ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Senin, 20 Juli 2015

I Won't Leave [1/2]



  I Won't Leave [1/2]

by  Stephcecil
Cast : Jung Yunho, Yoon Bora, Jeong Jinwoon
Lenght : Chaptered || Genre : Marriage Life, Romantic, Angst || Rating : PG
Disclaimer : The cast isn't mine, story line requested by @meydina.





***



Sensasi dingin dari rantai perak itu menjalari leher seorang wanita muda. Ia menunduk, tangan halusnya menyentuh liontin berlian 24 karat, yang resmi menjadi miliknya sejak beberapa menit lalu. Setelah puas mengagumi hadiah ulang tahun pernikahan tersebut, ia mendongak dan melempar senyum tulus, “Terimakasih, Yunho-ya.”

Jung Yunho, sang suami yang menjadi teman kencannya malam itu merespon dengan tawa renyah. Mata sipitnya tampak semakin mungil di bawah pantulan lampu remang restoran mewah –yang sengaja disewanya. “Hey, kenapa formal sekali, nyonya Jung?”

Bora menggeleng, wajahnya merona begitu kata “Nyonya Jung” meluncur melalui bibir Yunho. Meski terhitung tiga tahun sejak janji sehidup-semati mereka disahkan, tak urung kupu-kupu dalam perutnya bergolak.

Kehidupan kelas atas dipijaknya pula sejak hari sakral itu. Sebagai istri dari CEO perusahaan ternama dan salah satu yang tersukses di Korea Selatan, mau tak mau Yoon Bora terkena imbasnya. Pergaulan berganti jadi pembicaraan bisnis, acara makan malam menjadi pertemuan bisnis, dan etika –yang sebelumnya diacuhkan- kini dijunjungnya tinggi. Namun semua itu bukanlah masalah bagi Bora, sebab yang terpenting, ia dapat mendampingi orang yang ia cintai, yakni Jung Yunho.

Yah, oppa, berhenti menggodaku.”

Yunho menyesap winenya, sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seringai jenaka, “Menggoda? Kenapa aku harus menggoda istriku sendiri?”

Aigoo- kau ini.”

Bora mendecakkan lidah, sementara manik gelapnya mengamati lekuk wajah sang suami. Jung Yunho, pria loyal, royal, nan romantis dihadapannya telah sukses membuat ia jatuh hati sejak pertemuan pertama. Dia adalah sosok pria idaman kaum hawa, yang mampu membuat sesama jenis menyingkir pesimis jika disandingkan. Dia tahu berjuta cara membawa kebahagiaan bagi Bora. Bahkan, setelah cukup lama mencapai jenjang pernikahan, belum pernah ia membuat istrinya meneteskan air mata.

Dari balik jendela restoran yang separuh tertutup gorden merah tua, rembulan menyembul indah ditemani bintang. Makhluk-makhluk malam seakan turut tersenyum dan berbahagia bersama sepasang insan
***



Aroma makanan menguar dari area dapur, tak jauh dari kamar utama sepasang suami-istri Jung. Dimana aroma menggoda itu membuat Yunho terusik dari alam mimpi, sedangkan cacing-cacing dalam perutnya sama sekali tak membantu –berhubung ia sibuk bekerja hingga melewatkan makan malam kemarin. Disibakkannya selimut, kemudian beranjak ke dapur, berniat mengisi perut.

Senyum Jung Yunho terkembang lebar begitu melihat visual sang istri. Siluet bak model, tubuh ramping terselubung kaus longgar, dan rambut kecoklatan sepunggungnya tampak menawan di mata Yunho. Ia pun berjinjit mendekati posisi berdiri Bora. Ketika ia telah berdiri tepat di belakang sang istri –dan Bora sama sekali tak menyadari kehadiran Yunho- direngkuhnya pinggang mungil Bora erat-erat.

“Selamat pagi yeobo.”

Bora tersenyum lebar. Suara bariton yang menyapa harinya itu sungguh familiar. Ia berbalik –mengacuhkan sejenak omelet di atas wajan- dan mengecup singkat pipi Yunho, “Selamat pagi.”

“Bagaimana tidurmu semalam?”

Bora mendecakkan lidah, senyumnya merekah lebar, “Karena ada kau disampingku, jelas aku tertidur pulas.” 
***




“Tuan, apakah anda akan bermalam di kantor lagi? Sudah dua hari anda tidak pulang.”

Jung Yunho mendongak, mengabaikan sejenak setumpuk berkas yang masih harus ia selesaikan, sebagian besar berupa laporan saham dan investasi perusahaan. Lingkaran hitam tampak jelas di bawah mata, lengkap dengan raut kusut dan rambut tak terurus, sebagai penanda jam lemburnya dua hari terakhir. Ia menguap sembari meregangkan otot-otot kakunya, kemudian menjawab, “Aku akan pulang malam ini.” Ditunjuknya folder merah tua di bagian teratas berkas tadi, “Bisakah kau mengecek isi map itu? Taesan group ingin mengajukan kerjasama dengan kita. Tapi aku belum sempat mengecek penawaran mereka.”

Sang lawan bicara, asisten Hong mengangguk singkat, “Tentu saja, serahkan hal itu padaku. Sekarang anda harus pulang dan beristirahat. Nyonya Jung pasti sudah menunggu.”

Mendengar nama istrinya disebut, Yunho tersenyum, “Kau benar.” Ia pun bangkit dari kursi kerja, mengenakan kembali jas hitam yang ia telantarkan di sofa, lalu menepuk pundak asisten kepercayaannya, “Kalau begitu, aku pulang dulu,” dan berjalan melewati asisten Hong. Suara pintu kayu yang ditutup pelan mengiringi lenyapnya visual Yunho dari ruangan. 
***




Mengabaikan saran asisten Hong –yang menyuruhnya naik taksi daripada menyetir sendiri- Yunho berjalan santai ke basement perusahaan. Segera setelah ditemukannya BMW hitam kesayangan, ia pun masuk ke dalam mobil dan memposisikan diri di balik kemudi. Pria itu mendesah seraya memijit keningnya dikarenakan pening. Menghabiskan hari di kantor, dengan mata terus terpaku pada layar laptop dan berkas-berkas bertulisan mungil, adalah lebih dari cukup untuk membuat Yunho lelah. Tetapi ia tidak ingin menambah kekhawatiran Bora, jika disuruh menjelaskan mengapa ia pulang dengan taksi dan bukannya mengemudi sendiri. Dia pasti akan mengomelinya karena terlalu fokus bekerja.

Jam digital di dasbor mobil menunjukkan pukul 11 PM. Langit didominasi hitam kelam, bulan sabit menyembul –sedikit tertutupi oleh gedung-gedung menjulang kota Seoul, dan lalu lintas tergolong cukup sepi malam itu, meski tidak benar-benar ‘sepi’ karena beberapa masyarakat modern masih beraktivitas. Yunho mengambil jalan pintas menuju rumah, yakni melalui highway yang cukup berbahaya. Namun ia ingin bergegas pulang lalu beristirahat, tanpa mempedulikan kondisi tubuh yang kurang maksimal –kepalanya mulai berdenyut nyeri, efek kurang tidur- dan gelapnya jalanan malam. Disamping itu, karena tidak banyak kendaraan melintas, ia berpikir akan aman untuk menggunakan kecepatan di atas rata-rata.

Musik jazz mengalun lembut, setara hembusan angin dingin AC mobil. Yunho bersenandung kecil sembari terus mengemudi. Separuh perjalanan telah ia tempuh, ketika ponselnya berdering nyaring. Ia pun melepaskan sebelah tangan dari kemudi, lalu digunakannya untuk menjawab panggilan, “Yeoboseoyeo?

Yeobo, kau pulang tidak malam ini? Aku berencana memasak bibimbap kesukaanmu.”

Mendengar suara khas Bora di seberang, senyum Yunho terkembang lebar, seiring berkurangnya penat di sekujur tubuh. Suaranya terdengar ringan saat menjawab, “Aku sedang dalam perjalanan pulang, kira-kira sampai 10 menit lagi.”

Beberapa detik kemudian, denting peralatan dapur mulai terdengar melalui saluran telepon, yang diterka Yunho sebagai tanda dimulainya aktivitas kuliner Bora. Dan lagi-lagi, ia tersenyum, membayangkan sang istri dengan celemek biru muda bermotif bunga, bereksperimen dengan bumbu dapur. Bahkan, Yunho seolah mampu mencium aroma sedap bibimbap buatan Bora.

“Kau sendirian?”

“Ya.”

Terdapat kesan khawatir dalam intonasi Bora, “Yah, bagaimana bisa kau mengemudi sambil menelepon? Kenapa kau mengangkat- Eish, kenapa kau serampangan sekali, huh? Aku akan menutup telepon sekarang. Hati-hati di jalan! Anyeong!”

Klik.

Yunho berdecak seraya melempar ponsel ke jok penumpang, senyumnya tetap melekat, “Aigoo, Jung Bora, kau sungguh-“ kalimatnya menggantung di udara, tersendat oleh syok berbaur keterkejutan. Serta merta manik hitamnya membulat sempurna, begitu menyadari jarak antara BMW dan truk pengangkut barang melalui kaca depan mobil.

2 meter. Hanya tersisa dua meter.

Tiada waktu tersisa bagi Yunho untuk merutuki lengah. Seiring dengan bunyi klakson yang memekakkan telinga, semakin besar rasa panik dalam diri. Tanpa buang waktu, bergegas ia membanting setir ke arah kiri, menjauhi kendaraan besar tersebut. Namun rupanya takdir berkata lain, sebab upaya Yunho pada detik-detik kritis tetap berujung celaka.

1 meter.

Wajah sang istri terbayang dalam benaknya, sesaat sebelum menutup mata dan pasrah.

“Jung.. Bora.” 
***




Klontang.

Kerutan menghiasi kening Bora, saat pisau yang tengah ia gunakan jatuh bebas ke lantai. Ditelengkannya kepala sembari berjongkok untuk memungut benda tajam itu, sedikit heran karena ia tidak biasa bersikap ceroboh. Apakah tadi tangannya licin? Mungkin saja.

Wanita muda itu menyingkirkan firasat anehnya, lalu memutuskan untuk mencuci sayuran –yang baru selesai dipotong, ketika dering ponsel menghentikan aktivitas Bora. Ia pun mendesis kesal dikarenakan nomor familiar pada layar ponsel.

Yah, Jung Yunho, sudah kubila-“

“Apakah ini nyonya Jung? Suami anda baru saja mengalami kecelakaan-“

Perkataan selanjutnya bagai lullaby pengantar mimpi buruk bagi Bora. Sekujur tubuhnya terasa kebas. Tangannya bergetar heboh saat berusaha mengecek alamat rumah sakit yang baru dikirim lewat pesan singkat. Dengan debaran jantung abnormal serta wajah berangsur pucat, ia mengenakan mantel –masa bodoh dengan piyama- dan menyambar kunci mobil. 







***








Diabaikannya peluh yang membasahi pelipis, rasa terbakar pada kakinya –karena berlari- tak diindahkan pula. Setelah bertanya kepada perawat di lobby mengenai keadaan Yunho dan dimana suaminya berada sekarang, ia tahu bahwa Yunho dilarikan ke unit gawat darurat.

Wajah-wajah para pekerja rumah sakit, pengunjung, serta pasien tampak samar dalam ingatan Bora ketika wanita itu berlari gusar melewati mereka. Tatapan simpatik dan terganggu yang ia dapatkan dari pemakai elevator lain juga tak ia pedulikan. Sebab saat ini, prioritasnya adalah Jung Yunho.

Lantai 4.

Bora menghentikan langkah dengan napas terengah begitu tiba di lantai tersebut. Peluh membasahi tubuh, membuat piyamanya terasa lengket, namun ia terlalu panik untuk –lagi-lagi- peduli. Dilayangkannya pandangan secara liar sembari mencoba mencari keberadaan sang suami, namun gagal ia temukan. Bora meneguk ludah, telapak tangannya semakin dingin.

Kemudian melalui sudut matanya, Bora mendapati seorang dokter keluar dari salah satu ruang UGD. Mencoba peruntungan serta insting, ia pun berlari dan mencengkeram jubah putih dokter itu. Ego dan malu ia kesampingkan jauh-jauh saat berkata dengan nada memohon, kerongkongan tercekat, dan suara lirih bak cicitan, “Dokter, suami saya dokter. Ju-Jung Yunho-“

Dokter tersebut berperawakan tanggung –cenderung pendek, kulit seputih susu, serta wajah tampan yang tampak muda. Sang dokter mengernyit heran, namun tatapannya berangsur lembut nan emosional saat bertanya, “Bora? Yoon Bora?”

“Eh?”

Butuh beberapa detik bagi Bora untuk menganalisis identitas sang dokter, melalui mata berkaca-kaca dan pikiran kacau. Tetapi sejumput lega menghampirinya karena ia mengenali dokter itu sebagai kawan lama mereka, temannya dan Yunho semasa SMA dulu, “Kim Junmyeon? Su-Suhoya, aku-“

Ssh… hyung baik-baik saja,” Suho membelai rambut kusut Bora dan menatapnya penuh simpatik, “Tapi ada satu hal yang harus kuberitahukan padamu, sebagai walinya.”

Bora menggigit bibir bawah lalu mengangguk pelan, nyaris tak terlihat. Debaran jantung yang sempat berkinerja normal kini kembali berdetak kencang, seiring datangnya firasat buruk yang mulai bermain-main dalam benak, “Katakan saja.”

Suho menghela napas panjang, seakan dihantui rasa bersalah. Menjadi dokter bukanlah pekerjaan mudah, sedangkan momen yang paling ia benci adalah, momen-momen seperti ini.

“Karena hantaman yang kuat, tulang belakangnya patah dan ada pergeseran pada tulang ekor-“

“Jangan berbelit-belit.”

“Maafkan aku. Tapi kemungkinan besar, hyung tidak akan bisa berjalan lagi. ”

Dan bendungan di manik kecoklatan Bora, yang setengah mati ia tahan, kini meluncur bebas sebagai buliran-buliran kristal bening. Isakan pedih mulai terdengar mendominasi hallway rumah sakit yang dipenuhi wajah-wajah murung, seiring dengan menguapnya energi Bora hingga wanita itu jatuh terduduk di atas lantai dingin rumah sakit. 
***






Cahaya jingga mentari sore menembus gorden putih kamar rumah sakit. Ruang berukuran sedang itu didominasi warna putih, dimulai dari lemari bercat putih hingga meja kecil di samping single bed, dimana sesosok pria duduk duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Fitur wajahnya nyaris sempurna dengan hidung mancung, dan rona pucatnya tak mampu menandingi kerupawanan sang pria. Matanya menatap kosong jendela bergorden putih –nyaris transparan, dimana sepasang manik itu seolah memancarkan keputusasaan fatal.

Cklek.

Pintu kamar dibuka dan seorang wanita berparas mungil memasuki ruangan, diiringi senyum yang melekat manis pada wajah lelahnya. Sedangkan sang pria tak berkutik dari posisi semula. Yoon Bora menghela napas panjang, lalu mendorong pelan kursi roda ke samping tempat tidur suaminya.

“Yunho-ya…”

Bora kembali menarik napas panjang. Dilepaskannya cengkeraman pada pegangan kursi roda, kemudian tangannya menangkup kedua sisi wajah Yunho, seraya menatap intens mata suaminya. Suaranya lirih namun sarat emosi saat berkata, “Percayalah padaku, bahwa ini bukanlah akhir. Segalanya pasti akan berlalu. Dan apapun yang akan terjadi. Aku akan selalu berada di sisimu.”

Yunho mendengus, ditepisnya tangan Bora, “Lakukan apa yang kau mau. Aku tidak peduli.”

Bora tersenyum pahit mendengar respon Yunho. Meski ia telah memprediksi perubahan sikap pria itu –efek depresi karena kehilangan kemampuan berjalannya- namun tak urung perkataan tajam Yunho membuat sesak dada Bora, mempersulit usahanya memasang senyum.

“Kau selalu menjagaku selama ini. Jadi, yang kumau sekarang adalah, kau mengijinkanku untuk menjagamu.”

Ada kebulatan tekad dalam nada Bora, yang membuat Yunho menoleh dan mendapati wajah kusut istrinya. Kabut bening mulai terbentuk pada manik kecoklatan wanita muda itu, “Aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak akan pernah. Jadi tolong, jangan tinggalkan aku juga. Aku mohon, Jung Yunho.” 
***




Menurut hukum alam, selalu terdapat titik balik dalam kehidupan manusia. Bagaikan sebuah roda, ada saat dimana kau berada di titik teratas, lalu perlahan berputar kebawah, terus menerus jatuh bangun. Sebab hakikat kehidupan merupakan rute dinamis, seiring dengan seimbangnya yin dan yang.

Bagi Yunho, beberapa minggu terakhir merupakan periode terburuk. Setelah insiden fatal dua minggu lalu, ia terpaksa hidup sebagai tunadaksa. Seakan takdir belum puas menyiksa Yunho, membuat pria itu berkubang dalam depresi dan menghirup aroma memuakkan rumah sakit selama dua minggu, ia harus menerima kabar buruk mengenai perusahaan IT miliknya.

Yunho dijebak. Salah satu rekan kepercayaannya berkomplot dengan perusahaan saingan, bekerjasama membujuk para pemegang saham untuk mencabut investasi mereka, yang berujung pada kebangkrutan perusahaan Yunho. Ia sama sekali tidak menyangka, tak terbayang sedikitpun jika hal memalukan seperti ini dapat terjadi. Ia terlampau lengah dan naïf.

Kini, mantan CEO perusahaan IT tersebut tak kuasa melakukan apapun, selain duduk di kursi roda dan memandang hampa bekas ruang kerjanya. Terdapat kekosongan berbaur buih dendam dan emosi negatif lain dalam hati, yang semampu mungkin ia pendam. Pandangannya melayang, menangkap setiap detil ruang medium itu, demi mendapati –lagi-lagi- kekosongan semu. Tumpukan folder, cangkir kopi favorit, dan aroma lavender pengharum ruangan telah menguap sebagai kenangan belaka.

Yunho mengerjap ketika merasakan hembusan napas di tengkuknya, disusul sepasang lengan yang melingkari leher, memberi sensasi hangat nan nyaman. Ia tidak ambil pusing untuk menoleh dan mengecek identitas si pelaku, karena sensasi tersebut sangatlah familiar. Bulu romanya meremang, mendengar suara alto Bora dalam nada rendah, nyaris berbisik di dekat telinganya, “Oppa, apa yang kau pikirkan sekarang?”

Pria itu terdiam seraya membiarkan Bora menyandarkan kepala di bahunya. Karena ia menggunakan kursi roda, Bora harus berlutut untuk menyetarakan tinggi. Sang istri tersenyum pahit, kembali berkata, “Apa ini sulit untukmu? Kehilangan semua yang kau bangun susah payah, hanya dalam waktu singkat?”

Pertanyaan retorik, namun cukup telak.

Yunho membasahi bibir bawahnya, manik matanya menatap kosong Bora yang kini berjongkok di samping kiri kursi roda. Sejak insiden itu terjadi, tanpa sadar ia kerap mengacuhkan sang istri. Dan sekarang, ketika ia memandang wajah pucat dan lingkaran hitam di bawah mata Bora, dadanya berdenyut nyeri. Bibir merah ranum yang biasanya dihiasi senyum itu kini membentuk garis datar.

“Bora-ya..”

Bora mendongak, tersenyum kecut, “Ah, bukankah pertanyaanku cukup bodoh? Tentu saja semua ini terasa sulit.” Ia meringis, lalu menelan ludah sebelum melanjutkan, “Tapi ada satu hal yang perlu kau sadari.”

Perlahan, rasa nyeri di dada Yunho beralih menjadi sesak. Benteng pertahanan yang ia gunakan untuk menghadapi tudingan para mantan karyawan serta rasa malunya sebagai tunadaksa, kini terancam hancur di hadapan Bora. Apalagi, saat kristal bening meluncur membasahi pipi pucat sang istri.

“Kau harus sadar kalau kau tidak sendirian. Kau masih memilikiku. Kalaupun semua orang meninggalkanmu, aku tetap akan bertahan.”

Susah payah Bora mengungkapkan isi hatinya, melalui kerongkongan yang terasa tercekat. Ia pun merutuki buliran air mata yang terus meluncur bebas, satu persatu. Ia benci tampak lemah. Namun apa daya. Meski tampak kuat diluar, hatinya serapuh gelas kaca.

Keheningan semu mendominasi ruangan, dengan atmosfir suram menggantung di udara. Hanya terdengar detak jam tua dan isakan lirih Bora. Sementara Yunho memilih bungkam seraya mengecup lembut puncak kepala Bora.

Berbagai kata penenang telah berada di penghujung lidah Yunho. Tetapi sesuatu membuatnya enggan menghibur Bora, yakni rasa bersalah dan takut. Ia bukanlah orang yang sama seperti dulu. Tidak lebih dari seorang tunadaksa, tunakarya pula. Ia takut jika kesetiaan Bora hanya membuahkan sakit hati, kesengsaraan, penderitaan. Bagaimana masa depan mereka nantinya?

Di sisi lain, Yunho tidak ingin Bora enyah dari sisinya. Katakanlah ia terlampau egois, sebab Yoon Bora adalah satu-satunya tiang penopang di tengah reruntuhan, dalam dunia ‘baru’ Yunho.

Tetes demi tetes air mata membasahi punggung tangan Yunho, yang digenggam erat Bora. Hangat. Pilu. Menggoyahkan egonya. 
*** 





Bora melepas celemek lalu memandang bangga buah tangannya pagi itu. Sup jagung, udon, dan dua gelas jus apel telah tertata rapi di atas meja makan sederhana. Yah, sederhana, karena hampir seluruh pendapatan Yunho digunakan untuk proyek terakhir perusahaan –dimana ia dijebak, ia terpaksa menjual rumah mewah mereka di Gangnam untuk memperoleh biaya hidup sehari-hari. Dengan demikianlah, sepasang suami istri itu berakhir di apartemen kecil pinggiran Seoul.

Setelah mencuci tangan di wastafel, Bora sempat berpikir membangunkan suaminya untuk sarapan bersama. Namun diurungkannya, sebab ia tahu bahwa Yunho susah tidur belakangan. Ia pun meninggalkan secarik pesan di atas meja makan, lalu mengambil tasnya dan beranjak pergi. Ada banyak hal yang harus ia lakukan hari ini. 
***




“Maaf, tapi kami tidak sedang membuka lowongan kerja.”

“Tidak apa-apa jika kalian membayarku dengan gaji kecil-“

Aggashi, kami tidak bisa menerima anda.”

Bora menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Seluruh restoran, coffee shop, atau swalayan yang ia datangi, selalu menolak lamaran Bora. Tidak ada yang mau menerimanya sebagai karyawan paruh waktu. Tolakan halus mereka memiliki poin, ‘anda terlalu baik untuk pekerjaan ini. Kenapa anda tidak melamar di perusahaan saja?’ seakan Bora adalah bocah kaya yang hendak bermain-main di tempat kerja mereka, atau ‘Maaf, kami tidak memiliki cukup dana untuk membayar gaji pekerja baru.’

Sembari bersungut-sungut, Bora setengah menyeret kedua kakinya –yang mendadak terasa berat- keluar dari restoran ttukbeokki. Lelah mendera sekujur tubuh, efek berjalan dan melalang buana selama hampir 4 jam. Sesungguhnya, jika ia mau, wanita itu mampu mendapat pekerjaan bergaji tinggi di perusahaan manapun di Korea. Latar belakang pendidikannya –sarjana S3- dan pengalaman belajar di luar negeri adalah lebih dari cukup sebagai kualifikasi. Meskipun begitu, kesibukan pasti akan mengekori seorang wanita karir. Dan jika ia sibuk, siapa yang akan mengurus suaminya?

Bora mendesah keras, mendongak memandang langit biru cerah, yang seakan mencela harinya. Bahkan mentari tengah menari dengan sinarnya, kenapa justru harinya berbanding terbalik?

Setelah mencoba mendatangi toko serba ada dan coffee shop lainnya –lagi-lagi berakhir dengan penolakan- Bora memutuskan untuk tidak langsung pergi dari coffee shop itu, melainkan duduk dan memesan kopi. Mereka boleh saja menolaknya sebagai karyawan, namun tidak sebagai pelanggan.

Ia duduk bertopang dagu, merutuki dewi fortuna yang kini berbalik memunggunginya, merutuki putaran roda kehidupan yang terlampau dramatis, merutuki siapapun yang dapat ia salahkan mengenai keadaannya dan Yunho kini. Kenapa-

Klining
 
Denting bel di pintu coffee shop –yang berbunyi tiap kali dibuka- hanya dianggap angin lalu oleh gadis itu. Bagai satu nada buntung dalam ratusan notasi sempurna. Namun, begitu siluat sang pelanggan baru tertangkap melalui sudut matanya, ia merasakan atmosfir familiar.

Bora mendongak, kemudian mendapati figur pria –tampak berada di pertengahan 20an- dengan tinggi semampai dan perawakan bak model berjalan ke arah Bora, lebih tepatnya, sedang mencari meja kosong. Gerak-gerik pria itu terhenti ketika mendapati sepasang manik kecoklatan yang menatapnya, terkejut.

“Yo-yoon Bora?”

“Jin Woon Oppa?”
***



Hidup sebagai tunadaksa bukanlah hal mudah bagi siapapun, termasuk Jung Yunho. Dengan susah payah, pria itu memindahkan tubuhnya dari kasur ke kursi roda –Bora sudah memposisikannya disamping tempat tidur, untuk mempermudah- dan mengernyit heran saat ia tiba di ruang keluarga, namun tidak mendapati batang hidung sang istri.

Alisnya terangkat sembari memungut secarik kertas biru muda, yang diletakkan di samping mangkuk sup beraroma menggiurkan. Huruf demi huruf membentuk tulisan rapi nan mungil, yang teramat dikenali Yunho.

“Oppa, aku pergi mencari pekerjaan hari ini, kurasa tidak akan pulang sampai malam. Hehehe. Ada kimchi di kulkas, kau bisa memanaskannya sendiri untuk makan siang, kan? Jaga dirimu baik-baik. See ya.

Your Love, Bora.

Jung Yunho benci bersikap protektif, mudah cemburu, bahkan memandang jengah para suami yang kerap membuntuti istrinya kemanapun bak stalker, ataupun menginterogasi pasangan mereka layaknya detektif, setiap kali melanggar 'jam malam'. Namun ada sesuatu dalam diri Yunho kini, katakanlah insting, yang membuatnya ingin mengendus gerak-gerik Bora.

Ia benci perasaan aneh ini.
.
.
.


TBC.

3 komentar:

  1. aku suka gaya bahasa ff ini, dari dulu pengen bisa punya cerita yang banyak basa basinya tapi g bisa hehehe

    BalasHapus
  2. doh pagi-pagi baca beginian bikin nyesek :v
    tuh jinwoon mo ngapa... betewe, gue suka ff lu kayak biasanya min. lanjut ya

    BalasHapus