ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Sabtu, 28 Maret 2015

Like A Fairytale [Chapter 10- The Past]

 

Like A Fairytale [Chapter 10]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : G
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based of my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.





***





Yoon Bomi bersenandung kecil seraya melangkah keluar kamar mandi. Digosok-gosokannya handuk di kepala demi mengeringkan rambut. Ekspresinya cerah pagi itu. Dalam imajinasinya, terbayang sudah kunjungan ke museum louvre dan makanan khas Perancis yang akan ia santap bersama Naeun. Ia berharap agar Naeun bergegas menyelesaikan photoshot, sehingga mereka lekas pergi.

Tetapi, rona wajah Bomi memucat tiba-tiba. Ia meringis begitu merasakan sakit luar biasa di perut. Dibungkukannya tubuh, tangan memegang area nyerinya. Bomi meringis menahan sakit, setengah menyeret raga menuju kasur, lalu merebahkan diri. Kelopak matanya terpejam erat. Sementara sensasi tak nyaman tadi berangsur berkurang. Meski butuh beberapa lama hingga lanyap seutuhnya.

Selalu begini. Sebenarnya ada apa denganku?

Ia menatap langit-langit kamar hotel. Sibuk menerka apa yang menjadi alasan perutnya kerap nyeri. Memang rasa sakit itu cepat hilang. Tetapi sering muncul pula. Tak urung, Bomi merasa khawatir mengenai kesehatannya. Ia memutuskan untuk check up di rumah sakit setelah kembali ke Korea nanti.

Someone call the doctor~

Bomi beranjak duduk dan menyambar ponsel yang tergeletak di atas kasur, tanpa repot melihat ID penelepon. Detik berikutnya, gadis itu sibuk merutuki diri. Karena ia mengenali suara di seberang sana. Suara sesosok manusia yang tak ingin dijadikannya rekan bicara pagi ini. Well, sudah terlanjur basah. Lagipula, tidak mungkin ia menghindar dari Luhan selamanya, kan?

“Bomi-ssi? Kau bisa mendengarku?”

Dihelanya napas panjang, berusaha mempersiapkan diri –untuk apapun pembicaraan mereka nantinya. Sebelum merespon dengan, “Emm.. yeah? Ada apa meneleponku pagi-pagi?” yang terdengar canggung, bahkan bagi telinga Bomi sendiri.

“Bisa kita bicara?”

Tanpa sadar, Bomi mengangguk. Mungkin terlampau gugup hingga tak sadar bila sang lawan bicara tidak mampu melihat reaksinya. Sekali lagi, Bomi memaki diri dalam hati karena bertingkah bodoh.

“Tentu. Bicara saja.”

“Maksudku, bisa kita bertemu? Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Tapi tidak melalui telepon.”

Panik merayapi diri Bomi. Ia menggigit bibir bawahnya. Diketuk-ketukkannya ujung kaki ke lantai, menciptakan bunyi tak-tuk beraturan. Gadis itu merasa tak nyaman. Sementara ia mulai menebak arah pembicaraan.

Penuh keraguan, ia menjawab, “Tentu. Dimana?”

“Taman belakang hotel. Kutunggu kau disana setengah jam lagi.”

“Oke.”

Klik. Sambungan telepon diputus.

Bomi menghela napas –entah keberapa kalinya- dan kembali merebahkan tubuh di kasur. Lengan kanannya terangkat menutupi wajah. Sementara tangan kiri Bomi setia menggenggam ponsel. Kesunyian dalam ruangan segera diambil alih oleh tawa miris Bomi.

Ironis sekali.

Ingatan gadis itu melayang akan kejadian semalam. Dimana alkohol merasuki diri Bomi, dan membuatnya melakukan hal memalukan. Atau lebih tepat lagi, menyedihkan. Akal sehatnya meluap habis tadi malam. Bagaimana pula ia melakukannya? Bagaimana mungkin ia mengungkapkan segalanya pada Luhan? Pada seorang pria yang belum genap sebulan ia kenal.

Tetapi ketika mabuk, orang hanya akan berbicara kebenaran, kan?

Jadi, aku benar-benar menyukai dia? Lu Han? Komposer itu?

Bomi tidak tahu





***





Kecanggungan menggantung di udara. Sementara raut tak nyaman menghiasi pahat wajah masing-masing. Sepasang anak manusia terdiam, bibir terkatup rapat. Seakan enggan membuka suara, meski rangkaian kata telah tersangkut di lidah. Atmosfir itu terombak oleh dengusan sang komposer yang membuat Bomi tersentak seketika.

Kedua pasang manik saling menatap. Seakan tatapan dapat mewakili peran kalimat. Luhan berdehem cukup keras sebelum berkata, “Bagaimana kabarmu hari ini?” sebagai basa-basi semata.

“Baik. Kau?”

“Sama.”

Hening kembali melanda, lebih singkat kali ini. Tampaknya Bomi tak ingin mengulur waktu lebih lama. Telapak tangan gadis itu terkepal kuat sejak tadi, buku-buku jarinya memutih. Ia pun merasakan debar jantung yang abnormal. Dan bila tak segera diakhiri, ia mungkin mati konyol tertelan gugup.

“Lebih baik segera katakan apapun itu yang ingin kau bahas. Tidak banyak waktu tersisa sebelum-“ Bomi melirik jam tangan, “Sebelum Naeun pulang dan mengomel karena aku seharusnya berada di suite sekitar 30 menit lagi.” Jelasnya.

Bomi mengungkapkan fakta, sungguh. Sahabat setianya itu mengirim pesan teks tidak lama setelah Luhan mengakhiri sambungan telepon tadi –yang menginformasikan jika photoshot ditunda, jadi dia langsung kembali ke hotel.

Luhan tidak langsung menjawab. Dia mendesah pelan, punggung bersandar pada sandaran bangku kayu. Saat ini hanya terdapat Luhan-Bomi di taman belakang hotel. Lokasi kurang strategis menjadi salah satu alasan mengapa para tamu jarang bercengkerama di sana. Cuaca sedang bersahabat, panas tidak menyengat walau pagi berganti siang. Angin berhembus pelan menyapu permukaan kulit.

Tetapi Luhan terlalu sibuk untuk peduli. Benaknya melantur kemana-mana. Dan entah berapa kali sudah ia menelan saliva sejak Bomi menyembulkan batang hidungnya. Gugup, pedih, serta rasa bersalah saling beradu mendominasi. Suara bariton yang dihasilkan pita suara Luhan pada menit berikutnya mirip cicitan burung.

“Ma-maaf jika aku menganggumu. Aku tahu ini mendadak, tap-“

“Tidak usah berbelit-belit, Lu Han. Langsung saja pada intinya.”

Bersembunyi di balik topeng bernama ketegasan, Bomi memilih bersikap acuh. Lebih baik ia jatuh langsung dibanding menunggu tautan terlepas. Karena toh akhirnya, benang harapan tak selalu bertahan dan berujung pada kebahagiaan. Dari awal Bomi menerima telepon Luhan, mendengar getaran tak nyaman dalam nada suara sang pria, ia telah mendapat firasat buruk. Kini, setelah diobservasinya gerak-gerik lawan bicara, ia tahu bahwa firasatnya benar.

Luhan mengetuk-ngetukkan ujung jari pada pangkuan. Cemas. Ia sungguh tak ingin meremukkan hati seorang Yoon Bomi. Namun sadar pula jika menarik ulur perasaan sang gadis adalah tindakan yang lebih keji. Ia melirik Bomi, mendesah lagi, lalu berkata, “Ini soal tadi malam. Semua yang kau katakan semalam bukanlah omong kosong, kan?”

Bomi tersenyum miris, disusul sebuah anggukan.

“Aku-“ Luhan menundukkan kepala, menghindari kontak mata,”-Aku minta maaf, tapi aku tidak bisa menerima perasaanmu.”

“Kau tidak menyukaiku?” lirih Bomi. Bahkan di telinganya sendiri, kalimat bertanda tanya tersebut terdengar memilukan. Kerongkongannya tercekat, seolah ada gumpalan tersangkut. Memalukan memang. Tapi tetap saja ia ingin tahu alasan di balik penolakan telak Luhan. Ia ingin sebuah kepastian, bukti nyata jika Bomi tak pernah bernaung dalam hati pria itu. Setidaknya hanya dengan cara inilah pikirannya dapat tenang.

“Bukan begitu.” Sang komposer menyahut sepersekian detik kemudian, sedikit terlalu cepat. Pun ia menggaruk tengguk menutupi canggung. “Aku akan berbohong jika bilang kalau aku tidak pernah menyukaimu.” Ditolehkannya kepala, menatap langsung manik kecokelatan Bomi. Binar kepedihan menonjol di sana, beradu dengan campuran emosi lain.

Bomi berkedip sekali, dua kali. Berjuang mencerna makna perkataan pria itu. Otot-ototnya menegang, dan ia baru kembali ke alam sadar saat suara bariton Luhan membelah sunyi, “Tapi semua tidak semudah itu. Aku pernah nyaris mati karena cinta. Aku belum siap menjalin hubungan lagi.”

Terkandung getaran kelam dalam nada Luhan. Seakan ia membicarakan sesuatu yang tabu. Sesuatu yang tak dibahas orang-orang pada percakapan singkat di kedai kopi, ataupun gurauan semu. Rentetan kalimat tersebut segera disusul oleh tawa getir.

Sementara lidah Bomi mendadak kelu. Ia ingin mengajukan argumen, menjatuhkan sejuta tanda tanya, mendorong Luhan agar membuka segala rahasia di balik penjelasan rancu. Tak lagi terbersit khawatir akan gelombang amarah Naeun –yang mungkin sudah menunggunya di suite.

“Apa yang terjadi?”

Hening. Entah mengapa keheningan kerap menyelimuti atmosfir di antara mereka siang itu. Keheningan berbalut sedih, pahit, sekaligus amarah. Luhan tidak langsung menjawab. Lebih tepatnya, tidak tahu darimana ia harus menjelaskan. Atau penjelasan macam apa yang sesuai untuk situasi mereka kini.

Well, tidak apa-apa jika kau tidak ingin mengatakannya padaku. Aku mengerti.” Potong Bomi. Ia beranjak berdiri dan hendak meninggalkan Luhan yang tengah sibuk melalang buana. Namun baru satu langkah dilajukan, pria itu berkata tegas, “Jangan pergi. Aku akan menceritakan semuanya.”

Pada momen Bomi menoleh, ia menyaksikan kabut tipis menyelimuti indra penglihatan Luhan. Sudut bibirnya terangkat ke atas, mencetak senyum palsu. Sebab walau senyum menghiasi wajah, Bomi mendapati sorot mata pria itu berkata sebaliknya.

Dan detik terus berganti menit ketika Luhan membongkar kotak Pandora miliknya, yang terendam dalam memori kelam, demi menjawab rasa penasaran Yoon Bomi.




***







Flashback 3 years ago.

“Kubilang aku tidak mau ikut denganmu!” bentakan Seo Jeohyun menggema lantang di penjuru basement gedung apartemen. Tapi toh ia tak peduli. Gadis itu berjuang membebaskan diri dari cengkeraman erat Luhan pada lengannya, yang kini menyeretnya menuju mobil. Selisih tenaganya dan sang model terlalu besar, hingga seberapa keraspun ia mencoba –melepaskan tautan tangan- usaha Seohyun tak membuahkan hasil.

“Yah, Lu Han! Lepaskan!”

Luhan berlagak tuli. Perintah sarat emosi kekasihnya itu dianggap setara hembusan angin. Raut wajahnya tegang nan tegas ketika ia memaksa Seohyun masuk ke dalam
BMW. Ia menggigit bagian dalam pipi, melirik tampang kesal Seohyun, lalu menutup pintu dengan keras. Sedangkan di dalam sana, Seohyun telah pasrah. Kelopak mata tertutup, kepala bersandar pada bantalan jok penumpang.

Tak lama kemudian, Luhan berhasil memposisikan diri di balik kemudi. Ia tak ambil pusing mengecek keadaan Seohyun, melainkan langsung mengaktifkan mesin dan melajukan kendaraan tersebut ke luar
basement.

Keheningan sempat mendominasi, beradu dengan atmosfir tegang. Menit-menit tak nyaman terus berlangsung, ketika Luhan mengemudikan mobil menjauhi pusat kota. Awalnya, seohyun terlampau dilanda emosi untuk peduli. Tetapi setelah setengah jam diliputi penasaran, ia memutuskan bertanya, “Mau kemana kita?”

Dingin. Suara lembut Seo Jeohyun terdengar dingin malam itu.

Tatapan Luhan terpaku ke jalanan. Seakan ia tengah sendirian. Seakan raga Seohyun kasat mata. Dan nada baritonnya tak kalah tajam, dingin, saat menjawab, “ Aku tidak tahu.”

Seohyun mendengus seraya memasang tampang tak percaya. Kedua tangan terlipat di depan dada. Ia menoleh cepat, memicingkan mata, merajam sang model melalui sorotnya, “Apa kau bilang? Kau tidak tahu?”

Luhan bergeming.

Kemudian Seohyun bersikap seolah ia baru mengingat suatu hal penting, “Ah. Aku hampir lupa.” lalu didecakannya lidah, “Kau memang selalu tidak tahu apa-apa, kan? Meskipun kau tahu sesuatu. Kau akan menyembunyikannya dariku.”

Rahang pria itu mengeras. Cengkeramannya pada kemudi semakin kuat pula. Tanpa sadar, buku-buku jari Luhan memutih. Di sisi lain, Seohyun meneruskan ocehan penuh sarkasme, yang meluncur mulus membantai perasaan Luhan.

“Kau jauh lebih cocok menjadi aktor dibandingkan model. Kemampuan aktingmu sungguh luar biasa. Aku nyaris tertipu. Bagaimana mungkin kau mengencani rekanmu tanpa ketahuan olehku? Sementara di depanku, kau bersikap amat manis.”

“Seo Jeohyun!” geram Luhan.

Respon sang penari adalah sebuah tawa. Tentu bukan tawa kebahagiaan. Namun tawa yang mewakili kepedihan, kesedihan, serta berbagai emosi negatif lain. Kabut bening mulai terbentuk menyelubungi iris hitam kelam Seo Jeohyun.

“Apa?”

“Hentikan. Semua yang kau dengar hanyalah kabar burung. Gosip murahan. Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Yoona. Kami tak lebih dari sekedar rekan kerja, teman dekat. Kalau kau percaya padaku, kau tidak akan bersikap begini.” Jelas Luhan dalam satu kali napas. Ia sedikit terengah setelahnya.

“Memangnya aku bersikap bagaimana? Dan sikap seperti apa yang benar? Katakan padaku, Lu han!” nadanya naik satu oktaf. Sebelum sang model sempat mengajukan argumen, ia bergegas menambahkan, “Aku berusaha untuk percaya padamu, pada semua kata ataupun janji manismu. Saat memergokimu makan malam bersama Yoona, kau beralasan membicarakan pekerjaan, dan aku percaya.”

“Kami memang han-“

“Saat memergoki Yoona berada di apartemenmu, kau beralasan dia hanya mengembalikan barang yang tertinggal di
backstage. Dan lagi-lagi aku percaya.”

Seohyun memberi jeda, mengambil napas panjang sembari menatap langit-langit rendah mobil –agar air matanya tak meluncur- lalu berkata dengan susah payah, sebab kerongkongannya terasa tercekat, “Tapi sekarang?” ia meneguk ludah, “ Sekarang bukan hanya aku yang menjadi saksi mata. Tapi orang lain. Lebih tepatnya, banyak orang. Sungguh, kali ini pun aku ingin percaya padamu, Luhan. Tapi aku tidak bisa. In-ini terlalu me-menyakitkan.”

Bendungan tak lagi tertahan di pelupuk mata, melainkan jatuh mencetak aliran sungai kecil, membasahi pipi pucat Seohyun. Ia terisak pelan, “Aku ingin percaya padamu. Aku ingin percaya karena kau bilang kau mencintaiku, hanya aku seorang.” Digelengkannya kepala, “Tapi kali ini kau sudah melewati batas.”

Hening.

Beberapa detik selanjutnya didominasi kesunyian semu. Atmosfir dalam mobil semakin memburuk, oleh kepedihan beradu putus asa yang menonjol. Sementara Luhan mendengar jantung hatinya retak. Berbunyi nyaring, berdengung-dengung merayapi telinga. Indra perasanya seakan mati, seiring dengan kata-kata keji yang terlontar melalui bibir sang kekasih.

Sesungguhnya ia ingin mengelak, ingin meyakinkan sang pujaan hati bahwa rumor hanyalah rumor. Bahwa ia, Lu Han, tidak memiliki hubungan apapun dengan Yoona. Bahwa tidak sekalipun ide mendua tersirat dalam benaknya. Tetapi lidah sang model kelu, indranya mati rasa. Pandangan Luhan mulai buram, membuat jalanan tampak abstrak melalui lensa mata.

“Sebaiknya kita akhiri saja sampai disini.”

Dan beberapa detik setelah kalimat fatal tersebut dicerna otak Luhan, ia pun lepas kendali. Fokusnya lenyap, raganya memang ada, tetapi tidak dengan pikiran dan hati yang terkoyak habis.
BMW hitam bergerak zig-zag menyusuri jalanan. Bunyi klakson nyaring terdengar ketika mobil mereka nyaris membuat kontak dengan kendaraan lain.

Seohyun mengeratkan pegangan pada sabuk pengaman. Otot-ototnya tegang. Kedua mata mendelik terkejut, sekaligus syok karena kini Luhan menyetir dengan kecepatan super tinggi. Belum lagi laju arah yang tak terkontrol. Dan fakta jika mereka mulai memasuki
highway sama sekali tidak menjadikan keadaan membaik.

“Luhan! Turunkan kecepatanmu!” jerit Seohyun. Tapi kesadaran Luhan tengah melayang-layang. Tetesan kristal bening meluncur mulus sebagai luapan amarah sekaligus kepedihannya. Tak dihiraukannya perintah Seohyun. Sedangkan truk-truk dan bis mulai bermunculan mengisi
highway.

Ini bahaya, batin Seohyun.

“Yah, Lu Han! Perhatikan jalanan!”

“Peduli apa kau?”

“Hah?” Seohyun bertanya heran, sembari berjengit saat sebuah mobil nyaris menabrak mereka. Jantungnya bertalu-talu secara ekstrim. Peluh dingin membasahi pelipis.

“Kau baru saja menghancurkanku. Dan sekarang kau ingin aku mendengarkanmu?” sarkasme terasa kental mengisi nada suara Luhan, disusul tawa sinis berkepanjangan.

“Tapi kau tidak bis-“

TIIIINNN! BRAK!

Perkataan Seohyun hanya membekas sebagai seuntai kalimat tak selesai. Sebab pada detik itulah, Tuhan memutuskan untuk mengakhiri riwayat sang gadis, menutup buku kehidupannya. Sebuah truk besar melaju dengan kecepatan tinggi melalui arah berlawanan. Bunyi hantam baku besi mendominasi jalan. Kemudian, sebuah BMW mewah terpental sekitar 1 meter dari tempat semula. Sebuah kendaraan dengan Lu Han dan Seo Jeohyun sebagai penumpang.







***







“Aku pulang! Yah, Yoon Bomi, kau dimana? Ayo kita keluar seka-“

Perkataan Naeun terhenti ketika menyadari sosok yang ia cari sedang meringkuk di sofa ruang depan suite. Ekspresi ceria pada wajah sang model luntur pula begitu suara isakan –cukup keras- mendominasi indra pendengaran. Tas prada yang tadi ia genggam, ditelantarkannya ke lantai sembari berjalan cepat menuju sofa.

“Hei, ada apa?” sekali lagi ia bertanya. Tetapi Bomi tetap enggan memberi jawaban. Terlampau sibuk meratapi nasib sekaligus meluapkan kepedihan di dada. Sementara buliran bening terus meluncur tanpa kontrol. Bahunya berguncang heboh karena tangisan.

Naeun merengkuh pundak Bomi –menggunakan lengan kanannya- dan menepuk punggung gadis itu, mencoba menenangkan. “Semua akan baik-baik saja. Berhentilah menangis.” Ia menghela napas dalam, “Kau tahu kau bisa menceritakan apapun padaku.” Ujarnya lembut.

Perlahan namun pasti, ledakan emosi Yoon Bomi mencapai akhir. Sang penulis mengangkat wajahnya, menampakkan sepasang mata merah dan pipi yang basah. Lalu ia berkata di sela-sela isakan, “Aku tid-tidak tahu apa yang se-sebenarnya kurasakan.” Digelengkannya kepala, lemah, “Aku tid-tidak tahu apakah aku harus marah, sedih, atau malah bersikap acuh.”

“Apa maksudmu?”

Naeun melepas rengkuhannya. Lalu mencondongkan tubuh ke belakang demi mengecek tampang sahabatnya. Menyedihkan, ia membatin. Rasa penasaran semakin menjadi-jadi –akan alasan di balik tangisan Bomi- karena jujur, ia tak pernah melihat Yoon Bomi menitikkan air mata kesedihan. Wajahnya selalu tampak ceria diiringi senyum sebagai penghias. Setidaknya, sebelum ini.

Yoon Bomi menghela napas panjang. Berjuang menenangkan diri dan mengontrol isakan. Ia menutup pelupuk mata selama beberapa detik, hanya untuk berjumpa dengan sorot penasaran Son Naeun begitu mengaktifkan penglihatan.

“Oke, jadi begini ceritanya.”

Kata demi kata terlontar, meluncur mulus sebagai sebuah penjelasan rumit. Detik terus melaju sementara Bomi menceritakan segalanya pada sahabat tercinta. Dimulai dari apa yang ia rasakan, bagaimana mereka –dia dan Luhan- mulai dekat, pengakuan semalam, hingga kisah tragis Luhan.

Pada ujung penjelasan, Son Naeun dilanda syok.

Wow, ini benar-benar seperti drama.” 





***





Naeun menceramahi Yoon Bomi malam itu. Meskipun tidak tahu jalan keluar dari situasi rancu Bomi, tetapi ia cukup yakin pada satu hal: bahwa perasaan Bomi masih terombang-ambing. Gadis itu tidak tahu apakah ia harus melepaskan atau malah menggenggam erat tangan Luhan, setelah menguak masa lalu kelamnya.

“Dengar, aku tidak tahu banyak tentang kalian. Dan apa yang ingin kau lakukan setelah ini berada di luar kendaliku. Tapi kau perlu tahu kalau aku adalah sahabatmu. Sebagai sahabat, aku ingin kau bahagia, sungguh.”

Sepasang manik hitam Naeun menatap lekat milik Bomi. Kedua tangan mencengkeram bahu sang penulis. Mereka duduk bersila, saling berhadapan di atas kasur Neun. Masing-masing telah mengenakan pakaian santai, bersiap pergi tidur.

“Dan menurutmu, apa yang harus kulakukan?” nada Yoon Bomi terdengar datar. Seolah enggan berdebat. Ia menghela napas dalam, mendongak, “Katakan padaku, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kukatakan padanya kalau bertemu nanti?”

Merespon bantaian pertanyaan sarat frustasi sahabatnya, Naeun memasang senyum tipis. Ia memang bukan seorang pakar percintaan. Tetapi jiwa romannya lebih menonjol dibandingkan Bomi. Naeun tak buta sepenuhnya mengenai masalah seperti ini.

“Dari apa yang baru kudengar, kurasa kau tidak 100 persen yakin dengan perasaanmu. Kalau kau benar-benar menyukai seseorang, kau tidak akan membiarkan orang itu pergi. Luka masa lalu memang menyakitkan. Tapi kita tidak harus terperangkap di sana untuk selamanya, kan? Terserah padamu. Kau ingin membantu luhan atau tidak.”

Bomi terdiam. Otaknya sibuk mencerna saran sang model, kalimat demi kalimat. Setelah jeda beberapa detik, Naeun menambahkan, “Tetapi yang terpenting adalah mengikuti kata hatimu. Karena jika tidak, kau akan dihantui penyesalan. Selamanya.” Kata terakhir diberinya penekanan lebih.




***






Keesokan harinya –setelah tarik ulur dan berdebat mengenai ini-itu- usaha Son Naeun merayu sang penulis muda untuk menemaninya mengunjungi museum louvre –rencana kemarin yang tertunda-menuai kesuksesan. Yoon Bomi terpaksa berhenti meringkuk dibalik selimut, bergulat dalam kesedihan, demi mengapresiasi keindahan berbagai barang antik.

Mereka tiba di Rive Droite Seine sekitar pukul 1PM, ketika terik matahari menyengat tanpa ampun. Tetapi suhu dalam museum jauh lebih rendah, karena terdapat pendingin ruangan. Naeun dan Bomi tercengang menyaksikan tiap benda pajangan, terkagum oleh sisi artistik tiap lukisan, artefak, dan karya seni bernilai tinggi lainnya.

“Aku ingin pergi ke toilet sebentar. Tunggu disini, oke?” pamit Naeun tiba-tiba, yang ditanggapi sang penulis dengan anggukan singkat. Segera setelah wujud Naeun menghilang seutuhnya, fokus Bomi jatuh pada sebuah lukisan bersejarah, buah tangan Leonardo Da Vinci.

Lukisan Monalisa.

Senyum wanita itu memang misterius, lekuk bibirnya tampak abstrak hingga kau tak mampu menerka apakah ia sedang bahagia atau malah sebaliknya. Bomi melipat tangan di depan dada, menatap lekat lukisan tersebut. Tetapi konsentrasinya buyar ketika sebuah suara memasuki gendang telinga. Suara familiar. Suara lelaki. Suara yang teramat ia benci saat ini.

Suara Luhan.

“Ada yang bilang Monalisa tersenyum karena anaknya mau melukisnya. Monalisa adalah ibu dari Leonardo Da Vinci.” Ujar sang komposer, sembari mengambil tempat di samping Bomi.

Kedua pasang manik hitam terpaku pada lukisan. Berlagak seakan tengah berjuang memecahkan kode penting. Meski jelas pikiran mereka tertuju pada hal lain. Bomi membeku di tempat, telapak tangan mencengkeram erat pinggiran rok. Sementara Luhan tersenyum kecut, kembali membuka suara, “Ada juga yang bilang kalau Monalisa tersenyum karena dia akan diberi the sancy diamond sebagai bayaran.” Dikedikannya bahu, “Sampai sekarang, tidak ada yang tahu alasan sebenarnya.”

Bomi bergeming. Penjelasan Luhan dianggapnya angin lalu. Sama sekali ia tak peduli mengenai sejarah lukisan tersebut. Sebab amarah beradu kesedihan telah mengambil alih dirinya. Beberapa menit berlalu diiringi kesunyian. Hingga Bomi tak kuasa mencurahkan emosi. Ia menghembuskan napas –keras- lalu berbalik mengahadap Luhan, “Sebenarnya apa yang kau lakukan disini?”

Nada Bomi terdengar luar biasa tajam, dingin, menusuk. Seolah keberadaan Luhan sendiri merupakan gangguan besar bagi Bomi. Well, mungkin memang benar.

“Bukankah ini tempat umum? Aku juga berhak berada disini. Kenapa? Tidak boleh?” balas Luhan, telak. Bomi pun kehabisan kata-kata. 

"Terserah kau saja."

Tetapi, bagaimanapun juga, ia belum siap melihat lelaki ini. Bagaimanapun juga, tujuannya kemari untuk refreshing, menyegarkan hati. Dan bertemu Luhan disini adalah hal terakhir yang ia harapkan.

Maka, tanpa membuang waktu lebih lama, ia segera memutar tubuh membelakangi Luhan. Dilajukannya langkah-langkah panjang nan berat demi meninggalkan pria itu. Ia tidak tahu kemana ia hendak melangkah. Bahkan tak lagi peduli jika ia tersesat atau Naeun kebingungan mencarinya. Yang jelas, ia belum siap menghadapi Lu Han.

Buliran bening meluncur mulus tanpa komando, mencetak aliran sungai kecil pada pipi pucat Yoon Bomi.

.

.

.

TBC

2 komentar:

  1. hai, aku reader baru disini. Valen imnida~
    Aku baca Like A fairytale dari awal sampai part ini *elap keringet* tapi bagus thor, feelingnya kerasa gimana gitu~
    Lanjut deh ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh yes, welcome valen ^^
      Wah, ciyus nih? MAKASIH YA.
      btw, ini udah saya tamatin. ^^

      Hapus