ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Sabtu, 21 Maret 2015

Like A Fairytale [Chapter 9- Confession]



Like A Fairytale [Chapter 9]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based of my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.




***




Pagi itu Bomi terbangun dengan perut keroncongan dan kepala pening. Ia tidak yakin apa penyebabnya. Memori Bomi lumayan kabur mengenai apapun kejadian semalam. Hal terpenting baginya saat ini adalah, mengisi perut sebelum jatuh pingsan.

Bomi menyingkap bed cover, dan beranjak menuju kamar mandi. Ia berniat mencuci muka dan menyikat gigi terlebih dulu sebelum turun ke restoran bawah. Well, ia memang cantik. Tapi gadis mana yang teramat percaya diri dengan wajah ‘baru-bangun-tidur’?

Sang gadis berdiri di depan wastafel dan menyalakan keran. Bunyi air mengalirpun segera mengambil alih kesunyian dalam kamar mandi. Ia mendongak, menatap pantulan diri di cermin. Matanya sedikit merah, kulitnya pucat seperti biasa, dan bibirnya…

Bibir.

Tiba-tiba, kejadian tadi malam melintas dalam benak Bomi. Memori tersebut muncul ke permukaan. Membuat ingatan sang gadis segar kembali. Ingatan tentang ‘napas buatan’ sukarela yang diberikan oleh Lu Han.

Perlahan namun pasti, ibu jari Bomi menyentuh bibir. Dan otomatis, semburat merah muda muncul di pipi, pertanda bahwa gadis itu merasa malu, ketika mengingat saat bibir mereka saling berinteraksi. Sesungguhnya, itu kurang tepat disebut ciuman, melainkan ‘napas buatan’ secara medis, usaha yang dilakukan Luhan agar Bomi selamat.

Tetap saja, bibir mereka bersentuhan!

Bomi menggelengkan kepala kuat-kuat. Seolah berjuang mengusir pemikiran aneh dari otaknya. Seraya mengesampingkan sensasi panas di pipi, dan kinerja abnormal jantungnya, Bomi bergegas melakukan tujuan utama ia pergi ke kamar mandi –cuci muka, sikat gigi.

Setelah selesai, Bomi mengenakan mantel merah muda, mengecek penampilan di depan kaca sekali lagi, lalu keluar dari suite room.

Klek.

Begitu menapakkan kaki di depan pintu, kedua manik hitam Bomi membulat sempurna. Sebab, tepat di hadapannya, seorang pria melakukan hal yang sama dengan Bomi – keluar dari suite seberang. Dan Bomi meneguk ludahnya, menyadari identitas pria itu.

Yeah, siapa lagi jika bukan Lu Han?

Kepanikan segera melanda Bomi. Ia pun menunduk malu, memutar tubuh, dan hendak kembali masuk ke dalam suite, saat sebuah tangan menepuk pelan pundak Bomi. Aliran darah Bomi berdesir tak karuan, sebab Luhan berbisik tepat di telinganya, “Bukankah kau mau turun?”

“E-eh?” Bomi menoleh, salah tingkah. Ia tetap menghindari kontak mata –menunduk. Dan Luhan juga tampak tak kalah gugup. Pria itu berdehem sejenak sebelum memecah atmosfir tak nyaman, “Ingin sarapan bersama?”

Otak Bomi terlampau buntu untuk memikirkan jawaban selain, “Ya.”



***





Jika terdapat satu kata untuk mendeskrpisikan situasi saat ini, kata tersebut adalah ‘canggung’. Bagaimana tidak? Ketika sang pelaku utama insiden semalam duduk tepat di seberang Bomi. Ia sendiri tak yakin mengapa mereka berdua bisa berakhir begini –sarapan bersama.

Beberapa menit berlangsung dalam kesunyian, tidak ada yang membuka suara, saling sibuk dengan makanan masing-masing. Hingga akhirnya Luhan berkata, “Em.. soal tadi malam-“ tetapi dia tak sempat menyelesaikan perkataan, sebab Bomi bergegas menyela.

“Tidak usah dijelaskan!” potong Bomi, yang segera disambut ekspresi bingung Luhan. Sementara Bomi sibuk berharap agar dirinya dapat menghilang sekarang juga. Pengalaman itu sudah terlampau memalukan, dan terasa lebih memalukan jika seseorang –apalagi sang pelaku- mengungkitnya.

