ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Sabtu, 28 Februari 2015

Like A Fairytale [Chapter 6- The Show]


 

Like A Fairytale [Chapter 6]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.









***






Sinar mentari menyusup melalui celah jendela, menembus gorden tebal kamar hotel. Otomatis, mengusik tidur lelap seorang gadis yang tadinya tengah bergulat dengan selimut. Yoon Bomi mengerang malas. Sungguh, ia ingin berkelana di alam mimpi lebih lama lagi. Ia baru menginjakkan kaki di hotel pukul 3AM. Dan sekarang, jarum jam menunjukkan angka 9.27 AM. Masih terlalu awal bagi seorang penulis, yang notabene baru terbangun ketika matahari berada tepat di atas kepala manusia.

Hendak dipejamkannya kembali mata, ketika gendang telinga Bomi menangkap suara ‘cklek’ dari arah kamar mandi. Sontak, Bomi menoleh. Hanya demi mendapati Sosok Naeun yang baru keluar dari ruang spesifik tersebut. Dia mengenakan dress simple warna hitam. Sedangkan helai rambut kecoklatan Naeun basah kuyup, tampak jelas baru dicuci. Naeun melangkah menuju kamar tidur seraya bersenandung kecil dan mengeringkan rambutnya dengan handuk. Namun, aktivitasnya tertunda begitu melihat Bomi.

Hey, apa kau tidak ingin ikut denganku? Kris memberikan satu tiket untukmu. Dia tahu kalau kau ikut kesini.” Tanya Naeun, namun tatapannya tak lagi terpaku pada Bomi. Setelah meletakkan handuk di gantungan, ia segera duduk manis di depan meja rias. “Ikut saja. Lagipula, kau tidak ada rencana, kan, hari ini?”

Bomi tak langsung menjawab kalimat tanya sang sahabat. Ia bangkit dari posisi tidur, duduk, lalu menguap lebar sebelum berkata, “Entahlah. Apa aku harus ikut?” suara Bomi terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. Kedua bola matanya berwarna kemerahan, tampak jelas kantuk masih menyelimuti.

Well, terserah kau sebenarnya. Aku hanya memberi saran.” Naeun mengedikkan bahu. Memberi kebebasan pada respon Bomi atas ajakannya barusan. Terserah dia ingin menolak atau menerima tiket gratis yang diberikan sang manager.

Bomi menguap sekali lagi, lalu berdiri untuk meregangkan otot-ototnya. Ia masih belum menanggapi pertanyaan sang sahabat. Sembari melakukan peregangan singkat, benak Bomi sibuk menimbang untung-rugi tawaran Naeun. “Emm.. bagaimana ya?” ia menoleh, mendapati lawan bicaranya nyaris selesai merias wajah. Naeun pun mendecakkan lidah, “Kubilang terserah, kan? Tapi lebih baik ikut saja jika tak ingin mati bosan. Atau kau bisa nekat jalan-jalan, dan jangan salahkan aku jika tersesat nantinya.”

Bomi mendengus, sebab yang baru dikatakan Naeun merupakan fakta. Kebenaran. Ia boleh saja menolak dan memilih tinggal di hotel, dengan resiko menjadi bosan. Atau jalan-jalan seorang diri, dan mengambil resiko tersesat. Hari ini berbeda, tidak seperti kemarin. Tidak ada Luhan yang akan menemaninya berkeliling Paris.

Ouh, tunggu. Kenapa Luhan mendadak muncul di otaknya?

Sang penulis menggelengkan kepala kuat-kuat. Mencoba mengenyahkan pikiran aneh dari benaknya. Namun, memang benar ketidakhadiran Luhan sedikit banyak mengusik Bomi. Toh, siapa yang menemaninya mengunjungi Eiffel? Siapa yang mengantarnya pulang dalam keadaan mabuk tadi malam? Dua pertanyaan di atas memiliki satu jawaban: Lu Han.

Yah, kau mau ikut atau tidak?”

Suara Naeun mengejutkan Bomi, otomatis membawa ia kembali ke alam sadar. Entah berapa detik berlalu sejak ia mulai melamun tentang sosok bernama Luhan. Bomi menoleh, “kau mengagetkanku!” sengitnya.

Naeun memutar bola mata, jengah. “Ya sudah kalau tak ingin pergi.” Dia bangkit dari kursi rias. “Nikmati waktumu disini, sendirian.” Diambilnya tas Prada yang tergeletak di ujung tempat tidur. Sang model telah melangkah dan hendak memutar kenop pintu, namun gerakannya terhenti seketika.

“Tunggu aku 10 menit.”

Naeun menoleh, mengangguk singkat pada Bomi yang tengah membongkar koper secepat kilat. Setelah mengambil pakaian, ia bergegas menyambar handuk dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Tak lama kemudian, terdengar suara nyanyian khas Bomi dari dalam bilik. Naeun hanya kembali mendecakkan lidah, “ckckck, bocah itu.”




***



Sebuah Ferrari meluncur mulus menyusuri salah satu jalan utama kota Paris, dengan Luhan di balik kemudi. Pria itu menyibukkan diri mengendalikan laju mobil seraya bersenandung kecil. Lagu populer ‘some’ diputar nyaring melalui media player.



These days, it feels like you’re mine, it seems like you’re mine but not
It feels like I’m yours, it seems like I’m yours but not
What are we? I’m confused, don’t be aloof
It feels like we’re lovers, it seems like we’re lovers but not
Whenever you see me, you act so vague to me
These days, I hate hearing that I’m just like a friend
(English translate from Soyu ft Junggigo-Some)

Sesuatu dalam lirik 'some'  membuat perasaan Luhan seolah malayang. Tanpa sadar, ia mengulum senyum. Entahlah, seseorang terbayang dalam benak Luhan saat mendengar lagu ini.

Terlampau larut dalam lagu, Luhan sukses terperanjat ketika ponselnya bergetar. Ia pun melepas satu tangan dari kemudi demi mengambil ponsel, yang tergeletak di jok sebelah. Tanpa mengecek ID penelepon, diangkatnya panggilan tersebut. “Hello?”

“Luhan-ssi? Kau ada dimana sekarang?”

Ekspresi Luhan menjadi santai, begitu mengenali pemilik suara familiar di seberang sana. Sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas, “ Oh, Suho? Aku masih dalam perjalanan.. emm.” Ia berhenti sejenak dan mengecek jam di dasbor mobil. “Kira-kira tiba 15 menit lagi. Kenapa?”

“Tidak. Aku hanya ingin memastikan saja. Acara dimulai setengah jam lagi, cepatlah kalau bisa. Oke?” pesan Suho.

Entah bagaimana caranya, tetapi Luhan mampu membayangkan gerak-gerik gelisah mantan managernya itu. Selalu berusaha bersikap sebaik mungkin, sesopan mungkin, dan terlebih lagi, menghindari segala jenis keteledoran. Termasuk terlambat tiba di lokasi. Dia akan menjadi kalut dengan kemungkinan terjadinya sebuah kesalahan.

Sebuah cengiran terkembang lebar menghiasi wajah Luhan, “Tenang saja, Suho-ya. Aku tidak akan datang terlambat. Jadi kau bisa berhenti berjalan mondar-mandir dan merasa cemas sambil meneleponku berkali-kali.” Godanya. Kali ini, Luhan tertawa kecil. Ia mengingat jelas kebiasaan sang mantan manager.

“Aku tidak begitu…”

“Sudahlah, jangan mengelak. “

Aigoo! Terserah kau sajalah, yang penting jangan terlambat.” Suho mendesah keras, “Tao bisa berada dalam masalah karenamu.” Ia mengingatkan, nadanya berubah jadi serius. Tetapi, Luhan masih membalas santai, “Okay dude, jangan khawatir.”



***


Carrousel Du Louvre, 11.21 PMT

Setelah memarkir BMW sewaan di basement mall, Naeun bergegas masuk ke dalam gedung. Tidak banyak waktu tersisa sebelum peragaan di mulai. Sedangkan ia sama sekali belum bersiap. Naeun mengambil langkah-langkah panjang, dengan Yoon Bomi mengekori. Raut cemas mendominasi wajah sang model.

Hanya butuh waktu singkat hingga mereka berada dalam lift yang akan membawa kedua orang itu ke lantai 4, tempat diadakannya fashion week. Naeun mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya, tak sabar menanti pintu lift terbuka lebar. Dia tak sabar untuk tiba di backstage, sehingga aman dari konsekuensi datang terlambat. Sedangkan di samping Naeun, Yoon Bomi berdiri santai. Saking santainya, ia dibuat terkejut saat Naeun merangsek keluar lift ­­–begitu pintu terbuka lebar. Gelagapan, Bomi bergegas keluar pula, mengikuti langkah Naeun. Namun sayang, dewi keberuntungan sedang tak berpihak padanya hari ini. Sebab tanpa disengaja, ia menabrak seseorang yang akan masuk ke dalam lift.

Bruk.

Tabrakan mereka cukup pelan. Tidak ada yang terjatuh. Dan Bomi bersyukur dalam hati karena itu. Spontan, ia membungkuk sopan sembari meminta maaf, “I’m Sorry.” Saat mendongak, didapatinya seorang pria tampan, berdiri tegak di hadapannya. Pria tersebut hanya mengangguk singkat, “It’s okay, I’m fine anyway (Tidak apa-apa, Lagipula aku baik-baik saja).” Ujarnya menenangkan, lalu tersenyum tipis.

Manik hitam kelam dan wajah khas Asia. Cukup tampan, batin Bomi. Ia sempat dibuat terpesona oleh senyuman sang pria asing. Dan mungkin akan berdiri mematung disana lebih lama lagi, jika suara Naeun tak segera membuat Bomi sadar kembali.

Yah! Yoon Bomi! Kalau kau tidak kemari sekarang juga, jangan salahkan aku kalau kau kutinggal!” gerutu Naeun. Ia telah berhenti berjalan ketika sadar Bomi tak mengikutinya lagi. Raut cemas tadi mulai beralih menjadi kesal.

Merespon omelan sahabatnya, Bomi membungkuk sekali lagi, “Then, excuse me..” pamitnya kikuk. Ia tak sempat menyaksikan respon sang pria asing, sebab omelan pedas kembali meluncur dari bibir Naeun. Maka, bergegas ia berjalan melewati pria tersebut demi menyusul Naeun.



***



Suasana dalam ruang diadakannya show kali ini tidak riuh. Berbeda saat kau menonton konser, yang didominasi hiruk pikuk tak terkontrol. Tentu saja, para penonton fashion week berasal dari 'kelas' berbeda, golongan elit. Sebagian besar adalah para model, desainer, ataupun pengamat dunia mode.

Begitu menginjakkan kaki di sana, Bomi merasa percaya dirinya runtuh seketika. Ruangan tersebut dipenuhi oleh para manusia yang berdandan modis. Ataupun mengenakan pakaian mode terbaru. Sedangkan Bomi? Ia hanya sempat memilih cocktail dress seadanya tadi, berhubung Naeun memburunya agar lekas berangkat.

Bomi meneguk ludah. Saat ia melangkah jauh lebih dalam, keterasingan segera meliputi. Seolah dunia Bomi berlawanan dengan dunia yang ia masuki sekarang. Ia berjalan menuju area bangku penonton, melihat ke kanan-kiri. Mengecek jika saja ada manusia lain ‘bernasib’ sama seperti dia. Namun tidak ada. Bomi mendesah pelan.

“Aku harus pergi sekarang. Cepat duduk dan nikmati acaranya, oke?” pesan Naeun, membuat sang penulis menoleh. Ia berkedip, baru sadar bahwa Naeun berjalan di sampingnya sejak tadi. Dan kini, gadis itu akan pergi.

Oke, good luck there, best.” Jawab Bomi singkat. Ia tersenyum paksa, yang ditanggapi Naeun dengan anggukan. Sang penyandang marga Son menepuk pelan bahu kanan Bomi, “See ya later, best.” Lalu segera menghilang dari lingkup pandangnya. Meninggalkan Bomi berdiri canggung seorang diri.

Kembali ia menghela napas dalam, sedikit menyesal karena menerima ajakan Naeun tadi pagi. Ia belum pernah menonton acara mode secara langsung sebelumnya. Jika saja tahu, ia tidak akan berada disini sekarang. Berada dalam satu ruang bersama orang-orang kelas atas. Atmosfirnya saja mampu membuat Bomi bergidik tak nyaman. Namun, apa boleh buat? Berhubung nasi telah menjadi bubur, ia memutuskan untuk memberanikan diri dan mencari tempat duduk.

Yah, mungkin sesuatu yang menarik akan muncul nanti.


***

 


Suasana ini. Ruangan ini. Orang-orang ini. Segalanya terasa begitu familiar namun asing dalam waktu bersamaan. 3 tahun telah berlalu sejak Luhan bergumul dalam dunia tersebut. Dan kini, begitu  ia berada dan menyentuh dunia itu lagi, Luhan tak tahu apakah ia rindu atau tidak. Ia sungguh tak tahu. Namun satu hal yang pasti adalah, ia harus segera mencari Suho sebelum Zitao membunuhnya.

Manik hitam Luhan menjelajahi seantero backstage, demi mencari sebuah sosok spesifik. Tetapi secara tak sengaja, pandangan Luhan jatuh pada sosok familiar lain. Itu bukan Suho. Ia yakin 100% jika sosok yang dipandangnya kini bukanlah sang mantan manager. Tetapi orang lain. Seorang perempuan.

“Bukannya dia.. “


 ***




Setelah berseteru melawan keraguan, pada akhirnya Bomi memilih duduk di baris kedua dari depan. Melalui posisi duduknya, ia mampu melihat show secara jelas. Ia dapat menyaksikan performance-performance ­–terutama milik Naeun, tanpa memancing perhatian.

Ia duduk sembari memainkan game di ponsel. Tidak mempedulikan tatapan penonton lain –seorang ahjumma berpakaian mewah nan modis- yang seolah terusik oleh keberadaan Bomi. Ia memilih bersikap masa bodoh. Toh, ia berhak hadir disana. Ia memiliki tiket, kan?

Sayangnya sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, berhasil mengalihkan perhatian Bomi. Pada awalnya, ia hanya melirik sekilas penampilan sosok tersebut, lalu kembali fokus memainkan game. Tetapi, begitu otak Bomi sukses menganalisa identitas pria yang kini duduk di sampingnya, sontak kedua manik hitam sang gadis membulat sempurna. Ia pun menoleh, terkejut, “I’m sorry.. but you’re..”

Sebelum Bomi sempat menuntaskan kalimatnya, pria itu bergegas menyela, “We met in the lift before (Kita bertemu di lift sebelumnya).” Kemudian ia tersenyum lebar sembari mengulurkan sebelah tangan. “I’m Nam Woohyun, a photographer.” Ujar Woohyun memperkenalkan diri. Sekali lagi, Bomi dibuat gugup oleh pesona Woohyun. Melalui cara sang pria berbicara, bertingkah, merespon, ia dapat menarik kesimpulan bahwa Woohyun merupakan tipe ideal kaum hawa. Bahkan sekarang pun, dia memperkenalkan diri dengan melempar seulas senyum maut, lengkap dengan ekspresi semanis gula.

Bomi tak memiliki pilihan selain menerima uluran tangan Woohyun, jika ingin dirinya dicap tidak sopan. Ia menjabat tangan Woohyun, sejenak merasakan kehangatan mengalir, bersumber dari tangan kekar nan hangat pria tersebut. “I’m Yoon Bomi, A writer from Korea.” Balas Bomi, mencoba terdengar sepercaya diri mungkin. Meski sesungguhnya, ia jauh dari definisi ‘percaya diri’. Berada di tengah kerumunan para pengikut mode cukup membuat kadar kenyamanannya berkurang. Terlebih ditambah sosok pria tampan di sampingnya kini.

Woohyun mengangguk, “Jadi, kurasa kita tidak perlu berbicara menggunakan inggris sekarang.” Dia mendecakkan lidah sebelum melanjutkan, “Aku juga berasal dari Korea, tapi menghabiskan separuh hidupku bekerja di Paris.”

Mendengar penjelasan Woohyun, Bomi menggigit bibir bawahnya. Entah mengapa, rasa gugup seolah enggan lenyap dalam diri. “Emm..” ia memberi jeda, mencoba memikirkan respon apa yang patut diberikan. “Oh begitu.” Akhirnya kalimat itulah yang meluncur dari mulutnya, disusul tawa canggung.

Di sisi lain, Woohyun seolah tak ambil pusing akan kecanggungan di sekitar mereka. Dia menyandarkan punggung pada sandaran kursi, lalu menyilangkan kakinya. Wohyun duduk bertopang dagu, dengan ujung siku bertumpu pada lutut. Dia menatap Bomi intens. Kemudian, tanpa diduga, ia mengamati penampilan Bomi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tidak ada tatapan menghakimi disana. Dan Bomi juga tak mengerti mengapa sebuah seringai mendadak muncul menghiasi wajah tampan Woohyun. Diperhatikan seperti itu, otomatis Bomi mengernyit heran, “Kenapa? Ada yang salah denganku?”

Woohyun menggeleng kecil. Sembari tetap memamerkan seringai, ia berkata, “Tidak. Aku hanya heran apa yang kau lakukan disini.” Jawabnya.

Kedua alis Bomi terangkat ke atas. Bukannya mengobati rasa penasaran sang gadis, Woohyun malah membuat Bomi semakin bingung. “Maksudmu?” tanya Bomi. Sang lawan bicara menelengkan kepala, “Maksudku.. kau tidak memiliki figur sebagai seorang model, membawa tas kamera seperti seorang fotografer, atau berdandan modis khas para pengamat mode. Aku juga tidak yakin jika 'penulis' yang kau maksud berhubungan dengan dunia mode.” Kemudian Woohyun mencondongkan wajah. Mempersempit jarak di antara hidung mereka. “Jadi.. apa yang sedang kau lakukan disini, nona manis?”

Sang penulis merasa panas merayapi bagian pipi. Degup jantungnya berubah abnormal pula. Dan tanpa sadar, ia balas menatap manik hitam Woohyun, tak kalah intens. Untuk beberapa saat, raga Bomi seolah membeku. Butuh beberapa detik hingga ia kembali ke alam sadar, dan mendorong mundur tubuh Woohyun. “Te-temanku. Dia model, dan memberiku akses kemari.” Bomi terbata, membuat seringai Woohyun semakin lebar saja. Namun pria itu memilih ‘membebaskan’ Bomi kali ini, sebab lampu mulai dimatikan. Pertanda jika peragaan akan dimulai sebentar lagi.

Baik Woohyun maupun Bomi segera membenarkan posisi duduk mereka, bersiap mengarahkan fokus pada peragaan. Sang penulis tetap sibuk meredakan degup jantung abnormalnya, sedangkan Woohyun setengah mati menahan tawa.

“Ouh, benar-benar tipe playboy!” rutuk Bomi dalam hati.

Satu persatu lampu pun padam. Hingga akhirnya, hanya kegelapan dan sinar dari lampu-lampu kecil yang di pasang di pinggir panggunglah yang terlihat, puluhan lampu neon bercahaya keemasan. Bomi mencoba tak ambil pusing mengenai keberadaan manusia lain di sampingnya, dan fokus menonton. Bagaimanapun, ia tidak tahu kapan kesempatan seperti ini akan datang lagi. Ia meniup poninya jengah, seraya melirik Woohyun, kemudian kembali meluruskan pandangan.

Satu persatu model muncul, melenggak-lenggok di atas panggung. Saling berebut memamerkan kebolehan. Tema peragaan kali ini adalah ‘couple clothes’ –Naeun memberitahunya. Jadi tak mengherankan jika para model berjalan berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan. Para manusia manekin tersebut berlagak seolah mereka adalah pasangan, menebar senyum, demi menjual apa yang tengah mereka kenakan. Sorakan dan gumaman sopan para penonton mengiringi jalannya acara.

Bomi mulai menikmati acara. Ternyata, berbagai praduga negatif yang melintasi benaknya tadi sama sekali tak terbukti. Perlahan namun pasti, kadar ketikdaknyamanan Bomi berkurang. Dirilekskannya posisi duduk, saat manik hitam sang penulis menangkap sosok familiar.

Son Naeun.

Tidak. Ia tidak terkejut karena Son Naeunlah yang tengah menaklukkan panggung. Ia tidak terkejut karena Son Naeunlah yang tengah menebar senyum. Tetapi, Ia tak dapat menyembunyikan keterkejutan berbaur heran, saat mengetahui identitas pasangan Naeun.

“Lu-Luhan?!” Refleks, Yoon Bomi bangkit berdiri, tangannya menunjuk sosok spesifik di atas panggung. Ia mengungkapkan rasa kaget dengan menyuarakan nama Luhan. Dan itu cukup keras hingga mencuri perhatian beberapa penonton, yang sekarang menatap Bomi dengan pandangan terganggu.

Namun Yoon Bomi tidak peduli. Ia terlampau heran. Terlampau terkejut. Apa yang disaksikan oleh mata kepalanya sendiri seolah tak nyata. Jika bukan karena Woohyun yang memegang bahu Bomi, memaksa gadis itu untuk duduk manis, pasti ia masih menjadi pusat perhatian.

Yah, kau kenapa?” bisik Woohyun, saat keadaan sudah terkontrol.

Sekarang, Bomi sudah kembali mendaratkan pantat, dan orang-orang tadi tak lagi menatapnya. Woohyun melirik ekspresi Bomi, mendapati sang penulis yang tampak belum mengatasi keterkejutannya. Lalu, ia mencoba mendeteksi penyebab reaksi berlebihan Bomi. Dilihatnya baik-baik sosok pasangan yang akan segera menghilang di balik panggung. Woohyun memicingkan mata, mengamati sepasang manusia itu. Kemudian, otak penyandang marga Nam seolah mengenali wajah familiar.

“Bukankah itu Luhan hyung?” gumam Woohyun tiba-tiba, membuat Bomi menoleh Syok.

Eh, orang ini tahu siapa Luhan? Dan kenapa dia memanggilnya ‘hyung’?



***



Setelah 3 tahun lari dari dunia ini, akhirnya Luhan merasakannya lagi. Menjadi pusat sorotan sekaligus titik fokus puluhan kamera, yang mengabadikan gerak-gerik Luhan. Menjadi bahan kritik maupun pujian para penonton, yang duduk manis mengelilingi panggung. Saat menginjakkan kaki di atas runway, perutnya bergolak hebat. Namun, seiring Luhan melangkah maju, perasaan gugup mulai pudar. Ia merasa tubuhnya merileks, begitupun dengan ekspresi dan cara jalan Luhan.

Ia mencoba menjual performa terbaik.

Tetapi konsentrasi Luhan buyar seketika, begitu menyadari sepasang mata yang menatap lekat. Ia melirik sosok familiar yang menempati baris kedua bangku penonton. Seorang gadis berambut kecoklatan, pemilik bibir seranum mawar. Luhan tak mampu mengontrol senyumannya. Ia sedikit melirik sang gadis, mendapati dia tengah mengarahkan jari telunjuk pada Luhan. Dan pemandangan tersebut membuat Luhan semakin terhibur.

Yoon Bomi membuat Luhan tersenyum, lagi.



***




Bomi masih tak mampu mengontrol keterkejutan pendominasi diri. Ia tak tahu pula mengapa ia begitu kaget saat Luhan muncul sebagai salah satu model. Bomi masih larut dalam lamunannya, hingga kedua model bernama Luhan dan Naeun menghilang di balik panggung.

Bukankah dia bilang dia komposer?

Dan jika bukan karena suara bariton milik Woohyun menembus gendang telinganya. Ia mungkin dapat tenggelam dalam dunianya sendiri hingga peragaan berakhir. Fotografer tersebut berkata, sekaligus menyadarkan Bomi, “Luhan hyung adalah mantan model. Dia pernah tinggal dan bekerja di sini. Setidaknya sampai 3 tahun lalu.” Dia mengedikkan bahu. Sementara Bomi menoleh, tertarik mendengar penjelasan lebih lanjut pria itu. “Kami memiliki hubungan sebagi teman dan rekan kerja cukup lama. Tetapi, sesuatu membuatnya meninggalkan Paris dan memilih kembali ke Korea.”

Bomi tak tahu respon apakah gerangan yang patut ia berikan. Ia tak menyangka akan mendapat informasi semacam ini. Hingga sekarang, ia hanya tahu jika Luhan adalah pencipta lagu, dan berada di Paris untuk berlibur. Selebihnya? Ia tidak tahu. Dan ia merasa jika ia tidak perlu tahu. Toh, mereka hanya kebetulan saja terus bertemu, kemudian menjalin hubungan sebagai teman. Meskipun jauh di dalam sana, ia sedikit penasaran dengan satu informasi yang baru meluncur melalui bibir Woohyun.

Kenapa dia berhenti tiba-tiba? Kenapa dia memilih kembali ke Korea?

Pada akhirnya Bomi memilih, “Oh, jadi begitu.” Dan mengangguk pelan sebagai respon. Di sisi lain, Woohyun mengamati sang gadis yang kembali fokus menonton peragaan.

Seiring berdetaknya jarum jam, para model professional pun bergiliran menaklukkan perhatian penonton. Pakaian demi pakaian dipamerkan. Hingga tanpa terasa peragaan mencapai akhir. Bomi menyaksikan seorang model terkenal –yang pernah ia lihat di majalah sebelumnya- mengenakan pakaian terakhir dan terspesial sore itu. Night dress berwarna hitam dengan bahan sutra. Indah sekali. Kemudian sang model menghilang di balik panggung. Lalu, semua model –termasuk Luhan dan Naeun- kembali muncul untuk melakukan parade.

Acara resmi ditutup ketika semua model berdiri berjajar di panggung, dengan seorang desainer ternama berada di tengah-tengah mereka. Sang desainer memberikan kalimat penutup. Bomi tak tahu apa yang orang tersebut katakan, sebab ia tak fasih berbahasa Perancis. Lalu, semua penonton bertepuk tangan dan para pelaku acara tersebut menghilang menuju backstage.

Lampu ruangan pun dinyalakan. Semua model, pengamat mode, dan fotografer mulai beranjak meninggalkan tempat itu. Begitupun Bomi. Pada awalnya, ia hendak keluar dan menunggu Naeun di basement, tempat mobil sewaan mereka terparkir. Namun, tindakannya tertahan saat sebuah lengan mencekal pergelangan tangan Bomi.

“Ayo, ikut aku.” Ajak Nam Woohyun tiba-tiba. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut sang gadis, ia menyeret Bomi menuju arah berlawanan dari pintu keluar. Sontak, kening Bomi berkerut. Merasa terganggu sekaligus heran. Tetapi, ia tak dapat melepaskan genggaman tangan Woohyun, selisih tenaga mereka terlalu jauh.

“Kemana?”

Woohyun berhenti melangkah. Ia menoleh dan menatap lekat Bomi. Senyum misterius terkulum sebagai penghias wajah, saat pria itu berkata, “Kemana lagi? Tentu saja menemui teman kita.”

“E-eh?”

.
.
.
TBC
========================================================================
A/N: So, gimana? saya berusaha ngebut secepat kilat nuntasin cerita ini _-_ meski ending masih jauh/? wkwk. RCL juseyongg~

2 komentar:

  1. Woohyun infinite kan? Wkkwkkw ngapain dia disini? Jdi org ketigakah? Ditunggu kelanjutannya jul.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan orang ketiga ._. silahkan dilihat aja nanti kkkk~ *evil laugh*

      Hapus