ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Senin, 27 April 2015

Blazing Star [Chapter 4]



Blazing Star [Chapter 4]

by  Stephcecil
Cast : Kim Myungsoo, Son Naeun, Noh Yiyoung, Kim Taehyung / V, Lee Byunghun / L.Joe
Lenght : Chaptered || Genre : School Life, Music, Romantic, Friendship || Rating : Teen
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : " Son Naeun tersenyum tipis lalu segera memposisikan diri di balik keyboard, “Jadi, lagu apa yang harus kuaransemen lebih dulu?” "
Previous Part  : 1 || 2 || 3




***



Raut ceria milik Yiyoung merupakan hal pertama yang ia jumpai, begitu menginjakkan kaki di kelas mereka. Sahabat pirangnya itu memasang senyum berlebihan, sontak membuat dahi Naeun berkerut heran. Mencoba bersikap acuh, ia pun melajukan langkah menuju bangkunya, melempar tas ke atas meja, dan akhirnya mendaratkan pantat di kursi. Namun kembali ia dilanda penasaran, ketika Yiyoung berdiri di samping mejanya, secara tiba-tiba.

“Ada ap-“ perkataan Naeun tersendat di lidah, begitu sesuatu terlintas dalam benak. Sesuatu yang kemudian membuat ia memicingkan mata, menelengkan kepala, kemudian menatap Yiyoung dengan sedikit kesal. “Kau belum mengerjakan tugas Kim Sonsaengnim?“

Tebakan Naeun yang tepat sasaran itu direspon Yiyoung dengan anggukan mantap. Sedangkan Naeun hanya mendecakkan lidah. Ia sungguh penasaran. Bagaimana mungkin seorang pemalas seperti Noh Yiyoung selalu mendapat nilai cemerlang? Well, bukan tanpa alasan Naeun berpendapat begitu, karena tingkah Yiyoung jauh dari definisi rajin. Ia jarang mengerjakan tugas, mendengarkan penjelasan guru di kelas –dan lebih memilih tidur, apalagi belajar mandiri. Tidak. Bahkan hal yang terakhir merupakan aktivitas tabu bagi Yiyoung.

Naeun meniup poninya jengah. Sementara Yiyoung sibuk memamerkan deretan gigi putihnya, “Jadi, aku ingin meminjam milikmu. Bolehkan?“ pertanyaan yang meluncur melalui bibir Yiyoung lebih terdengar bagai kalimat retoris di telinga Naeun. Ini bukan kali pertama sang sahabat meminjam tugasnya. Dan jujur saja, Naeun sama sekali tidak keberatan. Namun tak urung ia kurang menyukai kebiasaan Yiyoung. Well, bagaimanapun juga, ia tidak tega untuk menolak.

Di sisi lain, walaupun Naeun tidak menanggapi permintaannya dengan perkataan, namun ia tahu jika Naeun tidak akan menolak. Dan dugaan Yiyoung terbukti benar, ketika Naeun membuka risleting tasnya, dan merogoh sesuatu dari sana. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Naeun untuk menemukan benda yang ia cari, karena selang beberapa detik kemudian, buku tulis bersampul biru tersebut telah berada dalam genggamannya. “Ini.. cepatlah salin seb-“

“Aku pinjam dulu ya!“

Belum sempat Naeun menyelesaikan perkataannya, dan belum sempat pula buku itu berpindah ke tangan Yiyoung, sebuah tangan lain telah menyabet barang incaran tersebut. Sontak Naeun-Yiyoung menoleh pada sang pelaku, yang kini dengan santainya menyalin tugas Kim Sonsaengnim.

Naeun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia memang belum begitu mengenal pribadi Kim Myungsoo. Namun hingga detik ini, rupanya cukup aman baginya untuk mengatakan jika Myungsoo tak jauh berbeda dengan Yiyoung. Sama-sama layak menyandang gelar ‘si cerdas pemalas’. Ia tidak ragu akan kepintaran Myungsoo, bagaimanapun juga ia merupakan anggota kelas unggulan. Namun ia ragu jika Myungsoo dapat mengalahkan L.Joe. Dalam hati, Naeun berdoa semoga Myungsoo dapat menemukan cara lain yang lebih masuk akal, untuk mengajak Joe bergabung dengan mereka.

Seraya berkacak pinggang, Yiyoung berjalan menuju bangku Myungsoo. Ekspresi kesal tampak kental mendominasi wajah Yiyoung. Jelas saja, ia yang terlebih dahulu meminjam tugas Naeun. Tapi kenapa pemuda menyebalkan ini yang menyalinnya duluan?

Yah! Aku dulu yang meminjam. Kembalikan!“ Yiyoung mencibir. Dengan intonasi tajam pula ia setengah membentak Myungsoo. Namun rupanya sang pemuda sama sekali tak mengacuhkan keberadaan Yiyoung, maupun kekesalan yang tercurah melalui perkataannya. Bahkan sekedar melirik pun tak sudi. Pandangan Myungsoo tetap terfokus pada kedua buku tugas –miliknya dan Naeun. Sementara jemari yang menggenggam pena pun menari lincah, menciptakan angka dan huruf tercetak di atas kertas putih.

“Kim Myungsoo!“

Karena merasa usahanya akan berujung pada kegagalan, ia pun tak lagi menahan diri. Dengan paksa Yiyoung mengambil kembali buku Naeun. Sontak keterkejutan berbaur tak rela mendominasi wajah Myungsoo. “Noh Yiyoung! Aku belum selesai!“

Tentu saja Yiyoung tak ambil pusing dengan seruan bernada tinggi Myungsoo. Ia tidak peduli pula jika pemuda itu kesal ataupun belum menyelesaikan tugasnya. Maka, dengan langkah tegas ia berjalan menuju bangkunya –tepat di sebelah kanan meja Myungsoo, hanya beda lajur- lalu mengerahkan ‘rutinitas’ yang telah bertransformasi menjadi keahlian Noh Yiyoung, yakni menyalin.

Berhubung bel masuk nyaris berdendang, sebagian besar murid kelas unggulan telah memasuki ruangan. Celotehan ringan dan ungkapan panik para siswa yang bernasib sama seperti Yiyoung –lupa maupun sengaja tidak mengerjakan tugas- sibuk menyalin jawaban dari teman masing-masing. Menyaksikan situasi kelas, otomatis Myungsoo dilanda panik. Ia menoleh ke arah Yiyoung, dengan harapan sang gadis blonde akan berbaik hati membagi jawaban Naeun, tetapi dia terlampau sibuk menyalin hingga tak menyadari tatapan memelas Myungsoo. Dan ketika ia hendak mengibarkan bendera putih, sebuah harapan bernama Joe mendaratkan pantat di kursi –Joe teman sebangku Myungsoo.

“Hei, kau sudah mengerjakan tugas, kan? Boleh aku meminjam milikmu?”

Kalimat bertanda tanya sekaligus sarat kepanikan milik Myungsoo hanya direspon oleh ekspresi datar lawan bicara. L.Joe memilih untuk menganggap permintaan teman sebangkunya sebagai angin lalu tanpa arti. Bahkan, penyabet gelar peringkat 1 di sekolah itu sempat memutar bola matanya, jengah, sebelum kembali duduk menghadap papan tulis.

Sedangkan Myungsoo setengah mati menahan bogem mentahnya.





***




Nada mendayu-dayu mr. Jongdae bagaikan lullaby pengantar tidur bagi seisi kelas unggulan. Berdasarkan stereotip masyarakat, definisi sejarah tak jauh dari kata membosankan. Dan hal tersebut jelas terbukti selama dua jam pelajaran pertama. Decit spidol yang membuat kontak dengan whiteboard serta penjelasan panjang lebar mr.Jongdae serasa mengundang para murid menuju alam mimpi.

Tak terkecuali bagi Noh Yiyoung, sebab kantuk jelas menyerangnya telak. Tak terhitung berapa kali ia menguap sejak guru sejarah mereka menginjakkan kaki di dalam kelas. Ia mendecakkan lidah mengapresiasi betapa rajin sahabatnya, Son Naeun, yang dengan tekun mencatat setiap penjelasan penting. Hal serupa berlaku bagi L.Joe. Pandangan pemuda itu terpaku lurus ke depan.

Sedangkan Kim Myungsoo berada di ambang rasa bosan. Semenjak dulu, ia tak pernah menaruh minat pada sejarah. Apa gunanya mempelajari masa lalu yang sudah lewat? Toh kita tidak dapat ‘mengubah’nya, begitulah pikirnya. Ia menoleh ke kanan-kiri, mencari apapun yang mampu mengusir bosan sekaligus kantuk. Wajah-wajah lelah kawan sekelas segera memasuki area visual sang siswa baru, hingga kursi kosong di belakang bangku Naeun-Yiyoung menarik perhatiannya.

Jika memorinya benar, maka sejak hari pertama ia menjadi siswa SMA Jung Sang, kursi itu tidak pernah diduduki. Properti tak terpakai seharusnya disimpan di gudang sekolah, bukannya dibiarkan saja, bukan? Jadi, seharusnya kursi itu milik seseorang.

Tapi siapa?






***





 
Bel penanda akhir hari di sekolah berdering nyaring, menggema di seluruh penjuru bangunan. Tak urung mengundang senyum kebebasan pada wajah-wajah lelah para murid, sekaligus desah keluh guru yang belum selesai menyampaikan materi. Hal ini berlaku pula di kelas unggulan. Tak sampai 5 menit setelah bel berbunyi, penghuni kelas dapat dihitung menggunakan sebelah jari tangan.

Begitu selesai menyalin catatan penting di papan tulis, L.Joe meletakkan buku beserta alat tulisnya ke dalam tas. Ia berdiri dari bangku sembari menyampirkan ransel di belakang punggung. Kedua tangan pun dimasukkan dalam saku ketika ia berjalan menuju pintu kelas. Setiap langkah seolah menebarkan sikap ‘aku-tak-peduli-pada-apapun-di-dunia-ini’. Tetapi, aktivitasnya terhenti begitu ia sadar akan adanya dua sosok pengganggu yang berdiri di ambang pintu, menghalangi jalannya.

Ia mendongak. Dilemparkannya tatapan yang mungkin mampu melumerkan es batu sekalipun pada Myungsoo-Yiyoung, secara tak langsung menyuruh mereka minggir. Dan diluar dugaannya, dua anak manusia itu sama sekali tak bergeming. Hanya sibuk memasang seulas senyum terlampau ramah.

“Hei!” sapa Yiyoung.

Hey, seatmate. Kau sudah ingin pulang?” kali ini suara Myungsoo terdengar jauh lebih menyebalkan di telinga L.Joe. Kira-kira setingkat dengan bisingnya binatang parasit bernama nyamuk. Sungguh disayangkan karena Kim Myungsoo adalah manusia, bukannya nyamuk yang dapat dengan mudah ia bantai ketika ia merasa terganggu dengan kehadiran mereka.

Diam merupakan respon sang penyabet peringkat 1 paralel. Ia tak merasa perlu memberi jawaban. Karena menurut perhitungannya, bahkan bocah sekalipun mampu membaca ekspresi ‘aku-tak-ingin-bicara-denganmu’ yang tengah ia pasang.

Tetapi sikap keras kepala telah melekat dalam diri Myungsoo dan Yiyoung. Lagipula, mereka bertekad tidak akan menyerah sebelum memperoleh jawaban positif. Menyerah bukanlah pilihan bagi mereka kini.

Karena basa-basi serta sapaan manis hanyalah angin lalu di telinga L.Joe, Myungsoo pun memilih terjun pada pokok pembicaraan, “Ehem, Jadi, aku ingin menantangmu melakukan sesuatu-” Dilihatnya L.Joe mendekap tangan. Raut datarnya sedikit goyah, mulai berbaur dengan rasa ingin tahu. Lalu, ia melanjutkan, “-Kalau nilai ujianku lebih tinggi darimu, maka kau harus menyetujui tawaranku dulu.”

“Yaitu bergabung dengan band kami.” Sahut Yiyoung.

Untuk pertama kali semenjak berjumpa dengan L.Joe, ia menjadi saksi hidup kejadian langka ini. Sudut-sudut bibir pemuda berambut kemerahan itu terangkat ke atas, membentuk senyum meremehkan. Bahkan, untuk beberapa saat, baik Yiyoung maupun Myungsoo yakin jika dia nyaris tertawa. Well, meski bukan dalam makna positif, setidaknya ini kemajuan, bukan?

Di sisi lain, Son Naeun menyaksikan adegan ‘pemaksaan-penerimaan-tantangan’ itu dengan damai dari bangkunya. Ia tak berminat bersilat lidah dengan sang saudara sepupu. Sebab diantara mereka bertiga, ialah yang paling mengenal dan tahu kemampuan Lee Byunghun dalam membuat orang lain naik darah. Maka, ia memutuskan untuk menjadi pengamat.

Mengesampingkan senyum sarkasnya, belum ada jawaban meluncur dari bibir L.Joe. Myungsoo yang dikaruniai kesabaran jangka pendek pun mendesak, “Bagaimana? Setuju atau tidak?”

L.Joe menelengkan kepala, memicingkan mata. Heran beradu jengkel beradu mendominasi diri. Di telinganya, tantangan Myungsoo sama sekali tak masuk akal. Meski ia belum mengetahui batas kemampuan siswa baru itu, tetapi ia cukup yakin jika dia merupakan tipe orang berani mati. Tidak tahukah dia bahwa L.Joe selalu menduduki peringkat pertama paralel?

“Kau serius?” adalah dua kata berintonasi dingin yang keluar sebagai respon pemuda berambut kemerahan, tak urung membuat lawan bicara utama –Myungsoo- menaikkan sebelah alis, sedikit tersinggung. Tetapi ia memilih untuk menelan emosinya, lalu menjawab dengan tenang, “Tentu.”

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. L.Joe terlampau terkejut oleh tantangan Myungsoo. Ia pun menimbang untung-rugi keikutsertaan dalam permainan ini. Dan karena tak ingin dianggap pengecut, pada akhirnya ia memilih jawaban positif.

“Baiklah. “

Setelah satu kata final terucapkan, L.Joe segera mengenyahkan diri dari area pandang Myungsoo-Yiyoung-Naeun. Sementara sang pencetus taruhan tersenyum puas. Diamatinya L.Joe berjalan dengan langkah-langkah panjang menuju gerbang sekolah.

Naeun hanya memasang wajah datar.

Tak lama setelah kepergian L.Joe, daun pintu kembali terbuka. Kali ini, oleh sosok bernama Kim Taehyung. Gitaris muda itu memasang senyum cerah, yang sungguh tak sesuai dengan atmosfir negatif dalam kelas. Taehyung melangkah santai memasuki ruangan. Guitar bag melekat di punggung.

Ia mendaratkan pantat di meja terdekat –dengan pintu, lalu berkata, “Hey, kita jadi latihan di tempatku tidak?”

Tawaran tersebut ditanggapi oleh dengusan Yiyoung, kedikan bahu Naeun, dan senyum tipis Myungsoo. Mereka berempat pun berjalan bersama menuju gerbang sekolah, sembari Naeun menceritakan kejadian di kelas barusan pada Taehyung, yang diresponnya dengan facepalm.





***




Ketika masih daun muda, ayah Taehyung merupakan gitaris sebuah band. Jadi, tidak mengherankan jika terdapat studio berfasilitas lengkap di rumahnya. Hal ini sungguh menguntungkan bagi Taehyung karena ia dapat bercumbu dengan Jack –nama gitar Taehyung- sepuas mungkin tanpa mengganggu ketenangan penghuni rumah lain, sebab studio itu memiliki dinding kedap suara.

Gitar elektrik, seperangkat keyboard, mic, bahkan drum tertata rapi memenuhi ruang berukuran 6x7 meter. Karpet ungu membentang lebar menjadi alas. Dinding dan beberapa furnitur lain seperti meja kaca, lemari, dan sofa juga berwarna ungu. Sensasi angin dingin menerpa kulit, berasal dari dua buah AC yang terletak di sudut ruang.

Begitu menginjakkan kaki di dalam studio, ketiga teman Taehyung pun tercengang akan ‘kemewahan’ tempat tersebut. Jujur saja, ini jauh lebih baik dari prediksi semula. Mereka mengira akan melihat sebuah studio tua nan tak terurus, bukannya modern.

