ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Rabu, 11 Maret 2015

Like A Fairytale [Chapter 8- Accident]



Like A Fairytale [Chapter 8]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.




***

“Sebenarnya apa hubungan kalian?”

Pertanyaan mendadak Naeun nyaris membuat Bomi tersedak. Ia segera meletakkan gelas susunya di atas meja. Lalu mendongak menatap Naeun, dengan sorot mata tak percaya. Ia bahkan sempat berpikir jika ada yang salah dengan telinganya.

“Apa maksudmu?

Diluar dugaan, senyum Naeun terkembang manis. Dia pun mencondongkan tubuh ke depan, bertopang dagu. Kedua manik hitam sang model menatap lekat milik Naeun. Seolah berjuang menggali kebenaran di dalam sana. “Jangan berpura-pura tidak tahu.” Dia separuh mendesis.

“Tapi aku benar-benar tidak tahu. Sungguh.” Bomi mengedikkan bahu, mencoba meyakinkan Naeun. Tetapi, Naeun malah menyibakkan rambut bergelombangnya –kebiasaan yang ia lakukan ketika sedang tak sabar. Sebelum membalas elakkan sahabatnya, “Maksudku adalah… “ dia memberi jeda sejenak, mendramatisir.

“Apa?”

“Apa kalian berkencan?”

Kedua alis Bomi terangkat seketika. Refleks, ia melirik ke kanan-kiri, mengecek jika orang lain mendengar perkataan Naeun. Untung saja, para tamu tampak sibuk dengan makanan masing-masing, Terlampau sibuk untuk memperhatikan mereka. Kemudian, ia kembali mendaratkan tatapan pada Naeun, yang kini tengah mengunyah roti bakar. Sungguh, ekspresi Naeun terlewat santai bagi Bomi –yang cukup syok mendengar pertanyaan barusan.

“Kau bercanda kan?” sergah Bomi. Kerutan terlukis di dahinya, tak mengerti dari mana Naeun memperoleh ‘ide’ bahwa ia berkencan dengan Luhan. Apa tingkah mereka seperti itu? Well, jika dipikir-pikir… mungkin terlihat seolah mereka berkencan –kunjungan ke eiffel dan Luhan pernah mengantarnya pulang dari klub. Tetapi, Bomi tak pernah menceritakan hal-hal diatas pada Naeun. Jadi, bagaimana dia dapat berpikir seperti itu?

Seakan membaca pikiran Bomi, sang lawan bicara pun menjelaskan, “Entahlah. Aku hanya menebak dari cara kalian menatap, berbicara, bersikap..” dia menyeruput gelas susunya sebelum melanjutkan, “Dan kau, kau tidak pernah ‘dekat’ dengan laki-laki manapun sebelumnya, kan?” dia mengacungkan jari telunjuk tepat di hadapan wajah Bomi.

Mendengar kalimat terakhir Naeun, Bomi memelankan kunyahan rotinya. Perlahan namun pasti, kalimat tersebut diserap otak Bomi. Kemudian, sebuah kesadaran muncul. Yeah, ia baru menyadari jika perkataan Son Naeun merupakan sebuah fakta. Bahwa dia, Yoon Bomi, tidak pernah ‘dekat’ dengan lelaki manapun. Bahwa tidak sekalipun ‘ide’ berkencan meracuni pikirannya. Intinya, tidak ada laki-laki dalam kehidupan seorang Yoon Bomi.

Hingga detik ini.

Hingga ia bertemu Luhan.

Bomi membeku di tempat. Sarapannya –yang kemudian ditelantarkan di piring- baru separuh termakan. Tatapan sang penulis kosong, seolah memandang suatu benda kasat mata. Di seberang meja, Son Naeun mengamati tingkah Bomi selama beberapa detik. Kemudian, ia menjentikkan jari di hadapan wajah sahabatnya, “Yah, jawab pertanyaanku. Jangan melamun!”

Sontak Bomi terperanjat. Ia mendongak dan memandang Naeun, berkata, “Ya? Apa yang kau tanyakan?” yang disambut oleh gerutuan kesal Naeun.



***


Berhubung Bomi tidak memiliki mood untuk berjalan-jalan hari ini, dan karena Naeunpun memutuskan untuk tetap di hotel, maka Bomi memilih menetap pula. Ia berdiri di depan jendela besar suite mereka, jendela yang menyuguhkan pemandangan spektakuler jantung negeri Perancis. Tak urung, seulas senyum tipis tersungging begitu Bomi melihat puncak menara eiffel melalui sudut matanya. Dan secara otomatis, memori mengenai tempat tersebut melintas dalam otak.

Luhan.

Bomi bergegas menggelengkan kepala kuat-kuat. Seolah berjuang menyingkirkan hipotesa aneh yang sempat tersangkut dalam benak. Kemudian, ia menghela napas dalam. Kedua tangan terlipat di depan dada. Entah kenapa ia sering sekali ‘memikirkan’ Luhan belakangan ini.

Ia menoleh ke belakang. Mendapati Naeun terlelap pulas di kasurnya. Sangat pulas –Bomi mampu menilai melalui ekspresi wajahnya. Dan mungkin, model itu tidak akan terbangun jika terjadi gempa sekalipun.

Ia pun beranjak untuk mendaratkan pantat di kursi, yang didepannya terdapat sebuah meja, dengan laptop tergeletak diatasnya. Dan memutuskan jika ini hari yang tepat untuk bekerja, menulis. Jemarinya terasa gatal, karena lama tak menggerayangi papan ketik.

Yoon Bomi memejamkan mata, mencoba mengumpulkan inspirasi, feeling, sekaligus mood. Lalu, ia mengaktifkan benda elektronik tersebut dan mulai menulis. Seperti biasa, rangkaian huruf membentuk kalimat, kemudian membentuk paragraf, sebelum menciptakan sebuah kisah.



***



“Kopi?” tawar Woohyun pada seorang pria berambut kepirangan. Punggung pria itu menempel pada pagar pembatas beranda apartemen mewah Woohyun. Semilir angin memainkan anak rambut, membuat siluet sang pria tampak mempesona. Mendengar suara Woohyun, Pria itu mendongak. Ia menatap sejenak wajah Woohyun, sebelum beralih memandang 2 cangkir berisi kopi dalam genggaman tangan sang fotografer.

Seakan memahami arti tatapan Luhan, dia berkata, “Tenang saja. Aku sudah menambahkan gula.” Dia menyodorkan cangkir di tangan kanannya. Kali ini, pria itu mengangguk, menyambar cangkir tersebut, lalu menyesapnya. Perlahan namun pasti, sensasi hangat menjalari tubuh, seiring dengan cairan yang menyusuri kerongkongan.

Luhan mendesah pelan, kemudian memutar tubuh membelakangi Woohyun. Kini, di hadapannya tersaji pemandangan indah, yakni seantero kota Paris. Ia terdiam. Mengamati bangunan-bangunan artistik, jalan-jalan –yang tampak layaknya barisan semut, dan kendaraan serta manusia yang bertebaran bagai satu titik kecil.

“Apa yang sedang kau pikirkan?”

Lagi-lagi suara Woohyun sukses membuat lamunan Luhan buyar. Entah sejak kapan, sang kawan lama telah berdiri di sampingnya, dengan secangkir kopi di tangan kanan. Ia jelas berbicara dengan Luhan –karena tidak ada orang lain disana- namun pandangan ia terpaku lurus. Sama sekali tak menatap Luhan, melainkan pemandangan di bawah sana.

“Kau pikir apa yang sedang kupikirkan?”

Pertanyaan dibalas pertanyaan. Luhan –yang juga tak menoleh untuk menatap Woohyun- merespon sembari kembali menyesap kopi panas. Tiba-tiba saja, rasa manis tadi menguap entah kemana. Sekali saja topik itu melintas, suasana hati Luhan memburuk seketika.

“Seohyun, bukan?” tebak Woohyun tepat sasaran. Kali ini, ia menoleh demi mengecek reaksi Luhan. Pria itu menunduk, mencengkeram erat cangkir kopinya. Namun ia bungkam tanpa kata. Meski begitu, Woohyun mengerti perasaan sang kawan lama. Karena siapa saja –asal kau punya hati- pasti akan mengalami kehancuran jika orang tersayang dalam hidupmu pergi. Meninggalkanmu hanya dengan setumpuk memori. Meninggalkanmu dengan jejak-jejak kenangan, yang pahit ketika ditelusuri.

Nam Woohyun memutuskan untuk berhenti menyudutkan Luhan. Ia mengumbar seulas senyum pahit, lalu menepuk pundak pria itu. Sembari mengucapkan sebuah saran, “Kita tidak hidup di masa lalu. Dan apapun yang terjadi saat itu bukanlah kesalahanmu, bukan kesalahan siapapun. Berhenti menyalahkan diri sendiri.”

Woohyun membalikkan tubuh, dan hendak beranjak dari area beranda. Namun, baru dua langkah ia lajukan, sebelum berhenti dan menambahkan, “Dan kalau tidak berminat menjalin hubungan apapun dengan gadis bernama Bomi itu, berikan dia padaku.” Woohyun tersenyum separuh.

Entah mengapa, muncul segelintir ketidaknyaman ketika Woohyun menyebut nama Bomi. Tetapi, ia tidak berkata maupun bereaksi. Hingga sosok Woohyun menghilang di balik pintu, bibir Luhan tetap terkatup rapat.



***




Bunyi ketikan keyboard terdengar beraturan, saling bersaing dengan detak jarum jam untuk menumpas kesunyian di suite Bomi-Naeun. Kedua manik hitam Bomi menatap lekat layar laptop, sementara ia sibuk menuangkan plot dan ide untuk novel selanjutnya. Sesekali, ia menoleh untuk mengecek keadaan Naeun yang masih berkelana di alam mimpi. Tampaknya, model itu kelewat lelah.

“You Ri tertawa saat Chanho, teman masa kecilnya datang berkunjung. Dia tidak melihat batang hidung sang bocah lelaki selama nyaris 10 tahun. Dia rindu, jelas. Dan sekarang, sosok dewasa Chanho berdiri di hadapan Youri. Otomatis, ia mengamati Chanho dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan entah mengapa, jantung Youri serasa berhenti berdetak……”

Detik berganti menit, kemudian jam. Bahkan hingga berjam-jam pun, sang penulis enggan beranjak dari kursi. Terlampau larut dalam dunia imajinasi yang ia ciptakan. Terlampau sibuk merangkai kata. Bomi baru mencicipi letih, mual, dan perih di mata ketika jarum jam menunjukkan angka 7.15 PM. Ia sendiri cukup terkejut. Menyadari jika dirinya menghabiskan sekitar 6 jam untuk menulis. Jelas dia melewatkan makan siang –tidak merasa lapar.

Kini, sensasi tak nyaman menyerang perutnya. Bomi mengira jika itu karena efek melewatkan makan siang, dan memutuskan untuk jalan-jalan di area hotel sebelum mengisi perut dengan makan malam.

Yoon Bomi menutup laptop.



***



Sang gadis melangkah santai, mengitari pinggiran kolam renang. Kedua telapak tangan saling bertaut di belakang punggung. Sementara kepala gadis itu mendongak, menatap hamparan bintang di langit malam. Ia mengamati ratusan rasi yang terbentuk, sibuk mengapresiasi keindahan ciptaan Tuhan tersebut.

Beberapa detik berlalu begitu saja. Hingga Bomi berhenti berjalan demi menghela napas dalam. Udara dingin pun memenuhi saluran respirasinya, yang ia hembuskan secara perlahan. Entahlah, meski kadang menusuk tulang, namun ia menyukai udara malam hari. Menyegarkan.

Bomi memutar tubuh dan berjongkok menghadap kolam renang. Tiba-tiba, kolam itu seolah mencuri perhatiannya. Seolah memanggilnya, menyuruh Bomi mendekat. Dan ia memilih untuk patuh. Bomi menjulurkan sebelah lengannya, mencoba mengukur suhu air di dalam sana. Mungkin sekedar iseng? Ia tidak tahu pula.

Tampaknya dewi fortuna sedang tak berpihak pada Yoon Bomi malam itu. Sebab, sang gadis kehilangan keseimbangan tak lama kemudian. Ia telah berjuang agar kakinya tetap berpijak di lantai. Tetapi sayang, usaha Bomi gagal total.

Dalam hitungan sepersekian detik, air kolam menyambut kehadiran Bomi. Melahap sang penulis dengan sensasi dingin menggigit.

Sesak.



 ***





Blam.

Luhan menutup pintu mobil lumayan keras. Ia menghela napas kemudian. Dimasukkannya kunci mobil –ke dalam saku- menggunakan tangan kanan, sementara tangan kiri Luhan mengacak rambut. Jujur, ia tidak tahu apa yang ia rasakan kini. Antara kesal, bingung, namun terselip kesedihan pula. Setelah berbincang dengan Woohyun sepanjang hari, gumpalan rasa yang berkecamuk dalam dada Luhan tak kunjung berkurang. Malah bertambah parah. Abstrak.

Luhan berjalan keluar dari area parkir hotel. Sembari sibuk berpikir sikap macam apa yang patut ia tunjukkan terhadap Bomi. Sebab –mau tidak mau- jantung Luhan mulai berkinerja abnormal jika berada di dekat sang penulis. Ia menjadi salah tingkah. Dan ia merasa bersalah karenanya.

Terlampau larut dalam pemikirannya, Luhan tidak sadar bahwa ia berjalan ke arah yang salah. Seharusnya Luhan langsung masuk melalui pintu utama hotel. Bukannya mengambil jalan memutar melalui taman belakang, yang satu area dengan kolam renang.

Sang pria baru tersadar jika ia salah jalan, ketika indra pendengaran Luhan menangkap suara familiar. Suara seorang gadis. Dan suara tak asing tersebut berasal dari arah kolam renang.

Apa? Dari arah kolam renang?

“Xiao…. !”

Luhan mendekatkan diri menuju pinggiran kolam renang. Berniat mendengar suara itu secara lebih jelas. Karena –siapapun itu- sang pemilik suara tampak kesulitan beteriak. Tetapi, ia sempat menyaksikan sebuah kepala –juga wajah- menyembul dari dalam air. Familiar. Sangat familiar.

Butuh beberapa detik bagi otak Luhan untuk mencerna identitas sang pemilik wajah, yaitu Yoon Bomi.

Heol. Bomi? Bo…mi?

“Xao..LU!”

Mendengar panggilan itu, sontak Manik hitam Luhan membulat sempurna. Sekujur tubuhnya menegang. Bahkan, Luhan merasa terdapat aliran listrik mengalir di tulang belakang. Terkejut. Syok. Panik. Segalanya berbaur menyatu. Dan Luhan melakukan satu-satunya hal yang melintas di otak.

Tanpa berpikir dua kali, ia terjun ke dalam kolam renang.




***




Sesak.

Bomi seakan kehilangan kemampuan bernapasnya. Seiring dengan gerak abstrak yang dilakukan kedua kaki sang gadis. Susah payah ia berjuang tetap mengambang, semampu mungkin menjulurkan kepala ke permukaan, demi mengambil napas, meski singkat.

Ia tidak bisa berenang. Dan ia memiliki trauma masa kecil tentang kolam renang. Otomatis, kenangan pahit itu merayapi dan menciptakan rasa takut dalam benak Bomi. Ia sungguh takut dan putus asa. Detik berganti menit. Semakin lama, raga Bomi mulai memberontak. Mulai lelah.

Ia tidak tahu mengapa, namun ia mulai meneriakkan sebuah nama. Dimana sang pemilik berpartipasi menghiasi masa kecil Bomi, dengan berbagai kenangan indah.

Mungkin, Bomi telah kehilangan akal.

Perlahan namun pasti, gerakan sang gadis melemah. Ia merasa tubuhnya menjadi berat. Keputusaan pun menjadi-jadi. Tanpa sadar, Bomi membiarkan dirinya hanyut ke dalam air. Ia berhenti melawan gravitasi.

Dan pada saat-saat kritis itulah, Bomi melihat wajah seseorang –ia tidak yakin siapa, karena tidak jelas di dalam air- kemudian disusul sebuah tangan yang mencekal pinggangnya erat, mengangkat Bomi hingga ke permukaan.

Namun sebelum sempat menghirup oksigen secara layak, kegelapan mendominasi.



***



Mengerahkan segenap tenaganya, Luhan berhasil mengangkat Bomi ke permukaan. Ia terengah-engah, lelah. Tetapi, kelegaan membuat rasa lelahnya memudar. Lega karena berhasil menyelamatkan nyawa orang lain. Ia segera duduk –posisi bersila- dan meletakkan kepala Bomi di kakinya. Kedua pelupuk mata sang gadis tertutup, wajahnya pucat. Dan Luhan menjadi panik kembali.

Luhan meneguk ludah, menepuk-nepuk pipi Bomi sembari memanggil namanya. Mencoba membuat dia sadar. Awalnya pelan, namun berangsur keras. Seiring dengan keputusasaan yang semakin besar.

“Bomi! Yoon Bomi!”

Tidak ada respon. Tapi, Luhan tidak menyerah begitu saja. Kali ini, Ia mengguncang-guncang bahu sang gadis.

“Bomi-ya! Sadarlah!”

Masih tidak ada reaksi. Luhan pun mendesah keras, mengacak kesal rambutnya. Lalu menatap wajah Bomi yang tak sadarkan diri itu. Diulurkannya tangan demi menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah sang gadis. Dan tanpa sadar, ia tersenyum tipis.

Luhan tahu jika ia harus melakukan sesuatu yang ekstrim agar Bomi selamat. Atau tidak sama sekali. Maka, setelah mengumpulkan segenap kenekatan, Luhan mendekatkan wajahnya pada wajah Bomi. Hingga jarak di antara bibir mereka tak sampai 3 cm.

Luhan pun memberikan napas buatan.

.

.

TBC

====================================================================
 A/N: So? So? Okay, so saya tahu gak banyak yang ngantisipasi update ini FF -_-V HanMi shipper jarang ya? Tapi, tetap saya ngebet pen FF ini sampe end TT^TT. Jadi, RCL nya juseyo.

1 komentar:

  1. apa-apaan udah chapter 8??? ><
    maaf thor saya gak ngikutin perkembangan ini ff. Tapi sejauh ini keren kok!
    Lanjut ya, semangat

    BalasHapus