Bomi meletakkan kedua tangan di depan dada –gestur ‘berhenti’, “Ma-maksudku…” ia gelagapan. “Aku tahu kalau kau hanya ingin menyelamatkanku…” Bomi mendongak, menatap Luhan –dan cukup yakin melihat telinga pria itu berwarna kemerahan– lalu berucap, “Terima kasih.”

Meski ucapan terima kasih Bomi terdengar lirih, namun Luhan mampu merasakan ketulusan terpancar dari sana. Jujur, Luhan sempat berpikir jika Bomi akan menamparnya karena berbuat kurang ajar. Tetapi, yang terjadi kini sungguh diluar dugaan. Dan tanpa sadar, Luhan tersenyum tipis, menutupi rasa malunya, “Ah, itu bukan apa-apa. You’re very welcome.”

Bomi mengangguk. Meski satu hal masih mengganjal di hati. Mengesampingkan keraguannya, sang gadis kembali membuka mulut, “Boleh aku minta tolong sesuatu?”

“Apa itu?”

“Bi-bisa kau…” ia terbata, memalingkan wajah, “Bisa kau anggap yang semalam tidak pernah terjadi?”

Hening.

Luhan berkedip sekali, dua kali, sebelum akhirnya larut dalam gelak tawa. Lelaki itu memegang perutnya kuat-kuat, menunduk pula. Seolah ia baru melontarkan lelucon. Di sisi lain, sang gadis semakin salah tingkah. Ia tahu alasan Luhan terkekeh.

Yah, berhenti tertawa.” Pinta Bomi, sedikit merajuk.

Luhan mendongak, “Eoh?” lalu berdehem memulihkan suara. Dan meskipun tawanya telah terkontrol, senyuman jahil muncul sebagai pengganti. Dia mendecakkan lidah. “Kau tahu apa yang lucu?” tanyanya tiba-tiba.

Kedua alis Bomi terangkat penasaran, “Apa?”

Luhan mendengus, duduk bertopang dagu, “Kupikir kau akan menamparku atau menyiramku dengan air.” Sekali lagi, Luhan tampak ingin tertawa, tapi ditahannya, “Tapi kau malah berterimakasih, minta maaf karena ‘merepotkan’, lalu ingin aku segera melupakannya.” Ia mendecakkan lidah. “Sama sekali tidak terduga.”

Rona wajah Bomi merah padam sekarang. Ia tidak merasa jika ia melakukan hal yang salah, tetapi ia benar-benar malu. Seakan perkataan Luhan sukses menelanjanginya. Maka, ia memilih untuk mengedikkan bahu, “Ti-tidak tahu.” Sembari mengaduk-aduk kopi, gugup.

Luhan tidak berkata apapun. Ia hanya kembali memasang senyum tipis, dan fokus menyantap croissant. Menit-menit berikutnya didominasi kesunyian, dengan latar belakang percakapan bahasa Perancis dari tamu hotel lain. Atmosfir canggung masih terasa, meski tak sekental tadi.

Hingga Luhan teringat sesuatu.

Luhan teringat bagaimana Bomi memanggilnya semalam. Memang, tidak secara langsung memanggil Luhan. Tetapi tetap saja, dia merasa bahwa ‘nama’ tersebut merupakan miliknya. Dia pun melirik Bomi, mengamati wajah sang gadis lekat-lekat. Mencoba mencari kemiripan antara Bomi dan dia. Sementara Bomi sendiri tak sadar jika tengah diamati.

Ragu-ragu, Luhan memutuskan bertanya, “Tadi malam, aku mendengar kau memanggil ‘xiao lu’”

Kunyahan Bomi memelan seketika, ia tidak lagi begitu terfokus pada makanan. Setelah croissantnya tertelan sempurna, gadis itu pun balas bertanya, “Yeah.. kenapa?”

“Aku hanya penasaran.”

Tentu rasa ingin tahu bukanlah alasan utama Luhan bertanya. Tetapi dia tak ingin terlalu berterus terang. Lagipula, belum tentu hipotesanya benar. Mungkin 'xiao lu' yang dimaksud Bomi adalah orang lain.

Bomi terdiam sejenak, sebelum tersenyum tipis sembari menjawab, “Dia teman masa kecilku. Lebih tepatnya, tetangga. Dulu, karena orang tua Xiao lu jarang berada di rumah, dia lebih sering menghabiskan waktu di tempat kami.”

Gadis itu memberi jeda, menyesap kopinya perlahan. Benak Yoon Bomi melayang ke masa lampau. Masa di mana ia tak lebih dari seorang anak kecil. Sementara di kepala Luhan, susunan puzzle mulai terbentuk, meski masih perlu usaha agar utuh sepenuhnya.

“Ayah dan Ibu sangat menyukai Xiao lu. Bahkan, kami sudah seperti saudara kandung. Sekolah bersama, bermain bersama, belajar bersama…” ia menghela napas dalam. “Tapi, semua berubah saat dia kembali ke Cina. Dia berjanji dia akan kembali ke Korea. Tapi, kurasa dia sudah lupa.”

Luhan berani bersumpah jika perkataan Bomi bagaikan seember air es, yang diguyurkan padanya. Membuat dia membeku di tempat. Kesadaran berbaur realita menghantam ulu hati Luhan, telak. Seiring dengan kemunculan potongan puzzle yang hilang tadi.

Kedua manik kecokelatan Bomi memerah, lengkap dengan kabut tipis di sana. Seolah siap meneteskan buliran bening kapan saja. Namun Bomi lebih sigap. Disekanya mata mengenakan punggung tangan. Dan ia memaksakan seulas senyum.

“Ada apa dengan ekspresimu itu, huh?” goda Bomi. Disangkanya Luhan ‘terharu’ mendengar kisah tadi. Padahal ia tak tahu sama sekali, apa yang sedang bermain-main dalam otak penyandang marga Lu. Bomi tertawa kecil –dipaksakan, “Come on dude, jangan merusak suasana.” Ujarnya dengan nada ceria yang dibuat-buat.

Luhan seolah tuli. Tak merespon ucapan sang penulis. Ia memilih diam dan bergumul dalam pemikirannya sendiri. Saat ini, ada banyak yang berenang-renang di sana. Hingga Luhan merasa kepalanya mulai pening.

Dia tersentak saat ponselnya berbunyi nyaring. Di saat yang sama, ponsel Bomi berdering pula. Mereka saling menatap heran, sebelum mengecek ponsel masing-masing.

From: Naeun-ie

Malam ini kita makan malam di tempat Woohyun. Kita berangkat bersama, oke? Aku tidak menerima penolakan. See ya at 8 PM!



From: Woohyun

Datang ke rumahku pukul 8 malam ini. Kita minum-minum seperti dulu, bagaimana? Ajak Bomi juga! X)


***








Bomi juga tidak tahu bagaimana caranya hingga Naeun sukses menyeret ia kemari, ke apartemen Woohyun. Tempat tinggal sang fotografer tepat seperti praduga semula. Mewah. Tak jauh berbeda dibandingkan suite hotel mereka.

Jarum jam menunjukkan pukul 9 PM saat keempat anak manusia tersebut mulai meneguk bir. Menjejali kerongkongan mereka dengan minuman beralkohol. Desahan puas terlontar melalui bibir begitu cairan itu bereaksi dalam tubuh. Kepala Bomi terasa pening ketika gelas keduanya tandas. Ia tidak mentolerir alkohol dalam kadar tinggi.

Tetapi malam ini adalah pengecualian.

Sang penulis menuang gelas ketiganya, menyesapnya perlahan. Pusing semakin mendera. Tubuhnya berangsur mati rasa. Euforia mulai mendominasi. Setidaknya, ia mampu mengesampingkan ‘perasaan aneh’ itu untuk malam ini. Hanya malam ini Bomi akan memaafkan dirinya untuk terlena dalam buaian alkohol.

“Ada apa denganmu, huh? Tidak biasanya kau minum banyak.” Komentar sesosok gadis yang mendaratkan pantat di sofa, samping Bomi. Dia memasang tampang heran. Gelas wine dalam genggaman tangan –beralasan ada pekerjaaan besok, jadi tidak ikut minum-minum.

Bomi menggeleng –sedikit terlalu- kuat. Kelopak matanya setengah tertutup. “Apa yang salah? Tidak ada.” Ia berkilah. Tetapi, bukan Son Naeun namanya jika tak mampu bersilat lidah melawan Bomi. Sang model mendengus, “ Kau pikir aku bodoh? Kau pikir kau akan mabuk tanpa alasan?”

“Masalah? Aku tidak punya masalah.”

“Lebih baik ceritakan padaku sebelum kau semakin stress.”

“Kubilang tidak ada!”

Naeun memutar bola mata, jengah. Tersadar jika energinya akan terbuang sia-sia untuk berbicara dengan seorang gadis mabuk. Maka, ia hanya mendesis pelan. “Kita bicara besok.” Kemudian beranjak pergi menuju dapur.

Tinggalah Bomi seorang diri di ruang utama. Karena Woohyun sedang menerima telepon di ruang sebelah, sedangkan Luhan pamit ke toilet sejak 5 menit lalu. Bomi merebahkan kepalanya di sandaran sofa, menatap langit-langit apartemen. Ia menghela napas dalam nan panjang. Entah apa yang membuatnya seperti ini. Entah pula apa yang tengah ia rasakan.

Aneh. Setiap kali Luhan muncul dalam jarak pandang Bomi, ia menjadi aneh. Salah tingkah. Pipinya memanas. Darahnya berdesir. Belum lagi debar jantung abnormalnya. Orang awam bilang, gejala-gejala tersebut muncul saat seseorang dimabuk cinta.

Heol, cinta?

Selama 21 tahun menghirup udara di bumi, Bomi belum pernah jatuh cinta. Dan ia sama sekali tak mengira akan mengalaminya. Memang banyak pria mendekati gadis itu, namun ia tak pernah membalas perasaan mereka. Jadi, apakah ia jatuh cinta pada Luhan? Ah, ia tidak tahu.

Seakan telah direncanakan, Luhan memasuki ruang utama pada menit berikutnya. Membuat Yoon Bomi nyaris tersedak gelas keempat malam itu. Sontak, Luhan terkejut. Ia duduk di sofa seberang –tepat di hadapan Bomi- lalu bertanya dengan raut khawatir, “Kenapa kau ini? Minum pelan-pelan.”

Tentu Bomi tak mengindahkan saran sang komposer. Ia bahkan memutuskan untuk langsung menandaskan kelas keempatnya, tanpa ragu sedikitpun. Rona merah di wajah semakin tampak jelas. Jika tadi serasa terdapat puluhan kilo batu bernaung di atas kepala Bomi, maka batu-batu itu telah bertambah puluhan kilo lagi. Berat.

“Berhenti minum. Kau sudah cukup mabuk.”

Diambilnya paksa botol bir dari genggaman tangan Bomi. Luhan segera mengamankan benda itu, meletakkannya jauh dari jangkauan sang gadis. Dengus serta protes penuh kesal Yoon Bomi hanya dianggapnya angin lalu.

Yah!”

Luhan menjulurkan lidah. Tak ambil pusing merespon rengekan Bomi. Dia kembali duduk bersandar. Kelopak matanya terpejam rapat. Berbeda dengan Yoon Bomi, kinerja tubuh Luhan cukup baik dalam mentolerir alkohol. Meski tak urung ia merasa pusing setelah gelas kelimanya malam ini.

Bomi mendekap tangan di depan dada. Pandangannya tajam menusuk Luhan. Seraya mencaci maki sang pria –dalam hati. Tetapi, hal tersebut hanya berlangsung singkat. Sebab tatapan Bomi berangsur lembut. Perlahan, amarah beralih menjadi kesedihan. Dadanya mulai terasa sesak. Kabut bening mulai tercetak pada kedua manik hitam, dan meluncur bebas pada ujungnya. Mulanya, tangis Bomi hanya berupa isakan kecil. Namun semakin heboh seiring dengan berlangsungnya waktu.

Otomatis, Luhan mengaktifkan indra penglihatan demi mengecek keadaan sang gadis. Matanya mendelik sempurna menyadari Bomi yang tengah terisak keras. Kedua kaki ditekuk dan terangkat ke atas sofa, kepalanya terbenam dalam lipatan tangan di atas lutut. Jelas Bomi berjuang semampu mungkin agar tangisnya tak terdeteksi, terutama oleh Luhan.

Tetapi ia gagal total.

Ekspresi khawatir tetap terpasang ketika Luhan mengambil tempat duduk di samping Bomi. Ia sedikit menunduk untuk mengintip wajah sang gadis. Bahkan, ia mengguncang pelan bahu gadis itu demi mendapat reaksi.

Bomi tak bergeming.

“Kau kenapa?”

“…….”

“Jawab aku.”

“…….”

Luhan mengacak gemas rambutnya. Lalu memutuskan jika memberi gadis itu sedikit waktu untuk sendirian merupakan pilihan terbaik. Ia mendesah, beranjak bangkit dari posisi duduk. Dan tepat ketika itulah, Bomi membuka suara. Meski sedikit tak jelas –karena isakan, tetapi lebih dari cukup membuat Luhan kembali mendaratkan pantat.

“Kau tahu apa yang membuatku b-begini?”

Pertanyaan retorik. Jelas tak sedikitpun hipotesa terselip di otak Luhan. Sang komposer sontak bergumam, “Emm..tidak.” penuh keraguan.

“Itu kau.”

Hah? Batin Luhan. Ia tersentak saat Bomi menengadahkan kepala, menoleh dan melempar tatapan tajam. Kini, rona merah sungguh mendominasi wajah gadis itu. Pandangan sekaligus konsetrasi Bomi tampak melayang.

Dia mabuk berat.

“Kenapa aku?”

Bomi terkekeh keras. Nyaris terlampau keras dan dibuat-buat. Sebelah sudut bibirnya terangkat, mencetak seringai. Ia mendengus. “Kau pikir kau siapa, hah?” intonasi sinis kental terasa. Telunjuk Bomi menunjuk Luhan tepat di depan wajah. Sementara Luhan sendiri? Bukannya merasa terhina atau apa. Dia malah dilanda penasaran.

“Kenapa kau?”

Tangis Bomi telah terhenti. Ia menelengkan kepala, lalu mencodongkan tubuh. Hingga jarak antar wajah mereka menipis. Telunjuknya ditempelkan di dada Luhan, dengan keras.

“Kau bertanya karena tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?”

Luhan kembali menggeleng. Sekarang, ia mulai ngeri menyaksikan perilaku Bomi. Well, apapun bisa dilakukan jika seseorang tengah mabuk. Ini tak seperti dia sedang dalam kondisi sadar penuh, lagipula.

Yah!”

“Ap-apa?”

“Kau muncul tanpa aba-aba. Lalu mengekoriku terus seperti penguntit. Bahkan, kau memilih hotel yang sama dengan kami –dia dan Naeun? Ouh, dan kau bilang tidak tahu?” sarkas Bomi. Ia memutar bola mata, jengah. Tak lupa mendengus sekali lagi demi mendramitisir situasi.

“Itu bukan seper-“

“Dan jangan lupakan kejadian semalam! Bisa-bisanya kau melakukan itu? Selama 21 tahun, aku tidak pernah membiarkan seorangpun menyentuh bibirku. Tetapi, kau? Kau? Bahkan belum genap sebulan aku mengenalmu, Lu Han.” Kalimat terakhir diberi penekanan lebih.

Bibir Luhan terbuka –hendak mengucapkan sesuatu- lalu terkatup lagi. Ia kehabisan kata-kata. Sesungguhnya ada banyak hal terlintas sebagai pembelaan diri. Tetapi, entah mengapa kata hati memilih diam. Membiarkan Bomi mencercanya habis-habisan.

Sekali lagi, gadis itu sedang mabuk.

“Aku kesal padamu. Oh tidak. Bukan kesal, tapi marah!”

“……”

“Kenapa kau membuatku merasa seperti ini? Aku tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. Aku tidak pernah menaruh perasaan romantis pada lelaki manapun. Aku tidak pernah menyukai siapapun. Tidak dalam dalam 21 tahun terakhir. Tapi… tapi..” Bomi tersendat. Mendadak lidahnya kelu, dan kerongkongannya seakan tersumbat. Matanya memanas.

Benak Luhan melalang liar. Jantungnya mulai berdebar kencang. Dia menatap Bomi, intens. Mencari kejujuran dibalik sepasang manik kecokelatan tersebut. Dan dia cukup yakin bila Yoon Bomi tak sedang sedang bergurau. Tidak mungkin ia bercanda dengan sorot mata seperti ini. Mustahil.

“Kau mengingatkanku pada Xiao lu. Kau ingat bocah yang pernah kuceritakan padamu? Kalian mirip. Bertahun-tahun berlalu, tapi aku ingat cara dia tersenyum. Persis sepertimu. Bahkan, aku sempat mengira jika kalian adalah orang yang sama. Lucu, bukan?” gadis itu tersenyum pahit.

Bagi Bomi, mungkin pemikiran tersebut lucu, aneh, tidak mungkin. Tetapi, Luhan jauh lebih tahu. Semenjak tadi pagi, potongan-potongan puzzle mulai menyatu dalam kepalanya, membentuk satu gambaran utuh bernama kebenaran.

Ketika Luhan larut dalam dunianya sendiri, Bomi mengamati lelaki itu. Dimulai dari rambut, mata, hidung, kemudian… bibir. Bagian anggota tubuh yang pernah disentuhnya meski tanpa sedikitpun motif romantis. Pengaruh alkohol masih mengontrol tubuh Bomi, kuat.

Lidah merupakan musuh terbesar seorang manusia. Apalagi jika kau sedang mengonsumsi alkohol. Skeptis memang, tapi terbukti benar. Sebab kalimat tabu terlontar melalui bibir Bomi, “Kurasa aku menyukaimu.”

Luhan membeku di tempat.

“Tidak. Bukan kurasa. Tapi aku sungguh-sungguh menyukaimu Luhan.”

Entah air mata bahagia atau malah sebaliknya. Yang jelas, buliran kristal meluncur mulus membasahi pipi Bomi, mencetak aliran sungai kecil. Ia menggunakan kedua telapak untuk menutupi wajah. Tidak ingin tampang buruknya ketika menangis terlihat oleh Luhan.

Luhan tertegun. Tanpa tahu harus bereaksi bagaimana, tanpa tahu tanggapan apa yang patut diberikan. Ini bukan pertama kalinya Luhan menerima pernyataan cinta. Faktanya, belasan gadis telah meluapkan isi hati mereka pada sang komposer tampan, dan serta merta Luhan menolak dengan lembut, kecuali seorang gadis bernama Seo Jeohyun.

Kasus kali ini berbeda. Ia kehabisan kalimat. Luhan hanya terdiam. Melirik gadis yang tengah terisak di sampingnya. Perasaannya campur aduk. Terlalu banyak pemikiran, praduga, dan rasa yang berenang-renang dalam otak. Hingga ia sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.

Luhan mendesah pelan –entah keberapa kalinya. Kemudian memutuskan jika memberi sebuah pelukan hangat merupakan pilihan sempurna. Dia mendekap Bomi dalam rengkuhannya. Menepuk-nepuk punggung sang penulis, berusaha menenangkan. Bahu Bomi yang tadinya berguncang heboh berangsur menjadi pelan, begitupun dengan isakan sang gadis.

Maafkan aku, Yoon Mi.



***


 



Guys, aku kemba-“

Perkataan Nam Woohyun terhenti mendadak. Mulutnya membentuk huruf ‘o’, sementara kedua alis lelaki tersebut terangkat ke atas. Terkejut berbaur heran. Dia mengucek mata. Sekali, dua kali. Hingga yakin bahwa apa yang tengah disaksikannya bukanlah mimpi maupun ilusi.

Luhan memeluk Bomi.

Kawan lamanya yang memiliki pengalaman traumatis tentang ‘hubungan romantis’ itu sedang memeluk sesosok gadis. Dan dia menjadi saksi mata akan kejadian itu. Cukup lama Woohyun berdiri di ambang pintu. Ternganga. Jika bukan karena sebuah tepukan –cukup keras- di pundak, dia bisa saja beralih profesi menjadi patung pancoran.

Sang pelaku bernama Son Naeun.

“Apa yang sedang kau laku-“

Reaksi Naeun tak jauh berbeda dibanding Woohyun. Hanya saja, dia lebih cepat menguasai diri –setelah membeku beberapa saat. Seulas senyum terukir, seraya ia menoleh pada Woohyun kemudian berkata, “Kau mau bertaruh denganku?”

“Taruhan apa?”

Ekspresi syok masih mendominasi wajah Woohyun. Tetapi, Naeun tak mengindahkannya. Model itu mendecakkan lidah, matanya berkilat jahil. Dia mengarahkan jari telunjuk pada sosok Luhan-Bomi.

“50 FRF* kalau dua orang itu menjadi pasangan bulan ini.”

Dengusan terhibur adalah reaksi Nam Woohyun. Ia menoleh pula, memicingkan mata memandang Naeun dengan sikap menantang, “50? 70 FRF kalau mereka menjadi pasangan minggu ini.”

Deal!”



.
.
.
TBC
===========================================================================
A/N: Salah satu chapter terpanjang LAF ._.V cepet kan? wkwkwk. Author ngebut setengah mampus -_- biar cepet kelar. Kalo gak kelar jadi beban (?). Btw, jangan lupa komentar dan reaksinya. Thanks for reading <3
FRF*: Mata uang di Perancis 



2 komentar:

  1. Hai~ ayo kunjungi dan baca fanfic di comeandreadhere.wordpress.com ^^ meskipun blog baru tapi semoga berkesan. Blog yang berisi fanfic exo maupun artis lain. Come and read, please ^^

    BalasHapus
  2. Hai~ ayo kunjungi dan baca fanfic di comeandreadhere.wordpress.com ^^ meskipun blog baru tapi semoga berkesan. Blog yang berisi fanfic exo maupun artis lain. Come and read, please ^^

    BalasHapus