“Woah… ini keren sekali, man!” komentar Myungsoo, yang langsung menghempaskan diri di sofa, sementara pandangannya melayang ke seantero ruangan. Mengapresiasi setiap detil.

Yiyoung menyeringai senang, diletakkannya tas gitar bass di atas meja. Meski berasal dari keluarga musisi, tetapi appa-eommanya menentang musik modern. Jadi, ia harus membuang jauh-jauh harapannya untuk memiliki studio modern. Malang bagi sang penyandang marga Noh, sebab minatnya bermain bass jauh lebih tinggi dibandingkan piano klasik dan menyanyi.

Son Naeun tersenyum tipis lalu segera memposisikan diri di balik keyboard, “Jadi, lagu apa yang harus kuaransemen lebih dulu?”

Keyboardist itu sontak menjadi fokus utama ketiga pasang mata yang menatapnya antusias.




***








Tiga puluh menit berlalu sejak Naeun bergumul dengan kertas-kertas, yang semula putih bersih kini ternodai oleh coretan berupa notasi balok. Rambut panjang bergelombangnya dikuncir kuda –sedikit berantakan- tapi ia terlalu fokus mengaransemen musik hingga masa bodoh akan penampilannya kini. Sesekali, gerutuan meluncur melalui bibir, ketika ia menghadapi birama yang sukar digubah. Tetapi, pada ujungnya, ia bangkit berdiri dari posisi bersila di lantai studio, lalu berseru girang, “Aku selesai!”

Myungsoo, Taehyung, dan Yiyoung pun mempelajari sekilas tiga lembar kertas yang ditujukan untuk masing-masing pemain instrumen. Tampaknya, bakat musikal sangatlah menonjol dalam diri mereka. Sebab tak sampai 1 jam kemudian, Yiyoung membangunkan Naeun dari tidur singkatnya, demi mengatakan bahwa mereka selesai mempelajari notasi aransemennya.

Naeun mengangguk, bangkit dari sofa. Dilihatnya Taehyung telah siap dengan gitar, Myungsoo berdiri dibelakang standing mic. Yiyoung juga mulai menyetel bassnya. Maka, Naeun melangkah santai, memposisikan diri dibalik keyboard.

Dengan aba-aba dari Naeun, musik pun mengalun lantang. Lagu latihan pertama mereka berjudul ‘No’ oleh B.T.S, yang telah digubah menjadi versi band. Jemari mereka sibuk mencabik deretan senar, menaklukkan barisan tuts, dan membantai nada-nada tak kasat mata. Detik terus melaju sementara mereka hanyut dalam lautan melodi, hanyut dalam euforia temporer, hanyut dalam satu hal terpenting bagi mereka, bernama musik. Seketika, raut lelah beralih didominasi kebahagiaan. Manik hitam berkilat riang, dan senyum melekat pada wajah masing-masing.

Dreams disappeared, there was no time to rest
It’s a cycle of school, home or an Internet cafe
Everyone lives the same life
Students who are pressured to be number one live in between dreams and reality
Who is the one who made us into studying machines?
They classify us to either being number one or dropping out
They trap us in borders, the adults
There’s no choice but to consent
Even if we think simply, it’s the survival of the fittest
Who do you think is the one who makes us step on even our close friends to climb up? What?
Adults tell me that hardships are only momentary
To endure a little more, to do it later
Everybody say NO!
It can’t be any later
Don’t be trapped in someone else’s dream
We roll (We roll) We roll (We roll) We roll
Everybody say NO!
It has to be now or never
We still haven’t done anything
We roll (We roll) We roll (We roll) We roll
Everybody say NO!
 

Latihan pertama mereka berakhir dengan kepuasan.

============================================================================= 

A/N: Hey guys! Finally, saya update juga ff satu ini. Awalnya sih udah gak niat dilanjutin lagi, tapi berhubung ada reader yang minta dilanjutin dan mumpung saya lagi mood, jadilah ini diupdate. Saya maaf atas segala kekurangan yang ada di ff ini =_= dan saya juga sadar writing skill saya makin gak karuan. Tapi, bikin ff ini gak semudah membalik telapak tangan (?) jadi saya minta komentar dan reaksinya ya ^^ thanks! <3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar