ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Kamis, 19 Maret 2015

Gone


GONE

by  Stephcecil
Main Cast : Xiumin & Kim Yoo Jung
Lenght : Oneshot || Genre : Romance, Angst, Songfic || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, the plot is inspired from Jin-gone music video.
Summary : "Meskipun lagu tersebut selesai dibawakan. Namun Yoo Jung tahu, jika sang pemain bukanlah Kim Minseok. Ia tidak lagi merasakan kehadiran pria itu. Ia tidak lagi mencium aroma kopi di ruang piano. Ia tidak lagi mendengar detak jantung familiar di sana."

***



Gelap.


Selama 15 tahun kehidupan Yoo Jung, yang ia kenali hanyalah kegelapan. Ia tidak tahu apa itu cinta, apa itu persahabatan, apa itu sakit. Semua orang memperlakukannya bak seorang putri. Dari suara-suara di sekeliling Yoo Jung, ia menarik kesimpulan bahwa keluarganya kaya.


Yoo Jung jarang berinteraksi. Sekolah? Orang tuanya menyediakan home Schooling, jadi ia tak perlu pergi ke sekolah luar biasa demi mempelajari braille. Teman? Bagaimana memiliki teman jika ia tak pernah berkomunikasi dengan anak sebayanya?


Apalagi cinta.


Yoo Jung menganggap cinta sekedar kata asing, yang tak ia ketahui maknanya. Guru-guru privatnya tak pernah memberitahu apa arti cinta. Tak penting, kata mereka. Begitulah dengan sayang, kasih, kehangatan. Orang tua Yoo Jung terlalu sibuk dengan pekerjaan. Mereka hampir tak pernah berada di rumah, menemaninya. Namun, gadis tunanetra itu tak ambil pusing. Toh, di rumah terdapat belasan pelayan yang akan mengurus dia.


Hari ini merupakan jadwal kursus piano Yoo Jung. Seperti biasa, ia berangkat diantar sopir sekaligus pelayan setianya, paman Kim. Ia melangkah dengan percaya diri. Meski yang terpampang di hadapan Yoo Jung hanyalah gelap, gelap, dan gelap. Ia telah menghapal seluk beluk pondok sederhana itu.


Tetapi, ketika memasuki ruang utama –dimana terletak grand piano di sana, Yoo Jung merasakan sensasi aneh. Dia merasakan kehadiran manusia lain. Hal yang tak biasa. Sang gadis terlena oleh aroma dan kehangatan yang berasal dari orang tersebut. Dia tahu orang itu berjalan di sebelah, melewatinya.


"In that space where memories linger
Still as warm on my fingertips
You are here, here
Your scent, your face."


***


Hari demi hari berlalu. Hingga tiba hari dimana jadwal kursusnya berlangsung. Hari ini, ia tidak merasakan kehadiran orang itu lagi. Ia tidak mendengar detak jantung lain di ruang piano, selain dirinya dan Tuan Jung –guru piano.


Mungkin, karena konsentrasinya terpecah, Yoo Jung membuat banyak kesalahan. Dan Tuan Jung memarahinya habis-habisan. Sang gadis hanya menunduk, sedih dan merasa bersalah. Meski ia sendiri juga kesal. Tidak bisakah seseorang memberi simpati padanya?


Ia buta. Ia tidak dapat melihat tuts-tuts itu secara langsung. Bukankah wajar jika ia membuat banyak kesalahan?


Tuan Jung meninggalkan Yoo Jung setelah ia menekan tuts yang salah siang itu, untuk ketujuh kalinya. Dia berkata agar Yoo Jung merefleksikan kesalahannya, sekaligus mempelajari lagu tersebut seorang diri.


Setelah sosok Tuan Jung menghilang, Yoo Jung merasa matanya memanas. Piano itu sulit. Dan jauh lebih sulit untuk dipelajari seorang diri. Kesedihan pun mendominasi. Sementara sang gadis menggigit bibir bawahnya, susah payah mencegah buliran kristal bening yang hendak mencetak aliran sungai kecil di pipi.


Detik itu pula, Yoo Jung merasakan kehadiran orang itu lagi. Ia sempat kebingungan. Apalagi saat ia sadar bahwa orang itu duduk di sampingnya. Ya. Tidak salah lagi. Sebab aroma dan sensasi ini sama persis dengan yang ia kenali beberapa hari lalu.


"Please, look at me, look at me, look at me
I can feel you, like this, feel you, feel you."




“Siapa namamu?”


Yoo Jung menoleh pada sumber suara. Ia cukup yakin bahwa sang pemilik berjenis kelamin pria. Ia tahu karena suara tersebut terdengar begitu dalam, menenangkan, dan lembut dalam waktu bersamaan.


Aku suka suara ini.


Ia masih diam, tidak langsung menjawab. Terlampau sibuk mendeteksi ritme jantung dan aroma orang itu, yang menurut Yoo Jung mirip dengan aroma kopi. Dan ia tidak tahu mengapa pula, namun ia merasakan sesuatu bergolak dalam perut, darahnya berdesir abnormal.


Yoo Jung tersenyum tipis.


“Namaku Yoo Jung. Kim Yoo Jung.”


"Merely resembling your words
Merely resembling your smiles
Merely resembling you."



“Kau sendiri?”

“Minseok. Kim Minseok.”



"Your name, which I was barely allowed to speak, can’t be erased
My name, only used by you, is asleep here."




Minseok membantu Yoo Jung berlatih. Dan dalam waktu singkat, Yoo jung berhasil menguasai lagu tersebut. Entah karena kemampuan Minseok –yang Yoo Jung akui, luar biasa. Atau karena kehadiran Minseok yang membuatnya termotivasi. Ia tidak tahu.


Yoo Jung benar-benar menikmati keberadaan Minseok, menikmati momen kebersamaan mereka. Piano yang semula membosankan menjadi menarik. Notasi braille yang tadinya sulit, menjadi mudah seketika.


Dentingan piano, suara jernih Minseok, serta detak jantung pria itu merasuki indra pendengaran Yoo Jung –yang lebih tajam dibandingkan orang normal. Dan sepanjang latihan, seulas senyum tercetak jelas, menghiasi wajah rupawan Yoo Jung.


Sekitar setengah jam kemudian, Minseok menghentikan aktivitas. Tidak lagi terdengar denting piano disana. Yang ada, hanyalah bunyi ‘krecek krecek.’ Seolah pria itu mengocok sebuah botol. Sontak, Yoo Jung menoleh. Kerutan terlukis di dahinya.


“Apa itu?”

“Kenapa? Kau mau?”


Sang gadis mengangguk mantap sebagai respon. Lalu, bunyi aneh ‘krecek krecek’ terdengar lagi. Tetapi kali ini disusul oleh sentuhan jari Minseok di ujung bibir Yoo Jung. Kim Minseok menyuruh gadis itu membuka mulutnya, dan ia pun patuh.


Ternyata permen.


Rasa manis segera melumer di lidah Yoo Jung. Ia menyukainya. Maka, ia menoleh, kemudian mengangguk kecil.


“Terima kasih.”


"You, who I struggled to understand
In the place where we were together
In the moment where I resembled you."



Untuk pertama kalinya dalam kehidupan seorang Kim Yoo Jung, ia menyesal. Sebelumnya, sang gadis bersyukur karena diberi kesempatan mencicipi kehidupan, meski tak sempurna. Ia bersyukur, karena diberi kenyamanan hidup –kemewahan, meski tak sepenuhnya dapat dinikmati. Tetapi, detik ini, momen ini. Ia menyesal terlahir cacat. Seandainya kedua mata Yoo Jung berfungsi, ia ingin melihat Minseok. Ingin mengenali ekspresi dan fitur wajahnya.


Seandainya aku tidak buta. Aku ingin melihat dia.





***




Hari ini Minseok mengajak Yoo Jung bolos latihan. Awalnya, tentu gadis itu menolak. Takut terkena omelan. Tetapi, karena Minseok terus membujuknya, akhirnya ia setuju. Lagipula gadis itu juga penasaran. Bagaimana rasanya kabur dari rutinitas?


Dengan hati-hati, Minseok menggenggam tangan Yoo Jung. Menuntun gadis itu keluar dari pondok. Yoo Jung merasakan kehangatan mengalir, bersumber dari tangan Minseok. Dan ia tersenyum tipis. Ia menyukainya. Ia suka perasaan ini. Menggelitik. Hangat.


Apa ini? Mungkin, hal inilah yang dikatakan orang-orang dengan ‘aku menyukaimu.’


Minseok mengajak Yoo Jung pergi ke taman belakang. Setelah sebelumnya mengecek jika tempat tersebut benar-benar kosong. Mereka duduk di sebuah bangku. Beberapa detik berlalu diisi oleh kesunyian. Yang bagi Yoo jung terdengar mirip semilir angin sore, gemerisik dedaunan, serta detak jantung Minseok dan dirinya, hanya mereka. Serta aroma khas kopi pria itu. Yoo Jung menyukainya.


Ia menghirup napas dalam seraya memejamkan mata. Ia tidak tahu sampai kapan momen-momen ini berlangsung. Ia tidak yakin apakah Minseok akan selalu berada di sisinya, seperti sekarang. Maka, Yoo Jung berusaha untuk menghapal suasana, aroma, dan suara ini.


Diulurkannya tangan demi menyentuh wajah Minseok. Merasakan lekuk dan fitur wajah pria itu. Sembari membuat gambaran di benak, seperti apakah wajah Minseok dalam realita.



"Lingered there with me, missing you so much
Please, look at me, look at me, look at me
As ever, I can feel you, feel you, feel you."



“Yoo Jung-ah, mendekatlah.”


Gadis itu menggeser sedikit posisi duduknya. Lalu, Minseok mendekap Yoo Jung, dalam sebuah pelukan hangat. Sontak Yoo Jung terperanjat. Ia membeku sejenak, sebelum akhirnya melingkarkan lengan di pinggang Minseok, membalas pelukannya. Dan Yoo Jung mengambil kesempatan tersebut untuk menghirup lebih dalam aroma Minseok.


Aroma kopi.


Kemudian, Kim Minseok melepas pelukan mereka –yang mana membuat Yoo Jung sedikit kecewa. Dia meletakkan tangan Yoo Jung di depan dada, sehingga sang gadis mampu merasakan debar jantungnya. Berdesir tak karuan.


“Dengar ini.”


Yoo Jung tersenyum tipis sembari memejamkan pelupuk mata. Ia mendengarnya. Ia merasakannya. Dan lagi-lagi, ia menyukainya.



***



Entah berapa hitungan menit berlalu sejak mereka kabur. Yang jelas, matahari mulai tertarik ke ufuk barat, hendak berpulang ke peraduan. Udara berangsur dingin. Pertanda jika hari telah mendekati ujung. Seharusnya, sepasang anak manusia tersebut kembali ke dalam pondok. Seharusnya, mereka tidaklah betah berlama-lama di luar, didampingi oleh kegelapan dan hawa dingin.
Namun, realita berbanding terbalik. Baik Yoo Jung maupun Minseok sama-sama tak ingin kembali. Terlampau menikmati kebersamaan mereka. Terlanjur larut dalam momen temporer. Seulas senyum terkembang lebar menghiasi masing-masing wajah.


"Like that, the things we made beside each other
Even the memories, even those regrets."




Minseok terbatuk tiba-tiba. Bukan tipe batuk biasa, melainkan jenis batuk yang mencekik kerongkongan. Pria itu terus terbatuk, sementara lengannya mencengkeram bagian dada. Kesakitan jelas terlukis melalui ekspresi wajah Minseok.


Sesak. Menyakitkan.


Di sisi lain, Yoo Jung peka akan atmosfir yang berganti seketika. Ia juga mendengar dan seolah merasakan rasa sakit Minseok, “Kau tidak apa-apa?” ujarnya khawatir. Meski ia tahu, jauh di dalam sana jika pertanyaan itu sekedar pertanyaan retorik.


Minseok tidak menjawab. Dia hanya terus terbatuk. Kesakitan sukses mendominasi diri Minseok. Hingga tubuh sekaligus pikiran sang pria berada di luar kendali. Dia ingin mengatakan pada Yoo jung bahwa dia baik-baik saja. Tetapi lidahnya kelu.


“Minseok oppa?”


Keputusasaan terkandung dalam suara Yoo Jung. Seiring dengan kabut bening yang mulai tercetak di kedua manik hitam. Meskipun ia berjuang keras menahannya.


Oppa?”


Menit berikutnya, derap langkah terdengar mendominasi. Berasal dari beberapa pelayan keluarga Minseok. Raut wajah mereka tampak cemas. Entah karena sungguh khawatir dengan keadaan Tuan Muda, atau karena takut dipecat. Yang jelas, mereka sigap mengontrol situasi dan membuat Minseok –mau tak mau- meninggalkan tempat tersebut. Salah seorang pelayan menggaet lengan Minseok, setengah menyeretnya pergi. Meski jelas sang Tuan Muda tak ingin patuh.


“Lepaskan aku!”


Para pelayan itu tak merespon penolakan Minseok, barang sedikitpun. Mereka tetap menyeretnya pergi dari sana, sebelum keadaan berada di luar kendali. Sedangkan Minseok sendiri tak memiliki tenaga untuk melepaskan diri. Dadanya sakit luar biasa.


Yoo Jung buta. Ia tidak tahu apa yang tengah terjadi, apalagi cara membantu Minseok. Ia berdiri dari bangku dan meraba-raba sekeliling, berharap menemukan pria itu. Kristal bening telah mencetak aliran sungai kecil di kedua pipi pucat Yoo Jung. Entah mengapa, ia memiliki firasat buruk.


“Le-lepaskan!”


Minseok tidak ingin meninggalkan Yoo Jung begitu saja. Terutama jika gadis tunanetra itu buta akan situasi. Sama sekali tak memiliki gambaran akan apa yang terjadi. Ia ingin memberi penjelasan, menenangkan, dan berjanji pada Yoo Jung bahwa ia akan segera kembali. Tetapi sungguh malang baginya, sebab kegelapan segera mengambil alih penglihatan Minseok. Disusul oleh lemas di sekujur tubuh. Dia kehilangan kesadaran.


Para pelayan bergegas membopong Minseok keluar dari sana. Kali ini, tugas mereka mudah karena sang Tuan Muda tak lagi berontak. Dalam waktu singkat, sosok mereka telah lenyap dari area taman. Meninggalkan Yoo Jung seorang diri.


“Minseok oppa? Kau d-dimana?”


Yoo Jung berjalan tertatih. Kedua tangan terus meraba-raba udara kosong. Rasa cemas, bingung, sedih berbaur menyatu. Terus bertambah seiring dengan hitungan detik. Tenggorokannya seolah tercekik. Firasat buruk semakin melingkupi batin


Oppa?” lirih Yoo Jung.


Tidak ada jawaban.


"In the place where we were together
In the moment where I resembled you
When it felt too good being soaked in the rain
You are gone, gone."



***




Menunggu tanpa kepastian jelas bukanlah hal mudah. Tetapi, ini tak seperti Yoo Jung memiliki pilihan lain. Berpegang pada secuil harapan kosong, ia tetap menantikan kehadiran Minseok. Setiap kali jadwal kursusnya tiba, ia akan datang dengan senyuman, Meski senyum tersebut selalu luntur di akhir hari. Ketika sadar jika di hari itu, Minseok tidak akan datang. Tidak akan menemaninya. Tidak akan mengajarinya bermain piano. Tidak akan mengajaknya kabur latihan, lagi.


Yoo Jung tidak suka perasaan ini. Ia tidak suka sesak dan rindu yang seolah menyelimuti. Ia tidak suka saat pikirannya melayang pada Minseok. Ia tidak suka saat matanya memanas ataupun kerongkongannya kering begitu Minseok muncul dalam benak Yoo Jung,


Di sisi lain, ia menginginkan kehadiran pria itu. Meski belum lama sejak mereka saling mengenal, namun Yoo Jung seakan telah mengenal sosok Minseok sepanjang hidupnya. Sentuhan serta kehangatan pria itu terasa familiar sekaligus asing dalam waktu bersamaan.



Minseok adalah orang pertama yang membuat jantung Yoo Jung berdebar abnormal. Minseok adalah orang pertama yang membuat Yoo Jung mengenal perasaan dihargai. Walaupun ia buta. Kim Minseok merupakan orang pertama yang membuat Yoo Jung menyesal terlahir buta. Sebab, ia tidak mampu melihat wajah Minseok.


Tanpa sadar, buliran kristal bening meluncur mulus, membasahi pipi pucat Yoo jung. Dengan sigap, Yoo Jung menyeka air mata menggunakan punggung tangan. Menangis menunjukkan kelemahan seseorang. Dan ia benci dianggap lemah.




"How am I supposed to erase you alone and live
In those moments where we once walked together
Like that, the things we made beside each other
Even the memories, even those regrets."




Klek.


Pintu ruang latihan terbuka lebar. Otomatis, Yoo Jung tersentak. Sekilas, harapan tersebut muncul. Mungkin, hari ini adalah harinya. Hari dimana ia mampu merasakan kehadiran pria itu lagi. Dimana ia mampu melepas rindu.


Tap. Tap.


Suara langkah kaki bergema pelan di ruang piano. Membelah keheningan berbaur kepedihan yang sempat mendominasi. Kedua manik hitam Yoo Jung pun berbinar sarat kebahagiaan. Begitu mengenali aroma dan detak jantung manusia yang baru memasuki ruang tersebut.


Tidak salah lagi. Kim Minseok.


Yoo jung membeku di sofa. Tak bergeming sedikitpun. Terlalu terkejut dan bahagia. Sudut bibirnya tertarik keatas, mencetak senyum tulus. Yoo jung diam tak bersuara. Ditajamkannya indra pendengaran, mencoba mendeteksi gerak-gerik Minseok.


Pria itu berjalan terhuyung-huyung. Susah payah, ia memposisikan diri, duduk di depan grand piano. Ekspresi Minseok memaparkan kesedihan, namun kebahagiaan terselip pula. Mengesampingkan kondisi fisik yang seolah hendak menyerah kapan saja, ia memilih tetap memainkan benda itu. Memainkan piano itu.


Nada-nada indah terlantun melalui denting piano, mencetak melodi penyayat hati. Jemari Minseok menjelajahi tuts hitam-putih. Sedangkan kabut tipis mulai menyelimuti mata Yoo Jung. Entah air mata kebahagiaan atau malah sebaliknya.


"In the place where we were together
In the moment where I resembled you
When it felt too good being soaked in the rain
You are gone, gone
How am I supposed to erase you alone and live
When I miss you so much."




Kepala Kim Minseok semakin terasa berat dan berat, sesak menjalari dada. Ia tahu waktunya tidak lama lagi. Ia tahu jika penyakit sialan yang dideritanya akan merenggut nyawa, cepat maupun lambat. Namun ia juga tahu jika lagu ini mungkin merupakan hadiah terakhir yang mampu ia berikan pada Yoo jung, yaitu lagu yang mereka pelajari bersama.

Namun takdir terlampau kejam pada Minseok. Sebelum ia sempat memainkan birama terakhir, kegelapan mengambil alih. Bunyi ‘ding’ keras terdengar ketika Minseok merebahkan kepalanya di atas tuts piano.


Melodi itu terhenti.

Kesunyian tiba mencekam.

Dan buliran kristal bening pun menetes.

Pada akhirnya, meski birama akhir tersebut dimainkan. Meskipun lagu tersebut selesai dibawakan. Namun Yoo Jung tahu, jika sang pemain bukanlah Kim Minseok. Ia tidak lagi merasakan kehadiran pria itu. Ia tidak lagi mencium aroma kopi di ruang piano. Ia tidak lagi mendengar detak jantung familiar di sana.

Karena Minseok telah pergi.

Dan Yoo Jung tahu.


"In the place where we were together
In those moments where we could’ve walked together
I’m holding onto myself alone."




Ia tidak memiliki kesempatan untuk mengatakannya secara langsung. Tetapi, ia tahu jika lebih baik terlambat dibandingkan tidak sama sekali. Maka, sembari meraba-raba tuts piano, Kim Yoo Jung mengungkapkan segalanya.

Terima kasih karena membuatku mengerti arti ‘suka, sayang, dan cinta. Terima kasih karena tidak mengejek atau meremehkanku karena aku buta. Terima kasih karena telah menemaniku. ”

Ia menghela napas dalam.

Maaf karena aku tidak bisa mengatakan ini secara langsung.”

Kristal itu meluncur lagi.

“Dan yang terakhir, oppa…” Yoo Jung mengambil jeda sejenak, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sakit sekali. Seolah terdapat ratusan jarum yang menusuk-nusuk dada Yoo Jung. Seolah seseorang mencekik lehernya kuat, hingga ia kesulitan mengambil napas. Walaupun begitu, ia menguatkan diri dan berkata, “Oppa, aku mencintaimu. Sungguh.”


"In the place where we were together
In those moments where we could’ve walked together
I’m holding onto myself alone
In this place, even our future, my wishes have stopped
I’m standing here and you are gone."






- END -


=========================================================================
A/N: Okay, this story is... disappointing for me /facepalm. MV Gone udah lama rilis. Tapi saya baru dapet ilham (?) buat nulis ini ff. Awalnya mau full songfic, tapi jadinya begini -_- jangan lupa RCL ya. 
A/N*2: yang Xiumin makan itu obat, bukan permen, Tapi dia ngasih Yoo Jung permen.
A/N*3: Nanti Tuan Jung yang nyelesaiin permainan piano Xiumin. Untuk lebih jelasnya, tonton aja MV nya wkwkw

4 komentar:

  1. I simply love this!
    Great job, thor. Ditunggu karya-karya selanjutnya ya! =)

    BalasHapus
  2. Ini dari MV yang ada xiuminnya kan? sumpah disana oppa keren banget!
    wkwkw. Bagus kok thor. Cuma mungkin angst nya kurang kerasa :)

    BalasHapus