ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Rabu, 25 November 2015

Blazing Star [Chapter 9] - Falling deeper

Blazing Star [Chapter 9]

by  Stephcecil
Cast : Kim Myungsoo, Son Naeun, Noh Yiyoung, Kim Taehyung / V, Lee Byunghun / L.Joe
Lenght : Chaptered || Genre : School Life, Music, Romantic, Friendship || Rating : Teen
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is pure based my imagination.
Summary : " Yiyoung tahu, detik itu, nama Minhyun benar-benar terhapus dari hatinya."
 
Previous Part  : 1 || 2 || 3 || 4 || 5 || 6 || 7 || 8








***




Noh Yiyoung bukanlah penganut aliran “I Hate Monday”. Ia bahkan tidak mengerti mengapa orang-orang –terutama kaum muda- membenci hari Senin. Apakah karena mata pelajaran berbobot dilimpahkan di hari Senin? Oh ayolah, bukankah sepanjang minggu sama saja berat? Lalu apa bedanya?

Well, itu dulu.

Semenjak hari ini, ia mendeklarasikan diri sebagai penganut motto “I Hate Monday” tingkat berat. Yiyoung membenci hari Senin karena hari ini merupakan awal minggu efektif, karena hari ini adalah satu hari setelah hari Minggu. Seharusnya, ia masih bercumbu dengan kasur tercinta, terbalut bed cover hangat dan lagu-lagu melankolis. Seharusnya, ia masih mengurung diri dan merenungi nasib di dalam kamarnya. Seharusnya, ia mengajukan absen saja dengan alasan “patah hati”.

Yiyoung selalu menganggap kegalauan teman-temannya saat patah hati sebagai bentuk hiperbola. Tetapi kini, setelah mengalaminya sendiri, ia harus mengubah perspektifnya. Mungkin, ia terkena karma.

Yiyoung menghela napas, kepalanya ditelungkupkan di atas meja dengan lengan sebagai bantalan. Bahasa tubuhnya itu seolah berteriak: “Jangan ganggu aku.”. Dan untung baginya, tes fisika yang akan mengisi jam pertama membuat sebagian besar anggota kelas sibuk menghapal belasan rumus, otomatis Yiyoung pun terabaikan.

Lagi-lagi, sang gadis blonde menghela napas panjang.

Yah, apa-apaan kau ini, bukannya belajar malau bergalau ria!”

Duk.

Mendadak saja, buku panduan fisika setebal 500 halaman mendarat di atas kepala Yiyoung, membuat ia bergegas mendongak –sembari gerutuan meluncur mulus dari bibir- demi mendapati Son Naeun yang berdiri di depan mejanya, bersedekap.

Tanpa mempedulikan tampang kesal sang keyboardist, Yiyoung protes, “Yah, apa sih yang salah denganmu? Menganggu orang pagi-pagi begini.”

Ia tidak berniat menarik perhatian seisi kelas, tetapi volume suaranya meningkat sendiri tanpa kontrol, menyandingi emosi yang bercampur aduk. Dan itu memancing Naeun untuk melakukan hal serupa.

Naeun mendelik, “Harusnya kau bertanya pada dirimu sendiri. Apa sih yang salah denganmu?”

“Tidak ada yang salah denganku.” Yiyoung menunjuk Naeun tepat di depan hidungnya, “Tapi jelas ada yang salah denganmu.”

Naeun menggeleng tak percaya, mendengus, kemudian memandang Yiyoung seolah dia adalah bocah lima tahun yang bersikeras kalau langit itu berwarna hitam, bukan biru. “Oh ayolah, kau tahu apa yang sedang kubicarakan.”

“Tidak tahu.”

Detik itu, dewi Fortuna memutuskan untuk menelantarkan sang bassis dan membiarkan Hwang Minhyun memasuki kelas saat Son Naeun berkata –dalam volume tinggi beradius satu kelas; “Jangan berpura-pura bodoh Noh Yiyoung. Kau tahu aku terlalu ‘baik’ untuk mengabaikanmu yang jelas-jelas dilanda kegalauan tingkat berat karena Hwang Minhyun memutuskan hubungan.”

Hening.

Oh Sungguh, ketika –tanpa sengaja- Yiyoung dan Minhyun bertemu pandang, Ia bersedia melakukan apapun demi menemukan mesin waktu atau ‘pintu kemana saja’ Doraemon. Rasa malunya tak terdefenisikan sehingga jika seseorang memberinya Death Note, ia akan menulis nama ‘Son Naeun’ tanpa ragu.



***



Aneh.

Fakta bahwa ‘menghabiskan jam makan siang bersama Minhyun’ telah dihapuskan dari daftar aktivitasnya, membuat perut Yiyoung bergolak. Rasanya tak wajar berjalan ke kantin seorang diri, menyebalkan ketika ia harus mengantri –biasanya Minhyun yang mengantri- demi mendapat jatah makan siangnya. Ia pun mengumpat dalam hati ketika sadar kalau ia tidak memiliki teman makan siang –Naeun bersama Jungkook- dan akan tampak menyedihkan baginya untuk menempati meja kosong, kemudian duduk disana sendirian layaknya anak baru.

Well, tampaknya ia tidak memiliki pilihan lain karena sebagian besar teman-temannya –murid kelas unggulan- lebih memilih menghabiskan waktu belajar di perpustakaan daripada kantin, atau bahkan membawa bekal dari rumah dan makan di taman sekolah.

Ia menghela napas dalam –jangan tanya berapa kali ia menghela napas sepanjang hari- lalu memutuskan untuk menempati meja kosong di pojok ruangan, dekat jendela. Tetapi, baru tiga hitungan langkah ia berjalan ketika seseorang menyambar nampan makan siangnya.

Lahir dari keluarga terpandang menjadikan Yiyoung tumbuh sebagai remaja penjunjung tinggi tata karma. Namun, emosi yang terakumulasi hingga ubun-ubun membuatnya nyaris mengumpat pada sang pelaku, “Yah, kau-“

Kata-katanya mengambang di udara begitu menganalisis wajah sang oknum. “M-Myungsoo?”

Pemuda penyandang gelar ranking satu parallel SMA Jung Sang itu tertawa kecil melihat eskpresi terkejut Yiyoung. Kesan imut nan tampan natural yang dimilikinya sempat menghentikan detak jantung Yiyoung selama beberapa detik saat ia menelengkan kepala dan tersenyum –lebih tepatnya, smirk­, “Kenapa? Kau lebih memilih makan siang sendirian daripada bersamaku?”


Yiyoung hanya mampu mengerjap, lalu menggeleng. Yakin sekali dia kalau tampangnya menyaingi tokoh Nobita di kartun Doraemon saat mengerjakan soal matematika.




***





Diluar ekspektasi Yiyoung, ternyata makan siang berdua bersama Myungsoo tidaklah canggung. Bahkan, beragam topik mereka bicarakan. Dimulai dari keluhan Yiyoung tentang test fisika tadi pagi hingga observasi Myungsoo terhadap sikap dingin L.Joe yang mulai mencair. Entah sengaja atau tidak, tapi Myungsoo sama sekali tak menyinggung status baru Yiyoung-Minhyun –yang mana ia syukuri.

Saat Yiyoung menanyakan keabsenan Taehyung yang biasanya makan siang dengan Myungsoo, pemuda itu menjawab, “Dia bilang padaku kalau dia ada urusan dengan clubnya.’

“Klub?” Dahi Yiyoung mengerut. Sepengetahuannya, Taehyung tidak tergabung dalam klub manapun.

Dance club, namanya BTS kalau tidak salah.”

Dance? Menari? Taehyung bergabung dengan klub dance sekolah?” suara Yiyoung meninggi. Untungnya, suasana kantin yang ramai dan penuh lautan murid kelaparan membuatnya luput dari perhatian.

“Kau tidak tahu kalau dia anggota klub dance resmi sekolah? Bukankah dia sudah pernah bilang padamu?” Kali ini, giliran Myungsoo yang heran, sebelah alisnya dinaikkan.

Yiyoung nyaris menggeleng, namun diurungkannya karena ia menemukan potongan memori tertentu dalam otak, dimana mereka –member BZ- makan bersama di kedai pada hari terakhir ujian tengah semester. Yiyoung ingat perkataan Taehyung saat itu: “Jadi, aku bergabung dengan klub dance sekolah…”

“Ah, aku ingat sekarang.”

Well, dia bilang dia baru aktif belakangan ini. Jadi wajar kalau kau tidak menyadarinya.” Myungsoo menutup topik dan memasukkan potongan kimbab –entah keberapa ke dalam mulutnya, sementara tanda tanya memenuhi kepala Yiyoung.

Betapa sibukkah dia dengan urusan band, Minhyun, dan pelajaran, sampai-sampai ia ‘mengacuhkan’ Taehyung?

Disaat Yiyoung tenggelam dalam pemikirannya, Myungsoo mengusik sang bassis dengan mengacungkan potongan kimbab –yang ditusuk menggunakan garpu- di depan wajah Yiyoung, berkata, “Kau mau mencicipi kimbabku? Isinya cokelat, lho. Kelihatannya klub kuliner semakin gila bereksperimen.”

Yiyoung mendongak, lalu bertemu dengan sepasang manik gelap sekaligus senyuman malaikat Kim Myungsoo –yang menghipnotisnya untuk balas tersenyum. Sedikit menggelikan memang, tetapi segala hal yang berkaitan dengan Myungsoo berhasil membuat jantungnya berolahraga belakangan ini. Bahkan, kegalauannya –tentang Minhyun- menguap tanpa sisa.

Yiyoung mengedikkan bahu, “Boleh juga.”

Kemudian, dicondongkannya tubuh ke depan demi mencomot potongan kimbab tersebut. Dan Yiyoung yakin kalau organnya mogok beroperasi selama beberapa detik ketika Myungsoo mengacak rambut pirangnya, sembari berkata, “Kau manis sekali.”

Myungsoo tertawa, dan itu adalah tawa terindah yang pernah Yiyoung saksikan.



***





Tenggat waktu festival seni yang semakin menipis membuat blazing star meningkatkan intensitas sekaligus frekuensi latihan. Jika biasanya mereka berlatih 1-2 kali seminggu, kini angka itu meningkat hingga 5 atau bahkan satu minggu penuh -tergantung kesenggangan aktivitas anggota. Sementara keluhan dan protes seperti, “Kau gila? Aku bukan robot!” dari Taehyung atau “Eomma akan membunuhku kalau nilaiku sampai turun gara-gara ini.” dari Naeun, hanya direspon kibasan sebelah tangan Myungsoo.

Situasi berbanding terbalik bagi Yiyoung. Di matanya, kepadatan jadwal mereka adalah sebuah keuntungan. Karena itu berarti, otaknya akan dipenuhi oleh not musikal, bukannya wajah Hwang Minhyun. Itu berarti, kesempatannya berinteraksi dengan Myungsoo dilipatgandakan.

Hari ini adalah hari Selasa, dan rutinitas berjalan seperti biasa. Member BZ sudah berkumpul di basement rumah Taehyung sejak setengah jam lalu. Tidak seperti dulu, senda gurau tak lagi mendominasi latihan. Memang, sejak Myungsoo mendaftarkan BZ sebagai peserta festival seni, mereka lebih berdedikasi untuk mempersiapkan diri.

Semuanya tampak serius. Trio komposer Myungsoo-Naeun-Yiyoung berdiskusi panas di balik keyboard –menekan-nekan tuts sesekali, seperti mengecek nada- dalam rangka menciptakan birama penutup lagu kompetisi. Sementara L.Joe-Taehyung sibuk mencari inspirasi untuk lirik mereka, entah ‘merenung’, browsing dunia maya, atau ‘menganiaya’ lembaran kertas.

Oh yeah! Sudah selesai!”

Mendadak seruan lantang Naeun memecah keheningan, membuat berpasang mata terfokus ke arahnya. Sang keyboardist hanya tersenyum lebar. Tindakan Naeun –berseru lega- diikuti oleh Myungsoo dan Yiyoung,

“Akhirnya. Aku tidak percaya bisa selesai secepat ini!” Ujar Yiyoung, lalu berhigh-five dengan Naeun.

Myungsoo menyahut, dan menyeka keringat tak kasat mata di pelipis, “Rasanya seperti mencapai garis finish di pertandingan marathon.”

Tiada lagi ruang bagi trio tersebut untuk menyuarakan kelegaan mereka, sebab desakan Taehyung memburu Naeun memainkan instrumen lagu menggunakan keyboard. Tak lama kemudian, melodi bertempo cepat memenuhi ruangan, dihasilkan dari sentuhan jemari Naeun dan tuts keyboard.

Kelima anak manusia tersebut terdiam, berkonsentrasi pada melodi final yang akan membawa mereka pada hasil akhir kompetisi, entah kemenangan atau sebaliknya.

*P.S: Bayangin instrumennya kayak di lagu jaywalking (OST Flower Boy Band)

Bahkan hingga not terakhir diinterpretasikan, kesunyian masih memenuhi atmosfer. Kebanggaan dan rasa senang yang meluap membuat mereka enggan merusak momentum. Permainan keyboard Naeun pun terus terngiang di telinga bak dengung gong.

Menilik karakteristik L.Joe, tidak seorangpun memprediksi bahwa dia akan menjadi member pertama yang membuka mulut dan berkata, dengan raut datar, “So, sekarang kita hanya perlu membuat lirik, kan? Satu orang sekitar satu sampai dua bait?”




***





Yiyoung menendang motornya dengan penuh emosi. Entah kenapa, si Jackie –nama motornya- lagi-lagi mogok beroperasi. Padahal, belum genap satu bulan sejak dia menerima perawatan di bengkel. Di sisi lain, Yiyoung tak merasa bahwa ia melakukan penganiayaan terhadap motornya.

Lalu, apa yang salah dengan benda ini?

Seraya mengabsen nama-nama penghuni kebun binatang dalam hati, sang gadis pirang kembali menendang roda belakang motor, berharap tindakan kejam tersebut mampu menghidupkan mesin Jackie. Yeah, hanya bagian roda tentunya, sebab ia tak berani mengambil resiko adanya kerusakan total atau keretakan tulang.

Suasana perumahan elit Taehyung yang gelap mencekap ditambah hawa dingin menusuk tulang memaksa Yiyoung lekas bereaksi. Setelah beberapa percobaan lain dilakukan –dan tetap gagal- Yiyoung menyimpulkan bahwa ia tidak mungkin pulang bersama si Jackie.

Ia pun menghela napas dalam, memejamkan mata, sementara otak kreatifnya menampilkan berbagai peluang di depan mata. Ia tidak mungkin nekad mengendarai bus, naik taksi, atau –paling ekstrim- berjalan kaki ke rumah. Ia bisa saja meminta Taehyung mengantarkannya, tapi hari sudah gelap dan Yiyoung menyadari bagaimana lelahnya wajah Taehyung tadi –mungkin efek latihan dance + band.

Kelihatannya, ia harus pulang naik bus.

Diliriknya jam tangan dan mendapati jarum jam menunjukkan angka 11.05 PM. Sebaiknya ia berlari ke halte sekarang jika ingin mengejar bus terakhir.

Namun, baru sekitar dua meter ia berjalan cepat, langkahnya terhenti. Pupil cokelatnya dipaksa bergerak liar menyesuaikan pencahayaan dadakan dari arah belakang. Lengkingan klakson pun menyusul.

Tinn, Tinn!

Yiyoung mendengus lalu membalikkan tubuh –masih memicingkan mata.

Kata terkejut tak mampu menggambarkan perasaan Yiyoung, begitu menganalisis identitas wajah sang pengendara motor ninja merah tersebut. Keningnya berkerut. Sosok sang pengendara merupakan hal terakhir yang diprediksinya untuk muncul dalam situasi semacam ini. Lagipula, Ia cukup yakin jika ialah member terakhir yang melewati gerbang rumah Taehyung.

“My-Myungsoo?” lirihnya, terdengar jelas menembus keheningan malam. Kepalanya ditelengkan, berusaha memperoleh visual lengkap si pengendara.

Kim Myungsoo melempar cengiran lebar, sembari menghentikan laju mesin, “Kenapa? Bukannya motormu rusak? Ayo, biar kuantar kau pulang. Tinggal saja motormu disini dan minta Taehyung mengurusnya besok.”

Yiyoung mengerjap, masih belum sepenuhnya mencerna situasi. “Tapi, kenapa kau masih disini? Bukannya kau pulang duluan?”

Myungsoo tertawa.

Sekali lagi, Yiyoung harus mengakui keindahan tawa Myungsoo. Meski didampingi kepekatan malam, Yiyoung melihat jelas cara Myungsoo menaikkan sudut-sudut bibirnya dan vibrasi teratur yang ditimbulkan.

“Ah, maaf,” ujar pemuda itu, menyalahartikan keabstrakan ekspresi Yiyoung sebagai hal negatif. “Jadi, tadi aku berhenti sebentar untuk membeli beberapa persedian ramyeon.” Dia melepas pegangan tangan kanannya pada bahu motor, demi menunjuk bungkusan plastik putih yang ada di gantungan motor, “Karena letaknya ada di belakang perumahan, aku harus memutar untuk pulang. Nah, kebetulan sewaktu aku lewat di blok rumah Taehyung, aku melihatmu.”

Wajah Yiyoung terasa panas nan menggelitik, seperti tersengat aliran listrik. “Apa maksudmu, melihatku?

“Maksudku, aku melihatmu menendang-nendang motor dan mengomel tak jelas. Jadi kutebak kalau motormu mogok. Benar, kan?” Myungsoo menaikturunkan sebelah alisnya, sengaja menggoda Yiyoung. Sementara sang bassis berharap jika ia memiliki kekuatan teleportasi agar ia bisa menghilang dan kabur dari rasa malunya.

Eh, em-

“Sudahlah, ikut aku pulang saja. Aku tidak keberatan, kok.”

Dan tiada jalan baginya untuk melarikan diri dari jerat pesona Myungsoo. Tatapan persuasif, senyum menggoda, serta suara baritone yang melesak memasuki indra pendengaran Yiyoung, segalanya berfungsi bak mantra perayu. Saat ia mengangguk ragu dan berkata, “Okelah kalau begitu.” Yiyoung mengibaratkan dirinya sebagai boneka marionette milik Myungsoo.




***




Langit boleh saja kelam dan bintang-bintang enggan menyembul, namun luapan kebahagiaan Yiyoung tak dapat dibendung. Angin malam pertengahan musim panas memainkan rambutnya, menyapu permukaan kulitnya. Perlahan namun pasti, dipejamkannya mata seraya menghirup udara sebanyak-banyaknya, kemudian dikeluarkannya dengan lagak dramatis.

Durasi panjang sejak terakhir kali ia berada di posisi penumpang motor- bukan pengendara, membuat momen ini berbeda dari biasanya, dimana ia tak perlu mengendalikan laju mesin. Fokusnya tak dibutuhkan. Benaknya memiliki kebebasan untuk melayang kemanapun.

Untuk kasus ini, melayang dan mendarat pada sang pengendara yang duduk di depannya.

Posisi Yiyoung sebagai penumpang otomatis membuat bagian depan tubuhnya menempel pada punggung Myungsoo. Tangannya pun mencengkeram pinggang –proporsional- pemuda tersebut. Dari posisi seperti itu, Yiyoung mampu menghirup wangi parfum maskulin khas Myungsoo. Dan walaupun terbalut jaket kulit berwarna hitam, Yiyoung dapat merasakan kehangatan yang menguar dari tubuh Myungsoo, mengalir melalui ujung jari Yiyoung.

Betapa memabukkan.

Hey, kau tidak ingin mampir makan dulu?” Myungsoo berseru dari balik helm hitamnya, menyaingi derum motor dan kebisingan malam kota Seoul. Well, bukankah Seoul merupakan salah satu kota yang tak pernah tidur?

Sedikit terperanjat –karena sedari tadi melalang buana- Yiyoung melirik jam tangan berwarna merah muda pucat yang bertengger pada pergelangan tangan kanan. Pukul 11.25. Tersisa hitungan menit hingga pergantian hari, dan hari esok tidak ditandai dengan tinta merah di kalender. Noh Yiyoung dilanda dilema. Meski tidak perlu khawatir menanggung konsekuensi melanggar jam malam -orangtuanya tidak berada di rumah, tetapi Yiyoung tetap merasa bertanggung jawab.

Haruskah ia mengiyakan, sekaligus mengambil resiko kesiangan besok pagi? Atau sebaliknya, menghabiskan waktu lebih lama bersama Myungsoo?

Seolah bermaksud meningkatkan kadar panik sang gadis pirang, Myungsoo kembali berseru, “Yah, bagaimana? Kau ingin makan atau tidak?”

Yiyoung bergumam tak jelas, “Em, bagaimana ya?”

“Kalau tidak mau, aku akan langsung mengantarmu pulang. Rumahmu ada di blok depan, kan? Aku tahu dari-“

Didesak begitu, Yiyoung –lagi-lagi- tak memiliki pilihan lain selain mengikuti hati nurani dan bergegas memotong ucapan Myungsoo, “Eh! Aku tidak mau langsung pulang, kok. Ayo kita mampir makan dulu.”

Sayangnya, Noh Yiyoung tidak berkesempatan melihat betapa lebar cengiran Myungsoo saat dia melakukan putaran U-Turn tajam –Yiyoung berjengit- dan melajukan motornya menuju salah satu pusat keramaian kota.




***






Sudah belasan kali Yiyoung menampakkan batang hidungnya di area Myeong-dong. Tapi Ini adalah kali pertama ia pergi dalam konteks berkencan. Yeah, dia tidak yakin bahwa agendanya malam ini pantas disebut berkencan, karena toh tidak satupun dari mereka merencanakan atau mengatakan secara blak-blakan, seperti, “Apa kau mau berkencan denganku seusai latihan?”

Tapi, apakah ada kata lain yang lebih tepat untuk mengungkapkan aktivitas ‘pergi berdua bersama lawan jenis?’

Kencan.

Hanya memikirkan bahwa dia dan Myungsoo pergi ke Myeong-dong untuk berkencan membuat perutnya mulas, efek gugup dan bersemangat. Lagipula, fakta bahwa Minhyun merupakan tipe pemuda eksklusif yang merealisasikan kencan dengan berduet di studio musik atau makan di restoran kelas atas, menghapus ‘berkencan di Myung-deong’ dari daftar pengalaman Yiyoung. Alhasil, Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Apa yang akan mereka lakukan.

Di sisi lain, Myungsoo tampak luar biasa santai, seolah ia bukan warga Korea yang baru menginjakkan kaki di tanah kelahiran setelah beberapa tahun tinggal di negeri Paman Sam. Dia bahkan berjalan menembus kerumunan orang sembari menggandeng tangan kanan Yiyoung dengan percaya diri. Protes Yiyoung disambut alibi Myungsoo: “Tempat ini ramai sekali, bagaimana kalau kau sampai tersesat, diculik, atau dirampok?”

Yiyoung memutar bola mata, lalu –dengan senang hati- mengijinkan Myungsoo menggenggam tangannya.

Mereka berhenti di beberapa stand pinggir jalan untuk membeli camilan dan memakannya langsung di tempat. Memang, dilahirkan dari keluarga kaya nan terpandang membuat kedua orang itu menganggap camilan jalanan sebagai suatu kemewahan tersendiri.

Begitu selesai memanjakan lidah dengan makanan ringan, Myungsoo mengajak Yiyoung untuk makan di restoran 24 jam yang terletak di seberang kanan jalan. Sembari merelakan dirinya ‘diseret’ kesana oleh Myungsoo, pandangan Yiyoung menjelajahi area sekitar. Selain stand makanan ringan, Yiyoung melihat beberapa stand lain yang menjual accessories murah semacam topi, saputangan, syal, dan-

Kalung.

Sebuah kalung silver berliontin bintang dengan ukiran hati kecil, yang dipajang di stand accessories yang baru ia lewati menarik perhatian Yiyoung. Langkahnya terhenti tanpa ia sadari. Ia pun terdiam dan mengamati kalung murahan tersebut, sampai-sampai ia terkejut ketika Myungsoo bersuara, “Kenapa? Kau ingin membeli sesuatu?”

Yiyoung sontak menoleh, “Eh?”

Myungsoo mengacuhkan Yiyoung dan mengikuti arah pandang sang gadis, menuju kalung silver tersebut. Tetapi, sebelum jemarinya menyentuh rantai kalung, Yiyoung bergegas mendorong Myungsoo menjauhi stand, seraya berkata bahwa perutnya sudah keroncongan dan ia tidak tertarik membeli apapun. Tindakan Yiyoung serta rintik hujan yang mendadak turun membuat Myungsoo melanjutkan langkahnya.






***







Keluarga Noh merupakan keluarga terpandang yang kerap menyewa seisi restoran mahal hanya untuk makan malam keluarga. Oleh sebab itulah, Yiyoung mengenal sensasi menjadi satu-satunya pelanggan di restoran. Tapi, kasus kali ini berbeda. Baik Myungsoo maupun dirinya tidak menyewa restoran 24 jam tersebut. Walaupun begitu, menilik bahwa pergantian hari baru saja berlangsung, wajarlah jika tidak ada pelanggan lain disana selain mereka.

Hal itu sempat membuat Yiyoung gugup, setidaknya sebelum makanan disajikan dan perhatian Yiyoung teralihkan.

Wah, ini adalah kimchi soup terenak yang pernah kumakan.” Puji Yiyoung, menyendokkan suapan –entah ke berapa- kedalam mulutnya.

Myungsoo balas berkomentar, “Kau benar. Beruntung sekali kita menemukan tempat ini, murah dan enak.”

Umumnya, tipe manusia seperti Myungsoo dan Yiyoung membenci keheningan. Tetapi kini, sepasang remaja tersebut sama-sama menikmatinya, malah seperti sengaja menciptakannya. Mereka menikmati bagaimana privat dan intensnya suasana. Dimana waktu pribadi tersedia bagi mereka. Hanya berdua. Tanpa anggota band lain.




Dan ketika timing mengijinkan keduanya saling menatap, sepasang insan itu membeku beberapa detik –malu karena tertangkap basah- sebelum akhirnya larut dalam gelak tawa.

Momen-momen manis nan sederhana diatas mampu membuat mereka seakan berada di dunia lain, menghentikan detak jam, mengirimkan inspirasi lirik menuju benak masing-masing.



 Yiyoung's Lyric (to: Minhyun)

Youth is learning about letting go 
(Belajar untuk merelakan adalah definisi masa muda)
Because sometimes, feelings will change, without even we realize it  
(Karena terkadang, perasaan akan berubah, bahkan tanpa kita sadari)
Because even it's painful, everything is going to be alright.
 (Karena meskipun menyakitkan, semuanya akan baik-baik saja)
Let go the best, to get the better one.
 (Relakan yang baik, untuk mendapatkan yang terbaik)

Myungsoo's lyric (to: Yiyoung)

People say that youth is full of love
(Orang bilang kalau masa muda penuh dengan cinta)
But when love came to me, it was so blur
(Tetapi saat cinta datang padaku, itu terasa sangat abstrak)
Nevermind, because now, i have fully understand it.
(Tidak masalah, karena sekarang, aku sudah sepenuhnya mengerti)
That everything about you is love
(Bahwa setiap hal tentangmu adalah cinta)



Yiyoung tahu, detik itu, nama Minhyun benar-benar terhapus dari hatinya.
 

=====================================================================
A/N: BZ itu singkatan dari Blazing Star, saya gak pake BS karena bacanya gak enak/?
bisa aja sih, "Kita gunakan saja BZ (BlaZing), karena 'bintang'nya adalah diri kita sendiri"- Yiyoung.



1 komentar:

  1. next! :) kunbalnya ya thor di https://www.dokyungsooearthlings.blogspot.com

    BalasHapus