ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Rabu, 01 April 2015

Like A Fairytale [Chapter 11- Our Rainbow / END]



Like A Fairytale [Chapter 11 / END]

by  Stephcecil
Main Cast : Yoon Bomi & Xi Luhan
Lenght : Chaptered || Genre : Romance, fluff, Angst, Friendship || Rating : PG-17
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based of my imagination.
Summary : Yoon Bomi adalah sang penulis muda yang tidak lagi peduli pada cinta. Hingga ia melakukan perjalanan ke Paris dan bertemu seseorang disana. Ia berpikir segalanya akan berjalan sempurna. Namun tidak lagi ketika Bomi menemukan sebuah fakta mematikan.






***



“Sebenarnya apa yang tadi kau pikirkan, huh?”

Kekesalan sedikit tersirat melalui nada bicara Naeun. Bagaimana tidak? Belum genap satu jam mereka mengobservasi museum louvre, sahabatnya sudah merengek –dengan berlinang air mata menantinya di depan toilet wanita- agar mereka kembali ke hotel, secepatnya. Naeun tak sampai hati melihat keadaan Bomi, maka ia mengiyakan dengan sejuta tanda tanya.

Dan kini, di dalam taksi, Naeun berharap jika Bomi dapat memuaskan rasa penasarannya. Bibir sang penulis terkatup rapat. Kepalanya menghadap pada jendela taksi, berpura-pura menikmati pemandangan jalanan Paris. Ia tidak lagi terisak heboh, melainkan buliran kristal bening meluncur tanpa suara.

Yah, ceritakan padaku. Sebenarnya apa yang kulewatkan saat aku ke toilet tadi?” kali ini Son Naeun sedikit frustasi. Ia mendesah keras sebelum menambahkan, “Oh seriously, Yoon Bomi. Aku benci melihatmu seperti ini. Tapi aku lebih benci karena aku tidak bisa berbuat apapun untuk membantumu, karena aku tidak tahu apa-apa.” Kalimat terakhir diucapkannya lirih.

Keheningan menyelimuti beberapa menit selanjutnya. Derum kendaraan, bunyi AC dan klakson mendominasi. Tetapi tak lama hingga suara serak Yoon Bomi membelah sunyi, “Kapan pekerjaanmu disini selesai?”

“Eh, maksudmu?”

Pun sang penulis menoleh, memberanikan diri membuat kontak mata dengan Naeun, sedangkan sahabatnya itu cukup terkejut mendapati betapa bengkak mata Bomi. Tetapi hatinya terlalu sakit untuk peduli. Maka, intonasi dingin adalah responnya.

“Kapan pekerjaanmu di Paris selesai? Ini hampir dua minggu, kau tahu?”

Emm..ada photoshot besok pagi, yang secara teknis menjadi jadwal terakhirku disini.”

Bomi mengangguk mengerti, lalu kembali memalingkan wajah –menghadap jendela. “Kalau begitu, ayo kita pulang ke Korea, lusa.”

Kedua manik hitam Naeun membulat sempurna. Terkejut. Tak percaya akan perkataan yang baru terlontar dari mulut seorang Yoon Bomi. Bahkan, dia sempat meragukan validitas indra pendengarannya sendiri.

“Tung-tunggu.” Sebelah tangan terangkat di depan dada, “Apa yang baru kau katakan? Kembali ke Korea, lusa? Kau bercanda, kan?”

“Aku tidak sedang bercanda.”

Terdapat determinasi dalam nada Bomi. Karena walau ingin menjelajahi kota Paris lebih lama lagi, ia tidak sanggup. Ia tidak sanggup menanggung tekanan dan beban yang dijatuhkan pada pundaknya, setiap kali mereka bertatap muka. Lagipula, ia tidak ingin menguji sampai mana batas kesabaran sang editor, berhubung Bomi belum mengirimkan karya apapun. Dan di Paris –dengan suasana hati sekaligus pikiran rancu- mustahil baginya untuk menulis sesuatu. Sebab hanya wajah orang itulah yang selalu terbayang, mengoyak konsentrasi Bomi.

Ia harus kembali ke Korea.

“Tapi kenapa? Kenapa kau ingin cepat pulang? Hey, kita bahk-“ dahi Naeun berkerut heran. Memang, beberapa hipotesa telah tercetak dalam otak. Namun, dia belum begitu yakin.

“Luhan.”

Mendengar satu nama itu, kesadaran menghantam ulu hati Son Naeun. Ia mendesis, merutuki diri karena menjadi orang yang kurang sensitif. Tentu saja. Apalagi yang mampu membuat Yoon Bomi bersikap begini? Tentu perasaan gadis itu terkoyak habis.

Bomi menggigit bibir bawahnya, kuat. Buliran bening kembali meluncur deras, mencetak aliran sungai kecil. Ia terisak pelan, “Aku tidak ingin melihatnya.” Digelengkannya kepala keras-keras, sembari telapak tangan terkepal erat, “Entah sejak kapan, atau bagaimana mulanya. Tapi kurasa aku sudah terlalu percaya dan menyukai orang itu. Kemiripannya dengan Xiao Lu, sikapnya, senyumnya.” Bomi mengambil jeda, menghela napas, “Aku mencintainya, Eun. Aku sangat mencintainya.”

Son Naeun tercengang. Kehabisan kata-kata. Otak sang model terlampau sibuk mencerna situasi. Bagaimana tidak? Seorang Yoon Bomi yang masa bodoh akan cinta. Seorang Yoon Bomi dengan sikap periang dan senyum terpajang. Seorang Yoon Bomi dengan hati sekebal tembok baja, kini jatuh dalam lubang hitam, menyesakkan, bernama Cinta.

Dia tidak ingin bersikap sok dan memberi ceramah versi lain tentang asmara. Karena jujur, dia tidak pernah mengalami apa yang Bomi alami saat ini. Karena itu, dia memilih memberi Bomi sebuah pelukan hangat seorang sahabat. Karena sebuah pelukan sanggup mewakili seribu kata. Karena itulah tugas sahabat.

Okay… I got it, best. Ayo kita pulang besok lusa.” Lirih Naeun, tersenyum miris. Indra penglihatannya sendiri mulai terasa basah. Namun ia berjuang agar tetesan bening tak meluncur turun. Sebab Bomi butuh pegangan, sebab Naeun –sebagai pegangan itu- haruslah kuat.




***




Hey, dude!”

Suara tenor itu sukses membuat Luhan terkejut. Ia menoleh secepat kilat, hanya demi mendapati sosok Woohyun –berdiri di belakang kursinya. Sontak, Luhan mengelus dada sembari bernapas lega, jantungnya nyaris meloncat dari tempat semula, “Yah, kau mengagetkanku!” protes sang komposer.

Woohyun merespon dengan cengiran lebar, kemudian mendaratkan pantat di kursi seberang Luhan –meja sebagai pemisah. Mereka sedang berada di sebuah kedai kopi dekat apartemen Woohyun. Hawa sejuk pendingin ruangan mendominasi. Percakapan ringan bahasa Perancis serta denting sendok-garpu menjadi latar belakang. Terdapat dua cangkir Americano di atas meja, dengan asap mengepul sebagai tanda tingginya temperatur cairan tersebut.

Ckckck, siapa suruh kau melamun? Hati-hati, ini sudah malam. Kau bisa kerasukan.” Cibir Woohyun, mendecakkan lidah. Kedua tangan bersedekap, sedangkan kaki disilangkan layaknya pemilik kepribadian bossy.

Luhan mendesah pelan. Diusapnya wajah menggunakan telapak tangan. “Aku tidak sedang dalam suasana hati untuk bercanda. Jadi tolong jangan memancingku.” Kemudian disandarkannya punggung pada sandaran kursi, “Oh Tuhan, ini membuatku frustasi.” Dan kali ini, ia mengacak rambut, mendramatisir.

“Sebenarnya kau ini kenapa?”

Kalimat bertanda tanya Woohyun tak langsung mendapat jawaban. Sang komposer mendesah sekali lagi, mencondongkan tubuh, dan bertopang dagu. Ia menatap Woohyun dengan pandangan lelah. Seakan beban dunia dilimpahkan padanya. “Kau sungguh ingin tahu?”

Woohyun menangkap sedikit sarkasme dalam nada Luhan. Tetapi ia memilih bersikap acuh. Sebaliknya, dia memutar bola mata, memasang tampang –pura-pura- kesal, “ Sebaiknya katakan padaku sebelum aku membayar detektif swasta untuk menyelidikimu.”

“Kubilang jangan bercanda.” Luhan mendengus menahan tawa. Kesuraman yang tadi begitu kental mendominasi sedikit memudar. Tak urung seulas senyum tipis menghiasi wajah. Sementara Woohyun hanya balas tersenyum, lalu memasang tampang serius –beberapa menit kemudian, “ Okay, Jadi cepat katakan padaku apa yang terjadi denganmu.” Ia memberi jeda sebelum menambahkan, “Aku serius, Lu Han.”

Pun ketegangan muncul, menggantung di udara. Ekspresi Luhan semakin keruh. Bibirnya membentuk garis tipis, rahangnya mengeras, dan berkali-kali menelan ludah. Seolah hendak mengatakan hal tabu. Detik-detik terbunuh oleh kesunyian semu, hingga suara bariton membelahnya, “Kau ingat Yoon Mi?”



***




"Ni Hao! Wo Jiao Yoon Bomi. (Perkenalkan, namaku Yoon Bomi.)"

Sesosok gadis kecil itu berkata dalam bahasa mandarin -yang terdengar canggung- sembari mengulurkan tangannya. Rambut panjangnya terkuncir rapi, dicepol dua. Dia adalah buah hati penghuni rumah sebelah, keluarga Yoon. 

Luhan kecil tersenyum riang menyambut uluran tangan Bomi. Tadinya, dia sudah kesal karena mama dan papa memaksanya pindah dari Cina ke Korea, ke tempat yang sama sekali asing baginya. Ia tidak ingin meninggalkan teman-temannya di Shanghai, tapi apa boleh buat? Lagipula, gadis ini terlihat cukup baik untuk jadi teman bermainnya.

"Wo Jiao Lu Han. Wo Xing Xiao Luhan."

"Xiao Luhan?"

Luhan kecil mengangguk mantap. Sementara Bomi tertawa lepas. Nama Xiao Luhan terdengar asing namun menarik di telinganya. Maka, dia memutuskan untuk memakai 'nama panggilan' juga. Ia tersenyum lebar, menggoyangkan tautan tangan mereka, "Wo Xing Yoon Mi."




***

 


Woohyun mengangguk. Dalam benaknya, terbayang gadis manis, teman masa kecil Luhan di Korea dulu. Meski tak memiliki kesempatan berjumpa secara langsung, namun Woohyun memiliki gambaran cukup jelas mengenai sifat dan penampilan gadis itu. Berhubung Luhan sangat sering menceritakannya.

“Aku bertemu dengannya lagi. Dia sudah dewasa sekarang. Dia sangat… cantik.”

Sang fotografer dilanda keterkejutan. Bagaimana mungkin Luhan tidak pernah membagi informasi sepenting ini padanya? Dan sebelum Woohyun sempat mengajukan protes, Luhan kembali berkata, “Dia bilang dia memiliki perasaan padaku.”

“Perasaan macam apa?”

“Dia menyukaiku. Dia bilang dia menyukaiku.”

Gelombang emosi membuat suara Luhan bergetar hebat, meski ia berjuang keras demi menutupinya. Senyum miris tersungging menghiasi wajah. Dalam hati, ia sibuk merutuki nasib. Merutuki jalan takdir kehidupannya. Merutuki betapa payah mentalnya sebagai seorang pria.

Karena dia tidak berani mengambil resiko untuk tersakiti, sekali lagi.

“Apa?!” Woohyun berteriak cukup kencang, terlampau syok. Tetapi bergegas menutup mulut saat menyadari pandangan terganggu para tamu. Kedua alisnya terangkat, “Dia menyukaimu? Bukankah kalian tidak lagi berhubungan selama bertahun-tahun?” sebenarnya lebih banyak tanda tanya terpendam dalam benak kawan lama Luhan, tetapi dua pertanyaan inilah yang meluncur lebih dulu.

“Coba tebak siapa Yoon Mi.” tantang Luhan, yang disambut gerutuan kesal Woohyun. Dan sekaranglah gilirannya mengacak rambut, penasaran berbaur kesal karena tak kunjung mendapat jawaban. Setelah diam dan berpikir selama beberapa menit, dia memutuskan untuk menyerah.

“Aku tidak tahu.”

Respon Woohyun membuat senyum miris sang penulis terkembang semakin lebar. Begitu pula dengan binar kepedihan dalam sepasang manik kecoklatannya, menonjol. Ia pun mendengus sebelum berucap, “Yoon Bomi.” lalu diulangnya sekali lagi, menggunakan penekanan lebih, “Yoon Bomi adalah Yoon Mi.”

Ya. Karena sewaktu kecil mereka memanggil satu sama lain menggunakan nama panggilan. Nama asli pun terlantarkan. Bagi sosok kanak-kanak mereka, nama bukanlah hal penting.




***







“Kau sangat photogenic, Eun.”

Son Naeun tertawa kecil sebagai respon atas pujian Woohyun. Hari ini adalah hari dimana pemotretan –seklaigus jadwal terakhirnya di paris- berlangsung. Dan sungguh kebetulan, sang fotografer bernama Nam Woohyun. Dunia memang sempit, batin Naeun.

Sesi pemotretan baru saja berakhir, dan mereka tengah mengambil langkah-langkah santai menyusuri hallway luas studio. Gedung itu cukup besar untuk sebuah studio. Kesan mewah tampak menonjol, terpancar melalui setiap furnitur.

Naeun mengibaskan sebelah tangan, “Ah tidak. Aku hanya melakukan pekerjaanku.” Ia tersenyum anggun, sesuai dengan imagenya sebagai gadis feminin.

Woohyun terkekeh kecil, menyaksikan sikap rendah hati Naeun, “Apa rencanamu setelah ini? Ada pekerjaaan lain? Atau kau ingin berjalan-jalan? Aku bisa menemanimu kalau kau mau.” Tawarnya.

Jangan salah paham. Pria itu telah mengetahui fakta jika Naeun memiliki kekasih, Lee Taemin. Dan dia tidak berintuisi untuk menyeberangi garis pertemanan. Dia sekedar mengajukan ajakan sebagai seorang teman. Meski seorang cassanova, Woohyun masih tahu batas. Lagipula, dia sudah merasa dekat dengan Naeun, mengesampingkan realita jika belum genap sebulan sejak pertemuan pertama mereka.

“Sejujurnya, ini adalah pekerjaan terakhirku di Paris.”

Mendengar pengakuan sang model, Woohyun menghentikan gerak kakinya. Dia menoleh secepat kilat. Kerutan terlukis jelas pada dahi. “Apa kau bilang?” dia bertanya, sarat ketidaksetujuan.

“Aku tidak memiliki jadwal lain disini. Kami berencana pulang besok.” Ia mengedikkan bahu. Lalu, seolah teringat sesuatu, ia bergegas menambahkan, “Jangan beritahu Lu Han tentang ini. Aku tidak bisa menceritakan alasanku padamu. Tapi kum-“

“Ini soal Bomi, kan?” potong Woohyun.

Penyandang marga Son itu tidak langsung menjawab. Pada awalnya, ia sedikit bingung karena tebakan Woohyun tepat sasaran. Tetapi, seiring dengan kinerja otak, ia berasumsi bahwa Luhanlah yang menjadi dalang. Ya. Pasti Luhan telah menceritakan segalanya pada Woohyun.

Tentang penolakan Luhan terhadap perasaan Bomi.

“Jadi, kau sudah tahu semuanya?”

Woohyun mengangguk.

“Kalau begitu, tidak ada yang perlu ditutupi. Well, yeah, ini karena Bomi. Dia sakit hati. Dia tidak ingin melihat Luhan. Dan atas dasar itulah, dia memohon padaku untuk segera pulang ke Korea. Sebagai sahabat, aku tidak sanggup menolak.”




***




Detak jam mengisi kesunyian. Ruang berukuran 5x4 meter itu didominasi biru laut, memberi kesan menenangkan. Furnitur-furnitur mahal diletakkan di penjuru suite. Sementara sang penghuni sibuk bergelung dengan selimut tebal. Kelopak matanya mulai terasa berat ketika jarum jam menunjukkan pukul 11.30 PM. Tetapi meski begitu, ia tidak mampu terjun ke alam mimpi. Karena ada banyak hal yang berenang-renang dalam pikiran Luhan, berebut menjadi fokus utama.

Tentang perasaan gadis itu. Tentang masa lalu mereka. Tentang masa lalunya sendiri. Dan terlebih, tentang perasaan Luhan terhadap gadis itu.

“Call me baby, Call me baby~”

Lagaknya ogah-ogahan ketika mengambil ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Sembari menggerutu malas, ia membuka sebuah pesan singkat –yang baru masuk- dengan nama Nam Woohyun sebagai pengirim. Ia hendak mencaci maki sang kawan lama karena menganggu istirahat malamnya. Tetapi niat tersebut luntur begitu manik hitam Luhan bergerak ke kanan-kiri, membaca sekaligus mencerna deretan kalimat yang tertera pada layar ponsel.

From: Woohyun.

Hey, maaf mengganggumu malam-malam. Well, Naeun melarangku mengatakannya padamu, tapi kurasa kau harus tahu ini. Yeah, mereka (Naeun dan Bomi) akan pulang ke Korea besok. Jadi, kupikir kau bisa melakukan ‘sesuatu’ sebelum kau menyesal. You know what dude? Aku tidak pernah melihatmu tertarik pada gadis manapun selain Seohyun, dan sekarang, Bomi. Nilai plus? Dia adalah Yoon Mi! Okay, whatever, the choice is yours!

Beberapa detik berikutnya, Luhan membeku di tempat. Mungkin dia tampak konyol –ponsel tergenggam erat, pandangan kosong, mulut terbuka lebar mirip ikan koi- tapi terlampau tenggelam dalam pemikirannya sendiri untuk peduli.

Sungguh, Luhan sendiri tidak menyangka bahwa beginilah reaksinya. Bahwa hatinya mencelos seketika, saat mengetahui jika Bomi tidak akan berada di satu negara dengannya lagi. Bahwa ia tidak mampu melihat wajah cantiknya setiap pagi. Bahwa ia tidak mampu melihatnya makan seperti babi, atau mabuk dan bertingkah konyol, tak terduga.

Dia akan berbohong jika mengatakan ia tidak memiliki perasaan apapun pada gadis itu. Sebab jantungnya kembali bergetar karena Bomi. Sebab ia kembali merasakan benih-benih cinta, karena Bomi. Tetapi, ia tidak yakin bila membiarkan perasaannya berlarut-larut merupakan pilihan tepat.

Luhan takut kejadian masa lalu terulang.

Luhan takut hatinya terluka.

Luhan takut Bomi terluka.

Namun, terdapat segelintir keinginan untuk melewati garis batas kenyamanannya. Seperti yang tertulis di pesan Woohyun, ia tidak ingin menyesal. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan, hanya demi diliputi penyesalan seumur hidup. Kita tidak akan pernah tahu sebuah hasil, jika tidak berani mencoba, bukan?





***





Pagi ini adalah pagi dimana ia akan meninggalkan ibukota Perancis, Paris. Sejujurnya, masih banyak tempat yang ingin sang penulis kunjungi. Masih banyak restoran dan makanan enak yang ingin ia santap. Ada setumpuk hal yang ingin ia lakukan.

Tetapi keputusan sudah dibuat. Dan ia tidak ingin melangkah mundur.

“Bomi-ya?”

Bomi mendongak, menjumpai Naeun yang berdiri satu meter di hadapannya -di area lobi. Entah Bomi yang berjalan terlalu lambat, atau Naeun yang terlalu cepat -tampaknya probabilitas pertama lebih besar, karena benak Bomi melalang buana saat mereka berjalan bersama tadi- Gadis itu memasang senyum tipis, kemudian berjalan cepat menyusul Naeun.

“Kau lambat sekali.” Desis Naeun begitu Bomi berada di sampingnya.

“Kau cerewet sekali.”

Kini, mereka telah tiba di halaman depan hotel, menanti taksi yang akan membawa sepasang sahabat tersebut menuju bandara. Keberangkatan pesawat Paris-Korea sekitar 40 menit lagi, jadi tersisa cukup banyak waktu. Mereka tidak perlu terburu-buru seperti kali terakhir –penerbangan korea-Paris.

Yoon Bomi mendengus pelan. Terbayang di kepalanya saat ia terlambat bangun dan nyaris ketinggalan pesawat pada penerbangan sebelumnya. Saat bangkunya dan Naeun bersebelahan dengan Luhan. Saat ia dan Luhan bertemu di hotel yang sama pula. Dan saat takdir memutuskan untuk bermain-main dengan perasaan sekaligus masa lalu mereka.

Ditolehkannya kepala, demi mengamati bangunan mewah tempatnya bernaung selama –hampir- dua minggu. Libertel’s hotel. Mungkin, ini merupakan kunjungan terakhirnya kemari, atau mungkin juga tidak. Yang jelas, terdapat banyak kenangan terukir disini.

“One suite room, please.” Ujar Yoon Bomi pada resepsionis, yang kemudian mengangguk mengerti. Ketika petugas itu sibuk mengetik sesuatu di komputernya, Lu Han beranjak berdiri di samping Bomi.
“Hai, kita bertemu lagi?” sapa Luhan canggung, membuat Bomi menoleh terkejut. Kedua alisnya saling bertaut heran. Sedangkan Naeun memasang tampang polos. Well, wajar sebenarnya. Sebab dalam kasus ini, ia memang tak tahu apa-apa.



“Ouh yeah.. terimakasih untuk semua itu. Dan.. maaf merepotkanmu.” Kepala Bomi tertunduk malu. Sedangkan Luhan berjuang keras agar tak larut dalam gelak tawa. Sebaliknya, kini cengiran lebar menghiasi wajahnya, “Bagaimana dengan bayaranku?”

“EH?” Bomi terkejut. Ia bergegas mendongak, matanya membulat sempurna. Ap-apa yang baru dia katakan? Bayaran? Uang? Atau jangan-jangan.. sebuah pemikiran negatif mendadak muncul. Sontak gadis itu mundur satu langkah. “Ap-apa maksudmu, huh?” ujarnya terbata.



“Xiao…. !”
Luhan mendekatkan diri menuju pinggiran kolam renang. Berniat mendengar suara itu secara lebih jelas. Karena –siapapun itu- sang pemilik suara tampak kesulitan beteriak. Tetapi, ia sempat menyaksikan sebuah kepala –juga wajah- menyembul dari dalam air. Familiar. Sangat familiar.

Butuh beberapa detik bagi otak Luhan untuk mencerna identitas sang pemilik wajah, yaitu Yoon Bomi.

Heol. Bomi? Bo…mi?

“Xao..LU!”

Mendengar panggilan itu, sontak Manik hitam Luhan membulat sempurna. Sekujur tubuhnya menegang. Bahkan, Luhan merasa terdapat aliran listrik mengalir di tulang belakang. Terkejut. Syok. Panik. Segalanya berbaur menyatu. Dan Luhan melakukan satu-satunya hal yang melintas di otak.

Tanpa berpikir dua kali, ia terjun ke dalam kolam renang.




Kenangan demi kenangan mendadak terputar dalam otak. Membuat dada Bomi terasa sesak, dan bendungan air mata hendak melesak keluar, yang bergegas disekanya menggunakan punggung tangan. Tidak. Ia tidak boleh menangis. Ia tidak akan bersikap lemah. Lagipula, mereka akan bertemu lagi di Korea, kan? Meski Bomi berencana tinggal di apartemen Naeun untuk sementara waktu –apartemen baru Luhan bersebelahan dengan apartemen Bomi- hingga hatinya siap.

Tinnn.. Tinnn!

Bunyi klakson taksi sukses menjadikan Bomi terperanjat. Namun secepat kilat ia menguasai diri, menghela napas dalam, dan bertukar pandang dengan Naeun. Seolah bertelepati melalui tatapan mata, bahwa ia siap meninggalkan kota Paris.

Pun Naeun mengangguk paham, tersenyum tipis. Naeun –yang lumayan fasih berbahasa Perancis, menjelaskan pada supir mengenai tujuan mereka. Lalu mereka duduk di bangku penumpang, sementara supir itu sibuk meletakkan koper-koper ke dalam bagasi.

Beberapa menit berselang, hingga semuanya dalam kondisi final. Koper-koper tersusun rapi di bagasi. Supir taksi siap di balik kemudi. Naeun dan Bomi duduk manis di bangku belakang. Tak lama kemudian, deru halus mesin menyusup indra pendengaran. Menandakan jika kendaraan siap melaju.

Tetapi, Tuhan memiliki rencana lain.

Sebab pada momen itu, Lu Han memilih untuk mengesampingkan rasa takutnya, jiwa pengecutnya. Memilih untuk menghadapi fakta bahwa dia menyukai Bomi. Tidak, lebih tepatnya, ia mencintai sang penulis.

CKLEK!

Luhan mengerahkan tenaga cukup besar ketika membuka pintu belakang taksi. Kemudian, tanpa menghiraukan raut heran sang gadis, ia menarik tangan Bomi, menyeretnya paksa hingga keluar dari dalam kendaraan. Napas komposer tersebut sedikit terengah, karena dia baru saja marathon -start dari suite room dan finish di hati Yoon Bomi. (Okay, I’m so cheesy. You may kill me, reader.)

“Yo-yoon Bomi”

Susah payah Luhan mengeluarkan suara. Bukan saja karena napasnya tinggal satu-satu. Namun karena jantungnya bertalu-talu, abnormal. Dan karena ia tenggelam dalam sepasang manik hitam Yoon Bomi, tersedot oleh pesona sang gadis. Darahnya berdesir abnormal.

Bomi terlalu tercengang untuk membuka mulut.

“Jangan pergi sebelum aku mengatakan sesuatu padamu.” Perintah Luhan, tegas. Ia mengambil satu tarikan napas dalam, sebelum melanjutkan. “Aku tahu mungkin ini terdengar seperti omong kosong. Hell yeah, kau mungkin tidak akan percaya padaku. Tapi kumohon, dengarkan aku.” Suara Luhan terdengar memelas, begitu pula tatapannya.

Sebuah anggukan ragu menjadi respon Bomi.

Luhan meneguk ludah. “Pertama-tama, aku adalah seorang pengecut. Aku menolakmu bukan karena aku tidak menyukaimu. Aku terlalu takut untuk menjalin sebuah hubungan lagi. Aku takut kejadian masa lalu kembali terulang.” Ia menggeleng, “Tapi aku lebih takut jika aku menyesal, karena aku melepaskanmu.”

Bomi berkedip. Ia tak percaya jika adegan klise –yang kerap muncul di novel atau sinetron romantis- terjadi padanya, di depan matanya sendiri. Dan yang lebih menggelikan bagi Bomi, ia merasa waktu berhenti berdetak.

“Kedua, jauh sebelum aku jatuh cinta pada Seohyun, aku telah jatuh padamu terlebih dahulu.” Ia memberi jeda, sedangkan Bomi sibuk mencerna kalimat Luhan. Bagaimana mungkin Luhan menyukainya lebih dulu? Mereka baru bertemu 2 bulan belakangan, kan?

Luhan melanjutkan, “Sebenarnya, aku jatuh cinta pada Yoon Mi. Sebut saja itu cinta monyet. Tapi kurasa, perasaanku tetap sama hingga kini. Karena kau membuat hatiku berdebar untuk cinta, Yoon Bomi.” Luhan menatap langsung manik hitam Bomi. Tidak ada lagi keraguan tersirat melalui nadanya. Getaran bimbang pada suaranya menguap habis.

Dia telah menetapkan pilihan.

Seketika kedua tungkai Bomi terasa seperti bola kapas. Raganya lemas. Ada banyak hal, kata, sekaligus pikiran terlintas dalam benak, telah menunggu di ujung lidah untuk terlontar. Namun indra pengecapnya kelu. Satu fakta membutakan diri Bomi, bahwa Luhan adalah Xiao Lu. Bahwa tetangganya, si bocah lelaki tengil itu telah bertransformasi menjadi pria dewasa dengan wajah tampan dan senyum peluruh hati puluhan wanita.

“Yang ketiga, aku ingin menanyakan satu hal padamu.”

Bomi disibukkan oleh bendungan yang terbentuk menutupi lensa mata. Tenggorokannnya tercekat, seakan terdapat gumpalan menyumbat.

“Maukah kau menjadi kekasihku?”

Inilah saatnya, salah satu momen terindah dalam hidup Yoon Bomi.

Didominasi oleh kebahagiaan semu, gadis itu lepas kendali. Bendungan tadi tumpah ruah membanjiri pipi. Jantungnya tak lagi berdebar abnormal, tetapi serasa berhenti berdetak. Dan tanpa disadari, semenjak Luhan menyebutkan hal pertama, seulas senyum lebar terkembang menghiasi wajahnya.

“Aku bukan pria romantis. Aku tidak yakin dapat membuatmu bahagia. Bahkan, aku nyaris melepasmu pergi. Aku suka bertindak egois. Tapi-“ jeda lima detik sebelum menambahkan, “Tapi jika aku sudah menetapkan hatiku untuk satu wanita, aku tidak akan berpaling. Aku mungkin tidak dapat membuatmu tersenyum atau bahagia setiap waktu. Tapi, aku akan berjuang semampuku agar kau tidak menangis karenaku. Aku sang-“

Bomi mengakhiri perkataan panjang lebar Luhan dengan menutup mulutnya, menggunakan bibirnya sendiri. Ciuman itu berlangsung panjang, lembut, sekaligus penuh perasaan. Waktu berhenti melaju, bahkan dunia seolah berhenti berputar untuk mereka. Karena cinta berada di atas segalanya. Cinta merupakan hadiah terindah dari Sang Kuasa. Cinta ada dan tercipta untuk memberi pelangi dalam hidup manusia.

Bagi Luhan, pelangi itu muncul setelah badai dahsyat. Bagi Bomi, kau butuh musim kemarau berkepanjangan hingga muncul hujan penyejuk dan pelangi. Dan bagi kedua insan tersebut, kejujuran adalah hal terpenting jika kau ingin meraih kebahagiaan. Terlebih kejujuran pada perasaanmu sendiri.

Mereka saling menatap, larut dalam pesona satu sama lain. Kebahagiaan terukir jelas melalui ekspresi wajah masing-masing. Bahkan, Luhan tidak membutuhkan respon verbal untuk mengetahui tanggapan atas pengakuannya tadi. Tentu saja, itu jawaban positif. Dia dapat menyelidikinya dalam manik hitam Yoon Bomi.

Suasana sekaligus atmosfir begitu damai bagi mereka, hingga suara Naeun menghancurkan momen romantis tersebut.

YAH! Bisakah kalian berhenti? Ini bukan telenovela! Euhh, menjijikan.” Keluh Naeun. Namun disamping ucapan pedasnya, dia tampak bahagia. Seulas senyum tersungging. Dia gembira karena Bomi gembira. Bukankah itu makna persahabatan?

Baik Bomi maupun Luhan hanya tertawa kecil.

Mulai detik ini, mereka ingin hidup bahagia. Just... Like A Fairytale.

==========================================================================================================================================================





A/N: AKHIRNYA FINISH JUGA /BANTING LAPTOP/
okesip, ada banyak yang mau saya sampaikan, tapi dipersingkat saja ya.
1. original plotnya, LAF masih PANJANG. Tapi berhubung reaksi reader kurang.. em.. gitu deh sama LAF, jadi ya saya potong sampe chapter ini. Plot twist. Harusnya Bomi sakit kanker pankreas (dia sering sakit perut, kan?) tapi batal saya bunuh (?) gegara banyak ide di kepala, dan kepala saya gak cukup nampungnya/?
2. THANK YOU SO SO SO MUCH buat yang udah baca, apalagi ngikutin dari awal <3 <3
3. Setelah ini, saya bakal fokus sama EXODUS, and BLAZING star. So, Stay tuned for me?
4. I LOVE YOU GUYS. And i'm so happy cause i have finished this lovely fic.

6 komentar:

  1. Hi thorr, aku new reader! Maaf cm komen di part terakhirnya:( Bagusssss bngt ceritanyaa>< kyaaa!! Sering2 buat ff bomi yaa!! Ceritanya menghanyutkan bngt!!
    Btw aku gatau musti seneng/sedih, tp krn respon nya dikit, bomi gajadi dibunuh *yeayy* tapi endingnya jd cepet bngt;((
    Xoxoxo, semangat ya thorr!! Aku tunggu next bomi's story nyaa><

    BalasHapus
    Balasan
    1. OMG. Iya makasih banget udah mau baca, suka, dan komen <3
      Iya, ditunggu ya ^^ <3 Tetapi kayaknya masih lama sampai saya buat Bomi's story lagi wkwkwk.

      Hapus
  2. Akhirnya 11 chapter selesai dibaca. keke~
    Maaf jarang komentar, karena ribet/?
    Alurnya klise ya ._. tapi aku suka kok (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf baru sempet baca komentar ini --v
      wah makasih ya udah mau baca dan suka ^^ *deep bow*

      Hapus
  3. keren banget thorrrrr!!!<3

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyakah? makasih ya udah mau baca dan kasih komentar ^^ <3

      Hapus