ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Selasa, 17 Februari 2015

Like A Fairytale [Chapter 4- Now, We're Friend?]

 

Like A Fairytale [Chapter 4]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.



***




DING!

Pintu lift terbuka dan Bomi otomatis mendongak karenanya. Ekspresi terkejut terlukis pada wajah Bomi begitu menyadari siapakah sosok di hadapannya. Yang tak lain merupakan figur ‘familiar’ bagi Bomi. Yah, lelaki berambut blonde ini tidak lagi asing baginya. Entah mengapa dan berapa kali lagi mereka akan bertemu, secara kebetulan pula.

Luhan tak kalah kaget. Kedua alisnya terangkat seketika, namun bergegas ia mengontrol raut wajahnya. Lalu, dengan mantap ia memasuki lift, membuat Bomi bergeser sedikit dari posisi semula.

Namun, ia tidak langsung menekan angka di papan tombol lift, sebaliknya, ia menoleh dan menanyakan lantai tujuan Bomi terlebih dahulu. Layaknya perilaku seorang pria sopan.

“Kau mau ke lantai berapa?” tanya Luhan, dengan senyum tipis tersungging.

“E-eh?” Bomi yang tak menyangka pertanyaan macam itu akan disuguhkan padanya, sontak menggigit bibir bawahnya, antara kebingungan berbaur gugup. “Lantai.. 2” jawabnya ragu. Luhan pun mengangguk singkat sebelum menekan angka spesifik tersebut.

“Lantai 2? Kau ingin sarapan?”

“Ya.. “

Mendengar jawaban Yoon Bomi, lagi-lagi Luhan tersenyum. Disandarkannya punggung pada dinding lift, sementara kedua manik hitam tetap memandang lekat Bomi. Sang komposer mengamati Bomi yang tampak tengah mengobservasi lantai lift –demi menghindari suasana canggung.

“Dimana temanmu?”

Untuk kali kedua pagi itu, Luhan sukses membuat keterkejutan melanda Bomi. Jelas saja, bagaimana dia tahu jika Bomi pergi ke negara ini bersama Naeun? Apa jangan-jangan orang ini semacam… stalker?

Seolah mampu membaca isi otak sang gadis, Luhan menginterupsi pemikiran melencengnya, “Tidak. Aku bukan stalker, sungguh.” Ia meletakkan kedua tangan di depan dada. “Secara ‘kebetulan’ saja, aku sering melihat kalian. Di pesawat, lobi, dan.. aku juga melihatmu sewaktu di Korea.” Jelas Lu Han.

Bomi tidak tahu respon apa yang patut diberikan kala itu. Gadis tersebut juga heran mengapa ia sering sekali bertemu dengan Luhan, Tetapi, jika Luhan bukan stalker.. lalu apa? Dan Bomi bukan tipe seorang gadis yang percaya dengan ‘takdir’. Jika seorang gadis terus bertemu dengan orang yang sama, pasti itu hanyalah sekedar ‘kebetulan’.

Ya. Ini hanya kebetulan saja.

Tepat ketika deretan kata hendak meluncur dari bibir Bomi, suara ‘DING’ bergema di dalam lift. Ia pun menoleh ke arah Luhan, “Aku permisi dulu.” Lalu mengenyahkan diri dari sana. Lagaknya seolah tak terusik sama sekali akan penjelasan Luhan tadi.

Sedangkan kerutan terlukis pada dahi sang komposer, sembari ia memandangi punggung Bomi yang beranjak menjauh.



***


Bomi baru saja hendak mengonsumsi suap pertamanya, ketika Luhan mengampiri meja restoran tempat Bomi berada. Dengan sebuah piring di tangan, dia duduk di seberang meja Bomi, tepat di hadapan gadis itu. Otomatis, sang gadis melemparinya tatapan aneh. Namun, sebelum penulis tersebut sempat mengajukan protes, Luhan bergegas menyela, “Aku benci makan sendirian” ia mengedikkan bahu, “Lagipula kau tidak sedang bersama temanmu, kan? Kupikir tidak ada salahnya kita makan bersama.” Luhan tersenyum, sementara kedua alis Bomi terangkat ke atas. Sungguh, tingkah pria ini tidak dapat diprediksi.

Pada akhirnya, Bomi tidak mengatakan apapun. Ia memilih melanjutkan acara makannya dalam diam. Perutnya masih sedikit sakit, tetapi telah jauh lebih baik dibandingkan tadi malam.

“Jadi, kemana kau akan pergi sesudah sarapan?” Pertanyaan Luhan membuat Bomi mendongak. Ia sempat dilanda kegalauan. Haruskah ia menjawab pertanyaannya? Atau tidak? Meski pada ujungnya, Bomi menjawab, “Kurasa aku akan pergi melihat menara Eiffel.”

Luhan mengangguk mengerti. Ia menyesap sedikit jus jeruknya sebelum menyahut, “Apa kau sudah pernah kesana?” yang direspon dengan gelengan mantap sang penyandang marga Yoon, “Tidak. Belum pernah.”

Pun Luhan berdecak tak percaya. “Dan sekarang kau ingin pergi kesana sendirian?” terdapat keterkejutan dalam nada suara Luhan, yang Bomi tak tahu apa penyebabnya.

Well, yeah… kenapa memangnya?”

“Tidak ada guide tour?”

Lagi-lagi Bomi menggeleng. Sedangkan Luhan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi restoran, kedua tangan terlipat di depan dada, dan ia menelengkan kepala ke samping seraya menatap heran Bomi.

“Bagaimana jika kau tersesat?”

Bomi hening sejenak. Ia menatap langit-langit restoran selagi berpikir, “Aku tinggal menghubungi Naeun atau… pergi ke kantor polisi terdekat?” pilihan terakhir terlontar sarat keraguan. Di sisi lain, Luhan mendesah tak percaya.

Ia memandangi sang gadis –yang bahkan ia tak tahu namanya itu- kembali menyantap makanannya. Entah mengapa, sejak pertama melihat gadis ini, fokusnya selalu tertumpu padanya. Apa yang membuat ia ‘tertarik’? Yah, harus diakui jika Yoon Bomi memang cantik. Namun, Luhan telah bertemu banyak perempuan lain yang jauh lebih cantik, dan bahkan ia tak merasakan apapun ketika melihat mereka.

Luhan juga tak tahu, bagaimana bisa kalimat berupa tawaran tersebut meluncur dari bibirnya sendiri, “Hey, kupikir aku bisa menemanimu kesana.”

“EH?"



***



Tepat seperti ucapan Luhan tadi, ia benar-benar menemani Bomi mengunjungi menara Eiffel. Sesungguhnya, Bomi enggan menerima tawaran pria asing itu, namun apa daya, ia juga tak ingin tersesat. Lagipula, Luhan berkata jika ia sudah pernah kesana sebelumnya.

Begitu turun dari ferrari -yang Luhan sewa selama liburannya ke Paris, pemandangan menakjubkan terpampang di hadapan Yoon Bomi. Terlampau terpesona, mulut sang gadis membentuk huruf ‘o’. Sementara Luhan hanya tertawa kecil menyaksikan tingkah Bomi.

Menara yang selama ini hanya ia lihat di film ataupun gambar, kini ia dapat melihatnya secara langsung. Benda kokoh tersebut berdiri tegak di hadapannya. Ratusan turis memenuhi area wisata, membuat kadar kekaguman Bomi meningkat.

Kemudian, mereka saling membantu mengambil foto satu sama lain, dengan latar belakang menara Eiffel. Tentu saja, momen seperti ini wajib diabadikan. Dan Luhan sukses dibuat terkejut ketika Bomi menarik lengannya untuk berfoto bersama, “Come here.. let’s take a selca together (Kemarilah! Ayo kita foto bersama). Dengan canggung, Luhan pun berpose ‘peace’ menggunakan tangannya. Senyum yang ia lemparkan tak kalah canggung pula.

Dahi Bomi sontak berkerut melihat hasil foto mereka. “Ada apa dengan ekspresimu itu?” Sedangkan Luhan mengedikkan bahu, “Tidak tahu.”

Eish.. sudahlah.”

Setelah puas berfoto ria, mereka memutuskan mengantri tiket untuk naik ke puncak Eiffel. Ada empat loket penjual tiket, Luhan memilih loket timur –arah Boulevard- yang tampak lebih sepi pengunjung. Sekitar 1 jam lebih mereka mengabiskan waktu demi mengantri, sebelum akhirnya dapat menaiki lift menuju bagian atas Eiffel.

Kilat antusias mendominasi sorot mata Bomi sepanjang hari. Terutama ketika mereka telah sampai di puncak menara Eiffel. Melalui dinding kaca, mereka mampu melihat seantero kota Paris, bahkan Perancis. Bomi yakin, momen ini merupakan salah satu momen paling berkesan sepanjang hidupnya.

“Wow, jauh lebih keren dibanding gedung 63.” Komentar sang gadis.

Luhan mengangguk setuju, “Tentu saja, kau pikir kita berada dimana sekarang? P-A-R-IS.” Ejanya sedikit melebihkan. Bomi hanya mendecakkan lidah sebagai respon.

Cukup lama mereka menikmati pemandangan, berfoto-ria, serta mengomentari berbagai hal di sana. Waktu bergerak begitu cepat bagi Luhan maupun Bomi. Tanpa disadari, siang berganti sore, matahari mulai berangsur menuju peraduannya.



***



Paris’ Fashion Week, Backstage, 15.27 PMT. 


Merci de travailler dur (Terima Kasih atas kerja kerasnya).”

Son Naeun terkejut, sontak langsung menoleh pada sumber suara. Ternyata, salah seorang staf lah yang berbicara. Seulas senyum pun ia lemparkan sembari balas berkata, “De rien! (Sama-sama).” Staf wanita tersebut mengangguk kemudian berlalu pergi.

Peragaan busana sudah berakhir sejak setengah jam yang lalu. Sebagian besar model dan staf tidak lagi berada di sana. Mungkin pergi untuk jadwal atau pekerjaan selanjutnya? Naeun tidak tahu. Yang jelas, ia ingin segera kembali ke hotel dan tidur. Tubuhnya lelah. Ia bahkan belum benar-benar beristirahat sejak tiba di Paris.

Di saat ia hendak mengenyahkan diri dari backstage, sebuah sosok familiar tertangkap indra penglihatannya. Hanya butuh waktu singkat bagi Naeun demi menganalisis identitas sosok itu, Kris. Kris atau biasa dipanggil Wu Yifan merupakan teman dekat merangkap manager Naeun. Pria berperawakan tampan tersebut tiba di Paris 3 hari lebih awal.

Yifan berjalan ke arah Naeun, dengan seorang pria asing di sampingnya.

“Perkenalkan, dia adalah fotografer yang akan bekerja denganmu di pemotretan berikutnya.” Kemudian Wu Yifan menoleh dan memberi tanda agar pria asing itu mengatakan sesuatu. Sang pria asing pun memperkenalkan diri, “Hello, I’m Nam Woohyun. I’m working as photographer. Oh, and I also came from South Korea. (Hai, aku Nam Woohyun. Aku bekerja sebagai fotografer. Oh, dan aku juga berasal dari Korea Selatan).”


***



Bulan telah menyembul di balik awan ketika mereka memutuskan untuk beranjak dari Eiffel. Namun, bukannya langsung ke hotel dan beristirahat, Luhan malah mengajak Bomi makan malam di sebuah restoran. Cacing-cacing dalam perutnya sibuk mengadakan unjuk rasa sedari tadi, dan ia yakin jika Bomi mengalami hal yang sama.

Kening Bomi berkerut heran begitu Luhan menghentikan laju mobil di sebuah restoran. Well, papan nama restoran tersebut diukir menggunakan Hangeul (huruf Korea). Bukankah susah menemukan restoran Korea di negeri ini? Bagaimana Luhan bisa tahu?

Bomi tidak sempat menuangkan rasa penasarannya pada Luhan sebab pria tersebut telah memasuki restoran. Otomatis, Bomi pun mengekori Luhan. Begitu menginjakkan kaki di dalam restoran. Berbagai aroma familiar menyerbu indra penciuman Bomi, wangi khas hidangan Korea.

Sang penulis setia membuntuti Luhan, yang bukannya langsung mengambil tempat duduk dan memesan makanan, dia malah menghampiri meja kasir. Setelah berbincang-bincang –dalam bahasa Cina yang amat fasih- dengan sang penjaga kasir, pegawai itupun mengangguk kemudian pergi ke dapur.

Tak sampai 5 menit berlalu, hingga sesosok pria berperawakan semampai muncul dari dapur restoran. Bomi dapat menebak profesi sosok asing itu sebagai chef melalui topi khas yang dikenakannya. Sang Chef berjalan mendekati mereka sembari melambai heboh, “Yah! Luhan-ah!”

Aksen korea terasa kental meluncur melalui bibir Park Chanyeol, membuat Bomi sontak terkejut. Eh, bahasa Korea? Diamatinya penampilan Chanyeol lekat-lekat. Memang, jika dipikir lebih jauh lagi, Chanyeol memiliki figur layaknya orang Asia.

Chanyeol memeluk Luhan erat, menepuk keras punggung pria itu. Dan Bomi mampu melihat raut Luhan yang mengekspresikan ketidaknyamanan. Bahkan, Luhan mungkin tak mampu bernapas sekarang. Bomi hanya menggelengkan kepala saat melihat adegan tersebut.

“Hei, Kawan. Bisa kau bebaskan aku sekarang? Aku susah bernafas karena kau.” Protes Luhan. Refleks, Chanyeol melepas dekapannya. Ia memasang sebuah cengiran seraya tertawa kecil, “Maaf.. maaf..” ujar Chanyeol dengan bahasa Korea. Yah, setidaknya kini Bomi yakin akan nasionalitas sang chef.

“Kau tak berubah, masih sangat hiperaktif.” Komentar Luhan. Ia mendecakkan lidah. Lalu, ia menoleh ke arah Bomi, “Oh ya, kenalkan.. aku bertemu gadis ini beberapa kali di Korea, juga Paris.. emm..” Luhan bergumam tak jelas. Selama beberapa saat, Bomi dilanda kebingungan. Namun, pada akhirnya, ia memahami isyarat Luhan untuk memperkenalkan diri.

“Namaku Yoon Bomi.” Penulis muda itu mengulurkan sebelah tangannya, yang segera disambut oleh Chanyeol. Pria tersebut menggoyangkan-goyangkan tangan Bomi heboh, “Aku Park Chanyeol. Dan jangan salah sangka, walau menghabiskan hampir separuh hidupku di Perancis, tapi aku orang Korea tulen.” Jelas Chanyeol. Bomi hanya bergegas mengangguk lalu melepas cengkeraman tangannya yang kini terasa kebas. Ia menggerutu dalam hati. Meskipun begitu, Bomi tetap memaksakan seulas senyum muncul sebagai penghias wajah.

“Senang bertemu denganmu.”

“Kau juga, gadis cantik. Ahahahaha.” Chanyeol tertawa lebar.

Yoon Bomi balas tertawa canggung seraya menggaruk belakang lehernya. Sungguh, ia tak tahu harus bereaksi apa lagi. Gadis itu bergegas melirik Luhan, seolah meminta pertolongan. Luhan yang peka memutuskan untuk terjun dalam percakapan, “Omong-omong, boleh kan kami memesan sekarang? Aku kelaparan.”

Kedua alis Park Chanyeol sontak terangkat, seolah baru menyadari sesuatu, “Oh, tentu saja!” ia pun mengecek jam tangan yang melilit pergelangan tangannya, kemudian mendongak menatap Luhan-Bomi. “Aku juga harus kembali bekerja. Kau tahu, keadaan dapur bisa kacau kalau tidak ada aku disana. Jadi, aku kembali dulu, ne?” Ada segelintir rasa enggan dalam nada suara Chanyeol. Sepertinya pria semampai itu sungguh bahagia akan kedatangan tamu tak terduga.

Luhan mengangguk singkat, begitupun Bomi. Sebelum akhirnya Chanyeol menghilang di balik pintu dapur restoran.



***




“Jadi, namamu Yoon Bomi?”

Bomi mendongak mendengar pertanyaan Luhan, mengabaikan sejenak jajangmyeonnya,
Ya. Panggil saja aku Bomi, aku tinggal di Gangnam dan bekerja sebagai penulis.” ia menambahkan, lalu kembali menyantap makan malam.

Kondisi restoran Chanyeol jauh dari definisi ‘ramai’ malam itu. Hanya terdapat beberapa pelanggan disana, yang mana membuat Bomi nyaman. Sedari dulu, ia tidak suka jika harus berada dalam kerumunan orang asing. Nyala lilin yang diletakkan di tiap meja dan pencahayaan remang restoran membuat suasana terasa romantis. Pelayan berlalu-lalang mengantar pesanan, para pelanggan duduk menyantap makanan seraya larut dalam percakapan.

“Oh, benarkah? Aku juga tinggal di Gangnam, no.72.” jawab Luhan santai, sementara Bomi sukses tersedak jajangmyeon yang baru separuh menjelajahi saluran pencernaan. Bergegas ia meneguk air putih. Kedua manik hitam Bomi membulat sempurna, seolah ia baru mendengar hal mengejutkan. Di sisi lain, kedua alis Luhan terangkat heran, “K-kau tidak apa-apa?”

Bomi menggeleng keras, “Anni, apa yang kau bilang barusan? Apartemen 72?” Ditatapnya Luhan lekat, dalam hati berharap jika hal yang baru dicerna otaknya itu salah. Namun, harapan Bomi hancur menjadi kepingan kecil, saat Luhan berkata, “Ya, apartemen no.72, Gangnam.”

Dan Bomi hanya mematung di tempat mendengar jawaban mantap sang pria. Sungguh, apa yang ia alami belakangan sudah cukup membingungkan. Pertama, ia bertemu dengan Luhan beberapa kali secara kebetulan. Lalu, ke Paris pun Bomi satu pesawat dan bahkan satu hotel dengan Luhan. Sekarang? Ia harus menerima kenyataan bahwa Luhan dan dia tinggal dalam apartemen yang sama di Korea.

Apa ini permainan takdir?

Apa Tuhan sedang bereksperimen dengan kehidupan percintaan seorang Yoon Bomi?

“Hei, ada apa?” Luhan sedikit panik menyaksikan raut Bomi yang berangsur pucat. Sang gadis hanya mengibaskan sebelah tangan, “Tidak. Tidak ada. Kita tinggal di apartemen yang sama, itu saja.” Jelas Bomi.

Menyadari realita tersebut, reaksi Luhan jauh berbeda dibandingkan Bomi. Segera setelah fakta terserap dalam otaknya, ia larut dalam gelak tawa. Sontak Bomi memasang raut heran. Sungguh, apa yang salah dengan pria ini?

Wow, ini sangat keren.” Komentar komposer itu. Dan sekali lagi, ia tertawa sebelum melanjutkan, “Tidakkah kau berpikir begitu?” Sebuah cengiran muncul menghiasi wajah porselennya. Kilat antusias mendominasi manik kecoklatan Luhan.

Bomi tak menjawab. Ia memutuskan untuk melanjutkan acara makan malamnya. Dicobanya bersikap setenang mungkin, meskipun hal itu nyaris mustahil. Well, bagaimana dia dapat tenang setelah menemukan fakta mengejutkan?

Beberapa menit kemudian, Luhan juga ikut menyantap makanannya. Keheningan sempat melingkupi atmosfir sekitar mereka. Hingga suara Luhan memecah sunyi, “Kenapa kau ke Paris?” sebuah pertanyaan meluncur di sela-sela kegiatan sang pria menyantap kimchi.

“Kau ingat temanku yang kau lihat kemarin?”

Luhan mengangguk.

“Nah, dia seorang model dan mengikuti fashion week di sini. Dia mengajakku kemari jadi kami bisa berjalan-jalan jika sedang tidak ada jadwal. Lagipula, sudah lama aku tidak ke luar negeri. Eomma melarangku bepergian sendiri ke luar Korea.” Jelas Bomi, ia mengedikkan bahu pada akhir kalimat, “Bagaimana denganmu?”

Luhan menyeruput sejenak winenya, “Aku hanya seorang komposer yang sedang stress karena pekerjaan. Dan kupikir Paris pilihan yang pas untuk berlibur, sekaligus mencari inspirasi.” Jawab Luhan. Seulas senyum terkembang membuat kadar kharismanya meningkat.

“Oh..” adalah respon singkat Bomi.

10 menit kemudian berlalu singkat, seiring dengan malam yang berangsur larut. Cahaya bulan semakin mendominasi kekelaman langit. Sedangkan kedua orang ‘asing’ itu tetap tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Percakapan demi percakapan membuat Bomi-Luhan menjalin keakraban semu. Tanpa menyadari jika pembicaraan remeh sekalipun mampu memunculkan benih-benih cinta.

“Jadi, kita teman sekarang?” tanya sang komposer.

“Yeah, anggap saja kita teman.”

Bomi tersenyum tipis. Luhan tertawa kecil, kemudian mengangkat gelas winenya, "For making a new friend. (Untuk menemukan teman baru)." Bomi pun melakukan hal serupa, dia mengangkat gelas wine dan menyentuhkannya dengan gelas Luhan, membuat bunyi 'ding' pelan. "yeah, for making a new friend."

.
.
.
TBC

======================================================================
 A/N : Oke, saya udah coba ngebut sebisa mungkin -_-V dan maaf kalo ini ngebosenin. Saya enggak mau ngebacot kali ini -_- oke, makasih udah baca dan RCL nya jangan lupa! thanks <3

1 komentar: