ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Jumat, 06 Maret 2015

Like A Fairytale [Chapter 7- Friends and 'Seo']





Like A Fairytale [Chapter 7]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.





***

Bomi hanya pasrah ketika Woohyun menyeretnya, berlawanan arah dari pintu keluar. Ia berhenti meronta sejak beberapa detik lalu. Setelah sadar jika Woohyun tidak akan melepaskannya begitu saja. Mereka terus berjalan melewati orang-orang. Hingga akhirnya, Bomi sadar tempat apa yang mereka tuju.

Backstage.

Aroma hairspray menguar kuat, membuat Bomi mengernyitkan hidung. Kata-kata dalam bahasa Perancis melintasi otak, berasal dari percakapan para make up artist, manager, dan kru lain di sana. Sementara Bomi sibuk mengobservasi keadaan sekeliling, Woohyun berhenti melangkah. Kemudian, dia melepas tautan tangan mereka. Layaknya Bomi, kini manik hitam sang fotografer menjelajahi seantero ruang medium di belakang panggung tersebut. Lalu, aktivitasnya terhenti saat menemukan sosok spesifik. “Ah, itu dia.” Ia bergumam, membuat Bomi menoleh heran. Namun, sebelum gadis itu sempat menyuarakan rasa penasarannya, fokusnya tersita, begitu Woohyun menunjuk seorang pria familiar, dan berseru cukup keras. “Luhan hyung!”

Bomi kembali menoleh, kali ini demi mendapati figur Luhan dan Naeun, yang tampak larut dalam pembicaraan. Kedua model tersebut berhenti berbicara saat mendengar panggilan Woohyun. Berbeda dengan Bomi, raut Luhan dan Naeun sama sekali tak menunjukkan rasa terkejut ataupun penasaran. Seolah mereka telah memprediksikan kehadiran Bomi-Woohyun.

Well, tak heran jika Naeun tahu Bomi berada disini. Toh, mereka berangkat bersama. Tetapi, yang mengejutkan adalah sikap Naeun terhadap Woohyun. Seakan mereka telah mengenal satu sama lain sebelumnya. Ditambah lagi, sebelum ia tiba disini Naeun-Luhan sedang membicarakan sesuatu, kan? Apa Naeun tahu jika Luhan menjadi salah satu model peragaan?

Apa aku adalah satu-satunya yang tidak mengetahui apapun disini?

Yoon Bomi terpaku di tempat. Ketika Woohyun dengan santainya menghampiri Luhan, memeluk pria itu, sewajarnya sahabat karib yang lama tak bertemu. Ia juga diam mengamati Naeun menyapa akrab sang fotografer. Dan jika bukan karena suara lantang Nam Woohyun, Bomi pasti tetap membeku di tempat.

“Yoon Bomi-ssi?”

Ketika Woohyun menyerukan nama Bomi, gadis itu pun mendongak, “Eh?” lalu segera bertatap muka dengan Luhan. Sang pria menaikkan sebelah alisnya dan menatap Bomi intens. Sebuah seringai menghiasi wajahnya. Seolah ia terhibur akan keberadaan penulis muda tersebut. Bomi balas menatapnya, kedua kaki tetap melekat di tempat. Dan kali ini, suara Naeun yang menyadarkannya, “Yah, Bomi-yah! Apa yang kau lakukan disana? Kemarilah!”

Naeun melambaikan sebelah tangan, seolah menyuruh Bomi bergabung dengan kelompok kecil mereka. Sesungguhnya, Bomi sedikit ragu. Toh, apa yang dia lakukan disini? Seharusnya ia tak diperbolehkan masuk ke area backstage. Hanya berkat identitas Woohyunlah, ia dapat ‘menyusup’ kemari. Tetapi, Bomi tetap menurut dan melangkah mendekati Naeun. Ia berdiri canggung di samping sahabatnya.

“ Hai, Luhan-ah.” Sapa Bomi, membungkukkan sedikit tubuhnya di hadapan Luhan, yang dibalas sang pria dengan anggukan singkat. Sementara Bomi menggaruk tengkuknya, kikuk.

Keheningan pun menyelimuti.

Keempat orang tersebut saling bertatapan. Sama-sama tak tahu harus berkata apa. Sama-sama tak tahu harus melakukan apa. Hingga akhirnya, Kris –manager Naeun- bergabung dalam kelompok kecil itu. Dan mencairkan atmosfir kaku, “Hey, Bagaimana kalau kita makan malam bersama?"



***




“Jadi, kalian bertemu secara kebetulan? Berkali-kali?”

Kalimat bernada tanya meluncur mulus dari bibir Nam Woohyun, sementara ekspresi heran terlukis pada wajah. Woohyun menatap lekat Bomi, lalu beralih menatap Luhan. Seolah menuntut konfirmasi dari kisah yang baru saja mereka bahas. Well, ‘cerita’ mengenai pertemuan Bomi dan Luhan. Dimulai dari tabrakan mereka di restoran. Kemudian perjumpaan ‘tak sengaja’ Bomi-Luhan di kafe, pesawat, dan berakhir di hotel yang sama.

Bomi mengangguk kecil, menjawab pertanyaan Woohyun. Tak urung, sang fotografer larut dalam tawa. “Wow, jangan-jangan kalian berjodoh?” ia mendecakkan lidah, melirik Luhan yang duduk di sampingnya, “Yah, Lu Han. Apa kau pikir ini semua hanya kebetulan?” goda Woohyun.

Luhan mengabaikan ucapan sahabatnya, memilih untuk menyantap Beef Bourguigno, dibandingkan menanggapi godaan ‘tak penting’ Woohyun. Sedangkan Bomi nyaris tersedak cola, yang baru separuh jalan menelusuri kerongkongan. Gadis itu mendelik ke arah Woohyun, melempar tatapan tak percaya.

Woohyun melirik Bomi, kemudian sebelah bibirnya tertarik ke atas membentuk senyum separuh, seolah menyindir. Sang gadis hanya mendengus, memalingkan wajah. Nam Woohyun pun kembali mendecakkan lidah. Lalu, ia mengangkat gelas winenya, “Well well. Shouldn’t we feel happy for Luhan’s temporary comeback? Let’s cheer guys! (Tidakkah kita harusnya merasa senang untuk comeback sementara Luhan?)”

Kemudian, suara dentingan 4 gelas berdendang nyaring –karena toast. Dan keempat anak manusia tersebut -Kris tidak jadi ikut makan karena harus mengurus sesuatu- kembali menyeruput minuman masing-masing. Selama beberapa detik berikutnya, keheningan pun menyelimuti. Dimana tiap orang memutuskan untuk fokus pada santapan malam.

Detik itu pula, rasa penasaran membuat Bomi gagal menutup mulut.

“Emm.. Luhan-ssi. Bukankah kau bilang pekerjaanmu sekarang adalah komposer?” pertanyaan mendadak Bomi membuat Luhan mendongak. Sementara sang gadis melanjutkan pertanyaannya, “Kudengar kau adalah mantan model. Apakah kau berniat kembali jadi model? Makanya kau ke Paris?”

Entah kini Bomi tengah berhalusinasi atau tidak. Tapi ia cukup yakin jika ia menyaksikan manik hitam Luhan berkilat terhibur, saat dia menjawab rasa penasaran sang penulis, “Aku? Tentu tidak.” Luhan menggeleng. “Kubilang aku hanya ingin berlibur. Menulis lagu terus menerus membuatku stress.” Dia mendesah, sedikit mendramatisir.

“Lalu, kenapa tadi kau tampil sebagai model?” Dahi bomi berkerut heran.

Bibir Luhan terbuka separuh, ia hendak menjawab pertanyaan Bomi. Namun, dia kembali menutup mulut, ketika sebuah suara asing menjawab, “Dia menggantikan Zitao.”

Sontak Bomi menoleh ke arah sumber suara, demi mendapati sesosok pria, yang –ia akui- cukup tampan, ditambah lagi senyuman yang diumbar oleh sang pria, -bagi Bomi- mirip senyuman malaikat. Pria itu berlagak santai, mengambil tempat duduk tepat di sebelah kanan Luhan, sambil berkata, “Zitao sakit, jadi dia minta tolong Luhan untuk menggantikannya.”

Bomi hanya memandang bingung wajah sang pria asing, kedua alisnya terangkat. Benaknya sibuk mencetak praduga mengenai identitas pria yang muncul secara mendadak. Dan untungnya, Luhan yang peka akan tingkah Bomi, segera menjelaskan, “Perkenalkan, dia Suho, mantan managerku dulu.” Bomi menoleh, kini memandang Luhan. “Zitao itu model. kami rekan kerja sebelum aku berhenti.”

Kali ini, sang penulis mengangguk mengerti, ia ingat jika Luhan pernah membicarakan Zitao di bar sebelumnya. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan acara makannya, ketika Naeun menginterupsi, “Omong-omong, aku terkejut saat tahu bahwa Luhan adalah partnerku tadi.” Dia tertawa ringan, memamerkan deretan gigi putih nan rapi miliknya. “Sungguh, kupikir para staff salah orang.”

Luhan tertawa pula menyambut kalimat Naeun, “Maaf membuatmu terkejut, Son Naeun-ssi.” Dia tersenyum tipis. Naeun hanya mengibaskan sebelah tangan, “Aigoo, tidak apa-apa. Lagipula, senang bisa bekerja denganmu.”

Luhan mengangguk sopan. Sedangkan Bomi hanya bungkam mendengar percakapan mereka. Keterasingan kembali meliputi dirinya. Karena mereka membicarakan sesuatu yang tidak melibatkan Bomi. Tetapi, ia mencoba bersikap senatural mungkin. Berjuang menunjukkan bahwa ia tidak ‘terganggu’ sama sekali.

Topik demi topik bergulir. Bergantian menjadi fokus utama pembicaraan mereka. Tanpa terasa, malam berangsur larut. Dimana sinar bulan tengah mencapai klimaks. Dan dimana bintang-bintang bertaburan, saling bersaing mendominasi langit. Malam itu pula, kelima anak manusia -minus Kris yang batal ikut karena ada urusan lain- larut dalam canda, tawa, dan euforia nostalgia.





***




Sepanjang perjalanan ke basement­, baik Luhan maupun Woohyun enggan mengucap kata. Mereka saling bungkam hingga keduanya memasuki lift. Sisi kanan tubuh Luhan bersandar pada dinding lift, sedangkan Woohyun berdiri tegap di samping pria tersebut. Sesekali melirik ekspresi lelah Luhan, seolah hendak mengucapkan sesuatu, namun terlampau ragu.

“Apa yang ingin kau katakan, huh?” sentak Luhan tiba-tiba. Membuat Woohyun menoleh terkejut. Dan seperti Luhan mampu membaca pikiran Woohyun, dia berkata lagi, “Raut mukamu itu.. jelas sekali menunjukkan ‘Aku ingin mengatakkan sesuatu tapi terlalu takut mengatakannya’.” Luhan bahkan mencetak tanda kutip di udara menggunakan kedua jari telunjuk.

Woohyun tertawa kikuk, seraya menggaruk bagian belakang lehernya. “Eh, sungguh?” lalu mengedikkan bahu. “Well, yeah.. “ ia menatap Luhan, masih didominasi keraguan.

“Apa itu? Bilang saja.”

Nam Woohyun tidak langsung menjawab. Ia tetap menatap lekat Luhan, menembus sepasang manik hitam sang komposer. Seakan mencari segumpal keyakinan disana. Kemudian, ia mendesah keras, sebelum akhirnya sebuah pertanyaan meluncur bebas.

“Apa kau sudah melupakan… Seo?”

Kata terakhir yang diucapkan Woohyun sukses membuat Luhan membeku di tempat. Otot-ototnya menegang seketika, begitupun dengan ekspresi wajah sang komposer. Kedua telapak tangan Luhan mengepal kuat, hingga tanpa sadar buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras. Di sisi lain, Woohyun menggigit bibir bawahnya, gugup. Dia tahu jika Luhan akan bereaksi begini. Hanya saja, ketika ia benar-benar melihatnya, ia tidak lagi tahu jika mengungkit topik itu adalah pilihan yang benar. Jika mengungkit masa lalu Luhan merupakan pilihan tepat.

Woohyun hendak menarik kembali kata-katanya, saat bunyi ‘DING’ bergema nyaring di dalam lift, diikuti dengan pintu lift yang terbuka lebar kemudian. What a nice timing (Waktu yang tepat sekali), batin Woohyun. Karena –setidaknya- ‘topik’ barusan sempat tertunda. Luhan segera melangkah ke luar, diikuti Woohyun yang mengekor di belakang.

Keheningan tak nyaman meliputi atmosfir di antara mereka, terasa kental nan mencekik. Mereka melajukan langkah menuju tempat dimana mobil masing-masing terparkir. Dan selama itu, bibir Luhan terkatup rapat. Ia sama sekali tak memiliki intuisi untuk merespon pertanyaan sensitif sang kawan lama.

Setidaknya begitulah pikir Woohyun. Karena tepat ketika Luhan telah membuka pintu Ferrari dan nyaris memposisikan diri di balik kemudi, ia menghentikan aktivitasnya. Sedikit ragu, ia menoleh ke arah Woohyun. Keduanya terdiam, saling menatap hingga –kira-kira- 3 detik berlalu. Sampai akhirnya suara bariton Luhan membelah keheningan.

“Aku akan melupakannya. Jangan khawatir.”


***



@The Next Morning, Libertel Hotel, Naeun-Bomi’s Suite.

Bomi mengerang saat dering alarm tertangkap indera pendengarannya. Ia beringsut tak nyaman, membenarkan posisi tidur. Diangkatnya selimut hingga menutupi kepala –dan pastinya telinga, hingga suara tersebut menjadi samar.

Untuk beberapa detik, kesunyian pun tiba. Membuat Bomi kembali terjun dalam alam mimpi. Namun tak lama hingga bunyi mengganggu tersebut muncul lagi.

Seulpeun hajima nonono.. honjena anniya~

Diiringi dengusan kesal, Yoon Bomi menyibakkan selimut. Ia pun beranjak duduk dan melirik ke kasur di samping kirinya. Tidak ada. Si pemilik ponsel yang sejak tadi berbunyi itu tidak ada di kasurnya. Dan tepat ketika Bomi hendak melayangkan pandangannya ke arah lain –demi mencari sosok Naeun- sebuah suara familiar terdengar.

“Selamat pagi, putri tidur.”

Sapaan ceria itu bersumber dari seorang Son Naeun, yang tengah duduk di depan meja rias. Wajah jelitanya telah terpoles oleh make-up tipis. Dia mengenakan pakaian kasual –hotpants denim dan sweater biru tua- tetapi lebih dari cukup untuk memancarkan kecantikannya.

Berbanding terbalik dengan raut rileks dan ceria sang sahabat, tampang Bomi sungguh kusut. Ia memicingkan mata, menatap sinis Naeun, “Yang benar saja, kau sudah bangun? Lalu kenapa tidak kau matikan ponsel sialanmu itu?” gerutu Bomi.

Nada kesal Yoon Bomi sama sekali tak berefek pada sang model. Dia bahkan tertawa singkat mendengar omelan sahabatnya, “Aku hanya ingin tahu jika alarm pagi dapat membangunkanmu atau tidak.” Ia beranjak dari kursi rias dan duduk di samping tempat tidur Bomi. Kilatan jahil tampak jelas di mata Naeun, “Dan ternyata… itu berhasil. Mission clear.” Dia bahkan menjentikkan jemarinya, sukses membuat kadar kekesalan Bomi meningkat.

Sang lawan bicara mengacak-acak rambutnya –yang sebenarnya sudah cukup berantakan, efek baru bangun tidur. Ia bangkit berdiri dan meregangkan otot-otonya. “Kau ada pekerjaan hari ini?” tanyanya, tanpa menoleh ke arah Naeun, terlalu fokus melakukan peregangan.

Sebelah alis Son Naeun terangkat, “Hari ini? Sebenarnya tidak ada.”

“Lalu kenapa kau berdandan?”

Dan sahabatnya memutar bola mata, jengah. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, “Kau pikir seorang gadis bisa keluar begitu saja dengan tampang ‘oh-aku-baru-bangun-tidur-dan-terlalu-malas-untuk-berdandan-karena-tidak-ada-kegiatan-hari-ini’?” sarkas Naeun. Dia mencibir, seraya mengamati Bomi yang telah menyelesaikan aktivitasnya. Sang penulis kembali berdiri tegak, kemudian mendaratkan pantat di sebelah Naeun.

“Oh, benarkah? Aku tidak tahu.” Jawab Bomi santai sembari mengedikkan bahu. Sementara Naeun menatapnya tak percaya. Dan beberapa detik kemudian, sebuah bantal melayang di udara, yang dengan suksesnya mendarat di atas kepala Yoon Bomi.

“Yah! Naeun-ah!”

Sang pelaku hanya mendesah pelan, lalu menggelengkan kepalanya sebelum berkata, “Sudahlah. Lebih baik kau temani aku sarapan di bawah.” Dia beranjak dari tempat tidur Bomi untuk berleha-leha di kasurnya sendiri, berniat menunggu Bomi segera bersiap -turun ke restoran di lantai bawah. Sedangkan sang penulis menggembungkan pipinya jengah.

"Selalu saja begitu. Jeez.."

.
.
.
TBC

=========================================================================
A/N: Pendek ya? -_- maaf. Entah, saya lagi gak ada mood buat nulis --" tapi ngebet pengen nyelesaiin ini TT^TT yang entah kenapa gak selesai" hiks *nangis darah*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar