ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Selasa, 14 Oktober 2014

Black Coffee & Caramel Macchiato




Black Coffee & Caramel Macchiato

by Stephcecil
Cast : Xiumin (EXO), Lee Miyeon (OC) || Genre : Fluff, Romance || Lenght : Ficlet, Oneshot
Rating : G || Disclaimer : The Story is purely mine. But the cast isn't.
A/N : Terinspirasi dari obsesi Xiumin sama kopi (?). Happy Reading! ^^
 

***
 

Aroma khas americano menyeruak, menusuk indra penciuman Kim Minseok. Melesak masuk dan memberi sinyal menenangkan pada otaknya. Perlahan ia memejamkan mata sembari menghirup aroma tersebut. Kopi adalah kekasihnya. Bagi seorang Kim Minseok, kopi tak ubahnya seorang gadis di matanya. Mereka memiliki beragam kepribadian, layaknya tiap jenis kopi yang memberi kesan berbeda-beda setiap kali berinteraksi dengan lidahnya. Ya. Ia jatuh cinta dengan minuman berkafein itu.

Tiba-tiba melalui sudut matanya, ia menangkap sesosok gadis memasuki kafe dan langsung mendaratkan pantatnya di bangku pojok, tepat di sebelah jendela kaca bening, dimana kau bisa melihat pemandangan di luar kafe. Masih dengan secangkir americano dalam genggaman tangan kanannya, ia mengamati gadis tersebut. Sang objek pengamatan tengah duduk termangu seraya bertopang dagu. Tatapan mata Miyeon tertumpu keluar jendela, seolah ia menyaksikan suatu hal menarik diluar sana. Ketika Minseok mengikuti arah pandang gadis itu, yang terlihat olehnya hanyalah para pejalan kaki yang berlalu lalang. Tidak ada hal menarik. Dan Minseok menarik sebuah kesimpulan, bahwa gadis itu sibuk melalang buana dalam dunianya sendiri.

Seulas senyum tipis tersungging menghiasi wajah Minseok. Fitur dan lekukan wajahnya sungguh sebuah anugerah. Siapa yang menyangka jika usianya mencapai angka 25? Untuk orang yang tidak mengenal Kim Minseok, mereka pasti menduga ia masih sangat muda. Karena jujur saja, wajah Minseok terkesan imut dan baby face. Dan jangan lupakan pipinya yang cenderung tembam itu.

Kembali pada sosok gadis yang sedari tadi ia amati.. ouh, ia mengenal sang gadis. Ia adalah salah seorang pelanggan tetap kafe. Namun ada hal menarik yang memancing rasa ingin tahu Minseok, yakni alasan di balik pesanan gadis itu. Ya. Dia selalu memesan satu jenis kopi, dan tidak pernah berganti sekalipun. Black Coffee, kopi pahit yang selalu dipesannya.

Perlahan Minseok menurunkan cangkir yang digenggamnya, dan meletakkannya di atas meja. Lebih tepatnya, tepat di samping mesin pembuat kopi. Ia melayangkan pandangan ke sekeliling kafe. Keberuntungan tengah berpihak pada pria berperawakan mungil itu, karena situasi kafe tergolong sangat sepi. Tentu saja, ini sudah larut malam dan sebentar lagi kafe akan tutup. Jadi, Minseok tidak perlu khawatir jika ada pelanggan lain yang datang, ketika ia melakukan ‘urusannya’. Ia pun berjalan keluar dari barista counter, menuju ke arah meja sang gadis.

Seiring dengan hitungan langkah yang bertambah dan menipisnya jarak di antara mereka, semakin jelas pulalah visual sang gadis. Dengan perawakan kurus, kulit seputih salju, dan fitur wajah proporsional, Minseok berargumen jika gadis itu cukup cantik.

Miyeon tidak mengalihkan pandangannya, baik sejengkal pun dari jendela. Walaupun benaknya melayang jauh dalam awang-awang, namun tatapan Miyeon terpaku disana. Bahkan ia tidak menyadari adanya sosok lain yang kini menempati kursi di seberangnya.

Sadar jika keberadaannya belum juga terdeteksi, Minseok memutuskan untuk berdeham cukup keras, demi mencuri perhatian sang gadis. Dan…. Bingo! Usahanya berhasil, karena Miyeon menoleh dan sontak kerutan heran terlukis pada dahinya. Tepat ketika ia membuka mulut, hendak menyuarakan kebingungan –karena kehadiran barista asing, yang tiba-tiba muncul- Minseok bergegas menyela, “ Kenapa selalu kopi hitam? “

Ekspresi heran mendominasi wajah Miyeon, kedua alisnya saling bertaut dilanda rasa tersebut. Sungguh, pertanyaan to the point yang diajukan barista ini diluar dugaan Miyeon. Bagaimana pula dia dapat mengajukan pertanyaan itu? Dan jika boleh jujur, itu adalah pertanyaan pembuka dari sebuah topik sensitif bagi Miyeon, yang jelas ia hindari.

“ Kenapa kau menanyakannya? “

Pertanyaan dibalas pertanyaan. Dari sanalah Minseok menarik kesimpulan jika ini bukanlah sesuatu yang ingin dia bahas. Setidaknya bukan dengan orang asing, yang tak ia kenal, dan secara out of the blue menanyakan hal tersebut. Namun rasa penasaran telah menguasai diri seorang Kim Minseok, merasuki pikirannya. Minseok mencondongkan tubuhnya ke depan, sementara sudut kanan bibirnya tertarik ke atas, membentuk seringai jahil.

“ Aku hanya penasaran. “ Minseok mengedikkan bahu.

“ Tidak seharusnya kau penasaran.. dengan kebiasaan seorang gadis yang bahkan tidak kau kenal.” Miyeon menelengkan kepala sembari melipat kedua tangan di depan dada, jelas menentang argumen abstrak barista itu. Sama sekali tak terpengaruh tatapan mengintimidasi Minseok, ataupun jarak tipis di antara wajah mereka.

Minseok mengembalikan tubuhnya pada posisi semula dan mendecakkan lidah. Ia tidak begitu setuju dengan sang gadis. “ Well, sebenarnya aku mengenalmu. Kau adalah pelanggan aneh yang hampir setiap hari datang kemari, dengan pesanan yang sama… black coffee. “ dua kata terakhir berupa desisan.

Miyeon memutar bola matanya, antara jengah dan geli. Lagipula, apa untungnya mengamati tingkah gadis itu? Ia pun tertawa kecil –yang membuat ia sedikit terkejut- dan Minseok dapat melihat kepedihan yang terpancar dari sana. Entah bagaimana caranya.

Keheningan sempat melingkupi atmosfir di sekitar mereka, seiring dengan kadar kecanggungan yang meningkat, ketika tidak ada seorang pun yang bersuara. Alih-alih membalas perkataan Minseok, ia memilih untuk tenggelam dalam pikirannya. Beberapa detik berlalu dalam kesunyian, hingga akhirnya ia berucap, “ Karena kupikir.. sekarang hidupku tak jauh berbeda dari rasa kopi itu. Pahit dan hambar. “ Ia menghela napas dalam sebelum melanjutkan, “ Sedikit berlebihan, ya? “

Sedikit bingung akan respon apa yang patut diberikan, Minseok menggeleng pelan. Ia masih belum mengetahui alasan gadis itu, jadi ia merasa jika tindakan tersebutlah yang paling aman. Jauh di dalam sana, ia tertegun. Sama sekali tidak menyangka akan jawaban Miyeon, yang cenderung emosional. Namun tepat ketika ia hendak melempar tatapan simpatik padanya, sang gadis kembali berkata, “ Tapi aku sudah terbiasa dengan rasa kopi ini. “ dia mengedikkan bahunya, mencoba bersikap sesantai mungkin. Walaupun pada kenyataannya, sejumput rasa tak nyaman mulai menerpa Miyeon.

“ Apa yang sebenarnya terjadi? “ sebelum otak Minseok sempat mencerna ataupun mengolahnya –menjadi pertanyaan yang tidak terlalu frontal- kalimat itu meluncur terlebih dahulu dari bibirnya, secara spontan.

Miyeon sontak menundukkan kepala, tatapannya jatuh pada permukaan meja kafe. Ia menggigit bibir bawahnya, gelisah. Di sisi lain, Minseok sibuk merutuki diri sendiri dalam hati. Ia menyesali pertanyaan tidak sopan sekaligus terlampau frontal, yang baru saja ia lontarkan. Ia tidak akan heran jika setelah ini, sang gadis tidak lagi menanggapi pertanyaannya. Namun sungguh mengherankan, ketika Miyeon tetap merespon rasa ingin tahu Minseok dengan sebuah jawaban. “ Tidak ada. Hanya sebuah kecelakaan, yang membuat semua orang kesayanganku pergi jauh. Orang tua..dan kekasihku sendiri. “

Kabut bening itu terbentuk di sana, pada sepasang manik kecoklatan milik Miyeon. Dan jika saja Miyeon tidak berhasil mengendalikan emosinya, dapat dipastikan kabut tersebut menebal, beralih wujud menjadi buliran kristal bening, yang meluncur sebagai tetesan bernama air mata. Tapi untungnya, ia berhasil. Gadis itu berhasil menahan sesak dalam dadanya.

Kali ini kadar keterkejutan Minseok telah mencapai puncaknya, kedua matanya membulat sempurna. Sejak awal ia sama sekali tak menyangka, jika alasan semacam inilah yang menjadi kunci di balik tingkah aneh gadis itu. Sikap fanatiknya terhadap kopi hitam, sebab ia melihat cerminan hidupnya dalam rasa kopi tersebut. Pahit sekaligus hambar. Tentu saja, perasaan itulah yang akan mendominasi dirimu, ketika orang-orang yang kau sayangi pergi jauh, menuju tempat yang tidak mungkin kau jangkau. Setidaknya hingga ajal menjemputmu pula.

Untuk sejenak Minseok bergulat dengan pemikirannya sendiri. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia pasti telah menyakiti perasaan sang gadis. Ouh, Minta maaf! “ Maafkan aku.. aku tidak tahu jika.. “

“ Tidak apa-apa “ potong Miyeon sebelum Minseok menuntaskan kalimatnya. Ia tersenyum tipis. Kerutan terlukis pada kening Minseok, begitu menyadari jika ekspresi sedih sang gadis telah menghilang entah kemana. Sebaliknya, kini ia terlihat tenang. Terlampau tenang malah.

Keheningan kembali melanda, terasa kental melingkupi mereka berdua. Miyeon sibuk dengan kegiatannya –menerawang keluar jendela- sementara Minseok mengamati gadis itu. Tentu saja, ada rasa bersalah yang menyeruak dalam relung batinnya. Ia juga tahu, senyuman tipis tadi.. tak ubahnya senyuman palsu. Hanya sebuah topeng. Ia mengetuk-ngetukkan ujung jemarinya pada permukaan meja, hingga menghasilkan bunyi tak-tuk beraturan. Salah satu kebiasaan Minseok jika ia tengah berhadapan dengan situasi canggung.

Tiba-tiba saja, sebuah ide melintas dalam otak barista Kim. Ia tahu, mungkin idenya kali ini terbilang konyol atau bahkan kekanakan. Namun ia tidak peduli. Minseok tersenyum simpul seraya beranjak dari kursinya. “ Tunggu sebentar. Aku segera kembali. “

Miyeon mengalihkan pandangannya dari jendela, hanya demi mendapati Minseok yang berjalan menuju barista counter. Pemuda itu menyibukkan diri dengan mesin pembuat kopi, dan –entah apa namanya- berbagai alat lainnya. Tidak sampai 5 hitungan menit berlalu, hingga Minseok kembali berjalan menuju meja Miyeon. Kali ini dengan secangkir kopi dalam genggaman tangan Minseok.

Barista Kim meletakkan secangkir kopi tersebut tepat dihadapan Miyeon, yang menyambutnya dengan ekspresi heran. Ia tidak tahu jenis kopi apa yang disuguhkan Minseok, namun pasti bukanlah black coffee, sebab tampilannya jelas berbeda. Kopi itu tidak hitam pekat seperti black coffee, begitupun aroma yang terhirup indra penciuman Minyeon. Berbeda.

Miyeon mendongakkan kepala dan menatap Minseok, masih dengan ekspresi kebingungan. Namun tidak lama, karena dia segera menjawab rasa penasaran Miyeon. “ Ini adalah caramel macchiato. Kau pasti suka. Cobalah. “

Sang gadis mengamati kopi tersebut sebelum akhirnya menggeleng kecil dan berkata, “ Kau tahu aku tidak meminum kopi, selain black coffee. “ tolaknya halus.

Minseok menghela napas dalam. Ia telah berprasangka jika Miyeon akan menolak kopi itu. Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja. “ Apa gunanya meminum satu jenis kopi yang sama? Apa kau tidak bosan? “ sebelum Miyeon sempat menjawab, Minseok melanjutkan perkataannya, “ Kopi ini manis dan berbanding terbalik dengan black coffee. Jika kau terus meminum black coffee, kau hanya akan terfokus pada rasa kopi itu. Pahit sekaligus hambar. Sekali-kali, cobalah sesuatu yang berbeda. Mungkin kau akan merasakan kebalikannya jika meminum ini. Caramel Macchiato. Manis. “

Penjelasan panjang lebar Minseok tak urung membuat gadis itu berpikir. Dan akhirnya menarik sebuah kesimpulan, jika pola kelakukannya beberapa bulan terakhir, layaknya orang yang dilanda depresi berkepanjangan. Poin terakhir memang tidak salah. Ia memang depresi. Siapa pula yang tidak depresi ketika kehilangan orang-orang terbaik dalam hidupmu? Namun itu tidak berarti ia harus menambah kadar depresinya, bukan? Dengan bertingkah seperti itu.

Miyeon mengulum senyum tulus. “ Kau tahu? Mungkin kau benar. “ komentarnya, yang membuat Minseok mengedikkan bahu. “ Aku tahu jika aku benar. “

Gadis itu terkekeh pelan karena tingkah Minseok yang terlampau percaya diri tersebut. Atau dapat dibilang… narsisme. Ini memang mengejutkan, ketika orang asing yang tidak kau kenal dapat mengubah cara berpikirmu selama beberapa bulan terakhir, dengan begitu mudahnya.

Seraya menepis segumpal keraguan yang tersisa, Miyeon menyeruput secangkir cairan hangat tersebut, yang kemudian berinteraksi dengan lidah, dan pada akhirnya melesak sempurna melalui kerongkongan Miyeon. Rasa manis mendominasi indra perasa Miyeon, yang jelas memberi sensasi berbeda dibandingkan black coffee.

Perlahan namun pasti, ia meletakkan secangkir caramel macchiato di atas meja. Miyeon mendongak dan melemparkan seulas senyum sarat ketulusan pada sang barista. “ Terima kasih. Aku menyukainya. Dan kupikir.. aku tidak akan meminum black coffee lagi setelah ini. “

Kim Minseok hanya balas tersenyum. Dalam hati ia memuji dirinya sendiri, ternyata ide yang ia anggap konyol tadi membuahkan kesuksesan. “ Benarkah? “ kedua alisnya tertarik ke atas. Ia ingin memastikan perkataan Miyeon.

Miyeon mengangguk. “ Ya.. akan kucoba…. Kim Minseok-ssi. “ ujarnya seraya membaca deretan huruf pembentuk nama sang barista, tercetak pada papan nama yang terpasang pada seragamnya. Sementara Minseok –yang tidak tahu nama Miyeon- sempat dilanda kebingungan mutlak. “ Err.. “

“ Lee Miyeon. “

“ Ah, Baiklah, Lee Miyeon-ssi “

Kemudian Minseok mengulurkan sebelah tangannya, dengan keramahan yang mendominasi ekspresi wajahnya. Miyeon kembali terkekeh sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Minseok. Hangat. Itulah yang ia rasakan begitu tangan mereka saling bertaut. Dan entah mengapa, Miyeon menyukai hal ini. Ia menyukai aliran listrik berbaur kehangatan yang menerpa dirinya, begitu ia mengenggam tangan Minseok.

“ Senang berkenalan denganmu. “

Miyeon tersenyum lebar, yang dibalas Minseok dengan seulas seringai –tidak dalam arti negatif- . Barista itupun berkata, “ Senang bertemu denganmu juga. “

Dan entahlah apa yang akan terjadi diantara dua pecandu kopi itu. Apakah takdir akan bermain-main dalam kehidupan asmara mereka? Ataukah tali persahabatan akan terjalin di antara Miyeon dan Minseok? Tidak ada yang mengetahuinya. Dan untuk sementara ini, biarlah mereka larut dalam sebuah pertemuan singkat, yang diawali dengan secangkir black coffee

=FIN=

2 komentar: