ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Rabu, 21 Januari 2015

Like A Fairytale [Chapter 2- Firework, Snow?]



Like A Fairytale [Chapter 2]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.



***

H-2 Paris.



Malam itu Bomi mengenakan mantel tebal dan syal merah muda ketika keluar dari apartemen. Sembari bersiul pelan berjalan menuju lift, menekan angka 1, dan akhirnya tiba di lobi lantai dasar. Ia mengangguk singkat pada satpam penjaga, kemudian meninggalkan gedung tersebut.

Angin malam berhembus, menyapu lembut permukaan kulit sang penulis muda. Bomi pun menghela napas dalam. Kedua pelupuk mata terpejam saat menikmati udara segar yang mendominasi paru-paru. Betapa lega ia menghirup udara bebas lagi, semenjak 3 hari lalu mengurung diri di apartemen. Bomi berusaha fokus menulis. Tetapi entah kenapa, ia tak puas dan hanya berakhir menghapus paragraf-paragraf tersebut.

Malam ini adalah malam tahun baru. Terdapat kurang dari 5 jam tersisa hingga angka 2014 berganti. Dan disaat ratusan manusia lain menghabiskan malam spesial bersama kekasih, sahabat, atau keluarga, Bomi terpaksa melewati malam seorang diri. Naeun sedang bersama Taemin, sedangkan orangtuanya sibuk bekerja. Yah, tidak ada hari libur bagi mereka. Kekasih? Well, Bomi tak punya.

Ia merapatkan mantel yang dikenakannya, tak lupa menyelipkan telapak tangan dalam saku mantel. Mencoba mengurangi efek serangan malam musim dingin. Kemudian ia kembali melajukan langkah-langkah panjang nan terarah. Ada pertunjukkan kembang api di alun-alun kota malam ini, dan ia berencana menjadi salah satu penonton. Sebab meski sendirian, bukan berarti ia tak dapat ‘bersenang-senang’ kan?


***



Malam berangsur larut ketika Luhan meninggalkan restoran ibunya. Restoran cina mereka tengah kebanjiran pelanggan, hal wajar berdasar fakta bahwa malam ini merupakan malam tahun baru. Bahkan Nyonya Xi turut serta membantu di dapur –saking ramainya. Dan Luhan yang tahu diri karena tidak memiliki keterampilan memasak serta ceroboh –rawan menjatuhkan piring, memilih untuk pergi dari sana. Dia tak ingin menjadi benalu.

Ferrari miliknya meluncur mulus di jalanan kota Seoul, terus melaju tanpa arah. Luhan memang tak memiliki rencana tertentu sekarang. Namun ia juga belum ingin kembali ke apartemen. Seraya memikirkan kegiatan atau tempat tertentu dimana ia bisa ‘bersenang-senang’, Luhan terus menggerakan kemudi. Hingga indra pendengarannya menangkap sesuatu. Layaknya ledakan, namun tak sekeras itu. Dan bunyi tersebut terus berlanjut. Berulang-ulang.

Dilanda penasaran, Luhan menghentikan mesin mobil dan menoleh ke samping kirinya -jendela mobil. Keterkejutan tergambar jelas melalui ekspresi Luhan begitu menyadari warna-warna yang bertebaran di langit malam. Ada merah, kuning, hijau, ungu, dll. Mereka memiliki berbagai bentuk. Indah. Ini bukan seperti Luhan tidak pernah menonton pertunjukkan kembang api sebelumnya. Tentu ia pernah! Tetapi ia jarang melihatnya, mungkin bisa dihitung dengan jari tangan.

Kedua manik hitam Luhan terpaku pada warna-warna tersebut. Sementara seulas senyum terukir menghiasi wajah tampannya. Entah mengapa tiba-tiba ia teringat akan sosok kecil yang dulu kerap menemani. Luhan pernah menghabiskan malam tahun baru bersama orang itu, dengan menonton kembang api bersama.


***



Tubuh mungil Bomi terdesak kesana kemari oleh kerumunan manusia. Saling berebut mendapatkan posisi strategis demi menonton pertunjukkan yang akan segera dimulai. Bomi nyaris terjungkal ke belakang –terdorong orang sebelahnya- ketika ponselnya berbunyi nyaring. Sengaja ia mengabaikan dering telepon pertama. Namun tidak lagi dengan dering kedua. Getaran ponselnya cukup menganggu dan ia khawatir akan adanya panggilan penting.

Yeoboseoyo?” Bomi menempelkan ponsel ke telinga kanan sembari menyapa sang penelepon dalam suara sekeras mungkin. Suasana tengah jauh dari definisi kata ‘sunyi’ kini.

Yah! Yoon Bomi, Kenapa kau baru mengangkat teleponmu? Aku meneleponmu 5 kali!”

Tanpa perlu mengecek ID penelepon, Bomi telah mengetahui siapa pemilik suara di seberang sana. Suara familiar Son Naeun. Siapa lagi? Well, Bomi tidak sadar jika teleponnya meraung sebanyak 5 kali. Dan gadis itu memutar bola matanya seraya membalas ocehan kesal Naeun. Yang benar saja, dalam situasi ini, bagaimana mungkin ia merespon cepat sebuah penggilan?

“Dengar, aku sedang tidak bisa berlama-lama di telepon denganmu. Jadi, cepat katakan apa tujuanmu meneleponku sebelum aku memutus sambungan.”

Bomi mendengar helaan berat napas Naeun dari seberang.

“Aku hanya ingin tahu apa yang kau lakukan. Ini malam tahun baru! Maksudku, jika kau mau… kau bisa bergabung denganku dan Taemin oppa. Kami tid-“

Hey! Aku tidak berminat menjadi obat nyamuk di antara kalian.”

“Aku berjanji tidak akan membuatmu merasa begitu“

Kali ini giliran Bomi mendesah keras. Walaupun kata janji meluncur melalui bibirnya sendiri, tetapi ia juga tahu seberapa mudah sang sahabat mematahkan ‘janji’ tersebut. Bomi lebih dari paham jika tak kurang dari 15 menit setelah mereka berkumpul bertiga, ia akan terabaikan seketika. Dan hal itu berada dalam urutan terakhir to do list Bomi.

“Aku sedang menonton pertunjukkan kembang api sekarang. I’m fine by myself, Son Naeun. Don’t worry, okay? Bye!”

Sebelum sahabatnya sempat mengajukan argumen lain dalam rangka membujuk Bomi, gadis tersebut bergegas memutus sambungan telepon. Tepat pada saat itu, bunyi ledakan kecil sukses menyita perhatian Yoon Bomi. Ia sontak mendongak, kemudian menyadari jika pertunjukkan baru saja dimulai.

Seulas senyum terkembang menghiasi wajah Bomi, begitu menyaksikan hamparan gelap langit yang kini terhias oleh bunga-bunga api, dalam berbagai warna dan rupa.

Bomi menarik napas dalam, seraya pandangannya terpaku ke atas sana. Ia selalu menyukai kembang api. Dan tiba-tiba saja para penonton yang saling berdesakan tak lagi mengusik. Begitu pula ocehan sarat keantusiasan di sekitarnya. Indra pendengaran Bomi seolah tak lagi berfungsi maksimal. Sebab kini, hanya suara ledakan kembang api yang mampu terdengar.

Ya. Hanya ada dia, kembang api, dan kenangan masa lampau.



***


Keesokan paginya, suara alarm jam Bomi sukses membangunkan sang pemilik, yang kini tengah bergulat dengan selimut. Ia menggeliat, lalu menjulurkan lengan demi mematikan jam weker yang tergeletak di meja samping kasur. Setelah suasana kembali sunyi, Bomi duduk seraya menguap lebar. Kantuk jelas masih menyerang, berdasar fakta bahwa ia baru menginjakkan kaki di apartemen pukul 2 pagi. Sesungguhnya, ia masih ingin berkelana menuju alam mimpi lebih lama lagi, namun janji dengan Naeun membuatnya mengurungkan niat.

Bomi bangkit berdiri kemudian melakukan peregangan singkat. Selain gemar menulis, ia juga suka menari. Dan melakukan peregangan di pagi hari merupakan rutinitas Bomi, demi menjaga kelenturan tubuh. Setelah selesai, ia menyambar rok hitam selutut, pakaian dalam, handuk, dan sweater pink dari lemari pakaian. Lalu bergegas ia membersihkan diri di kamar mandi.



***



“Bagaimana dengan ini? Bagus tidak?”

Untuk kesekian kalinya siang itu, kalimat serupa meluncur dari bibir Son Naeun. Dan untuk kesekian kali pula, Bomi menjawab dengan ogah-ogahan. Bomi melirik sekilas mantel merah tua yang dipegang Naeun di tangan kanannya, “Kurasa itu cocok untukmu.” Komentarnya sembari mengedikkan bahu. Sedangkan Naeun menggeleng pelan dan menggantung kembali mantel tersebut.

“Kau tahu? Komentarmu selalu sama tentang semua pakaian yang kutunjukkan.”

Well, kau bertanya pendapatku. Dan menurutku, pakaian-pakaian tadi memang cocok untukmu.” Bomi memberi penekanan pada kata ‘ku’ untuk menegaskan argumennya. Ia tidak begitu tertarik pada bidang fashion, berbanding terbalik dengan Naeun. Baginya, selama sebuah pakaian pas dan menarik, maka ia akan mengenakan barang tersebut.

Sadar jika sahabatnya dilanda kejenuhan, Naeun menawarkan untuk mampir ke kafe dulu, sebelum acara belanja mereka –lebih ke Naeun sesungguhnya- kembali berlanjut. Tempat itu berada tepat di seberang butik yang mereka kunjungi, jadi tak perlu repot mencari.

Begitu sepasang sahabat menginjakkan kaki di dalam kafe, Naeun bergegas mengantri untuk mengorder pesanan mereka, sedangkan Bomi mencari meja kosong. Pandangannya melayang, mengobservasi sekitar. Dan pada ujungnya, Bomi memilih meja di sudut kafe. Ia pun duduk kemudian melirik Naeun, yang masih harus menunggu 2 orang lagi sebelum gilirannya memesan. Sementara menunggu, Bomi memutuskan untuk mendengarkan musik. Diambilnya earphone dari dalam kantong. Setelah benda tersebut tersambung dengan ponsel dan musik mengalun mendominasi indra pendengaran, Ia menyadari sesuatu.

Tatapan Bomi jatuh pada sesosok pemuda berhoodie biru tua. Meja sang pemuda terletak pada angka 2 –jarum jam- dari posisi Bomi, ada jarak satu meja di antara mereka. Kondisi tersebut memungkinkan Bomi melihat sosok sang pemuda dengan jelas. Dan, Ia cukup yakin jika ia pernah melihat orang tersebut. Tapi… dimana?

Lumayan lama Bomi mengamati sang pemuda, berharap memorinya bangkit kembali. Ia baru tersadar ketika Naeun menepuk pundak ia. Tidak keras, namun sukses membuat Bomi terkejut. Sontak ia menoleh, kedua alis saling bertaut kesal.

Yah! Kau mengagetkanku!” sentak Bomi.

Tentu saja omelannya tak digubris Naeun, yang lebih memilih duduk lalu menyeruput Hot Chocolate. Tindakan Naeun jelas membuat gadis bermarga Yoon itu mendengus kesal.

“Oh ya, kau yakin tidak ingin memesan makanan? Tumben sekali.. ckckck.” Komentar Naeun di sela-sela kegiatannya mencerna minuman. Memang benar, sungguh aneh Bomi hanya memesan secangkir kopi, ketika biasanya ia memesan makanan pula –atau minimal kue.

Bomi menggeleng merespon perkataaan Naeun, “Tidak. Entahlah, aku sedang tidak memiliki nafsu makan.” Sontak disambut oleh kerutan dahi Naeun, “Kau sakit?” dan Bomi kembali menggeleng, “Anniya, aku baik-baik saja. Sungguh.” Naeun mengedikkan bahu kemudian kembali fokus pada hot chocolate.

Apa yang dikatakan Bomi mengandung kejujuran, meski ia sendiri merasa ganjil. Akhir-akhir ini, selera makannya berangsur berkurang. Bomi menghela napas. Dan pada detik itu, tatapan gadis tersebut tak sengaja jatuh, pada tempat sang pria asing berada tadi. Namun ada satu perbedaan. Kini, meja itu telah kosong.

Cepat sekali dia pergi.


***



“Luhan-ah!”

Pria pemakai hoodie biru itu tersenyum pada sosok yang tengah bergulat dengan 3 kardus besar, Oh Sehun. Sang sahabat memang tiba terlebih dahulu di apartemen baru Luhan. Dia berniat membantunya menata barang pindahan. Terlebih lagi, Luhan hendak pergi ke luar negeri esok hari. Pria itu pasti tak memiliki banyak waktu untuk berkemas sekaligus mengurus tempat tinggal baru.

“Maaf telat. Aku mampir membeli sesuatu di kafemu dulu.” Demikianlah sanggahan Luhan akan keterlambatannya, sedangkan Sehun hanya mengangguk singkat. Dia seharusnya tiba di apartemen sejak setengah jam lalu.

Xi Luhan menutup pintu di belakangnya kemudian bergabung dengan Sehun, mengeluarkan isi salah satu kardus, yang berisi beberapa buku dan foto lama. Luhan tersenyum begitu melihat sebuah foto berpigura. Foto itu diambil ketika Luhan menginjak usia 10 tahun, bersama Nyonya Xi. Ekspresi mereka tampak cerah nan bahagia.

Tak urung seulas senyum terkembang lebar menghiasi wajah Luhan. Namun tak bertahan lama, sebab manik hitamnya terpaku pada foto lain. Foto dimana sang ayah turut berpartisipasi. Sesosok pria paruh baya berdiri di samping Nyonya Xi, dan Luhan di tengah. Sontak ia menghela napas berat lalu meletakkan kembali foto tersebut di dalam kardus. Tak ada hal bagus yang akan terjadi jika benda tersebut dipajang.

“Sehun-ah, tolong sesekali cek tempat ini ketika aku pergi.” Pesan Luhan. Lelaki muda bermarga Oh pun menoleh. Dia tersenyum sembari berdecak kecil, “Tentu aku akan berkunjung sesekali, untuk membakar apartemenmu.”

Luhan larut dalam gelak tawa, “Kau ‘menendangku dari apartemen kita. Dan sekarang kau akan membakar tempat tinggal baruku?” sungutnya. Namun tentu saja, hanya berupa candaaan.

Sehun mengedikkan bahu tak peduli, lalu beralih menggeledah isi kardus lain. Sementara Luhan memilih pergi ke beranda untuk menghirup udara segar. Hawa dingin merupakan hal pertama yang menyambutnya begitu menginjakkan kaki di sana. Tetapi Luhan tak peduli. Ia pun bersandar pada pagar pembatas, mendongakkan kepala demi menyaksikan butiran-butiran putih. Satu persatu turun ke tanah, membentuk gumpalan.

Luhan menyodorkan sebelah tangannya ke depan. Tepat pada saat itu, salah satu butiran jatuh ke telapak tangannya. Dingin. Dan Xi Luhan menyukai sensasi tersebut. Dingin nan lembut.

Salju selalu indah, batinnya.


***



Hey, Sampai kapan kau akan berdiri disana? Kau berminat menjadi manusia es?”

Yoon Bomi terperanjat. Sadar dari lamunannya begitu suara Naeun merasuki indra pendengaran. Sedari tadi, ia memang berada di beranda apartemen Naeun, demi menikmati pemandangan malam musim dingin. Salju.

Bomi setuju menginap di tempat Naeun malam ini. Jadi, mereka dapat berangkat bersama ke bandara esok pagi. Dua koper besar yang berisi bawaan Bomi juga telah diangkut kemari. Lagipula, Naeun khawatir jika Bomi terlambat bangun dan ketinggalan pesawat, seperti liburan musim panas tahun lalu.

Arraseo! Aku akan masuk 5 menit lagi.”

Sang penulis muda tersenyum lebar. Sejak kecil, ia memang menyukai salju. Fakta bahwa butiran salju memiliki satu unsur pembentuk dengan es merupakan hal menarik baginya. Es itu padat, sedangkan salju lembut. Bukankah itu misterius?

Salju itu menakjubkan. Namun besok, ia juga akan pergi ke tempat menakjubkan –setidaknya bagi Bomi. Dan Bomi sungguh tak dapat menyembunyikan semangatnya. Paris, I’m really coming tomorrow!

.
.
.
TBC

==========================================================================

A/N: Jadi jadi jadi.. gimana reader? wakakak. maap ini telat banget update --v belakangan lagi sibuk sama hal lain (?) -_- saya sadar banget kalo shipper couple ini sedikit/? tapi teteeupp aja pengen buat --V soalnya saa lagi suka Bomi. Oke, too much bacot, right? Tolong tunggu chaoter berikutnya. Dan RCL!!! Tolong kasih saya saran dan komentar. I hate silent reader >_< it's NO NO *kata B.I* thanks for reading btw! oh ya, cerita ini bakal jadi long story. dimohon antisipasinya wkwkkw peace sign*

6 komentar:

  1. Wew,, penasaran mereka ketemuane yak apa? mrka punya hubungan dimasa lalu ta?Wkwkkwkw
    Sejauh ini apik kok..
    Tpi kyk'e trlalu byk kata" yang dilebih"kan... Kritik aje ye wkwk
    Btw, I'm the first comentator wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. yahh.. semacam itulah/? wkwk baca aja :p
      Makasih <3
      Err.. kayaknya itu udah jadi gaya penulisan saya ._. my writing style, susah dirubah --
      yo! First comentator

      Hapus
  2. yes! Akhirnya stephcecil ngepost ff baru ;;
    Aku suka ceritanya thor, apalagi karakter Bomi!
    Tolong dilanjut jangan lama-lama ya!
    keep writing! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahaha jadi tersandung/? #plak
      makasih udah suka <3 ^^
      oke, diusahain.. semoga.... wkwk

      Hapus
  3. Maaf gak commen di chapter 1, langsung di sini aja ya thor :)
    jujur, gue suka jalan ceritanya. Tapi masih kurang jelas, mungkin karena di awal ya?
    Semoga ke depannya tetep keren nih ff. Dan gaya bahasanya bagus, jadi kerasa berbobot :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya gakpapa, mau komen aja terimakasih banget ^^
      iya, mungkin/? wkwk
      amin ^^

      Hapus