dalam pelukan hangat seorang ibu.

           “Wo erzi –anak laki-laki, kemana saja kau, huh? Terlalu sibuk bekerja sampai melupakan ibumu sendiri?” nyonya Xi berdecak kecil seraya melepaskan Luhan dari dekapannya. Sang anak hanya memamerkan cengiran lebar. “Maaf, aku benar-benar tidak bisa melepaskan pekerjaanku.”

           “Aigoo.. “

           Nyonya Xi mencubit pelan ujung hidung Luhan kemudian keduanya mendaratkan pantat di sofa besar yang terdapat di tengah ruang utama. Luhan dan Ibunya duduk berhadapan dengan meja kaca sebagai pemisah. Terlepas dari letak yang kurang sesuai –di lantai teratas restoran keluarga mereka- kediaman Nyonya Xi tergolong mewah. Segala furnitur yang terletak disana memiliki harga diatas rata-rata. Kau bisa membayangkan tempat tersebut sebagai sebuah kondominium.

          “Jadi, apa yang membawamu kemari? Aku tahu kau tidak akan mengunjungi ibumu ini tanpa alasan jelas.” Pertanyaan ibunya membuat Luhan kembali tersenyum kecil. Nyonya Xi memang mengenal Luhan dengan terlalu baik. Bagaimanapun juga, ikatan darahlah penghubung mereka.

           “Benarkah? Tapi aku hanya merindukan ibu, karena itu aku datang kemari.” elaknya. Namun Nyonya Xi menggelengkan kepala, menolak untuk percaya. “Aku tidak seperti gadis-gadis yang biasa kau kencani itu. Jadi jangan merayuku, Xi Luhan.” Kalimat tersebut membuat Luhan larut dalam gelak tawa. Disamping anggun, ibunya juga memiliki selera humor. Tawanya baru terhenti ketika nyonya Xi melempar tatapan serius.

           “Oh baiklah. Jadi, sebenarnya aku kemari untuk memberitahu jika aku akan berlibur ke Paris. Dan mengenai pindah apartemen, aku telah menemukan tempat baru. Tidak perlu repot mencarinya lagi untukku.” Jelas Luhan.

           Kedua alis nyonya Xi terangkat heran. Bukan karena ia tidak mengetahui tentang kepindahan Luhan –anaknya sudah memberitahu sekitar satu bulan lalu, sejak teman se-apartemen Luhan memutuskan untuk menikah. Oh Sehun berencana membawa istrinya tinggal di sana. Jadi, Luhan yang tahu diri segera mencari tempat baru untuknya tinggal.

           “Kau akan berlibur ke Paris sendirian? Berapa lama? Kenapa tiba-tiba sekali? Apa kau... sedang mengalami masalah?” terdapat kekhawatiran di balik kalimat bertanda tanya tersebut, terselip dalam nada lembut ibunya. Dan lagi-lagi, seulas senyum Luhan terkembang lebar. Kekhawatiran Nyonya Xi memang beralasan, berdasar fakta bahwa Luhan tidak pernah menginjakkan kaki di luar negeri selain untuk urusan pekerjaan. Misalnya, ketika seorang produser meminta Luhan menyaksikan proses pembuatan video musik lagu yang diciptakannya di Paris tahun lalu. Tahun ini pula, ia hendak menuju kota mode tersebut, namun dengan tujuan berbeda.

           “Aku hanya ingin mengambil jeda sejenak. Bekerja terus menerus membuatku stress.” Luhan mengedikkan bahu santai. Sang ibu hendak menyela ketika Luhan bergegas melanjutkan, “Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, tenang saja.”

           Nyonya Xi terdiam beberapa saat - Seolah tengah menimbang sisi positif-negatif tindakan Luhan, sebelum akhirnya mengangguk paham. Yah, lagipula ini hanya liburan singkat nan sederhana. Probabilitas terjadi hal buruk disana cukup kecil.

           “Kau berencana berlibur berapa lama?”

           “Kurang lebih 2 minggu. Tapi bisa jadi aku memperpanjangnya.”

           Sang wanita paruh baya kembali mengangguk, kemudian menatap anak semata wayang ia sarat kasih sayang, “Jangan enggan menelepon kalau kau butuh apapun, oke?”

           Luhan mendecakkan lidah. Tak mengerti mengapa mamanya memperlakukan ia layaknya bocah kecil. Lagipula, Luhan kerap kali bepergian ke luar negeri, meski tak pernah seorang diri. Tetapi tetap saja intinya, dia memiliki pengalaman menginjakkan kaki di luar wilayah Korea Selatan.

           “Baiklah.”



***



             Separuh porsi tahu ma po Naeun telah tandas ketika Bomi kembali ke meja mereka. Dengan raut lesu, Bomi menghempaskan tubuh di atas kursi. Kemudian ia menyeruput kasar teh Cina yang belum sempat dikonsumsinya tadi. Baru beberapa teguk, kedua manik hitamnya membulat sempurna. Terkejut.

           “Apa ini? Panas sekali!”

           Naeun memutar bola mata, jengah. Tak tahukah sahabatnya satu ini jika teh Cina memang selayaknya diseduh dalam temperatur tinggi? Tetapi Naeun memilih diam tanpa berkomentar. Sebab, melalui ekspresi wajah Bomi, ia dapat menebak mood sang sahabat kini. Naeun memutuskan tutup mulut hingga seluruh menu sarapan Bomi berakhir dalam perutnya, sebelum kembali angkat bicara.

           “Aku tidak tahu apa yang membuatmu kesal sekarang, tapi.. “

           Bomi menyipitkan mata seraya melempar tatapan tajam menusuk pada Naeun. Suasana hati ia sedang tak baik, dan kata ‘tapi’ di akhir kalimat selalu memberi kesan buruk bagi Bomi. Seolah paham betul sifat Bomi, Naeun bergegas meletakkan kedua tangan di depan dada, menolak –dugaan apapun- yang tengah menaungi otak Bomi. “Hey, tenang dulu! Aku tidak berniat membahas hal buruk, sungguh.”

           Naeun menelan ludah ketika Bomi tak mengindahkan ucapannya, sang lawan bicara kini mendekap kedua tangan di depan dada. Seorang Yoon Bomi bisa saja tampak lembut dan ceria dari luar, tetapi sahabatnya lebih dari tahu jika Bomi merupakan seorang pemegang sabuk hitam taekwondo. Meski begitu, Naeun tak mengurungkan niat untuk membahas topik yang ingin ia bicarakan.

           “Kau butuh inspirasi, kan?” tanya Naeun tiba-tiba, membuat Bomi mengerang jengah. Well, bukankah jawabannya sudah jelas? Tetapi, sebelum kadar kekesalan Bomi memuncak, Naeun kembali berkata, “Aku ingin mengajakmu pergi berlibur. Kau tahu, mungkin ini bisa memberimu pencerahan.” Jelasnya seraya mengedikkan bahu. Sementara binar penasaran tampak dalam kedua manik hitam sang sahabat. Bomi mencondongkan tubuh ke depan, kemudian bertopang dagu. “Berlibur kemana?”

           “Paris. Ada fashion weeks disana, dan agensi menyuruhku mengikuti beberapa peragaan. Aku akan sibuk selama beberapa hari. Tapi sisa hari dimana aku tak sibuk, kita bisa bersenang-senang bersama, iya kan?”

           Hening sejenak. Agaknya Bomi belum mempercayai kata-kata Naeun. Tetapi, mengingat bahwa Naeun bukanlah sosok yang gemar bercanda –seperti dirinya, maka sepertinya Naeun tidak sedang berbohong.

           “Apa kau.. sungguh mengajakku pergi ke sana?”

           Naeun mendesah keras dan hendak memutar bola matanya, “Untuk apa aku berb- YAH! YOON BOMI LEPASKAN!” jerit frustasi sang sahabat tak diindahkan oleh Bomi. Terlampau semangat, gadis tersebut mencubit keras pipi Naeun. Rasa kesalnya tadi menguap entah kemana. Well, Bomi mempunyai uang untuk pergi ke sana –keluarganya kaya- tetapi ia tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di luar Korea –kecuali Jepang- seorang diri. Dan ajakan Naeun kali ini sungguh membuatnya bahagia.

           Paris, I’m Coming!! 

.
.
.
TBC...

**********



A/N : OH YEAH! Setelah menghilang (?) cukup lama akhirnya saya kambek lagi. Dan cerita kali ini cast utamanya HanMi Couple. Author belakangan lagi demen Bomi sih ._.v Jadi gimana? Tolong kasih pendapat, saran, kritik kalian di kolom komentar ya! ^^ thanks for reading.

3 komentar:

  1. Apik kok...
    Aku suka perane boomi wkwk
    Well, penasaran gmn kelanjutannya..

    BalasHapus
  2. wkwkw. karakter atau peran? ._. tapi makasih udah suka <3
    btw, tumben komen disini? baru sadar saya --v
    oke tuh chapter 2 udah out :v

    BalasHapus
  3. thor, fotonya slah orang, it chorong bkan bomi :v

    BalasHapus