ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Selasa, 09 Juni 2015

Blazing Star [Chapter 6]



Blazing Star [Chapter 6]

by  Stephcecil
Cast : Kim Myungsoo, Son Naeun, Noh Yiyoung, Kim Taehyung / V, Lee Byunghun / L.Joe
Lenght : Chaptered || Genre : School Life, Music, Romantic, Friendship || Rating : Teen
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : "Setelah hari-hari menegangkan, dan beberapa malam berkencan dengan buku, akhirnya minggu ujian berakhir pula. "
Previous Part  : 1 || 2 || 3 || 4 || 5






***







Yiyoung sempat berasumsi jika Myungsoo beralih profesi menjadi patung hidup. Bagaimana tidak? Sejak tiba di rumah Taehyung, murid pindahan itu belum berkutik dari posisinya –duduk bersila di karpet studio, dengan buku sejarah pada genggaman. Kedua manik kelamnya terpaku lekat, bergerak ke kanan-kiri sembari menyerap materi. Nyaris mustahil untuk tidak mendapatkan kram ketika kau duduk dalam posisi begitu, selama satu jam lebih.

“Aku tidak tahu dia bisa serius seperti ini.”

Taehyung mengangguk mendengar komentar Yiyoung. Bagi seseorang yang memilih tidur dibanding menyimak penjelasan guru, sikap Myungsoo termasuk langka. Bahkan, perangkat elektronik dibiarkan tergeletak, terabaikan oleh sang pemilik.

“Tentu saja. Kalau ingin mengalahkan Joe, dia harus berusaha keras.” Sahut Taehyung. Dia duduk di lantai studio, bersandar pada tembok dan kakinya diangkat ke atas –ujung kanan- sofa. Sementara Naeun sendiri duduk di sofa, sedikit terganggu karena kaki Taehyung membuatnya tidak leluasa duduk.

Keempat anak manusia tersebut memang memutuskan untuk berkumpul di rumah sang gitaris, dengan tujuan ‘belajar bersama’. Walaupun faktanya, buku Taehyung dan Yiyoung sama sekali belum tersentuh. Mereka malah sibuk sendiri. Entah mengobrol, bermain game di ponsel, atau malah –secara sengaja- menganggu Naeun yang serius belajar.

“Kau pikir kita bisa menang taruhan?”

Taehyung mengedikkan bahu, “Menurutmu?”

Well, tidak ada yang tidak mungkin kalau kau serius. Lagipula, kita belum tahu kemampuan Myung.” Jawab Yiyoung, sembari menguncir rambut blondenya asal-asalan. “Bagaimana menurutmu, Eun?”

Naeun merespon setengah hati, “Entah. Tidak tahu. Jangan ganggu aku.”

Yiyoung mendengus, sedangkan Taehyung mendecakkan lidah. Ucapan pedas Naeun cukup pantas sebenarnya, karena sedari tadi kedua biang tengik tersebut mengusik konsentrasinya. Sementara dia sendiri harus berjuang keras demi mempertahankan nilai sekaligus posisi di kelas unggulan. Dan hal itu sukar diwujudkan dengan kehadiran dua makhluk perusak mood belajar.

Aigoo, so rude (kasar sekali..)” sindir Yiyoung.

Lalu, sang bassis memilih menggunakan musik sebagai pengusir bosan, dibanding bertengkar dengan sahabat sendiri. Diambilnya earphone dari saku –ia membawa benda itu kemanapun- dan dihubungkannya dengan ponsel. Setelah lagu Bigbang-loser memenuhi gendang telinga, ia memejamkan mata, berniat tidur sejenak. Yah, Noh Yiyoung adalah tipe manusia yang mampu tidur dimanapun serta kapanpun.

Di sisi lain, Taehyung yang menyadari gadis itu tampak larut dalam musik, serta merta memperoleh inisiatif. Dia pun mencondongkan tubuh, mengulurkan tangan, hendak meraih remote audio player –tersambung dengan mini speaker­ studio- yang tergeletak di sebelah Naeun. Namun, sebuah tangan lain sukses membaca niat sekaligus menghentikan usahanya.

Yah, jangan coba-coba melakukan hal aneh. Aku ingin belajar.”

“Tapi aku hanya ingin-“

“Musik membuat konsentrasi belajarku hancur, kau tahu?”

“Aku bosan, kau tahu?” sengit Taehyung.

Naeun mendesis sinis. Taehyung memutar bola mata, jengah. Keduanya saling melempar tatapan tajam, seakan membunuh nyali satu sama lain. Pun Son Naeun bergegas mengambil remote, tapi direbut kembali oleh Taehyung. Dan pertikaian konyol mereka terus berlanjut. Bagaikan anak anjing berebut makanan.

“Kembalikan!”

“Aku ingin mendengarkan musik!”

DUKK!

Tanpa sengaja –saat adegan tarik-menarik remote tadi- benda mungil itu melayang di udara, hanya untuk mendarat di atas kepala seorang Kim Myungsoo. Yiyoung yang peka akan situasi sontak memasang tampang horror, begitupun dengan Taehyung-Naeun. Kedua biang keladi itu berpandangan, kemudian melirik Myungsoo takut-takut.

Ternyata, sang ‘korban’ sama sekali tidak bergeming. Tidak berkutik. Mungkin, sama sekali tidak sadar jika ada benda tumpul yang membuat kontak dengan kepalanya sendiri.

“Di-dia benar-benar serius.”

Yiyoung tersenyum tipis.




***






Dear, mr. Lee

Bersama surat ini, kami ingin mengundang anda untuk menjadi salah satu peserta tur di universitas kami. Kami harap hal itu dapat menjadi pertimbangan dalam memilih universitas yang tepat nantinya. Kami juga dengan senang hati menawarkan beasiswa bagi-







Tak sampai satu menit jarum jam bergeser –setelah paragraf diatas terbaca, rupa kertas putih itu tak lagi layak dipandang. Lee Byunghun mendengus sinis, sembari mencoba menghancurkan surat ‘penting’ kiriman ayahnya tadi pagi. Diremasnya benda itu tanpa ampun, kemudian dilemparnya ke tong sampah.

Ingin rasanya ia tertawa keras-keras, menyadari betapa ‘sempurna’ hidupnya di mata orang lain. Sayangnya, rasa iri berbaur kekaguman berhasil membutakan mereka tentang rasa sakit sang bocah kecil, ketika ayahnya terlampau sibuk dengan penelitian dan tidak pernah meluangkan waktu untuknya. Atau jerit penolakan remaja muda itu, saat gugatan cerai dinyatakan oleh ibunya. Atau betapa putus asanya ia kini, yang menolak mengikuti jejak profesi sang ayah.

Tur? Yang benar saja. Mereka pasti akan ‘menariknya’ menjadi salah satu mahasiswa setelah ia lulus. Kemudian apa yang akan terjadi selanjutnya? Mereka akan terkesan oleh prestasi dan kecemerlangan otak Byunghun, lalu memanfaatkan dia sebagai boneka para peneliti.

Dia menolak menjadi orang semacam ayahnya.

L.Joe menghela napas dalam, seraya memejamkan kelopak mata. Dengan kondisi pikiran seperti ini, dia tidak ingin bercumbu dengan sejarah. Suasana hatinya terlampau buruk. Diambilnya langkah-langkah panjang menuju kamar tidur. Yah, yang dia butuhkan sekarang adalah tidur berkualitas.





***



Minggu Ujian (Hari pertama)

Entah kenapa ia merasa Dewi Fortuna sedang mempermainkannya. Akhir-akhir ini keberuntungan jarang sekali berpihak pada seorang Noh Yiyoung. Bagaimana tidak? Pada hari pertama ujian, dia malah lupa menyetel alarm pagi, dan fakta bahwa motornya masih diperbaiki, hanya memperburuk suasana hati sang gadis pirang.

Bus dengan keberangkatan 06.30 KST telah lewat 7 menit lalu. Sementara Yiyoung tak ingin mengambil resiko telat jika ia mengambil bus selanjutnya, yang terjadwal pukul 06.50. Gadis itu berkacak pinggang di depan gerbang rumah. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Lari.

Ia tidak dikenal sebagai ‘orang-aneh-super-nekat’ tanpa alasan. Maka, setelah mengumpulkan tekadnya, ia pun melarikan langkah ke arah sekolah. Lagipula, jarak antara sekolah dan kompleks perumahannya cukup ‘meyakinkan’ untuk ditempuh.

Tanpa menghiraukan riasan maupun kerapian rambutnya, Yiyoung terus berlari. Peluh membasahi pelipis dan napas gadis itu tinggal satu-satu ketika ia tiba di jalan raya –salah satu rute yang biasa dilewati pelajar SMA Jung Sang jika naik kendaraan.

Karena kerongkongannya terasa tercekik –efek berlari, ia memutuskan untuk berhenti sejenak. Diambilnya napas panjang, mencoba mengisi paru-paru dengan oksigen yang tadi sempat ‘krisis’.

Yiyoung hendak melanjutkan perjalanannya begitu sebuah motor dan sang pengendara yang tampak familiar melintas di depan mata. Manik Yiyoung berbinar seketika, saat menyadari identitas sang pengendara. Maka, mengerahkan segenap tenaganya, Ia pun berteriak lantang, “YAH, KIM TAEHYUNG! BERHENTI KAU DISANA! YAH!”





***






Lagi-lagi, Son Naeun dibuat heran oleh tingkah Yiyoung. Ia berdecak ketika melihat sahabatnya itu berlari dari ujung koridor sekolah bersama Taehyung, lengkap dengan ekspresi panik. Naeun sendiri telah tiba di sekolah 15 menit lalu. Fakta bahwa kedua batang hidung kawan akrabnya belum terlihat –padahal ujian dimulai 5 menit lagi- cukup membuat ia berjalan mondar-mandir di depan ruang ujian, sementara sebagian besar murid sudah siap di ruang masing-masing.

Yah, kemana saja kalian? Kalian nyaris terlambat, tahu?” sentak Naeun begitu kedua makhluk itu berdiri di hadapannya. Ia melotot tajam ke arah Yiyoung, “Apa kau lupa menyetel alarm tadi malam?”

Sang gadis pirang mengangguk polos.

Naeun menggeleng putus asa. Ia tidak peduli jika ia terlihat layaknya ibu yang mengomeli anaknya dikarenakan nilai buruk. Ia tidak peduli jika image femininnya tercemar. Yang jelas, ia sedang emosi sekarang. Pun Naeun mengarahkan tatapan ‘aku-akan-membunuhmu’ pada Taehyung, “Dan kau- apa alasanmu? Bangun terlambat karena begadang?”

Kim Taehyung memijit batang hidungnya, “Yeah- aku harus belajar-“

“Belajar? Kau tidak pernah belajar pada malam hari!”

Tuduhan Naeun memang tepat sasaran. Bagi seorang Kim Taehyung, tidak ada istilah belajar pada malam hari dalam kamus hidupnya. Baik ulangan maupun tugas, semua dilakukan pada pagi hari, atau subuh. Dan jika ada alasan kenapa ia terbangun sepanjang malam, maka hanya terdapat satu hal spesifik: game.

Okay! Aku bosan belajar dan ingin bermain game. Aku tidak tahu akan terus bermain sampai jam tiga pagi. Aku sudah hampir terlambat tadi pagi, tapi bocah ini membuatku lebih kesiangan.” Taehyung menunjuk Yiyoung tepat di depan wajah. “Kalau bocah ini tidak muncul seperti hantu dan nekat mengejar motorku, pasti aku tidak akan datang sesiang ini.”

Yiyoung mendengus dan membuka mulutnya untuk protes, namun sebuah pertanyaan melintas dalam benak, yang langsung disuarakannya, “By the way, dimana Myungsoo?”





***







Bagaikan jalan bebas hambatan, ya, seperti itulah hari ini bagi Myungsoo. Dia bangun pagi, berangkat pagi, dan tiba –sedikit terlalu- awal di sekolah. Pikirannya tenang ketika memasuki ruang ujian. Seluruh bahan sejarah telah dihapalnya diluar kepala. Sebab kali ini, ia ingin melakukan sesuatu secara serius.

Bel penanda ujian dimulai berdering nyaring, mengundang berbagai reaksi dari para murid. Tetapi sebagian besar peserta ujian ruang no.1 (Khusus siswa kelas unggulan, tidak dipisah-pisah) hanya menyambut soal-soal yang dibagikan itu dengan senyum tipis.

Myungsoo melirik Yiyoung dan Naeun penuh arti, yang mengangguk singkat sebagai reaksi. Pun sang murid pindahan menghela napas, penuh tekad, sebelum memutuskan untuk mengecek kertas soal. Dan begitu sadar mengenai tingkat kesulitan ujian sejarah, ia terkekeh pelan.

Ini persis seperti yang kupelajari. 





***








Byunghun menguap, entah untuk keberapa kalinya sejak lembar soal dibagikan. Matanya terasa panas dengan kelopak yang menuntut untuk ditutup. Tadi malam, ia berencana beristirahat lebih awal. Tetapi, usahanya gagal karena deretan kalimat dalam surat universitas serta ‘rayuan’ tanpa henti sang ayah, terus terngiang di telinga bagaikan radio rusak.

Pemuda berambut kemerahan itu hanya memasang tampang bosan selama ujian. Tangan kanannya sibuk menghitamkan lembar jawaban, sedangkan tangan kiri menopang dagu. Dikerjakannya soal demi soal tanpa minat. Sebab tak peduli seberapa keras ia memutar otak, Lee Byunghyun tetap tak mengerti fungsi diadakannya ujian. Yeah, kecuali-

Ia melirik bangku Myungsoo. Didapatinya siswa baru tersebut larut dalam soal, tampak teramat serius. Kemudian pandangannya beralih pada Naeun, lalu Yiyoung.

-kecuali kalau aku tidak ingin bergabung dengan band mereka. 






***





Minggu Ujian (Hari ketiga)



Menginjak hari ketiga ujian, suasana hati Yiyoung berada di ambang ledakan. Jika kau penasaran apakah alasannya, maka bertanyalah pada ketua kelas ceroboh yang melenyapkan kartu ujian sang gadis blonde. Sehingga ia menjadi sasaran emosi Mrs. Bae –kebetulan dalam mood buruk pula- yang tidak bersedia membuka telinga –serta hati- demi mendengar alasan Noh Yiyoung.

Sepulang ujian, gadis itu terpaksa berjalan seorang diri karena Son Naeun mempunyai ‘janji’ dengan kekasihnya. Ia masih ingat peace sign menyebalkan sekaligus ucapan “Maaf, aku tidak bisa pulang bersamamu hari ini” terlontar dari mulut Naeun, yang mana membuatnya semakin kesal.

Dihentakkannya langkah-langkah panjang menuju gerbang sekolah. Rautnya wajahnya keruh dan bibirnya mengerucut. Ia sibuk memaki dalam hati, merenungi hari buruknya. Ditambah lagi fakta bahwa pelajaran yang diujikan tadi pagi adalah matematika –kelemahan Yiyoung- membuat temperamennya menukik.

Ia mengumpat saat tersandung sesuatu –mungkin kerikil- dan nyaris jatuh mengenaskan. Namun sedetik kemudian, Yiyoung tidak mendapati dirinya terjerembab di bawah, melainkan berada dalam dekapan seseorang. Harum mint melesak melalui indra penciumannya, manik hitamnya membulat sempurna begitu menyadari bahwa Myungsoo telah menolongnya. Lengannya merengkuh punggung Yiyoung, mencegah gadis itu membuat kontak dengan semen padat. Entah bagaimana ceritanya, tetapi timing kemunculan Myungsoo sungguh tepat.

Beberapa detik kedepan, sepasang anak manusia tersebut sibuk memandang wajah satu sama lain. Tentu saja, dengan jarak kurang dari 1 meter diantara mereka, apalagi yang dapat dipandang selain wajah? Dan jika bukan karena batuk-batuk kecil –disengaja- oleh Yiyoung, kedua orang itu tidak akan sadar mengenai posisi canggung mereka.

Yiyoung bergegas melepaskan diri, sementara Myungsoo bergeser selangkah. Mereka sama-sama menyadari atmosfir tak nyaman, kental menggantung di udara. Pun Myungsoo berdeham, memecah sunyi, “Ma-maaf.”

Yiyoung mendengus, daun telinganya memerah karena malu. Kenapa dia minta maaf? Bodoh sekali. Namun tentu saja ia tidak menyuarakan dua kata terakhir, melainkan menyahut, “Kenapa kau minta maaf? Seharusnya aku yang berterimakasih.” Diliriknya Myungsoo, yang kini menggaruk tengkuknya. “Terimakasih. Kalau bukan karena kau, pasti aku sudah jatuh dalam pose memalukan dan menjadi bahan tertawaan.”

Myungsoo tersenyum kecil mendengar ucapan terus terang Yiyoung.

“Omong-omong, bagaimana ujianmu sejauh ini? Bisa tidak?”

Sang lawan bicara mengangguk mantap, seraya kembali melanjutkan aktivitasnya semula. Mereka berjalan bersama, berdampingan satu sama-lain menuju gerbang sekolah. Sementara itu, tidak ada satupun yang menyadari perubahan ekspresi masing-masing –yang semula keruh menjadi sedikit cerah setelah adegan khas telenovela tadi.

“Tentu saja. Lagipula, aku sudah belajar.”

“Apa kau yakin?”

Yah, kau tidak percaya padaku?”

Myungsoo menoleh, mendelik dan memasang ekspresi –berpura-pura- marah pada Yiyoung, yang ditanggapi gadis tersebut dengan cibiran. “Kenapa aku harus percaya padamu?” kemudian segera mengambil langkah seribu karena Myungsoo mengejarnya, dengan sebelah tangan teracung seolah hendak memukul Yiyoung. Senyuman lebar terpasang, menghiasi wajah keduanya.

Saat ini, Myungsoo 100% sadar akan kinerja abnormal jantungnya.

Ia tahu bahwa ia mulai menyukai gadis di hadapannya ini.

Tetapi ia tahu pula, bahwa ia tidak boleh menyukainya dan membiarkan perasaan ini berlarut-larut.








***







Hari Terakhir Ujian



Setelah hari-hari menegangkan, dan beberapa malam berkencan dengan buku, akhirnya minggu ujian berakhir pula. Selepas sekolah, keempat orang bernama Yiyoung, Naeun, Myungsoo, dan Taehyung memutuskan untuk berkumpul di kedai –spesialisasi kopi, es krim, dan bubble tea, yang berjarak satu blok dari sekolah. Awan tengah bersembunyi di balik mentari, dimana cuaca cukup terik siang itu –pulang siang karena masa ujian- dan siapapun pasti berpendapat bahwa es krim merupakan pilihan tepat.

Nada sopan para pelayan, percakapan ringan pelanggan, serta suara sendok berdentang menyambut kedatangan mereka dalam kedai. Kemudian, mata elang Taehyung menangkap meja strategis di dekat jendela, yang langsung ditempatinya, disusul ketiga orang kawannya.

Seorang pelayan muda berwajah datar datang menghampiri, lalu segera pergi begitu selesai mencatat pesanan masing-masing. Yiyoung sempat membaca name tag sang pelayan ‘Oh Sehun’. Keempat anak manusia tersebut duduk, dengan meja bundar menjadi pemisah. Lega berbaur gembira terpapar jelas pada wajah mereka.

Ouh, akhirnya aku bisa tidur panjang.” Kata Naeun.

Yiyoung melirik lingkaran hitam di bawah mata Naeun. Well, yeah, sudah jelas sebenarnya. Bahkan dalam kegiatan sekolah reguler saja Naeun tergolong rajin. Tidak heran jika ia merelakan jam tidur demi mendapat nilai tinggi saat ujian. “Congratulation, then. (Selamat, kalau begitu).” Sahut Yiyoung, yang direspon oleh cengiran lebar Naeun.

“Dan akhirnya aku bisa bersantai-santai lagi. Tidak perlu belajar!” kali ini Myungsoo bersuara. Dia bahkan menghela napas –dibuat-buat- untuk mendramatisir. Diletakkannya tangan di belakang kepala, sementara kelopak mata terpejam, “Kau tahu, aku tidak pernah belajar serius seperti ini sebelumnya.”

Yiyoung memutar bola mata, “Sudah kuduga.”

Myungsoo hanya tertawa kecil seraya menepuk pelan pundak Yiyoung –mereka duduk bersebelahan. Ia sama sekali tidak menyadari jika sang gadis blonde membeku di tempat, setelah skinship ringan itu.

Berbagai bahan pembicaraan pun terus mengalir, mengusir jauh kesunyian. Mereka berbicara tentang gosip seputar sekolah, apakah mereka mengerjakan ujian dengan baik, dan tentu saja tentang topik yang paling mereka cintai, musik. Hingga topik beralih menjadi K-pop dan dance, yang belakangan semakin marak di kalangan para darah muda, tak terkecuali mereka. Bahkan, Taehyung menyatakan bahwa dia telah jatuh cinta dan bergabung dengan klub dance sekolah.

Pelayan bertampang datar tadi –dengan name tag Oh Sehun- kembali untuk menyajikan pesanan, yang segera disantap keempat remaja tersebut tanpa basa-basi. Perbincangan seru mereka pun terhalang jeda sejenak. Sedangkan beberapa menit berikutnya, bunyi kecapan lidah, denting sendok dan gelas es krim, serta dering notifikasi ponsel mendominasi.

Tetapi, Noh Yiyoung bukanlah tipe manusia yang sanggup berkubang dalam hening.

Hey, Myung.”

Kim Myungsoo menelantarkan chocolate chipnya, lalu mendongak dengan ekspresi sarat tanda tanya, “Apa?”

“Kenapa kau pindah ke Korea? Bukankah di US lebih keren?”

Detik itu pula, fokus Naeun dan Taehyung ikut tersita pada Myungsoo. Sebab dalam jangka waktu –cukup- singkat sejak perkenalan awal mereka, Myungsoo sama sekali tidak pernah menyinggung kehidupan pribadinya. Dan pertanyaan Yiyoung barusan hanya membuat kadar penasaran mereka memuncak. Naeun meletakkan sendoknya, sementara kunyahan Taehyung memelan.

Yiyoung tidak yakin apakah ia tengah berhalusinasi, namun ia melihat rahang Myungsoo mengeras, begitu pertanyaan –yang menurut Yiyoung tergolong santai- meluncur dari bibirnya. Lelaki blasteran itu membasahi bibir atasnya, sebelum menjawab, “Disana memang jauh lebih keren. Tapi Ayah ingin fokus pada pekerjaannya di Korea. Lagipula, keluargaku pindah ke US saat aku masih kecil, jadi aku lumayan rindu dengan Korea.” Ia mengedikkan bahu, “Tidak ada salahnya kembali ke negeri kelahiranmu, kan?”

Taehyung mengangguk mengerti, “Oh, begitu rupanya.”

Tampaknya, Yiyoung masih belum puas akan penjelasan Myungsoo, karena gadis blonde itu kembali bertanya, “Pekerjaan? Pekerjaan seperti apa?”

Ah, hanya bisnis biasa.” Myungsoo mengibaskan sebelah tangan, seolah hendak menegaskan bahwa pekerjaan yang dilakukan ayahnya tidak lebih dari bisnis kecil-kecilan. Lalu ia kembali menyibukkan diri dengan es krimnya, meski tindakan itu lebih layak dipandang sebagai usaha untuk menghindari rentetan kalimat bertanda tanya Noh Yiyoung.

Sang lawan bicara sontak mengernyit. Jujur saja, ia merasa ada alasan terselubung di balik perkataan Myungsoo. Ada makna dan penjelasan yang sengaja diletakkan jauh dari permukaan. Entah bagaimana ia mampu menarik kesimpulan begitu. Mungkin, karena raut tak nyaman Myungsoo maupun getaran enggan dalam suaranya ketika ia menjawab pertanyaan Yiyoung.

Jika diulas lebih dalam, SMA Jung Sang adalah sekolah tersohor di Korea. Tidak sembarang orang dapat menjadi siswa disana. Terlebih lagi, menerima seorang murid pindahan dalam pertengahan semester. Tentu ada pengecualian atau negoisasi istimewa di balik penerimaan Myungsoo sebagai murid baru. Dan perlukah diungkit mengenai uang sekolah dengan jumlah ‘0’ yang mengesankan?

Tidak.

Yiyoung tidak percaya dengan bisnis ‘biasa-biasa saja’ yang disebutkan Myungsoo. Faktanya, tidak ada murid berlatar belakang ‘standar’ di SMA Jung Sang. Namun saat ini, ia memutuskan untuk memendam keingintahuannya.


.
.
.
TBC

===================================================================
A/N: Yo yo yo, kayaknya udah sebulan saya tidak menginjakkan jari di KFF? wkwk. Terhalang ujian -padahal gak belajar- sama mood jelek sih --v. Terus, wi-fi author kena isolir, jadi males mau nulis tanpa ada kepastian kapan bisa ngepostnya ._. Oh ya, jangan lupa reaksi sama komentarnya ya! sangat ditunggu lho! -deep bow- jujur aja sih, ff ini masih jauh dari ending. karena saya berencana nyeritain problem individual tiap cast -tapi lihat aja nanti jadinya gimana. Dan sejauh ini juga, saya masih ada niat buat nerusin sampai ending. Tapi yah, seklai lagi, gatau deh jadinya ntar wkwkwk. Anyway, makasih banyak buat yagng udah mau baca -meski kebanyakan nggak komen- ^^ *heart sign* <3
A/N *2: Di ff ini, umur semua cast utama (Yiyoung, myungsoo, taehyung, naeun dibuat sama ya. Termasuk Jungkook.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar