ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Minggu, 22 Februari 2015

Like A Fairytale [Chapter 5- Thank You]





Like A Fairytale [Chapter 5]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.



Ketika Luhan beranjak dari alam mimpi, sang mentari masih terlena di peraduan. Kabut pagi mendominasi, menandakan betapa rendah suhu cuaca. Sebagian besar tamu hotel tengah terlelap. Namun berbeda dengan Luhan. Entah apa yang membuat sang komposer bangun terlampau awal. Dan ia sama sekali tak merasakan kantuk.

Disandarkannya tubuh pada pagar pembatas beranda, kedua tangan terlipat di depan dada. Berbagai hal berkelebat dalam benak Luhan, saling berebut menjadi fokus utama. Dan apakah itu? Yang jelas bukan dinginnya udara maupun keindahan pagi kota Paris.

Kenangan.

Ya, sebuah memori pahit terukir di sini. Larut dalam hirup pikuk glamor si kota mode. Membuat sesak menyerang bagian dada Luhan, seolah mempersempit saluran pernapasan. Dan pada detik ini, Luhan mendesah keras seraya mengacak frustasi helaian rambutnya.

“Seo.. “




***

Libertel Hotel, 7.30 PMT



Yoon Bomi mengamati pantulan dirinya di cermin, mengecek penampilan mulai ujung rambut hingga ujung kaki. Meski kerap bertingkah seenak hati dan cenderung ceroboh, Bomi tetap seorang gadis yang peduli pada penampilan.

Lipstick pink tua, eyeshadow silver, dan riasan lain terpoles elok pada wajah, memberi kesan glamor nan anggun, ditambah dengan cocktail dress hitam. Wajar jika ia berdandan sedikit berat malam ini, berhubung Bomi akan menghadiri sebuah acara di bar terkenal Paris, yakni ulang tahun rekan model Naeun.

“Bomi-yah! Ayo cepat, aku tidak mau datang terlambat!” suara Naeun membuat Bomi bergegas meletakkan pensil eyeliner di atas meja, meraih tas Louis Vuittonnya, lalu menyusul Naeun yang telah menunggu di depan pintu kamar mereka.

Ne! Aku keluar sekarang!” ia berteriak lumayan kencang.

Begitu keluar dan mengunci pintu kamar secepat kilat, ia langsung berhadapan dengan raut kesal Naeun. Tetapi meski mood sedang buruk, hal tersebut tak mempengaruhi kadar pesona Son Naeun. Riasan smokey eyes dan mini dress merah yang ia kenakan membuat Naeun tampil menawan.

Yah, tersisa kurang dari 30 menit sebelum pesta mulai.” Sang model menggerutu seraya mengambil langkah cepat menuju lift. Tepat dibelakangnya, Yoon Bomi mengekor, mencoba menyesuaikan diri dengan high heel 12 cm yang ia pinjam dari Naeun.

“Tenang. Kita tidak akan telat.” Ujar Bomi, mencoba menenangkan. Walau sesungguhnya, ia tidak tahu apakah taksi akan muncul begitu saja dan mengantar mereka menuju tempat pesta, dalam waktu kurang dari 30 menit.



***




Dentuman kasar musik merupakan hal pertama yang menyambut Bomi, begitu ia menginjakkan kaki di dalam klub mewah Paris. Kemudian disusul dengan histeria para penikmat pesta serta wangi parfum berbaur alkohol di sana-sini. Bomi bukanlah kupu-kupu malam yang gemar mengunjungi klub, bergaul dengan lawan jenis, ataupun menenggak bergelas-gelas alkohol. Dan dapat disimpulkan jika ia kurang menyukai situasinya kini. Yeah, namun ini jauh lebih baik dibanding menghabiskan malam di kamar hotel. Sendirian.

Di sampingnya, Son Naeun menggandeng erat lengan Bomi, setengah menyeret sang penulis muda ke dalam lautan manusia. Naeun menemukan beberapa sosok familiar disana, lalu memutuskan untuk menyapa mereka. Sedangkan Bomi tengah berjuang melawan kecanggungan ketika memperkenalkan diri pada teman-teman Naeun.

Hingga pada akhirnya, manik hitam Naeun mendapati sang ratu pesta, Choi Sulli, sang model kelas atas itu berada di sudut klub. Otomatis, ia menyeret Bomi untuk menghampiri sekaligus memberi ucapan selamat ulang tahun padanya.

“Sulli-ah! joyeux anniversaire (Selamat ulang tahun)!”

Choi Sulli, gadis menawan blasteran Korea-Perancis tersebut sontak terkejut. Kegembiraan terlukis melalui ekspresi wajahnya. Ia bergegas memeluk erat Naeun, “Terima kasih. Aku tak percaya kau benar-benar datang. Kupikir kau sibuk di Korea.” Ujar Sulli.

Naeun mendecakkan lidah, “Tidak mungkin aku melupakan ulang tahun rekan kesayanganku ini.” Lalu ia menoleh dan memperkenalkan Bomi, “Omong-omong, ini sahabatku, Yoon Bomi.” Naeun menepuk pelan pundak Bomi, memberi isyarat agar ia mengatakan sesuatu. “Senang berjumpa denganmu, panggil saja aku Bomi.” Diulurkannya sebelah tangan sembari mengulas senyum demi menutup segelintir canggung.

Sulli pun balas tersenyum ramah, bahkan mungkin terlampau ramah bagi sosok yang baru ia temui kurang dari 5 menit lalu. Sorot mata sarat keanggunan, kulit porselen, bibir seranum mawar merah, semua itu sempat membuat kadar kepercayaan diri Bomi menurun drastis. Bagaimana tidak? Saat ini dirinya tengah dikerumuni para makhluk berparas di atas rata-rata.

“Panggil saja aku Sulli. Dan jangan merasa sungkan denganku.” Sulli menyambut uluran tangan Bomi. Ia larut dalam tawa singkat, namun tetap mempertahankan keanggunannya. Sang penulis hanya mengangguk, “Oke, sulli-ssi.” Jawabnya.

“Sulli-ssi? Ouh, terlalu formal. Panggil Sulli saja, oke?” Nona Choi mengangkat sebelah alisnya saat bertanya, masih dengan senyuman semanis gula. Bomi pun kembali mengangguk, “Oke.. Sulli.”

“Terdengar lebih akrab, bukan?”

Yeah..” adalah respon singkat Bomi, diiringi sebuah tawa canggung. Kemudian, dua rekan karib yang telah lama tak berjumpa tersebut saling melepas rindu, berbagi kisah maupun info seputar dunia modeling. Dan kini, Yoon Bomi seolah terasing, sementara kedua model tenggelam dalam percakapan akrab. Ia tak berminat bergabung dan berbicara dengan Naeun ataupun Sulli, sebab topik mereka tak lebih dari hal asing baginya.

Ia mendesah pelan. Tatapannya melayang, mengobservasi seantero klub yang dipenuhi para lakon dunia entertainment, sebagian besar model dan aktris. Bomi mendapati jika dirinya diliputi keterasingan, berdasar fakta bahwa ia hanya mengenal 2 manusia di gedung ini. Son Naeun dan Choi Sulli.

Bomi berpikir jika segelas alkohol akan mengurangi tingkat kebosanannya sekarang, dan ia memutuskan untuk beranjak ke area bar. Sang gadis mendaratkan pantat di atas kursi, dagunya tertopang malas pada sebelah tangan yang tertumpu pada permukaan meja bar.

One glass of beer, please!” pesannya pada bartender.

Tak lama kemudian, segelas bir tersuguh di hadapan Bomi. Segera ia menyesap ujung gelas minuman beralkohol tersebut. Perlahan namun pasti, ia mencerna cairan itu hingga tetes terakhir. Kedua pelupuk mata terpejam rapat seraya menikmati sensasi hangat yang baru ia dapatkan.

Segar. Nikmat. Menyenangkan.

Sudah berapa lama ia tak menghabiskan waktu seperti ini? Bersenang-senang, berdansa, dan memanjakan lidah dengan alkohol? Yoon Bomi baru sadar jika ia terlampau sibuk menulis . Sejak novel perdanannya laris di pasaran, ia begitu terfokus pada pekerjaan. Hanya menulis dan menulis. Well, Naeun memang pernah memaksa ia berjalan-jalan, namun ia lebih sering menolak dibanding menerima ajakan sang sahabat.

Tanpa disadari, gelas ketiganya telah tandas malam itu. Pening menyerbu kepala Bomi, seiring dengan rasa kebas di sekujur tubuh. Belum lagi mual yang mulai mendominasi perutnya. Hal terakhir adalah sesuatu yang baru. Ia pernah mabuk, namun tidak pernah merasa semual ini. Seolah isi perutnya diaduk oleh sesuatu.

Sang gadis hendak mengenyahkan diri, demi membebaskan isi perut yang seolah memberontak di dalam sana. Namun, niat Bomi hilang seketika begitu menyadari jika seseorang baru saja duduk tepat di sebelah kursinya. Seorang pria. Familiar.

Sedikit sulit untuk menganalisis identitas pria familiar tersebut, ketika kepalanya terasa pusing nan pening. Tetapi, usaha Bomi berujung pada kesuksesan. Luhan telah memesan dan tengah menyesap winenya santai, saat Bomi mengingat identitas sang pria.

“Lu… han?”

Suara serak namun jelas itu tertangkap gendang telinga Luhan, sontak membuat ia menoleh ke arah Bomi. Ekspresi terkejut terlukis di wajahnya, “Yoon..Bomi?” ia bertanya sarat keraguan. Namun rasa tersebut segera hilang karena Bomi merespon dengan anggukan mantap.

“Apa yang kau lakukan disini?”

Kalimat bernada tanya Luhan membuat Bomi merutuk dalam hati, Eoh.. aku baru ingin menanyakan hal yang sama padamu. Gadis itu memilih berdeham memulihkan suara sebelum balas berkata, “Naeun mengajakku kemari. Kau sendiri?”

Bomi berjuang memasang raut seramah mungkin. Namun rupanya alkohol yang baru ia konsumsi serta sensasi mual di perutnya sama sekali tak membantu. Dalam pandangan Luhan, Bomi tampak mabuk dan kesal.

“Huang Zitao.. err, temanku, dia seorang model dan mengundangku kesini.”

Penulis muda hanya menggumamkan sesuatu yang dapat diartikan sebagai ‘oke kalau begitu’ lalu memanggil bartender demi memesan gelas keempat. Ia mencoba mengacuhkan keberadaan manusia lain disampingnya. Tetapi, saat lidah Bomi nyaris menyentuh cairan menggiurkan tersebut, sebuah tangan mengambil alih gelas Bomi.

Sang pemilik tangan bernama Lu Han.

Sontak Bomi menoleh. Keningnya berkerut seraya menatap kesal Luhan. “Apa yang kau lakukan?” desisnya. Sedangkan Luhan bergeming, seolah nada sinis Bomi tak berefek apapun. “Aku sedang mencoba menjadi pria baik, dengan mencegah seorang wanita menjadi mabuk dan melakukan hal-hal aneh.” Diletakannya gelas Bomi jauh dari jangkauan sang gadis.

Sebuah dengusan adalah respon Bomi. Ia memutar bola mata, jengah. Hendak dipanggilnya kembali bartender untuk memesan gelas lain, tetapi rasa mual itu semakin memuncak. Refleks, ia menunduk, sebelah tangan memegang perut.

“Ukh..”

Menyadari perubahan ekspresi serta warna wajah Bomi –memucat, kekhawatiran menyergap diri Luhan. Ia pun sedikit membungkuk agar dapat melihat jelas wajah sang gadis. “K-kau, baik-baik saja?” yang segera disambut gelengan mantap oleh lawan bicara.

Apa tindakanku sekarang terlihat ‘baik-baik’ saja bagimu?

Dalam hitungan detik, kekhawatiran Luhan beralih menjadi panik. Ia menoleh ke sekeliling, mencoba mencari pertolongan. Entah kenapa, ia sungguh kalut. “Tunggu sebentar, aku akan mencari obat.”

Di saat Luhan akan berdiri, tindakan ia terhenti sebab Bomi menarik paksa lengannya. Memaksa dia untuk kembali duduk. “Kenapa?” Luhan bertanya, masih dengan panik menyelimuti.

Bomi menggeleng, kali ini jauh lebih keras. Membutuhkan segenap usaha bagi sang penulis untuk menahan hasrat mengeluarkan isi perutnya saat itu juga. Susah payah ia berkata lirih, “To-toilet. Antarkan aku.” Sebelah tangan yang tadi memegang perut, kini berpindah menutup mulut.

Otak Luhan secepat kilat mencerna permintaan Bomi. Segera ia mengangguk kemudian menolong sang gadis berdiri. Satu tangan Luhan merangkul pundak Bomi, sedangkan yang lain di pinggang. Berhubung gerakan berskala besar hanya akan membuat kadar mual Bomi meningkat. Dan dengan bantuan Luhan, Bomi dapat menginjakkan kaki di dalam toilet wanita, tak sampai 3 menit kemudian.


 ***



Yoon Bomi tidak lagi menahan rasa mual yang mengaduk-aduk perut, sekaligus menghasilkan sensasi tak nyaman itu. Sebaliknya, kini ia mengeluarkan seluruh isi perut. Entah sarapan, camilan, ataupun makanan yang baru ia cerna siang tadi.

Setelah muntah untuk kali ketiga, sang penulis muda menghembuskan napas panjang. Ia memejamkan mata seraya mencoba menguasai diri kembali. Rasa mual memang telah hilang sama sekali. Namun tidak dengan pening di kepala. Ditambah lagi, sekarang sekujur raga Bomi terasa lemas. Mungkin efek muntah barusan.

Ia mengambil napas panjang sekali lagi, sebelum mendongak seraya menyapu helaian rambut kecoklatannya yang tadi terurai tak beraturan menutupi wajah. Bomi menyalakan keran wastafel. Air pun mengalir, membuat muntahan Bomi menghilang ke dalam lubang wastafel. Ia juga menggunakan air untuk menyeka sudut bibir, wajah, sekaligus telapak tangan.

Lalu, Bomi menatap cermin. Menyaksikan pantulan diri, yang entah kenapa terlihat sedikit berbeda malam ini. Sedikit lebih pucat nan kurus. Harus diakui, selera makan Bomi berkurang drastis selama beberapa bulan belakangan. Jadi wajar jika ia kehilangan beberapa kilogram.

Tetapi, ada satu hal yang mengusik benak Bomi. Kenapa akhir-akhir ini perutnya sering sakit? Apa ia salah makan?

Bomi memilih mengesampingkan berbagai pemikiran negatif tersebut, menggeleng mantap. Kemudian melangkah ke luar toilet wanita.



***



Sang gadis tak dapat menyembunyikan keterkejutannnya, saat mengetahui bahwa Luhan masih setia menunggu di depan pintu toilet. Bomi menghabiskan waktu cukup lama mengeluarkan seluruh isi perutnya, dan ia mengira jika Luhan telah menelantarkannya dan kembali berpesta. Tetapi fakta yang terpampang di hadapan Bomi adalah: Ia melihat pria itu berdiri, kedua mata terpejam sementara punggung bersandar pada dinding.

“Kau masih disini?”

Suara Bomi masih lumayan serak nan lirih, namun cukup membuat Luhan menoleh. Ia bergegas menegakkan tubuh lalu menghampiri Bomi. Dan sang gadis tidak tahu apakah raut khawatir Luhan, yang ia tunjukkan kini merupakan ilusi atau bukan.

Luhan tidak menjawab pertanyaan Bomi, melainkan balas bertanya, “Kau tidak apa-apa?” Sontak gadis itu menjadi gugup, ia berkedip, seolah tak percaya jika Luhan baru saja melontarkan pertanyaan bernada kalut, “E-eh. Aku.. baik-baik saja.” Ia mencoba tersenyum tipis. Walau kepala Bomi masih pening, belum lagi rasa lemas di sekujur tubuh yang ia berusaha abaikan. Membutuhkan segenap usaha pula untuk berdiri tegap di atas kedua kakinya.

“Benarkah? Tapi wajahmu pucat.”

“Eh?”

Kembali Luhan membuat Bomi kehabisan kata-kata. Sibuk menerka-nerka dalam hati, hal apakah gerangan yang membuat Luhan begitu khawatir? Maksudku.. kami baru saja berkenalan..

“Kau mau pulang sekarang? Aku bisa mengantarmu ke hotel.” Tawar Luhan. Kerutan terbentuk di dahi mulusnya. Sorot manik kecoklatannya menatap intens Bomi. Sedangkan sang gadis seolah membeku di tempat, susah payah ia mengatasi rasa gugup demi menjawab, “Terimakasih atas tawaranmu. Tetapi aku bisa pulang sendiri. Aku bisa menelepon taksi.”

Luhan berdecak mendengar penolakan sopan gadis itu. Ia menggeleng tak percaya. “Yah, kau sedang mabuk sekarang!” nada bicara penyandang marga Lu naik satu oktaf. Otomatis Bomi terkejut, “Ta-tapi.. aku masih bisa..”

Tetapi sebelum Bomi sempat menuntaskan perkataannya, Luhan segera meraih tangan Bomi lalu setengah menyeret gadis itu keluar klub, “Ya-yah! Luhan-ssi!” Bomi mencoba untuk protes dan melepaskan tautan tangan mereka. Tetapi percuma saja, selisih tenaga mereka terlalu jauh. Pada akhirnya, ia hanya pasrah mengikuti Luhan yang berjalan cepat menuju area parkir.


***


Keheningan mutlak mendominasi atmosfir dalam mobil Luhan. 10 menit telah berlalu sejak mereka meninggalkan klub. Dan Bomi juga telah mengirim pesan singkat untuk Naeun, memberitahu  jika ia pulang terlebih dulu, jadi dia tidak perlu khawatir.

Bomi mendesah pelan. Kepalanya bersandar pada jendela samping mobil. Ia masih pusing, dan perlahan rasa mual tersebut kembali merayapi perut. Sungguh, tubuh Bomi sedang tidak fit hari ini. Diam-diam, ia melirik sang pengemudi. Luhan tengah sibuk mengambil alih kemudi, pandangan ia terpaku pada jalanan di depan sana.

Bahkan kegelapan tak mampu menyembunyikan wajah tampan Luhan. Segelintir cahaya dari lampu jalan menembus kaca mobil, membuat wajah pria itu tampak menawan. Kulit seputih porselen, rambut frost blonde, manik kecoklatan… Dan entah kenapa jas formal yang Luhan kenakan kini menambah kadar kerupawanan Luhan di mata Bomi.

“Merasa lebih baik?”

Pertanyaan mendadak Luhan tertangkap indra pendengaran Bomi. Otomatis, ia terperanjat kaget. Sama sekali tak menyangka jika Luhan akan membuka percakapan. Ditambah lagi, rasa malu mulai menyerang Bomi. Bagaimana jika dia sadar kalau aku mengamatinya sejak tadi? Ouh, kau bodoh sekali Yoon Bomi!

Emmm.. ya.” Adalah jawaban singkat Bomi.

Seulas senyum tipis terkembang menghiasi wajah Luhan. Kemudian, sunyi kembali menyelimuti. Konsentrasi Luhan tertumpu pada kemudi, sedangkan Bomi memilih mengamati pemandangan malam Paris melalui jendela. Yang entah berapa kali pun ia lihat, tetap amat mengagumkan. Cahaya lampu dari jalan dan bangunan itu… bagai kunang-kunang penghias malam, sahabat sang bulan. Ditambah hiruk pikuknya jantung negeri Perancis.

Perlahan, Bomi tersenyum senang. Mengesampingkan segala pening, lemas, dan mual pendera tubuh.


***


Luhan mengantar Bomi hingga ke depan pintu kamarnya. Well, wajar sebenarnya. Berhubung kamar suite Luhan berada tepat di seberang Bomi-Naeun. Sepasang manusia tersebut berdiri berhadapan, menatap satu sama lain. Kecanggungan mendominasi. Membuat Bomi menggigit bibir bawahnya.

“Terimakasih. “

“Untuk apa? Mencegah kau menjadi lebih mabuk, membantumu ke toilet, atau mengantarmu pulang?” Luhan bertanya sekaligus mencela Bomi. Sebelah sudut bibir sang komposer terangkat ke atas, membentuk senyum separuh. Manik kecoklatannya berkilat jahil.

Di sisi lain, Bomi merasakan panas merayapi bagian wajah. Ia yakin, warna mukanya kini tak jauh berbeda dari kepiting rebus. Hal-hal yang baru meluncur dari bibir Luhan adalah fakta. Semuanya benar. Dan ini jelas memalukan bagi Bomi. Ingin rasanya ia menghilang sekarang juga.

Ouh yeah.. terimakasih untuk semua itu. Dan.. maaf merepotkanmu.” Kepala Bomi tertunduk malu. Sedangkan Luhan berjuang keras agar tak larut dalam gelak tawa. Sebaliknya, kini cengiran lebar menghiasi wajahnya, “Bagaimana dengan bayaranku?”

“EH?” Bomi terkejut. Ia bergegas mendongak, matanya membulat sempurna. Ap-apa yang baru dia katakan? Bayaran? Uang? Atau jangan-jangan.. sebuah pemikiran negatif mendadak muncul. Sontak gadis itu mundur satu langkah. “Ap-apa maksudmu, huh?” ujarnya terbata.

Senyum jahil di wajah Luhan semakin lebar. Seiring dengan langkah mundur Bomi, ia melangkah maju. Hingga gadis itu tersudutkan. Punggung Bomi menempel pada pintu kamar. “Yah! Kau k-kenapa?” dalam hati ia merutuk kesal karena kegagapan dadakannya.

Emm?” Luhan bergumam pelan. Kemudian, ia meletakkan kedua tangannya di dinding, tepat di samping kepala Bomi, membuat gadis tersebut tak dapat kabur kemanapun. Luhan menelengkan kepala, semakin memperkecil jarak di antara wajah mereka. Sementara kadar gugup Bomi telah mencapai puncak. Sekarang, jantungnya berdebar tak karuan, telapak tangan terkepal erat, dan ia memejamkan mata sebagai gerak refleks.

Luhan berlagak seolah hendak mencium gadis itu. Tetapi, ketika jarak bibir mereka kurang dari 10cm. Ia menghentikan gerakannya. Ia mengamati ekspresi tegang Bomi selama beberapa detik, hingga kemudian larut dalam gelak tawa, melangkah mundur sekaligus ‘melepaskan’ sang gadis. Mendengar suara tawa luhan, otomatis Bomi mengaktifkan indra penglihatan. Untuk sesaat ia kehilangan kata-kata, speechless, hingga otak Bomi berkinerja normal.

Dahi sang penulis berkerut. Ia mendengus kesal seraya memalingkan wajah. Sungguh, berani benar orang ini mempermainkannya? Sementara Bomi sibuk memaki tingkah Luhan, pria tersebut berhasil mengendalikan diri, setelah berjuang keras mengontrol tawa. Ia berdeham keras lalu berkata, “Kau lucu sekali.” Bomi merespon dengan memutar bola mata, jengah. “Omong-omong, selamat malam.”

Bomi menoleh, mendapati sang pengucap salam yang kini menatapnya geli. Namun ia tidak memiliki pilihan lain selain membalas, “Selamat malam juga. Dan terimakasih.. sekali lagi.” Lirihnya. Luhan mengangguk singkat. Ia melempar seulas senyum lebar sebelum akhirnya memutar tubuh dan menghilang di balik pintu kamar suite 308, tepat di seberang suite Bomi.

Blam. Suara berdebam pintu ditutup tersebut seolah menarik Bomi kembali pada realita. Yah, ia sempat melayang, larut dalam lubang hitam bernama pesona milik Luhan. Entah apa yang membuatnya seperti ini. Yang jelas, ia sendiri tak tahu, tak mengerti, dan mungkin tak ingin mengerti.

Berbagai hal terjadi hari ini. Dan seiring dengan bagaimana Bomi mencoba menggali memori mengenai kejadian 2 jam terakhir, membayangkan, memutar ulang hal-hal itu dalam otaknya sendiri, mengundang senyum tulus sang gadis.

Pandangan Bomi jatuh pada pintu suite 308 yang kini tertutup rapat.

Terima kasih...


.
.
.
TBC 

2 komentar:

  1. Entah kenapa aku suka crita comedinya wkwkkwkw lucu bgt pas luhan nganterin bomi balek Ķε̲ hotel wwkwkkw.... Apik kok ws lanjutkan!!!!!!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwk. You knowlah kalau saya gak bisa lepas dari komedi sebenernya ><

      Hapus