ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Minggu, 08 Februari 2015

Like A Fairytale [Chapter 3- Arrived!]





Like A Fairytale [Chapter 3]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.



***



Incheon Airport, 05.20 KST.


Lu Han tengah menganalisis deretan huruf pada koran harian yang dibacanya. Ia tiba terlalu awal di bandara. Pesawat baru akan landing pukul 06.00. Setidaknya, terdapat 30 menit tersisa hingga penerbangan. Seulas senyum tipis menghiasi wajah Luhan, sebagai tanda bahwa ia bersemangat untuk perjalanan ini. Tentu saja, siapa pula yang tidak menggemari liburan? Apalagi di luar negeri.

Disandarkannya punggung pada sandaran kursi seraya membalik halaman koran. Lagaknya begitu santai. Sementara earphone putih menyumpal kedua lubang pendengaran, menjadi sarana musik lembut yang mengalun merasuki gendang telinga.


***




Incheon Airport, 05.45 KST

Langkah tergesa Bomi-Naeun mendominasi gerak mereka menuju bagian check passport di bandara, tanpa sengaja pula menabrak beberapa orang. Namun mereka terlalu terburu-buru untuk peduli. Bahkan, sepasang sahabat itu tak ambil pusing menunggu eskalator bergerak, melainkan langsung melewati anak ekskalator demi mempersingkat waktu.

Yah! Lain kali pasang alarm yang benar!” omel Naeun, membuat Bomi mendecakkan lidah. Memang, semalam Bomi menawarkan diri memasang alarm di ponselnya agar mereka mampu bangun pagi buta. Namun, Bomi lupa mengecek volume, hingga alarmnya nyaris tak dapat memanggil mereka dari alam mimpi.

“Maaf. Aku benar-benar lupa mengecek volumenya.”

Naeun mendesah jengah. Kemudian ia bergegas merogoh isi tasnya, mencari buku kecil nan penting di sana. Bomipun melakukan hal serupa, sebab kini mereka telah tiba di bagian check ticket dan paspor. Tak lupa meletakkan barang bawaan sebelumnya, untuk di cek pula.

Seorang petugas memeriksa paspor dan tiket mereka, lalu kedua orang tersebut bergegas memasuki area penumpang pesawat. Baik Bomi maupun Naeun sama-sama bersyukur karena mereka tak ketinggalan pesawat, seperti liburan musim panas tahun lalu, dengan Yoon Bomi sebagai penyebab utama.


***




Setelah memasuki bagian dalam pesawat, Luhan segera mencari kursinya, yang ternyata berada di urutan kelima dari depan, tepat di samping jendela. Bagus, batinnya. Setidaknya ia memiliki sesuatu untuk dilihat –pemandangan dari jendela- selama perjalanan 16 jam ke depan.

Luhan meletakkan sebuah ransel kecil –berisi berbagai barang penting yang tak mungkin ia telantarkan di bagasi pesawat- di bawah kakinya. Ia merogoh ponsel lalu hendak mengatur flight mode ponsel, ketika sebuah figur familiar tertangkap melalui sudut mata Luhan.

Seorang gadis berambut coklat kepirangan melangkahkan kaki di lorong sempit pesawat, diikuti oleh gadis lain, dengan tubuh semampai khas model. Namun, sang gadis pertama lah yang menarik perhatian Luhan. Dia yakin, ini bukan kali pertama ia melihat gadis tersebut. Luhan berjuang menggali memorinya. Dimana..? Dimana aku melihatnya?
Ah, restoran!

Entah mengapa, seulas senyum perlahan terukir menghiasi wajah sang komposer muda. Terlebih di saat ia tahu jika kursi Bomi berada di baris yang sama (kelima), hanya beda lajur– Luhan kanan, Bomi-Naeun kiri. *bisa bayangin kan?*



***



7 jam telah berlalu sejak pesawat lepas landas. Tak urung, Bomi merasakan keinginan untuk ke toilet. Diliriknya Son Naeun, demi mendapati jika gadis itu telah sukses berkelana menuju alam mimpi. Nyaman sekali dia. Sementara sejak tadi, usaha Bomi jatuh terlelap hanya berujung pada kesia-siaan.

Bomi bangkit berdiri –sedikit berhati-hati agar tak membangunkan Naeun di sampingnya- dan menuju ke bagian belakang kabin, dimana terdapat toilet di ujung. Bomi bergegas masuk dalam bilik, lalu keluar tak sampai 5 menit kemudian.

Ia pun menyusuri kabin, hendak kembali ke bangkunya. Namun, saat ia nyaris mendaratkan pantat di tempat seharusnya, pesawat itu berguncang. Bomi terkejut. Tubuhnya terombang-ambing. Mau tak mau, ia terdorong ke kanan.

Bruk!

Kedua manik hitam gadis itu membulat sempurna, menyadari jika ia menjatuhkan diri tepat di atas seorang penumpang laki-laki. Lebih mengejutkan lagi, sesuatu dalam otak Bomi yakin jika ia pernah melihat orang tersebut sebelumnya.

“Kau tidak apa-apa?”

Refleks –waktu gadis itu jatuh- Luhan mencengkeram erat lengan Bomi. Mencegah berat tubuh sang gadis menimpanya secara total. Di sisi lain, Bomi mendapatkan kembali kesadarannya dan bergegas berdiri tegak.

“Tid-tidak apa.. “ jawabnya gugup. Lu Han hanya memasang seulas senyum tipis. Sedangkan Bomi bergegas memalingkan wajah. Peristiwa tadi jelas membuat ia malu, menjadi penyebab semburat merah jambu muncul pada kedua pipi Bomi.

Hening sejenak. Bomi sibuk mengatur degup jantungnya, yang tiba-tiba berkinerja abnormal. Bersahabat dengan Naeun –berprofesi sebagai model professional- ia kerap kali berjumpa dengan pria-pria tampan. Namun, kasus kali ini jelas berbeda. Meskipun memang, lelaki asing satu ini memiliki : fitur wajah mendekati sempurna, kulit khas porselen, dan rambut blonde menawan. Ada hal yang membedakan Luhan di mata Bomi, disandingkan dengan para model tampan tersebut.

Lagipula, kenapa aku sering sekali bertemu dia?

“Bagus kalau begitu.”

Merespon suara Luhan, Bomi menoleh. Lalu tanpa sengaja menatap langsung kedua manik kecokelatan Luhan. Yang mana menjadikan ia seolah terhisap dalam lubang hitam bernama pesona.

Umm.. yeah.” Bomi menggigit bibir bawahnya, gugup. Ia tidak tahu apa lagi yang harus dikatakan. Dan tingkah santai Luhan hanya menambah kadar kecanggungan Bomi. Karena ia tak tahu harus melakukan apa lagi, maka Bomi memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya.

“Aku permisi dulu.. “

Luhan menggangguk singkat. Pria itu mengamati Bomi yang kini mendaratkan pantat di bangku sebelah –deret kiri. Entah mengapa, dia mulai merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Layaknya terdapat kupu-kupu yang bersemayam dalam perut Luhan.

Apa jangan-jangan…
Ia menggeleng cepat, berjuang menepis pemikiran tak logis dari benaknya. Tidak. Gadis itu adalah gadis asing yang bahkan ia tak tahu namanya. Mereka hanya bertemu secara kebetulan saja, tidak lebih.

Luhan menonaktifkan indra penglihatan. Ia memutuskan untuk pergi tidur saja. Perjalanan masih tersisa 9 jam. Dan siapapun tahu jika 9 jam bukanlah waktu singkat. Ia menghela napas dalam seraya kedua tangan dilipat di depan dada. Namun, hingga setengah jam kemudian, Luhan belum juga berkunjung ke alam mimpi.

Ketika membuka mata, hal pertama yang dilakukan Luhan ialah mengecek sang gadis asing. Tanpa sadar, ia langsung menoleh ke arah kiri, mendapati gadis tersebut menyibukkan diri dengan membaca buku.

Kembali ia menggelengkan kepala, tak percaya akan tindakannya barusan. Oh Tuhan, ada apa denganku? Ia mendesah frustasi.



***


Mereka tiba di bandara Charles De Gaulle sekitar pukul 10 malam. Langit didominasi kegelapan, serta udara dingin menusuk tulang malam itu. Bomi sontak merapatkan scarf merah jambu yang melilit lehernya. Ia bergidik kedinginan, jelas saja, ini masih musim dingin.

Raga bomi serasa berbalut keletihan. Ia bahkan tak berminat melakukan apapun kini, selain bergegas ke hotel untuk beristirahat. Sedari tadi, sensasi tak nyaman menyerang perut Bomi. Mual berbaur perih. Padahal, ia tak melewatkan jam makannya.

“Kita langsung ke hotel saja.” usul Bomi. Ditolehkannya kepala ke samping demi mendapati sosok modis Naeun. Sang model mengenakan mantel merah manyala, kacamata hitam, serta riasan wajah tipis –yang sempat ia torehkan di pesawat. Memang, sebagai model, ia wajib memperhatikan penampilan, dalam keadaan apapun.

“Kau yakin? Aku tahu beberapa tempat bagus. Ada bar, restoran, butik terkenal… “ tawaran tersebut tak berhasil menggugah minat seorang Yoon Bomi, yang merespon dengan gelengan mantap, “Besok saja. Aku lelah.”

Son Naeun mengedikkan bahu kemudian melajukan langkah ke luar bandara. Ia menyetop taksi, lalu mereka pun memasuki kendaraan tersebut. Naeun sibuk menjelaskan kepada supir tentang hotel mana yang menjadi tujuan mereka, sementara sang penulis muda mendaratkan tatapannya di jendela taksi.

Kedua manik hitamnya berkilat takjub begitu melihat pemandangan malam kota Paris. Berbagai bangunan artistik berjajar rapi dengan lampu jalan menyinarinya, para pejalan kaki asing, serta… puncak menara Eiffel. Ya, dari posisi Bomi sekarang, ia mampu melihat puncak menara bersejarah tersebut.

Dan hal itu sungguh indah. Ia bahkan tak menyadari jika ia telah menahan napas selama beberapa detik, hingga Naeun menepuk pundaknya dari belakang, membuat Bomi menoleh terkejut.

“Keren, kan? Sudah lama aku ingin mengajakmu kemari. Tetapi waktunya selalu tidak tepat.” Naeun memberi jeda sejenak, seraya merapikan rambut coklat bergelombangnya, “Kalau bukan aku yang sibuk, pasti kau yang sibuk.” Sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk seulas senyum separuh.

Bomi balas tersenyum simpul, “Yeah, it’s so cool here.” Pandangan sang gadis kembali terpaku pada kaca jendela taksi. Sungguh, pemandangan seperti ini tak layak diabaikan begitu saja.


***





Xi Luhan bersenandung kecil ketika menginjakkan kaki di lobi hotel. Libertel’s hotel adalah nama tempat Luhan menetap di Paris untuk 2 minggu ke depan. Tempat itu merupakan salah satu hotel terbaik, dengan biaya tinggi tentunya. Namun biaya tak menjadi masalah bagi Luhan. Sebagai komposer terkenal, ia menghasilkan banyak uang.

Sembari menyeret 2 koper besar, Luhan bergegas menuju meja resepsionis. Dan saat itulah, kembali ia mendapati dua sosok familiar. Sang yeoja berambut coklat kepirangan dan –luhan duga- temannya.

One suite room, please.” Ujar Yoon Bomi pada resepsionis, yang kemudian mengangguk mengerti. Ketika petugas itu sibuk mengetik sesuatu di komputernya, Lu Han beranjak berdiri di samping Bomi.

“Hai, kita bertemu lagi?” sapa Luhan canggung, membuat Bomi menoleh terkejut. Kedua alisnya saling bertaut heran. Sedangkan Naeun memasang tampang polos. Well, wajar sebenarnya. Sebab dalam kasus ini, ia memang tak tahu apa-apa.

“Em.. ya?” balas Bomi tak kalah canggung. Luhan hanya tertawa kecil. Tak lama kemudian, sang resepsionis menyodorkan Bomi sebuah kartu –kunci elektronik kamar, “This is your key, please enjoy your room, 307 (ini kunci anda, silahkan nikmati ruangan anda, nomor 307).

Thank you.”

Bomi menoleh, ia kembali bertatap muka dengan Luhan. Pria tersebut tersenyum. Sementara Bomi merasa degup jantungnya berubah abnormal. Apa yang terjadi?

“Senang bertemu denganmu.. lagi.” Ujar Luhan.

Well, nice to meet you too. (senang bertemu denganmu juga).” Jawab Bomi.

Mereka berdua saling terdiam tanpa kata, hingga akhirnya Naeun mencolek lengan si penulis, “Kau kenal orang ini?” bisik Naeun. Bomi menggeleng kecil.

Excuse me…then.” Adalah pilihan kalimat sebagai inisiatif Bomi demi meninggalkan tempat itu. Luhan mengangguk, “Enjoy you time here, in Paris (Nikmati waktumu disini, di Paris).”

Okay.

Dan dengan itu, Bomi mengenyahkan diri dari area resepsionis, Naeun berjalan di samping Bomi. Seorang petugas hotel yang membawa koper-koper mereka mengekor di belakangnya.

Tanpa sadar, Luhan mengamati Bomi-Naeun yang berjalan menjauh, hingga kedua orang tersebut menghilang di balik pintu lift. Entah, faktor apa gerangan yang menyebabkan tingkahnya jadi seperti ini.

Sir? (Tuan?)”

Suara si resepsionis menyadarkan Luhan. Refleks ia menoleh, mendapati tatapan bingung petugas resepsionis. “Suite for me, please.” Pesannya canggung. Sebelah tangan Luhan menggaruk bagian belakang leher yang sesungguhnya sama sekali tak gatal.



***



“Kau tak mengenal pria tadi? Sungguh?”

Sebelah alis Son Naeun terangkat ke atas, dirasuki kecurigaan mengenai hubungan Bomi dengan pria asing tadi. Meski ia sendiri –yang selalu menemani Bomi, bahkan nyaris setiap hari- merasa tak pernah berjumpa dengan lelaki berambut blonde tersebut, bukan berarti Bomi tidak memiliki hubungan apapun dengannya, kan?

Sang lawan bicara mendesah jengah. Punggung bersandar pada dinding lift, kedua tangan terlipat di depan dada. Ia lelah malam ini, perutnya sakit. Dan berdebat dengan Son Naeun merupakan hal terakhir yang ingin ia lakukan.

“Kenapa kau mengira aku bohong? Kubilang tidak ya tidak.” Ketus Bomi.

“Tapi, dia bersikap seolah mengenalmu.”

Bomi memutar bola matanya. Yah, sikap pria itu cukup misterius, terlampau ramah. Meski mereka bertemu beberapa kali –secara kebetulan. Namun, mereka bahkan belum mengetahui identitas satu sama lain.

“Aku tidak tahu dia mengenalku atau tidak. Tapi yang jelas, aku tidak mengenalnya. Dan aku juga tidak tahu mengapa dia bersikap ramah terhadapku.” Penjelasan terlontar melalui bibir Bomi, dengan penekanan pada kata ‘tidak’.

Tepat pada saat itu, suara ‘DING!’ bergema di dalam Lift. Kemudian pintu terbuka, menandakan jika mereka telah tiba di lantai tujuan. Tanpa buang waktu, Yoon Bomi segera melangkahkan kaki keluar lift, meninggalkan Naeun dan petugas pembawa barang.

Eish.. Apa yang salah dengannya.” Dengus Naeun.



***



Paris, Libertel’s hotel, Naeun-Bomi’s Room, 07.35 PMT (The Next Morning)


Yoon Bomi menggeliat di atas kasur empuknya. Yah, meski tempat tidurnya sendiri cukup nyaman, tetapi tidur di hotel berkelas memberi sensasi tersendiri baginya. Ini jauh lebih nyaman. Setelah beberapa menit, ia memutuskan bangkit dari posisi tidur demi membuka gorden jendela.

Suasana malam kota Paris memang indah, namun pada pagi hari, kota ini tak jauh berbeda. Keren sekali. Bomi tersenyum senang. Setelah melakukan peregangan rutinnya, ia memilih untuk membersihkan diri. Sebab, ada tempat yang ingin ia kunjungi di hari pertama ia menginjakkan kaki di Paris. Meski sendirian -Naeun telah pergi sejak pagi buta untuk mempersiapkan show- bukan berarti ia tak dapat bersenang-senang, kan?

Well, Eiffel, I’m coming!



***




Pagi pertama di Paris. Lu Han memilih untuk sarapan di restoran hotel, yang terletak di lantai bawah. Ia memencet tombol pembuka lift seraya bersenandung kecil. Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dan Luhan terkejut mendapati sosok familiar di dalam sana.

Dia lagi?



TBC…

=================================================================================

A/N : Oke, akhirnya saya update juga cerita ini OuO. Sebelumnya, minta maaf karena lemot update -_-v saya sibuk/? wkwkwk. Saya juga minta maaf karena penggunaan nama Luhan di 2 chapter sebelumnya salah. Bukan Xi Luhan. Tapi Lu Han. Saya denger itu nama yang bener. Soal Libertel's hotel di ff ini, saya cuman NGARANG namanya oke. Saya gak tau itu hotel ada atau kagak =_=)/ oke, jangan lupa RCL nya ya teman". Saya juga minta maaf (minta maaf mulu #PLAK) karena chapter ini pendek -_- dan banyak selipan inggrisnya (efek keseringan baca FF di AFF --V). Dan saya ingatkan sekali lagi, Fanfic kali ini bakal panjang. Oke, the last, RCL (READ, COMMENT, LIKE) nya jangan lupa ya. BYE! *heart*

A/N *2: Saya juga berusaha merubah gaya bahasa saya di chapter ini, biar gak terlalu bertele-tele dan lebih simpel.

1 komentar:

  1. Ga masalah seh lek gaya bahasamu kyk gtu wkwk.... Setiap orng punya ciri khas masing" kok.... Btw,, aku suka crtae sg ini... Next baca chapter 4 sek yo hehe

    BalasHapus