Blazing Star [Chapter 2]
by Stephcecil
Cast : Kim Myungsoo, Son Naeun, Noh Yiyoung, Kim Taehyung / V, Lee Byunghun / L.Joe
Lenght : Chaptered || Genre : School Life, Music, Romantic, Friendship || Rating : Teen
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : " Rambut sang pemain berwarna kecoklatan, tampak jelas tidak alami. Ia menggunakan kacamata hitam dan blazer
seragam yang dikancingkan dengan rapi. Tipe penampilan murid teladan,
dan agak sedikit tidak cocok dengan statusnya sebagai pemain drum."
Previous Part : 1
***
Kim Myungsoo benar-benar tampan. Bahkan mengalahkan ketampanan Minhyun, kekasihnya sendiri. Dan Yiyoung mengakui hal itu.
“ Jadi bagaimana? Kalian berdua setuju bergabung bersama kami? “ Myungsoo meminta kepastian, seraya menyeruput Milk Tea yang telah dipesankan Taehyung untuknya. Yiyoung melirik ke arah Naeun, sahabatnya itu tampak masih tenggelam dalam bad mood berkepanjangan. Maka Yiyoung lah yang akhirnya menjawab pertanyaan tersebut. Dengan jawaban positif, tentunya.
“ Tentu. Kami akan bergabung! “ ia tersenyum tipis.
“ Bagus sekali. Aku berharap banyak pada kalian. “ Myungsoo balas tersenyum.
“ Jangan begitu. Hahaha. “ Yiyoung memamerkan cengiran lebarnya, mempertontonkan deretan gigi putih yang ia miliki. Sedangkan Myungsoo hanya terkekeh kecil, kemudian mendorong pelan bahu Taehyung dengan lengannya. Menggodanya. Membuat namja yang sedari tadi memasang ekspresi ‘aku-tak-percaya-hal-ini-terjadi’ itu mendengus kesal.
“ Percayalah. Ini akan seru Taehyung-ah! “ serunya bersemangat. Namun percuma saja, Taehyung melengos tak peduli. Ia kembali mengarahkan fokus pada minuman bersoda di hadapannya. Yang tiba-tiba saja tampak lebih menarik dibanding menanggapi ocehan Myungsoo. Kemudian ia menenggak soda itu, namun sensasi dingin yang menjalari kerongkongan Taehyung terhenti ketika ia merasakan sesuatu memukul punggungnya cukup keras. Taehyung tersedak. Ia terbatuk parah. Lagaknya tak jauh berbeda dengan seorang kakek yang terserang penyakit TBC.
Bergegas ia menoleh ke belakang, demi mendapati sang pelaku yang tergelak. Noh Yiyoung tertawa keras. Tampak puas sekali telah berhasil mengusili Taehyung. Ia pun melirik Myungsoo di sampingnya. Dan Ya Tuhan, bahkan Myungsoo seolah kerasukan tawa. Tak terkecuali Naeun yang tengah dilanda bad mood tingkat tinggi, seulas senyum tipis pun tersungging menghiasi wajahnya.
Sungguh. Betapa ingin ia menggunakan botol soda yang setengah kosong itu untuk memukul kepala Yiyoung, membuat tawanya reda dan bungkam seketika. Namun jauh di dalam sana, Taehyung tahu. Bahkan jika ia melaporkan seluruh keusilan Yiyoung pada komnas HAM, ia ragu sahabatnya akan jera. Maka yang ia lakukan kini hanya menekuk wajah seraya memaki kesal Yiyoung yang tengah melangkah kembali ke tempat duduknya.
Myungsoo berusaha mengendalikan diri, menghentikan tawa yang entah sulit sekali untuk diredakan. Oh ayolah, yang tadi itu benar-benar lucu. Kuping Myungsoo memerah, ia dilanda kegelian tingkat tinggi. Setelah beberapa detik, akhirnya ia berhasil menguasai diri. Myungsoo berdeham pelan, membuat ketiga orang di hadapannya sontak mengalihkan perhatian mereka pada Myungsoo.
“ Guys, ada sesuatu yang kurang.. “ ujarnya.
“ Apa? “ Taehyung menaikkan sebelah alisnya, penasaran.
“ Kita belum memiliki seorang drummer. “
***
Setelah jam istirahat berakhir, para murid pun kembali ke kelas masing-masing. Siang itu pelajaran matematika tengah berlangsung dalam kelas XI-A, kelas unggulan. Guru mata pelajaran tersebut adalah Jiyeon sonsaengnim, yeoja muda dengan sifat lembut yang mengalir dalam darahnya. Ia sangat sabar, bahkan terlampau sabar untuk ukuran seorang guru. Maka tak heran jika sebagian besar murid lebih gemar menghabiskan jam pelajaran matematika untuk berbincang-bincang, membaca komik, atau bahkan tidur. Toh, tidak ada yang akan menegur mereka.
Berbeda dengan Lee Byunghun. Namja itu tampak fokus sekali memperhatikan materi yang diajarkan Jiyeon sonsaengnim. Sedari tadi kedua manik hitamnya tak lepas dari whiteboard, mengamati setiap kata dan angka yang tertulis disana.
Konsentrasi Joe buyar seketika, saat merasakan sesuatu menyikut lengannya. Ia berusaha bersikap tak peduli dan kembali mengarahkan fokus pada papan tulis. Namun tidak lagi, ketika seseorang menyikut lengan Joe untuk kali ketiga. Ia sontak menoleh, memicingkan mata seraya memasang ekspresi kesal yang khusus ditujukan pada sang pelaku.
Kim Myungsoo hanya merespon dengan cengiran lebar dan berkata, “Hey, aku belum tahu siapa namamu. “
“ Lalu? “
“ Kupikir itu lucu jika aku tidak mengetahui nama teman sebangkuku sendiri. “
“ Jadi? “
Kerutan tampak menghiasi dahi Myungsoo. Kedua alisnya bertaut. Yang benar saja, orang ini dingin sekali!. Kemudian ia menghela napas dalam, mencoba mengumpulkan segenap kesabarannya yang sempat menguap Karena sikap Joe. Ia pun kembali bertanya, seraya mencoba mempertahankan nada ramahnya.
“ Jadi.. aku ingin berkenalan denganmu. “
“ Panggil saja Joe. “ jawab pemuda itu. Singkat, padat, dan jelas. Tak sampai sepersekian detik setelah menjawab pertanyaan Myungsoo, tatapannya telah kembali terkunci pada whiteboard. Tidak mempedulikan Myungsoo yang kini dilanda kekesalan, mengumpat dalam hati. Namun ia mencoba mengerti. Mungkin teman barunya yang satu ini memang memiliki sifat yang dingin. Jadi memerlukan kesabaran ekstra untuk dapat bergaul dengannya.
.
.
.
Sepuluh menit kemudian, pemuda bermarga Kim itu telah telah terbang menuju alam mimpi. Myungsoo menelungkupkan kepalanya di atas meja, dengan kedua lengan berfungsi sebagai bantalan. Pelajaran matematika yang membosankan, ditambah penjelasan mendayu-dayu dari Jiyeon sonsaengnim membuat ia terserang kantuk. Dan akhirnya, memilih untuk tidur.
Joe hanya mendecakkan lidah melihat tingkah Myungsoo. Di mata Joe, teman sebangkunya ini tidak lebih dari seorang siswa pemalas yang dikaruniai otak cemerlang. Pemuda berisik, konyol, sekaligus kekanakan.
***
Bel penanda jam pelajaran efektif sekolah berakhir berbunyi. Para murid pun berhamburan keluar kelas. Ekspresi letih itu terlihat jelas pada wajah mereka. Tak terkecuali Noh Yiyoung dan Son Naeun yang kini tengah menyamakan langkah, berjalan keluar. Rumah mereka memang terletak dalam kompleks perumahan yang sama. Jadi tak heran jika mereka sering pulang bersama.
" Dua minggu lagi kita ujian akhir semester.. " Naeun mendesah pelan. Ia memijit pelipis kananya dengan sebelah tangan. Sebagai sambutan terhadap rasa pusing yang muncul tiba-tiba. Bayangan akan malam-malam sarat kepenatan membuat ia bergidik. Jam tidur Naeun jelas akan berkurang drastis. Untuk apa? Jawabannya sudah jelas, dan jawaban tersebut telah diketahui oleh seantero siswa SMA Jung Sang, salah satu sekolah bergengsi di Seoul. Dan apakah itu? Tentu saja belajar.
" Ouh, benarkah? "
" Apakah kau tidak mengecek jadwal tahun ajaran? "
" Tidak. "
" Dasar anak ini... "
Son Naeun mendengus kesal seraya meniup poninya jengah. Sedangkan Yiyoung hanya mengedikkan bahu tak peduli, ia terkekeh pelan. Namun Naeun tidak dapat sepenuhnya menyalahkan sikap Yiyoung, yang terlampau santai. Sebab kemampuan otak penyandang marga Noh itu jauh diatas rata-rata, bahkan dapat dikatakan jenius. Sehingga ia cukup membaca buku sekilas untuk mampu menyerap suatu pelajaran dengan sempurna. Yiyoung boleh-boleh saja bersikap santai, dan tak peduli dengan diadakannya 'minggu mengerikan' karena toh ia akan tetap mendapatkan nilai tinggi, bahkan jika ia tidak belajar jauh hari sebelum ujian.
Berbeda dengan Naeun, ia memang dapat dikategorikan sebagai murid yang cerdas. Namun hanya sebatas disana saja. Naeun berhasil masuk kelas unggulan karena ia belajar keras. Dan jika ia mengikuti kebiasaan Yiyoung dalam hal belajar, tidak dibutuhkan kemampuan meramal untuk dapat menebak suatu hal pasti –tahun berikutnya ia ditendang keluar dari kelas unggulan.
Langkah kedua sahabat tersebut terhenti seketika, begitu mendapati sesosok siswa yang tak lagi tampak asing di mata mereka. Bahkan sangat familiar, terutama bagi Naeun.
Pemuda itu berdiri di pinggir koridor sekolah, menyandarkan tubuh pada dinding bercat putih. Ia seolah tengah menunggu kehadiran Naeun dan Yiyoung, karena koridor itu merupakan satu-satunya jalan penghubung kelas XI-A dengan tangga yang menuju lantai satu -area kelas XI berada di lantai dua sekolah.
Perubahan drastis terjadi pada ekspresi wajah Naeun. Segera ia mempercepat langkah, seiring dengan niat ‘kabur’ yang semakin memuncak. Ia mencoba tak mempedulikan tampang memelas kekasihnya itu, dan hanya terus memasang langkah-langkah panjang. Terang saja, ia masih belum siap bertemu dengan pemuda yang ia hindari beberapa hari terakhir.
Namun begitu posisi mereka sejajar, Naeun merasakan sesuatu mencengkeram pergelangan tangannya dengan cukup kuat, yang sontak menghentikan langkah tergesa Naeun. Ia pun membeku di tempat. Pemilik sentuhan hangat tersebut sangat ia kenali. Siapa lagi jika bukan Jeon Jungkook?
Naeun menghela nafas dalam. Terlebih ketika manik hitamnya menangkap gelagat tak biasa dari Yiyoung. Kini, sahabatnya itu tengah mengedipkan sebelah mata seraya tersenyum penuh arti. Kemudian Yiyoung melenggang pergi begitu saja, meninggalkan ia sendirian. Err.. sebenarnya tidak sendirian. Jauh lebih tepatnya, Yiyoung meninggalkan Naeun seorang diri bersama makhluk yang jelas tak ingin ia temui. Setidaknya bukan saat ini.
Ia bersumpah dalam hati akan menjitak Yiyoung begitu ia bertemu sahabatnya itu.
Ia memutar tubuh menghadap ke arah Jungkook. Kedua tangan bersedekap di dada, dengan ujung sepatu yang ia ketuk-ketukkan pada lantai, menghasilkan bunyi tak-tuk beraturan yang entah mengapa berhasil membuat sensasi tak nyaman merayapi diri Jungkook. Manik hitam pemuda itu menatap lekat milik Naeun.
“ Naeun-ah.. kumohon jangan seperti ini. “
“ Seperti apa? “ salah satu alis Naeun terangkat keatas. Seolah permohonan yang baru meluncur dari bibir Jongkook tadi tidak terdengar bagai kalimat retoris bagi indra pendengarannya.
“ Jangan berpura-pura tidak tahu. “
“ Aku memang tidak tahu. “ Naeun mengedikkan bahunya.
Jungkook memutar bola matanya jengah. Kekasihnya memang sulit sekali ‘dijinakkan’ dalam situasi seperti ini. Ouh, ini memang bukan kali pertama mereka bertengkar. Dan dalam kasus-kasus sebelumnya, selalu Jungkook yang mengalah. Apa boleh buat, cinta memang dapat membuat seseorang melakukan apapun, bukan? Ya. Setidaknya paradigma tersebutlah yang membuat Jungkook tetap bersabar menghadapi Naeun.
“ Baiklah. Jadi yang kumaksud adalah.. jangan menghindariku seperti ini. “ tegurnya langsung.
“ Sebaiknya kau bercermin dulu, sebelum aku mengabulkan permintaanmu. “ sarkas Naeun. Sudut kanan bibirnya tertarik ke atas, menampakkan senyum separuh yang menambah kesan sinis.
“ Son Naeun, berapa ratus kali aku harus menyakinkanmu jika aku tidak memiliki hubungan apapun dengan para gadis centil itu. Kau harus percaya padaku. “
“ Dan kenapa aku harus percaya padamu? Ini bukan pertama kalinya Jeon Jungkook. Aku sudah muak. Aku lelah. Setiap orang memiliki batas kesabaran masing-masing. Dan kau tahu? Kau mengujinya hingga titik terjauh. “
“ Aku tidak pernah bermaksud seperti itu. Kau hanya salah paham… “
Naeun menggeleng tegas. Kali ini emosinya berada di puncak. Ia tidak ingin mendengar penjelasan berbelit-belit kekasihnya, yang membuat telinganya memanas. Dan rasa panas tersebut merambat menuju indra penglihatan Naeun, perlahan mencetak kabut bening di sana, pada dua manik kecoklatan milik Son Naeun. Ia pun tersenyum pahit sebelum akhirnya berkata, “ Kurasa sementara ini.. kita jangan saling bertemu dulu. “
Kalimat terakhir Naeun seolah menonjok ulu hati pemuda itu. Seakan perasaan bersalah yang kini menyerangnya –ketika melihat mata Naeun yang berkaca-kaca – belum cukup. Sensasi dingin sekaligus tak menyenangkan kembali merayapi diri.
Pada akhirnya Jungkook hanya terpaku di tempat. Menyaksikan sosok gadis yang ia cintai melangkah pergi, menjauh dari hadapannya. Terdapat sedikit keinginan untuk mengejar gadis itu tadinya. Dan mungkin terus berusaha meyakinkan gadis itu agar menerima permintaan maafnya. Namun melihat ekspresi sedih dan mata berkabut Naeun, ia mengurungkan niat tersebut. Gadis itu butuh waktu sendirian. Dan mungkin begitu pula dengan dirinya. Ia perlu merenungkan bagaimanakah kelanjutan hubungan mereka.
***
Harus diakui, memang terdapat sebersit rasa khawatir ketika Yiyoung meninggalkan Naeun bersama Jungkook tadi. Ia tahu jika gadis itu belum siap untuk bertemu kekasihnya. Namun bukankah menghindar tidak akan menghasilkan apapun? Jauh lebih baik jika kau menghadapi masalahnya, bukan? Lebih cepat lebih baik. Ya, setidaknya begitulah pendapat Yiyoung.
Yeoja pemilik rambut blonde tersebut bersenandung pelan, melangkah santai keluar sekolah. Namun terpaksa ia menghentikan aktivitasnya itu ketika mendapati sesosok namja duduk di dua anak tangga terbawah –tangga menuju lantai satu. Kim Myungsoo tengah memetik gitarnya dengan sempurna, dengan gaya layaknya pemain profesional. Dan sebenarnya, permainan gitar Myungsoo tidak seberapa dibandingkan suara emasnya, yang terdengar merdu merasuki indra pendengaran Yiyoung.
Dan sungguh, Noh Yiyoung terkesima saat itu. Seolah ada lem super yang membuat kedua kakinya melekat pada lantai. Ia diam tak bergeming. Terpaku di tempat. Begitupun dengan manik hitam Yiyoung yang terkunci memandangi Myungsoo.
“ Neoneun eodijjeume isseulkka eotteoke jinaelkka
Naui geuriumi danneun gosen isseulkka.
Aesseodo aesseodo
Doesarananeun neoui heunjeoge nan duryeowo
Uri cheoeum soneul japdeon eosaekhan geu nalcheoreom
Honja jinaen naui haruharudo ajigeun eosaekhae. “ – Infinite –still I miss you.
Tanpa sadar Yiyoung terseret suasana. Lagaknya ia begitu terpesona dengan Myungsoo, hingga ia dilanda keterkejutan mutlak saat Myungsoo bersuara –bersuara bukan dalam makna bernyanyi. Tampaknya Myungsoo telah selesai memainkan instrumen tersebut beberapa saat lalu.
“ Hei, bagaimana permainanku? “ Tanya pemuda itu seraya memasukkan gitarnya ke dalam gigbag. Ia melempar senyum sekilas pada Yiyoung, yang jelas membuat ia salah tingkah.
“ Keren sekali.. “ jawabnya jujur.
“ Benarkah? “
“ Yeah.. walau ada sedikit kesalahan teknis.. tapi kau bermain sepenuh hati. Dan itu sangat keren bagiku. “ kali ini Yiyoung mengangguk mantap, demi menegaskan penilaiannya. Tak lupa ia balas tersenyum tipis. Di mata Yiyoung yang mendalami musik sejak berumur 5 tahun, dengan mudah ia menemukan kesalahan dalam permainan Myungsoo. Jelas saja, teknik gadis itu sendiri nyaris sempurna. Namun bukankah orang awam tidak akan peduli dengan hal tersebut? Bagi mereka, asal nada yang dihasilkan pemetik gitar terdengar ‘indah’ maka mereka akan berpendapat jika permainan orang itu ‘bagus’ .
Myungsoo –yang telah selesai membereskan gitarnya- kini beranjak dari posisi duduknya dan berdiri, “ Terimakasih atau penilaian jujurmu itu, kuharap aku bisa lebih baik lagi, Noh Yiyoung-ssi. “
Yiyoung terkekeh pelan mendengar kalimat formal Myungsoo dengan nada yang dibuat-buat, maka ia pun membalasnya, “ Sama-sama. Semoga berhasil, Kim Myungsoo-ssi. “
Lalu kedua orang itu larut dalam gelak tawa. Geli terhadap sikap masing-masing. Keduanya tak menyadari jika percakapan singkat namun hangat itu telah membuat mereka lebih dekat, merubah status awal ‘teman-dari-temanku’ menjadi ‘temanku’.
***
Malam itu selepas sekolah, Taehyung berjalan santai menyusuri jalanan Seoul yang semakin sepi. Tentu suasana akan berbeda jika tempat tinggalnya berada di daerah jalan utama, namun tidak. Perumahan mewah yang menjadi lokasi rumahnya berada di daerah dengan ketenangan relatif tinggi. Namun tiada suatu ketakutan dalam hati karena jalan yang terlampau sepi. Toh dia sudah sangat terbiasa melalui jalan tersebut, 5 kali dalam seminggu. Dan hingga detik ini, tidak ada kejadian buruk –diganggu preman, perampok, orang mabuk- yang pernah menimpanya. Maka dengan perasaan seringan bulu, dia pun melangkah menuju rumahnya.
Namun malam itu Taehyung tidak langsung pulang. Ketika melewati jalan besar terakhir yang harus ia tempuh, ia memutuskan untuk berbelok ke arah kiri. Tidak wajar ketika seharusnya ia belok kanan untuk pulang. Tentu terdapat alasan di setiap perbuatan seseorang. Dan dalam kasus Taehyung malam ini, paradigma tersebut memang terbukti benar.
Tepat setelah ia melangkahkan kaki ke arah kiri, tampak di depan matanya pertokoan yang berjajar rapi. Beberapa memang sudah menyelesaikan jam operasi mereka, namun ada beberapa yang masih buka. Ada toko swalayan dan apotek yang buka 24 jam. Namun tidak, Taehyung tidak ingin pergi ke dua tempat tersebut. Berjalan lurus tanpa berbelok lagi, Taehyun dengan mantap memasuki sebuah toko musik.
D’ Classic. Begitulah tulisan papan nama yang terpajang di depan toko tersebut. Toko itu terlihat sedikit tua dari luar. Tapi begitu kau masuk di dalamnya, semua terasa berbeda. Toko itu sangat nyaman dan modern dengan nuansa biru gelap yang kental mendominasi. Dinginnya udara dari pendingin ruangan menyapu lembut kulit Taehyung ketika melangkahkan kaki ke dalam.
Taehyung merupakan salah satu pelanggan setia toko tersebut. Ia sangat mengenal harabeojji pemilik toko, ia bahkan membeli gitar pertamanya disana. Ia terbiasa pula dengan musik klasik yang mengalun merdu merasuki indra pendengaran begitu menginjakkan kaki disana, dan harabeojji yang menyambut Taehyung dengan senyuman lebar.
Namun tidak malam itu. Tidak ada alunan musik klasik maupun senyum lebar sang pemilik toko. Karena suara dentuman drum lah yang menembus gendang telinga Taehyung. Pemuda itu mengalihkan pandang ke sudut toko –dimana biasanya drum-drum terpajang- dan manik hitamnya membulat sempurna ketika melihat seseorang yang menggunakan seragam sama dengannya, tengah memainkan instrumen tersebut. Ditambah lagi fakta bahwa siswa itu tampak begitu handal mencabik Tom dan Symbal, dengan kaki yang setia menempel pada pedal pula. Benar-benar tak ubahnya pemain profesional.
Rambut sang pemain berwarna kecoklatan, tampak jelas tidak alami. Ia menggunakan kacamata hitam dan blazer seragam yang dikancingkan dengan rapi. Tipe penampilan murid teladan, dan agak sedikit tidak cocok dengan statusnya sebagai pemain drum. Manik hitam Taehyung menangkap papan nama yang terpasang rapi di sebelah kiri seragamnya, Lee Byunghun. Meski telah bersekolah di SMA Jung Sang selama 2 tahun, ia tidak pernah mengenal murid itu sebelumnya. Satu hal yang kini menjadi kepastian dalam pendapat Taehyung, sosok di hadapannya ini tidak termasuk dalam deretan siswa populer di SMA mereka.
Entah sudah berapa hitungan menit berlalu, namun Taehyun mendapati dirinya dilanda keterkejutan saat sesuatu menepuk bahunya dari belakang, sukses membuat ia terperanjat kaget dan bergegas menoleh. Disana, sudah ada harabeojji yang menyambut ia dengan senyum lebar –walau kali ini sedikit terlambat.
“ Permainan anak itu sangatlah bagus, bukan? “ ujarnya seraya menggerakan dagu ke arah siapapun-lee-byunghun yang tengah mencabik dan sesekali memutar stik drum, melemparnya ke udara, hanya untuk mengetes gaya gravitasi yang membuat stik kembali jatuh.
Taehyung hanya balas tersenyum dan menggumamkan jawaban, “ya” dengan singkat sebelum harabeojji itu berlalu pergi, beranjak ke sofa tua yang konon merupakan tempat ternyaman disana. Ia pun kembali terfokus pada permainan drum di hadapannya. Namun sayang tak sampai satu menit kemudian, anak itu sudah selesai bermain.
Tanpa sadar, Taehyung bertepuk tangan dan memasang senyum lebar sebagai reaksi atas permainan anak itu, yang segera diakhirinya begitu ekspresi tak nyaman terlukis pada wajah Lee Byunghun. Siswa itu beranjak dari tempatnya, meletakkan stik drum, dan segera melangkah ke arah pintu keluar. Taehyung yang mendapatkan ‘sinyal’ bahwa mangsanya akan kabur, bergegas mencegahnya keluar dengan berdiri di depan pintu keluar –ukuran pintu termasuk kecil- sehingga anak itu tidak dapat melewatinya.
Seraya mempertontonkan deretan gigi putihnya, Taehyung berkata, “ Hey, namaku Kim Taehyung. Dan.. kurasa kita berasal dari sekolah yang sama. “
Ia memang tidak mengharapkan sebuah jawaban ramah –setelah melakukan hal yang jelas-jelas menganggu- namun tatapan anak itu begitu tajam menusuk, seolah berkata melalui pandangannya “ Minggirlah, kau mengangguku! “ padahal yang dilakukannya hanya diam tak bergeming.
Mendapat respon negatif tidak langsung membuat seorang Kim Taehyung jera seketika. Masih dengan cengiran lebar dan ekspresi tanpa dosa, ia kembali berkata, “ Perkenalkan, namaku Kim Taehyung. “ ia pun mengulurkan tangannya, berharap anak itu menyambut uluran tangan tersebut dan kemudian berkenalan. Namun usahanya kali ini pun gagal total. Lee Byunghun tetap membisu, hanya kerutan di kening muncul sebagai respon, menandakan jika kadar ketidaknyamanannya meningkat.
Taehyung menghela napas dalam. Baiklah, kalau begitu kita akan langsung ke pokok pembicaraan. Senyumnya memudar, dengan kekesalan yang mulai melanda, ia bertanya, “ Jadi, kulihat kau sangat pandai memainkan drum. Bagaimana jika bergabung dengan band-ku? Kami bar- “
Belum sempat Taehyung menyelesaikan tawarannya, anak itu menyahut, “ Tidak. “
“ Kenapa? Hey, bukankah itu akan mengasyikkan? Kumohon berga- “
“ Kubilang tidak. Jadi sebaiknya kau minggir dan biarkan aku pergi sekarang juga. “ potongnya, sarat dengan nada tak suka yang kental terasa setiap kali ia berbicara. Taehyung menghela nafas dalam, mengedikkan bahu, dan kemudian bergeser memberi jalan bagi anak itu.
Lee Byunghun pun segera melangkah, mengenyahkan diri dari toko musik tersebut. Meninggalkan Taehyung yang kini diliputi kekesalan sekaligus rasa kecewa mendalam. Ia baru saja menggagalkan kesempatan emasnya sendiri. Dan apakah yang harus ia lakukan sekarang? Menyerah? Oh, tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya.
Tanpa berpikir lebih panjang, ia merogoh saku celana seragamnya, kemudian mengambil sesuatu dari sana. Benda mungil bernama ponsel. Beberapa detik setelahnya, jemari Taehyung sibuk menari di atas layar touchsreen. Tidak membutuhkan waktu lama hingga ia menemukan kontak yang ia cari di phonebook dan menekan tombol calling.
“ Kurasa aku menemukan orang yang cocok menjadi drummer kita. “
.
.
.
TBC...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar