Tittle : Don’t
Touch My...?
Author : Micheel
Ppyong a.k.a Kang Minhee
Cast : No Eunbin (Minwoo’s yeodongsaeng)
Jo
Kwangmin
Key
Key
Other Cast : No Minwoo
Jo Youngmin
Kang Minhee
Jo Youngmin
Kang Minhee
Mian readers kalo part 3-nya kelamaan. And mian juga kalo byk typo dimana-mana plus critanya gj karna author bikinnya cepet-cepet. udah mo uas nih.. gomawo dah mau baca ffku ini, semoga suka n tunggu kelanjutannya ya ^^
Hope u like this ff :)
“Eunbin..”
Eunbin
berbalik mendengar panggilan Key. Dan ia mendapati wajah Key begitu dekat
dengannya. Sesaat kemudian dirasakannya sesuatu yang hangat menempel pada
bibirnya. Ia memejamkan mata, Key menciumnya...
* * *
“Aku pulang dulu... Eunbin...” Key
masuk ke dalam mobilnya lalu berlalu dari hadapan Eunbin.
Eunbin terus menatap kepergian Key
dengan jantungnya yang masih berdegup kencang. Ia menyentuh bibirnya yang masih
terasa hangat. Terbayang di benaknya ciuman Key yang lembut. Wajahnya memerah,
ini ciuman pertamanya! Omo! >//<
Eunbin berbalik perlahan ke arah
pagar rumahnya, tapi betapa kagetnya Eunbin saat melihat Kwangmin berdiri di
depan pagar rumahnya.
“Kwangmin...?” gumam Eunbin tanpa
sadar. Sudah berapa lama ia di sini?
Dan.. astaga! Apa ia melihat aku berciuman dengan Key?! Gawat, ini gawat
sekali..
Tiba-tiba wajah Eunbin mengeras. Gawat apa, pabo?! Bukankah kau sudah berniat
untuk melupakannya? Lagipula jelas sekali, kau mau berteman dengan siapa, mau
dekat dengan siapa, mau berciuman dengan siapa.. itu bukan urusan Kwangmin!
Namja itu berdiri di bawah lampu
rumah Eunbin yang berwarna putih, pakaiannya yang hitam, membuat wajahnya lebih
jelas terlihat. Ia menatap Eunbin tajam. Dan entah kenapa hati Eunbin bergetar
melihat tatapan namja itu.
Mereka saling memandang beberapa
lama sebelum akhirnya Eunbin berjalan perlahan melewati Kwangmin. Kwangmin tidak
berkata apapun, menahannya pun tidak. Ia hanya berdiri tegak dan menatap
jalanan kosong di hadapannya.
* * *
Eunbin Pov
Cuaca hari ini mendung dan sedikit
dingin, tapi entah mengapa kelas oppaku memilih berolah raga di luar ruangan.
Aku terus menatap siswa kelas oppaku yang mulai keluar dari gedung. Mereka
mengenakan kaos olah raga putih dan celana biru tua, tampak bersemangat walau
matahari tidak muncul karna tertutup awan kelabu. Dan keluarlah oppaku bersama
Youngmin, hanya Youngmin, tapi beberapa saat kemudian Kwangmin keluar pula.
Ia tidak bermain bola seperti yang
lain, ia hanya berlari cepat mengelilingi lapangan.
Satu..
Dua..
Tiga..
Pada putaran ke-empat, Youngmin
mendekatinya. Ia menjeritkan sesuatu tapi Kwangmin tidak berhenti berlari. Ia
berlari, berlari, berlari dan berlari seperti orang kesetanan.
“Kau... kau bisa sakit, pabo!!!” jeritku
tanpa sadar, membuat teman sekelasku menoleh penuh tanya padaku.
Aigo! Kenapa aku lupa bahwa aku
masih di kelas? Dan kenapa juga aku harus memerhatikan kelas oppaku yang
berolah raga di lapangan bawah sana?
“Eunbin? Apa maksudmu? Siapa yang
kau bilang pabo?!” Kim seosangnim mendelik padaku, ia paling tidak suka ada
siswa yang mengganggu kelasnya.
“Ah.. eh..” aku gelagapan. Apa yang
harus kukatakan padanya? Aku sedang melihat namja tetanggaku, yang kucintai,
berlari-lari cepat seperti orang kesetanan?
“Dia menyebutku pabo karna aku
tidak bisa mengerjakan soal nomor 3, Seosangnim..” kata Minhee tiba-tiba.
Aku menatap tak percaya pada Minhee
yang duduk di sampingku. Bagaimana mungkin ia berkata begitu? Astaga, ia siswa
terpandai di kelasku, bahkan mungkin siswa terpandai di angkatanku!
Aku melirik seosangnim. “Benarkah
itu, Eunbin?” tanyanya padaku.
“Ne.. ne, seosangnim..”
“Arraseo. Tapi kau tidak perlu
berteriak begitu, No Eunbin. Itu sangat mengganggu.. sudah, mari kita
lanjutkan..”
“Huft..” aku menghela napas lega.
“Gomawo, yeoppeunni..” kataku tulus pada Minhee yang membalas dengan senyum
manisnya.
Aku memandang ke luar jendela lagi
dan berharap ia sudah berhenti berlari atau bergabung dengan temannya bermain
bola, tapi aku salah. Ia sudah tak terlihat lagi, seperti sudah tak terjangkau
lagi...
Eunbin pov end
* * *
Lee Jinki menatap kedua foto di
tangannya. Foto Key dan mendiang istrinya serta foto No Eunbin. Benar dugaannya,
Eunbin, yeoja yeoppo itu begitu mirip dengan mendiang istrinya. Hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa Key akan jatuh hati pada yeoja itu.
Ia sebagai appa ingin sekali
melihat Key bahagia, bagaimana pun caranya...
Jinki mengambil ganggang telepon
lalu memencet beberapa tombol. “Bagaimana? Kau sudah memikirkan usulku? ...
Arra, semua sudah kusiapkan, ... biar aku yang menjemputnya..”
* * *
From : Key-oppa
No Eunbin, boleh aku menjemputmu lagi hari ini?
OɅO
Pesan singkat Key
membuatku tersenyum malu. Ia ingin menjemputku? Lagi?
Aku membalasnya,
Nde.
Tentu =)
Odiseo?
From : Key-oppa
Di sekolahmu saja, seperti kemarin.. tak
apa kan?
Gwaenchana
^^
Aku
menunggumu, oppa..
* * *
Kwangmin pov
Entah mengapa
seharian ini aku merasa kesal. Dari pagi aku sudah sangat malas untuk berangkat
sekolah, jika saja Hyungku tidak memaksaku bangun, mungkin saat ini aku sedang
bersantai di rumah.
Sebentar lagi
pelajaran olah raga, siswa kelasku memilih berolah raga di lapangan terbuka
karena guru olah raga kami absen hari ini. Ternyata... hari mendung dan dingin
sekali. Aku semakin sebal. Sepanjang pelajaran olah raga, yang kulakukan
hanyalah berlari mengelilingi lapangan besar itu. sekali.. dua kali.. tiga
kali.. dan di putaran ke-empat, hyungku berteriak marah-marah padaku.
“Hei, pabo! Apa
yang sedang kau lakukan di sana?! Kenapa berlari terus dai tadi?!”
Aku tak berhenti
berlari dan berseru padanya “Dasar Hyung cerewet!! Berisik kau!”
Aku terus berlari
dan berlari. Sampai... pingsan?
Kurasa aku
pingsan, karena sesuatu yang keras menghantam belakang kepalaku. Dan begitu
sadar, aku sudah di ruangan ini, bersama Hyungku yang ketiduran di kursi dan
Minwoo yang sedang membaca buku.
“Kau sudah bangun?”
kata Minwoo saat menyadari gerakan kecilku.
Aku mengangguk
pelan padanya lalu menatap ruangan tempatku tidur beberapa jam di sini. “Kenapa
aku bisa di ruang kesehatan? Apa yang terjadi?”
Minwoo menatapku
sejenak lalu beralih pada Hyung, “Young melihatmu berlari-lari seperti orang
dikejar hantu, saat kau dibentaknya kau tidak juga berhenti. Jadi, terpaksa ia
melempar bola basket padaku agar kau sebal lalu mengejarnya dan kau akan
berhenti berlari, tapi sayang sekali, bola itu mengenai kepalamu dan kau jatuh
pingsan..”
“Sialan kau!”
runtukku pada Jo Youngmin yang masih tertidur.
Minwoo tersenyum
kecil lalu duduk di kursi sebelah tempat tidur Kwangmin. “Sebenarnya kau
kenapa?”
“Mwo? Memangnya
aku kenapa?” tanyaku benar-benar bingung. Aku menunduk memikirkan sesuatu..
“Aku.. apa.. em..”
Minwoo mengernyit
bingung. “Kau bicara apa, sih?”
“Em.. Tentang..
Ah! Sudahlah, tidak jadi..” Aku membatalkan niatku untuk menanyakan Eunbin dan
namja yang kulihat kemarin malam. Benar, aku melihat seluruhnya. Aku hendak
bertanya pada Eunbin tentang perjodohannya itu tapi tak disangka, aku malah
melihat mereka sedang berciuman. Aku begitu terkejut saat melihat mereka dan
entah mengapa hatiku terasa kosong hingga tak mampu mengatakan apa-apa saat
Eunbin melihatku berdiri di depan pagar rumah keluarganya.
“Sudahlah, ayo
kita pergi..” Aku bangkit dari tempat tidurku lalu berjalan ke arah Hyung-ku
yang masih saja tidur. Aku menyenggol keras bahu Youngmin, membuatnya ambruk.
“Jo Youngmin pabo! Hyung apa kau, berani-beraninya kau melukai saengmu?”
Walau aku telah
membuatnya jatuh, ia tetap juga tak bangun. Ia tidak merespon apa-apa.
“Dasar raja
tidur!!!” Aku berjalan meninggalkan ruangan itu. Tak peduli walau Minwoo
berteriak minta tolong padaku untuk membangunkan Hyungku. “Dasar pabo!!”
* * *
Aku tidak
menghabiskan banyak waktu di kelas setelah kembali dari ruang kesehatan. Begitu
sampai dan duduk di bangku, bel pulang berbunyi. Fiuh~ Untunglah.. Karena aku
tak ingin berlama-lama di kelas untuk mendengar ceramah seosangnim.
Aku yang pertama
berlari keluar kelas, aku lelah sekali, ingin cepat pulang dan beristirahat.
Begitu sampai di gerbang, aku ingat sesuatu... Aku belum memberitahu Minwoo dan
Hyungku bahwa aku akan mengambil cuti kerja untuk hari ini. Aku berbalik hendak
mencari mereka saat kulihat Eunbin berlari cepat ke arah gerbang SOPA. Wajahnya
terlihat senang. Apa ia akan menemui
namja itu lagi? tanyaku dalam hati.
Aku tidak jadi
mencari Minwoo dan Hyung tapi memerhatikan Eunbin yang berdiri di depan gerbang
tak jauh dariku. Berulang kali kulihat ia menengok kanan kiri, seperti sedang
mencari sesuatu..
Tak lama kemudian,
sebuah mobil hitam berhenti di hadapannya. Eunbin tersenyum senang melihat
kedatangan mobil itu tapi ketika beberapa laki-laki turun dari mobil itu, ia
tampak terkejut dan bingung.
Perasaanku tidak
enak. Aku merasa mereka berbahaya. Aku berlari mendekati Eunbin.
“Selamat siang,
Nona...” kata seorang di antara mereka sambil membungkuk.
“Ne?” kata Eunbin
lebih berupa pertanyaan.
“Kami diutus tuan
Lee Jinki dan appa Nona untuk menjemput Anda...”
Kwangmin pov end
* * *
Eunbin pov
Aku sedang
menunggu kedatangan Key ketika sebuah mobil hitam berhenti di hadapanku.
Senyumku merekah karna Key datang lebih cepat dari kemarin. Kemudian, beberapa
laki-laki berjas turun dari mobil itu. Siapa mereka?
“Selamat siang,
Nona...” kata seorang di antara mereka sambil membungkuk.
“Ne?” kata Eunbin
lebih berupa pertanyaan.
“Kami diutus tuan
Lee Jinki dan appa Nona untuk menjemput Anda...”
“Me-menjemputku?
Untuk apa?” tanyaku bingung pada mereka. Tadi pagi Appa tidak bilang apa-apa
padaku. Perasaanku jadi tidak enak. “Tapi aku sudah ada janji dengan Key..”
“Tak apa, Nona.
Tuan muda akan menyusul nanti.” Orang itu menatap sekilas pada jam tangannya,
“Mianhae, Nona, tapi kita harus cepat. Pestanya akan dimulai pukul 6 sore
ini..”
“Pesta? Pesta
apa?”
“Pesta pertunangan
Anda, Nona..”
Aku terkejut
mendengarnya. Pertunangan? Apa maksudnya?
“Pesta
pertunangan?” sebuah suara muncul tiba-tiba dari belakangku. Aku berbalik dan
melihat Kwangmin berdiri di belakangku dengan tatapan aneh. “Pesta
pertunangan?” ulangnya lagi.
Aku berusaha
menguasai diriku. Jangan tampak bodoh di
hadapannya, Eunbin! kataku pada diri sendiri. Jangan membuat ini tampak lebih sulit..
“Nde..” kataku
sedingin mungkin. “Ah~ Benar, kau belum tahu kan? Aku akan segera bertunangan
dengan namja anak teman appaku..” Aku tersenyum senang saat mengatakannya.
Terpaksa tersenyum senang, lebih tepatnya.
Kwangmin menatapku
tajam. Sedetik kemudian, ia meraih tanganku kasar lalu menarikku mengikutinya.
Para laki-laki
berjas hitam itu hendak mengejar. Tapi kulepas genggaman Kwangmin di
pergelangan tanganku lalu berkata sopan pada mereka, “Mianhe, bisakah kalin
menunggu sebentar? Ada urusan yang harus keselesaikan terlebih dulu..”
Laki-laki tadi,
yang berbicara denganku, mengangguk perlahan.
Aku berjalan cepat
di depan Kwangmin, tak jauh, hanya beberapa langkah hingga mencapai jarak
sekitar 10 meter dari pesuru Appa itu.
“Wae?” kataku
dingin pada Kwangmin yang berdiri di hadapanku.
“Kau.. setuju
dengan perjodohan ini?”
“Tentu..” Aku
memalingkan wajahku agar Kwangmin tidak mengetahui bahwa aku sedang berbohong.
“Untuk apa aku menolak? Tak ada gunanya..”
“Tak ada gunanya?
Jadi, sekarang kau mau saja jika disuruh bertunangan dengan namja yang tidak
kau kenal?!”
“Apa maksudmu? Aku
mengenal Key-oppa!”
Kwangmin menatapku
tajam saat mendengar kata ‘Key-oppa’. “Haha.. “ ia tertawa sinis. “Oppa? Dengan
namja yang baru saja kau kenal, kau sudah bisa memanggilnya oppa? Kenapa kau
tidak bisa memanggilku seperti itu?!”
Pertanyaannya itu
menusukku. Wae? Kenapa aku tidak bisa memanggilnya ‘oppa’? “Itu bukan
urusanmu!”
Kami sama-sama
terdiam. Aku sudah tidak tahan, kulangkahkan kakiku ke arah penjemput utusan
appa itu.
Sett
Kwangmin menahan
pergelangan tanganku. “Jadi kau masih mau mengikuti pest pertunanganmu dengan
Key oppamu itu?”
“Ne!”
“Bagaimana jika
aku tidak mengijinkan?”
“A-apa maksudmu?”
Kwangmin tidak
menjawab pertanyaanku. Ia menarikku berlari dengannya, entah kemana.
“Hei!” aku
berteriak padanya. “Apa kau sudah...”
“Mereka lari!!”
terdengar teriakan penjemput-penjemput itu. “Cepat kejar!!!”
Aku menoleh ke
belakang, memang benar, mereka mulai mengejar kami.
“Eunbin!
Perhatikan jalanmu!!” Kwangmin menggenggam tanganku lebih erat dan berlari
lebih cepat
Omo! Apa dia ini
bodoh? Beda tinggiku dan tingginya cukup jauh, kakinya panjang dan kakikuu
tidak (panjang).
Kami berbelok
memasuki gedung sekolah. Melewati lorong lalu menaiki tangga menuju hall di
lantai atas.
“Cepat masuk!!”
Kwangmin setengah mendorongku masuk ke dalam ruangan besar itu.
“Hosh... hh..
hh..” aku terengah-engah, belum pernah aku berlari secepat ini. “Apa... hh..
yang harus kita.. lakukan?”
“..hh.. aku tidak
tahu..” kata Kwangmin yang juga terengah-engah. “Ikut aku!” Ia menarik tanganku
lagi tapi kali ini lebih perlahan. Kami berjalan ke sudut ruangan. Di sana ada
ruangan kecil tempat meletakkan peralatan olah raga. Kami masuk ke dalamnya.
Ruangan ini sangat sempit tapi setidaknya cukup untuk kami berdua.
“Kenapa kita harus
bersembu..”
“Ssst..” Kwangmin
meletakkan jari telunjuknya di depan bibirku. Ia memohon padaku untuk tidak
bersuara. Wajah kami begitu dekat karena sempitnya ruangan ini, membuat
jantungku berdetak kencang.
Deg deg deg
Kumohon, jangan
sekarang!!
“Hei! Keluarlah!
Kami tahu kalian ada di sini!!” teriakan seseorang bergema di hall.
Gawat!
“Kwang?” kataku
bingung saat melihat Kwangmin melepaskan tangannya dari tubuhku lalu berjalan
menjauh.
“Tunggu aku di
sini! Jangan bersuara, kumohon...” katanya dengan pandangan memelas.
“Kwang! Apa yang
kau...” Terlambat, Kwangmin sudah keluar dari ruangan itu.
Aku mengintip
keluar. Di sana berdiri Kwangmin dan empat laki-laki berpakaian hitam tadi.
“Di mana kau
sembunyikan Nona?” kata seorang di antara mereka yang memakai kacamata hitam.
“Sampai mati pun
aku tak akan memberitahukannya pada kalian!”
“Dasar bocah!”
Seorang dari mereka maju cepat mendekati Kwangmin. Ia melayang tinju yang dapat
dihindari Kwangmin. Ketiga laki-laki lain juga melayangkan tinjunya pada
Kwangmin, tapi Kwangmin bisa mnghindar dari mereka. Seperti berlari
mempertahankan bola basket yang sering ia mainkan. Melewati lawannya satu
persatu. Walaupun Kwangmin hebat dalam basket, tetap saja ia akan hilang
kendali jika lawannya ada empat orang yang berbada besar.
Duakk
Sebuah tinju
mendarat di pipi kiri Kwangmin. Ia jatuh ke lantai yang keras. Pukulan itu
tidak selesai begitu saja, datang pukulan-pukulan lain.
Duakk
Duakk
Kwang! aku menjerit tertahan dalam hati.
Apa yang harus
kulakukan? Dengan tangan gemetar aku meraih ponselku lalu men-speed dial nomor
oppaku.
“Yeobuseyo?”
“Op-ppa...” kataku
terbata.
Duakk
Suara pukulan yang
bertubi-tubi membuat tangisku pecah. “Oppa.. a-aku berada di hall.. Kwang..
ia.. waa!”
Seseorang
menarikku keluar dari ruangan itu. Ponselku jatuh! “Eunbin? Eunbin?!” suara
oppa yang memanggil-manggil namaku masih bisa kudengar. Namun sial! Ponsel itu
diinjak oleh orang yang menarikku ini.
“Kau harus iku
aku, Nona!”
“Andwae!
Lepaskan!” Aku meronta-ronta padanya. Menendang, memukul, berteriak. “Kubilang
lepas, pabo!!”
Duak
Orang itu mendapat
pukulan keras dari belakang.
Kwangmin! Ia
berdiri di belakang orang itu. Wajahnya penuh luka dan darah.
“Bocah tengik
kau!!” kata orang itu pada Kwangmin. Ia melepaskanku dan berjalan mendekati
Kwangmin. Ia menendang perut Kwangmin, membuatnya jatuh tersungkur. Darah
keluar dari mulutnya.
“Kwang!”
“Hei! Mana adil
empat lawan satu?” sebuah suara mebuatku berpaling dari pandangan mengerikan
itu.
Minwoo oppa dan
Youngmin berdiri di depan pintu aula. Wajah mereka begitu kusut saat melihat
Kwang dipukuli oleh empat orang berbadan besar. Mereke berjalan perlahan
mendekati para laki-laki itu. Gerakan cepat Minwoo oppa, dengan penguasaannya
terhadap Hapikdo (seni bela diri Korea), membuat seorang dari para laki-laki
itu tumbang. Begitu juga laki-laki yang satu, tumabng begitu saja dengan
serangan cepat oppa.
Youngmin yang
tidak menguasai jenis bela diri manapun tidak tinggal diam. Ia punya kaki
panjang yang ia manfaatkan untuk menendang kedua lelaki yang tersisa.
Tak sampai 10
menit, ke-empat lelaki itu ambruk.
Aku berlari
menghampiri Kwangmin yang tergeletak di lantai. “Kwang?”
Mata Kwangmin yang
terpejam membuatku takut. “Kwang?” kataku lagi sambil mengguncang bahunya
pelan.
Mata Kwangmin
bergerak lalu terbuka. “Ne..?”
“Gwaenchanayo?”
Aku menatapnya khawatir.
Ia tersenyum. “Nan
gwaenchan.. Tenang saja..”
Minwoo dan
Youngmin menghampiri kami lalu mengangkat Kwangmin berdiri dan memapahnya
menuju gerbang sekolah. “Lebih baik kalian ke apartemenku saja..” kata Minwoo
sambil menyetop taksi. “Biar aku dan Youngmin bekerja seperti biasanya, agar
tidak begitu mencurigakan..”
“Oppa?”
“Kumohon dengarkan
aku, Eunbin. Aku rasa, ini perbuatan tuan Lee. Walau dalam keadaan terpaksa
pun, Appa tak akan pernah membawamu paksa, apalagi hingga menyakitimu.. Ne?”
Aku mengangguk
perlahan lalu memapah Kwangmin masuk ke dalam taksi. Sempat kulihat Oppa dan
Youngmin menatap kepergian taksi yang aku dan Kwangmin naiki. Kurasa mereka
khawatir pada saeng mereka masing-masing...
Eunbin Pov End
* * *
“Aw! Sakit
sekali!” Kwangmin menjerit kesakitan saat Eunbin mengompres lukanya dengan
handuk dingin.
“Aih.. Kenapa kau
seperti anak kecil begini?”
“Kejam sekali kau!
Aku begini karena kau juga!”
Eunbin terpaku
mendengar perkataan yang tidak sengaja Kwangmin lontarkan. Benar, Kwangmin jadi begini karnaku... kata Eunbin pada dirinya
sendiri. Air mata mulai mengalir di pipinya. “Mianhae...”
“Ah..!” Kwangmin
tercekat melihat Eunbin menangis. Ia paling tidak bisa melihat seseorang
menangis, apalagi Eunbin adalah sahabatnya dari kecil. “Ani. Ini bukan salahmu.
Aku hanya asal bicara..”
Eunbin menggeleng
cepat. “Ini memang sepenuhnya salahku...” Tangis Eunbin pecah menjadi lebih
deras.
Ah, gawat! “Eunbin...” Kwangmin
merangkul Eunbin ke dalam pelukannya. “Kumohon, jangan salahkan dirimu
terus...”
Eunbin terpaku
dalam pelukan Kwangmin. Ini pertama kalinya Kwangmin memeluknya sejak Eunbin
menyatakan perasaanya pertama kali pada Kwangmin.
“Kwang...?” Eunbin
memanggil Kwangmin perlahan, masih dalam pelukan namja itu.
“Hm?”
“Tentang
perkataanmu tadi...” Eunbin tidak melanjutkan perkataannya. Ia bingung sendiri
bagaimana harus menanyakan hal ini pada Kwangmin. “Em... Kenapa kau mengajakku
berlari tadi?”
“Berlari?”
Kwangmin melepaskan pelukannya saat dirasa Eunbin sudah berhenti menangis.
“Kabur, maksudmu?”
Eunbin mengangguk
cepat.
Kwangmin berpikir
keras sebelum menjawab, “Entahlah.. Aku juga tidak mengerti kenapa aku
membawamu kabur tadi..”
“Eh? Bu-bukan itu
maksudku.. Bukan kenapa kenapa kau mengajakku kabur, tetapi kenapa kau
‘menyuruhku’ kabur...”
“Heh? Apa
maksudmu? Aku tidak mengerti...” Kwangmin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal.
“Huft~” Eunbin
menarik napas dalam-dalam. “Sudahlah.. Tak perlu dibahas.”
Kwangmin
mengangkat bahu, seakan berkata ‘Terserah kau saja..’
Ting Tong
Bel apartemen
Minwoo berbunyi nyaring. Eunbin bergegas menuju pintu untuk membukanya, tapi
Kwangmin menahannya lebih dulu.
“Wae?”
“Jangan ceroboh..
Belum tentu ia Minwoo, bisa saja ia orang suruhan Appamu..”
Eunbin berpikir
bahwa ucapan Kwangmin ada benarnya. Ia berjalan perlahan menuju pintu aparemen
tanpa membukanya. Ia mengintip pada lubang kecil yang sudah disediakan di pintu
itu.
Seorang pria
tinggi berdiri di sana. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. “Ah!” Eunbin berteriak
tertahan.
“Waeyo?”
“Seseorang yang
mencurigakan berdiri di depan pintu. Kau lihat saja sendiiri!”
Kwangmin berjalan
melewatinya lalu mengintip ke lubang itu. “Ne, kau benar..”
“Jadi, sekarang
kita harus bagaimana?”
“Sudah. Kau tenang
saja..” Kwangmin mencari ponsel di tasnya. Setelah menemukan benda itu, ia
menelepon Minwoo. “Yeobuseyo?”
“Kwang? waeyo? Apa
terjadi sesuatu?” terdengar suara Minwoo yang khawatir di seberang sana.
“Ya, lebih
tepatnya, akan terjadi sesuatu di sini jika kau tidak segera datang..”
“Akan? Arra,
sekarang aku berada di lantai dasar apartemen. Tunggulah sebentar, aku akan
datang bersama Youngmin-hyung..”
Tuuut...tuuut..tuut..
“Eottokhe?” Eunbin
menatap Kwangmin penuh harap. Ia tidak ingin kejadian di sekolah tadi terulang
kembali.
“Kita lihat saja,
ne?”
“K-kwang?”
Kwangmin mengintip
ke lubang itu lagi. Memerthatikan lelaki di luar sana beberapa saat. Bel terus
ditekan keras oleh lelaki itu.
Ting tong.. ting
tong.. ting tong..
“Kurasa calon
mertuamu itu perlu kita takuti.” Kwangmin menekankan pada kata ‘calon
mertuamu’. “Ia seorang yang cepat tanggap dan... licik?”
Ting tong.. Bel
berbunyi kembali..
Tiba-tiba lelaki
itu ambruk ke lantai. “Mereka datang!” seru Kwangmin yang masih memerhatikan
apa yang terjadi di balik pintu apartemen Minwoo itu. Ia membuka pintu itu
perlahan, ingin melihat apa yang terjadi dengan pria itu.
“Kurasa kita kalah
cepat..” kata Youngmin melihat namdongsaengnya mengintip dari balik pintu.
“Ne..” Kwangmin
cengengesan.
“Tidak masalah.
Hanya satu ikan teri..” Minwoo melayangkan tinju pada pria itu. Begitu mudah ia
menjatuhkan lawannya itu. Tidak sia-sia ia belajar happikdo dengan keras.
“Bukan itu
masalahnya. Jika mereka berani datang ke apartemenmu, itu berarti mereka berani
mengejar Eunbin kemanapun ia pergi..” Youngmin berpikir keras, sama sekali tak
membantu Minwoo ‘menghabisi’ pria itu.
“Ne, kau benar,
Hyung..” Kwangmin masuk kembali ke apartemen Minwoo.
“Kwang? Ada apa
sebenarnya?” Eunbin menarik kemeja Kwangmin. Ia begitu kesal karna Kwangmin
tidak banyak bicara, tidak sepeti Oppanya yang cerewet.
“Kita harus kabur
ke tempat yang lebih jauh..”
“Ne??”
Kwangmin
menggenggam tangan Eunbin tiba-tiba lalu membawanya keluar ruangan itu. “Aku
bawa dongsaengmu!”
Minwoo menatap
Kwangmin tanpa ekspresi. Ia melemparkan kunci sepeda motornya pada Kwangmin. “Jaga
dia baik-baik! Jangan buat aku menyesal karna menyerahkannya padamu..”
Kwangmin tersenyum
sinis. “Percayakan padaku, No Minwoo!” Ia berbalik pada Hyungnya. “Aku pergi
dulu, Hyung. Katakan pada Eomma bahwa aku akan segera pulang jika masalahku
sudah selesai..”
Youngmin tersenyum
dan mengangguk. “Tenang saja..”
Kwangmin
menggenggam tangan Eunbin lebih erat. Ia mengajaknya setengah berlari
meninggalkan Minwoo dan Youngmin.
“Eunbin!” teriak
Minwoo tiba-tiba.
Kwangmin dan
Eunbin berhenti melangkah dan menoleh padanya.
Greb..
Minwoo memeluk
dongsaengnya. “Saranghae..” katanya lirih.
Eunbin terbelalak
kaget mendapat pelukan tiba-tiba. “Oppa...?”
“Jaga dirimu
baik-baik. Oppa akan segera menyusulmu..” Minwoo melepaskan pelukannya lalu
membelai lembut rambut halus Eunbin.
Eunbin menggangguk
perlahan sambil menahan tangisannya. Matanya perih mendengar perkataan halus
Oppanya.
“Annyeong..”
Kwangmin setengah menarik paksa Eunbin. Ia tidak ingin mereka berlama-lama di
sini. Bisa saja tidak lama lagi suruhan Jinki datang.
Mereka menyusuri
lorong menuju lift. Untung saja lift terbuka cepat tanpa mereka harus menunggu
lama. Mereka masuk ke dalamnya, tidak ada orang lain selain mereka di dalam
lift itu.
“Hiks..” terdengar
isakan kecil Eunbin.
Kwangmin tahu ini
berat bagi Eunbin. Tapi ini satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan.
GREB
Kwangmin memeluk
Eunbin erat lalu mengelus rambut halus yeoja itu. Ia tidak berkata apa-apa. Ia
hanya ingin Eunbin membagi kesedihannya dengan Kwangmin.
Ting.. Lift
terbuka. Mereka berjalan perlahan menuju tempat parkir sepeda motor Minwoo.
Tiba-tiba beberapa
pria berpakaian hitam melewati mereka.
Kwangmin membawa
Eunbin ke sebuah pilar besar di tengah gedung itu. Menyembunyikan tubuh mereka
di baliknya.
Setelah dirasa
aman, mereka keluar dan berlari menuju motor besar Minwoo.
“Ehm..” Kwangmin
menyerahkan helm berwarna merah milik Minwoo kepada Eunbin. Menyuruh gadis itu
untuk mengenakannya. Ia naik ke atas motor lalu membantu Eunbin naik ke motor
besar itu juga. “Siap?” tanyanya.
Eunbin meletakkan
kepalanya di punggung Kwangmin lalu mengangguk.
Brem..
Kwangmin tancap
gas meninggalkan gedung apartemen Minwoo..
TBC
TBC
Hyaaaaaaaa!!!
BalasHapusakhirnya keluar juga,wooaahh daebak daebak!!ceritanya seru amat thorr,,gak sabar pengen tahu kelanjutannya!
Fighting terrus ya thorr,dilanjutinnya jgn kelamaan banget ya :3
:D :D :D :D :D
Gyaaaaa... keren thorrr!! kereeenn!!! lanjutkan XDD!!!
BalasHapus