ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Rabu, 09 Desember 2015

Blazing Star [Chapter 10] - Bitter Confession

Blazing Star [Chapter 10]

by  Stephcecil
Cast : Kim Myungsoo, Son Naeun, Noh Yiyoung, Kim Taehyung / V, Lee Byunghun / L.Joe
Lenght : Chaptered || Genre : School Life, Music, Romantic, Friendship || Rating : Teen
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is purely based of my imagination.
Summary : "Satu bulan lagi aku harus kembali ke Amerika."
 
Previous Part  : 1 || 2 || 3 || 4 || 5 || 6 || 7 || 8 || 9







***


Dengan absennya L.Joe dari latihan –dia bilang harus mengikuti semacam kursus- maka studio hanya diisi oleh empat kepala, yakni Myungsoo, Yiyoung, Naeun, dan Taehyung yang duduk melingkar di atas karpet ungu tua studio. Di tengah-tengah lingkaran kecil yang mereka buat, terdapat empat lembar kertas lusuh.

Keempat personil saling memandang antusias selama beberapa saat, dan begitu Yiyoung mengulurkan tangannya untuk mengambil secarik kertas secara acak, mereka segera mengikuti aksinya tanpa dikomando. Dalam sekejap, tumpukan kertas itu telah berpindah posisi ke tangan masing-masing personil.

Pada kertas yang dipegang Yiyoung, tertera lirik buatan Naeun. Tulisan tangan sang keyboardist yang rapi nan mungil membentuk kalimat-kalimat indah khas remaja korban kasmaran. Hanya dengan melihat sekilas pun, Yiyoung dapat mengetahui siapa yang tengah berenang dalam benak Naeun ketika gadis itu menulisnya. Well, siapa lagi jika bukan Jeon Jungkook?

Yiyoung melempar senyum jahil ke arah Naeun, walaupun sang keyboardist terlampau sibuk membaca lirik milik Yiyoung untuk menyadarinya.
Youth means sugar

Because you’re mine and I’m yours

Because that fact is so sweet

And that means you’re my sugar 
(Naeun to Jeon Jungkook)


Di sisi lain, Taehyung hanya merespon lagak dramatis –seperti membaca puisi- Myungsoo saat membacakan lirik miliknya dengan dengusan. Keinginan untuk menyambar note tersebut dari genggaman Myungsoo dipendamnya kuat-kuat.

Ia tidak ingin membuang tenaganya. Lelah.

What’s youth? They are sweats, energy, passion

Don’t just stay still and do nothing

Because we’re young and we better dream out! 
(Taehyung to his dance club (BTS))

Mengesampingkan penat serta kesibukan pribadi, tak dapat diungkiri bahwa mereka masih menikmati latihan.Sebab melakukan hal favorit bersama-sama sebagai sebuah band, mau tak mau membuat setiap personil terbiasa mendengar harmonisasi instrumen lain. Permainan solo menjadi asing.

Tanpa disadari, musik telah menyatukan mereka dalam ikatan transparan bernama persaudaraan.





***






“Jadi, nilai x adalah hasil dari faktorisasi y…”

Lee Byunghun menatap jengah instruktur privat barunya. Tangan kiri menopang dagu sementara yang kanan sibuk menggerakan pena di atas buku tulis. Semenjak mendengar bahwa anaknya tak lagi berada di peringkat pertama, Tuan Lee membayar guru-guru berkompeten demi mengkatrol kembali nilai Joe. Dan meskipun secara teknis ayah-anak itu terpisah oleh bentangan benua, Tuan Lee tetap memutuskan untuk  memonitor aktivitas anaknya, dengan Tuan Jung -pelayan utama keluarga mereka- sebagai perantara.

Alasan macam apapun yang dikemukakan Joe: “Ayah, aku lebih dari mampu untuk belajar sendiri.” Atau “Kau tahu aku membenci kursus.” ditepis enteng oleh Tuan Lee. Bagaimanapun juga, sifat keras kepala Joe diwarisinya dari sang ayah.

Jika tahu seperti ini jadinya, Joe pasti lebih memilih berkencan dengan Aristoteles pada malam sebelum ujian. Bukannya membiarkan seorang jenius baru merebut peringkatnya. Well, penyesalan selalu datang terlambat, dan kini ia tidak memiliki pilihan lain disamping mematuhi keinginan sang ayah.

Dihelanya napas panjang, kemudian difokuskannya perhatian menuju deretan rumus fisika yang tertulis di whiteboard di seberang mejanya. Ia berusaha. Sungguh, ia berusaha fokus pada penjelasan sang instruktur muda –yang diakuinya lumayan cantik- bernama Yoon Sohee. Tetapi, seberapa jauhpun ia berusaha, rasa kantuk dan bosan terus menyerangnya.

Kenapa dibuat rumit sekali? Kan, ada jalan pintas dibandingkan menggunakan rumus itu, pikirnya.

Joe memutar bola mata.

Ketika ia berpikir mengenai aktivitas bandnya kini, fokusnya menguap tak bersisa. Apakah mereka sudah selesai membuat lirik? Ah, andaikan bukan kartu kredit yang menjadi ancaman, ia pasti sudah melanggar perintah Tuan Lee dan menggebuk drum sekarang. Bukannya mendengar penjelasan ulang tentang formula fisika yang telah dihapal di luar kepala.

Tak kuasa menahan jenuh, Joe membalik lembaran bukunya. Lalu, penanya kembali menari di atas halaman putih bersih. Tetapi, tulisannya yang besar-besar itu tidak membentuk deretan angka rumit, melainkan kalimat.

Seulas senyum tipis terukir.


Youth is about learning, yeah

It’s okay although you know nothing

Whether it’s good or bad thing

Because dude, we need to follow our heart

Jump, fall, walk, and run!

Because we’re young.

Wild and young.

Follow me!
(Joe/Lee Byunghun to Blazing Star)





***






Jung Sang’s Art Festival 2015, Participants List (Musical Section)

1. Ear Candy (Jung Sang’s High Official Band)

2. Hwang Minhyun & Lee Jieun (Jung Sang High)

3. Blazing Star (Jung Sang High)

4. FT Island (Min Seong’s High Official Band)

5. N Flying (Min Seong High)

6. Day5 (JYP High) 


Son Naeun tercengang seusai membaca daftar peserta festival seni, yang baru diculik Myungsoo dari ruang OSIS. Ia tahu kalau SMA Jung Sang merupakan sekolah ternama, yang bahkan telah memasuki ivy league. Tapi, tidak diduganya jika mereka akan membuat festival seni –yang seharusnya sederhana- sebagai ajang kompetisi panas.

Ia tidak menyangka band amatiran semacam BZ harus bersaing dengan grup-grup berjam terbang tinggi. Seperti FT Island, pemenang Seoul Young Artist 2014 atau N Flying, grup band jalanan yang menjadi kebanggaan warga Hongdae, atau bahkan Day5, yang konon merupakan trainee dari agensi ternama.

Seakan belum cukup, keikutsertaan band sekolah mereka semakin meruntuhkan kepercayaan dirinya. Ear candy adalah grup yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Nama mereka kerap keluar sebagai pemenang kompetisi regional dan bahkan nasional. Sedangkan satu-satunya alasan yang tidak membuat mereka debut sebagai band, adalah fakta bahwa mereka menghargai prestasi akademis dan berencana melanjutkan hingga jenjang tertinggi. Walaupun begitu, Naeun mendengar kalau ada beberapa member yang berniat merintis karir sebagai musisi nantinya, yakni Bae Suzy sang keyboardist dan Jung Yonghwa, si gitaris.

Naeun merinding. Yiyoung meringis.

Kim Taehyung mendecakkan lidah, menghela napas, lalu berkata dengan nada terpesimis yang pernah didengar Yiyoung, “Uwah, kelihatannya kita sedang berpetualang di dalam lubang buaya, sukarela pula.”

Hening. Setiap member sibuk menggali kepercayaan diri yang tersisa. Bahkan, Joe –penyandang gelar member terarogan- berdiri dengan tangan bersedekap seraya memandang kertas putih yang bertengger di atas meja Myungsoo, layaknya memandang replika alien mini.

Oh, ralat. Setiap member kecuali Myungsoolah yang disergap rasa pesimis, karena leader mereka itu segera menyambar lembar daftar peserta, meremasnya, lalu membuangnya ke depan kelas. Sorot matanya tajam nan penuh pendirian saat berkata, “Guys, kita melakukan ini bukan untuk menang, tapi bersenang-senang. Jadi, jangan pedulikan siapa lawan kita, fokus saja pada apa yang kita lakukan sekarang. Terus berlatih, bersenang-senang, dan berikan yang terbaik.”

Yiyoung tersenyum lebar. Ia baru saja menemukan satu alasan lain mengapa hatinya bergetar untuk Kim Myungsoo.





***





“Joe, kau bisa melakukan rap?”

Mendengar pertanyaan yang ditujukan olehnya, Byunghun menelantarkan buku yang tengah dikonsumsi demi memandang wajah Yiyoung. Tampangnya bingung, seolah dia baru menerima pernyataan termustahil di dunia. Ia pun mengerjap. “Maaf, kau baru bilang apa?”

Noh Yiyoung meletakkan kertas lirik final BZ di atas karpet ungu –di samping kanannya, dan menjawab mantap, tanpa mempedulikan ekspresi terpukul Joe, “Maksudku, lirik yang kau buat itu cocok sekali untuk rap. Jadi, kurasa menambahkan bagian rap di lagu kita merupakan ide bagus.”

Joe kehilangan kata-kata.

Naeun pun menyahut dari balik keyboardnya, “Aku juga sudah memperkirakan durasinya, kurasa akan lebih pas menggunakan lirikmu sebagai rap, agar lagunya tidak kepanjangan.” Karena tak lekas memperoleh jawaban dari sepupunya, dia menambahkan, “Well, itu semua terserah kau. Kalau kau tidak bisa nge-rap, ya sudah.” Dikedikkannya bahu.

Berkat sifat kompetitif yang telah ditanamkan sejak kecil, serta harga dirinya sebagai sosok perfeksionis, tak urung Joe merasa sedikit tersinggung oleh perkataan Naeun. Dalam kamusnya, kata tidak bisa adalah tabu. Dia adalah Lee Byunghun, dan dia mampu melakukan apapun asalkan dia berusaha.

Keyakinannya mulai terbentuk, namun dia tetap mengatupkan bibir. Tindakannya tersebut membuat Yiyoung yang bertugas mengaransemen final lagu, bertanya tak sabar, “Jadi, kau bisa atau tidak?”

Joe menunduk, menghela napas panjang. Ini adalah masalah harga diri. Dan apapun yang berkaitan dengan harga diri merupakan hal fatal untuknya. Karena itulah, walaupun merasa sedikit bodoh dan terintimidasi, Joe memaksakan diri menjawab, “Baiklah. Aku akan mencobanya.”

Yiyoung tersenyum. Ia bangkit dari posisi duduknya, lalu menghampiri Naeun di balik keyboard untuk memulai proses final aransemen lagu mereka. Sementara itu, Myungsoo dan Taehyung tetap sibuk bermain gitar -secara random- di pojokan studio, menghiraukan situasi sekitar. Memang, Myungsoo sudah berpesan bahwa ia menyerahkan langkah terakhir pembuatan lagu kepada Naeun-Yiyoung, beralibi, “Ini kan soal feeling, bukankah perempuan lebih ahli di bidang itu?”

Sembari menghela napas, Taehyung berniat menenggelamkan diri dalam dunia fiksi –kembali membaca buku. Namun, fokusnya terus berkeliaran. Bahkan, membaca satu halaman yang biasanya hanya membutuhkan sekitar 1 menit, kini beralih menjadi 3-4 menit.

Duh, ini gila sekali, batinya.

Ia menutup buku dan menyumpal telinga menggunakan earphone. Begitu kelopaknya terpejam, lagu Bigbang-loser berdengung dalam benaknya.

Loser, loner
A coward who pretends to be tough
A mean delinquent...  (Bigbang-Loser)




***





Yah, pegangan yang benar. Aku tak sudi bertanggung jawab kalau kau sampai jatuh.”

Peringatan pedas itu ditujukan Myungsoo terhadap gadis blonde yang baru saja duduk di boncengan motornya. Lalu, Ia melirik Yiyoung sekilas, yang terlihat sibuk membenarkan posisinya sembari mengomel, “Duh, cerewet sekali kau ini,” namun tetap patuh, mengeratkan pegangannya di pinggang Myungsoo.

Semenjak insiden dimana Myungsoo tak sengaja menyaksikan tragedi mogoknya si jack ­–motor Yiyoung, secara sukarela dia pun mengajukan diri untuk menolong sang bassis, yaitu dengan mengantarkannya pulang, tanpa peduli ada latihan band atau tidak.

Jika dianalisa menggunakan logika, seharusnya ia akan merasa keberatan, walaupun hanya secuil. Tetapi, anehnya, Myungsoo sama sekali tidak merasa begitu. Malahan, ada bahagia yang menyeruak ketika ia berjalan menuju parkiran sekolah bersama Yiyoung, atau ketika ia mengantarkannya pulang ke rumah kemudian menunggui hingga lampu kamar gadis itu mati. Dan yang terpenting, momen-momen seperti saat ini.

Kehangatan yang mengalir di pinggangnya. Hembusan napas di lehernya. Sempitnya jarak di antara mereka.

Tanpa disadari, Myungsoo tenggelam dalam dunianya sendiri. Seperti orang bodoh. Bunyi mesin motor yang sudah meraung selama beberapa detik pun ia abaikan. Untungnya, suara sopran Yiyoung –yang terdengar melengking saat ia kesal- mampu menyeretnya dari lamunan. “Oi, cepat jalan. Aku sudah lapar.”

Myungsoo tersentak, lalu tertawa kecil sebelum bersiap membawa motornya menjelajahi kawasan kota Seoul. Ah, kota yang tak pernah tidur.

“Kau ingin makan apa malam ini?”

Em, bibimbap?”






***



Malam itu, sebelum terjun ke alam mimpi, Kim Myungsoo melakukan rutinitas barunya dengan senang hati: bertukar pesan singkat dengan Yiyoung. Banyak sekali hal yang mereka bicarakan. Sebagian besar mengenai band dan sekolah. Tapi belakangan ini, tampaknya mereka kehabisan topik dan mulai mengangkat hal-hal abstrak seperti acara televisi running man atau lelucon lawas. Bahkan kemarin, saking tak tersedianya inspirasi dalam otak, Myungsoo mengajak Yiyoung ‘berperang emoticon’.

Tubuh proporsionalnya yang dibalut kaus santai biru dan celana pendek hitam ia telentangkan di atas tempat tidur berukuran king size. Tangannya ia angkat di atas wajah –dimana ia menggenggam ponsel, seraya jemarinya sibuk menari di atas layar sentuh. Tak lupa, seulas senyum terukir lebar.

To: Noh Yiyoung

Kau sedang apa? Jangan lupa besok kita ada tes kimia.

Myungsoo menggigit bibir bawahnya, lalu menekan tombol kirim. Ia pun berguling di atas kasur sembari menatap atap kamar yang berwarna abu-abu muda. Entah sejak kapan –Well, sebenarnya ia tahu sejak kapan- , segala sesuatu tentang si gadis pirang seolah meracuninya bak zat adiktif. Membuatnya kecanduan. Bahkan, menunggui sebuah pesan singkat terasa luar biasa lama nan menyebalkan.

1 menit… 2 menit… Ting!

Myungsoo nyaris meloncat saat mendengar nada notifikasi. Secepat kilat, disambarnya ponsel yang ia letakkan di samping tubuhnya. Matanya berbinar seperti anak kecil. Ia meringis lebar sekali hingga otot-otot wajahnya terasa sakit –dan ia tak peduli, karena pesan Yiyoung dianggapnya jauh lebih penting.

From: Noh Yiyoung

Aigoo, memangnya kau sendiri belajar? Percuma saja kau ingatkan. Aku tidak ingin belajar malam ini. Capek. --"

Myungsoo hendak menuangkan kalimat balasan yang sudah tersusun dalam otaknya secepat usain bolt, namun niatnya tertunda oleh sebuah panggilan masuk. Ia mengernyit, heran. Dan kemudian, air mukanya mengeras saat membaca nama sang penelepon. Desahan napasnya terdengar lantang, menghancurkan kesunyian yang terbentuk dari kekosongan rumah.

Sungguh, ia tak sudi menekan tombol ‘jawab’. Sungguh, betapa inginnya ia mengabaikan hal ini dan melanjutkan aktivitasnya barusan. Sungguh, kalau saja ia tak menyadari betapa penting nan berbahaya orang yang menanti di seberang telepon, ia pasti tak akan menjawab panggilannya seperti yang ia lakukan sekarang.

“Yes, Dad?”

“You, ungrateful child! Don’t you think I don’t know what you are doing right now?”

Myungsoo berjengit. Intonasi tajam berbalut tingginya nada sang ayah membuatnya menjauhkan ponsel dari daun telinga selama beberapa detik. Ia mungkin tak tahu banyak mengenai tata krama –oh, ia membenci tetek bengek yang berlebihan- tapi bahkan anak kecil pun tahu bahwa berteriak melalui telepon bukanlah hal santun.

“Father, it’s not like that. I just-“

“I don’t want to hear any reason Myungsoo-” Jeda selama beberapa detik, lalu dilanjutkan menggunakan bahasa Korea, yang menjadi pertanda mengenai keseriusan Ayahnya, “-Aku mengerti kalau remaja sepertimu menyukai tantangan. Tapi, kabur dari sekolah bisnis bergengsi di Amerika untuk menjadi siswa biasa di sekolah biasa pula-“

Myungsoo dapat mendengar jelas penekanan pada kata tertentu, mencelanya secara tak langsung. Dan jelas ia tak menyukai itu. Telinganya memanas.

“Dad, I-“

“I will give you time. Comeback home, finish your school here.”

Myungsoo tak langsung menjawab. Diangkatnya tangan kiri yang bebas dari ponsel demi mengacak helain rambut kelamnya, berharap tindakan remeh tersebut mampu mengusir benih frustasi. Ia tahu orang macam apa Ayahnya, dan ia lebih dari tahu apa yang akan orang itu lakukan jika ia membangkang. Pilihannya ada dua, yakni patuh secara sukarela, atau... dipaksa.

“…Okay Dad. Just give me time.”

“Until when?”

Lag-lagi ia tak langsung menjawab. Sampai kapan? Tentu hatinya meneriakkan selamanya. Tetapi, realita bagaikan air dingin yang diguyurkan di pagi hari, memaksanya bangkit dari mimpi. Dingin. Ia pun mendongak, menatap langit-langit kamar yang mendadak terlihat berwarna abu-abu tua –bukannya muda seperti tadi. Mungkin hanya khayalannya.

Ia menelan ludah.

“One month. Let me at least finish this semester.”

Setidaknya sampai festival seni selesai.





***






Pada hari berikutnya, rutinitas berjalan seperti biasa. Kecuali –Yiyoung memperhatikan­­- wajah Naeun yang tampak lelah, ditambah lingkaran hitam tebal di bawah mata. Yiyoung mengernyit. Diamatinya Naeun berjalan melewati deretan meja, hingga dia mendaratkan pantat di bangku sebelah kanannya. Langkah Naeun pun tak seringan biasanya, khas orang yang begadang semalam suntuk.

Tanpa membuang waktu, Yiyoung memutuskan untuk memborbardir sahabatnya dengan pertanyaan. “Kau ada masalah?”

Naeun terdiam beberapa saat. Dia tidak menolehkan kepala saat memuaskan rasa penasaran Yiyoung, menggunakan kalimat singkat, padat, dan jelas. ”Tidak, kok.”

Yiyoung ingin mendengus, tapi ditahannya. Sejauh ia mengenal Son Naeun, dia adalah tipe gadis yang cenderung memendam perasaannya dalam-dalam. Taktik apapun yang digunakannya, tiada yang sukses membuat sang keyboardist bicara. Kesimpulannya, Naeun hanya akan buka mulut jika ia memang ingin.

Tetapi, bahkan kata ‘keras kepala’ tak dapat mendeskripsikan karakteristik Yiyoung.

“Kenapa? Kau bertengkar lagi dengan Jungkook?”

“Tidak. Aku baik-baik saja.”

“Kau tidak terlihat baik-baik saja, Eun.”

Kalimat terakhir Yiyoung membuat Naeun menolehkan kepala, wajah suntuknya tersorot secara close-up. Matanya merah. Kulitnya pucat. Jelas, orang waras manapun pantas menduga bahwa gadis bermarga Son tersebut sedang tidak baik-baik saja.

Suara Naeun terdengar lelah dan dingin, seolah ia enggan berbicara. “Bisakah kau diam?”

Yiyoung terperanjat. Naeun tidak pernah bersikap sekasar ini sebelumnya, terutama kepadanya. Jadi, masalah apapun yang tengah bergelayut di pundaknya, pastilah hal serius. Dan di dunia Son Naeun, hanya ada dua hal yang ia anggap cukup serius. Yang pertama adalah Jeon Jungkook. Sedangkan yang kedua adalah-

Oh, bodoh sekali dia.

“Eun, apa nilaimu turun?”

Tidak ada jawaban. Yang ditanya hanya menatap kosong ke arah jendela kelas yang tampak di belakang punggung Yiyoung.

Yiyoung kembali mendesak, “Eun? Tolong jawab aku.”

Kemudian, Son Naeun menggeser arah pandangnya, mengarahkan manik gelapnya pada mata sang lawan bicara. Dan Yiyoung berani bersumpah bahwa ini adalah pertama kalinya seorang Son Naeun mengatakan hal yang mampu memicu pertikaian di antara mereka, “Kalau iya, memangnya kenapa? Aku kan tidak mempunyai otak secemerlang kau, Joe, atau Myungsoo. Aku bisa berada di kelas unggulan karena aku belajar keras. Dan tidak ada yang akan bertanggung jawab kalau nilaiku turun drastis, selain diriku sendiri.”

Yiyoung bungkam. Perasaannya sungguh abstrak, antara sedih dan marah. Tapi, ia tahu ia tidak berhak untuk marah, karena toh Naeun hanya menyuarakan fakta. Di sisi lain, perkataan Naeun menghujam dirinya, bak peluru berkaliber tinggi. Teramat tak sensitifkah ia terhadap sahabatnya sendiri? Sementara ia bersenang-senang dengan Myungsoo, menikmati aktivitas band, serta nilai yang tetap stabil di peringkat atas, Naeun sibuk berjuang menyeimbangkan segala kesibukan baru dengan rutinitas belajar.

Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Begitu bel masuk berdering, Yiyoung melempar senyum tipis ke arah Myungsoo yang berlari memasuki kelas –anak itu nyaris terlambat, sembari berusaha sekuat tenaga mengacuhkan aura suram Son Naeun.






***






Seharusnya, latihan kali ini menjadi momen sempurna dimana mereka memainkan lagu perdana. Dimana setiap instrumen memainkan hasil jerih payah mereka sendiri. Seharusnya, ini sempurna: berhasil pada percobaan pertama, tanpa kesalahan. Namun, tak jarang apa yang kita harapkan berbanding terbalik melawan realita.

Yiyoung mungkin dapat mentoleransi Taehyung dan Naeun, sebab dia memahami betapa sulit nan melelahkannya situasi mereka. Taehyung dengan kesibukannya: sekolah-band-klub menari, sementara Naeun sibuk menghadapi tekanan dari orangtuanya untuk mempertahankan peringkat. Setengah mati menyeimbangkan antara sekolah-belajar ekstra-band-lalu belajar ekstra lagi.

Joe? Well, Yiyoung sempat mendengar gosip mengenai keluarga berintelegensi tingginya, serta tuntutan profesor Lee yang mewajibkan sang anak semata wayang menjadi mahasiswa Harvard. Jadi, mungkin pemuda berambut merah tersebut juga sibuk menjejali otak dengan materi sekolah.

Yiyoung memang masih bisa mentolerir keteledoran Naeun mengambil nada, yang menjadikan percobaan ketiga mereka gagal. Lalu, masih bisa mentolerir tempo terlalu cepat Taehyung di percobaan lain.

Meskipun dilabeli predikat ‘remaja labil’, tampaknya temperamen Yiyoung jauh lebih baik dibandingkan Myungsoo. Karena begitu percobaan ketujuh mereka gagal, Yiyoung hanya memutar bola mata sebagai tanda kejengkelannya. Sedangkan, Myungsoo langsung membalikkan tubuh dan memandang anggota bandnya dengan kedua alis saling bertaut. Rona wajahnya merah, bauran antara emosi dan rasa lelah.

Nadanya terdengar tajam bak pisau daging, menusuk telinga Yiyoung, “Apa sih, yang salah dari kalian? Ayolah, lakukan yang benar.”

Yiyoung mendengar dengusan samar Naeun di belakangnya. Tapi sang keyboardist tetap bungkam.

Myungsoo melanjutkan, “Hanya tersisa dua minggu-“ dia memberi jeda. Diacaknya rambut menggunakan tangan kanan, sementara yang kiri menggambar gestur liar di udara, “-hanya dua minggu dan kita bahkan tidak bisa memainkan lagu kita dengan benar.”

Yiyoung membasahi bibir bawahnya, melirik singkat ke arah Taehyung di sebelah kirinya –berdiri layaknya bom waktu yang siap meledak. Dia juga mendengar gerutuan dari belakang kepalanya, Naeun.

Yiyoung tidak tahu apakah leadernya itu memang tidak peka terhadap situasi, berpura-berpura acuh, atau terlampau buta oleh emosi?

Tapi yang jelas, ia tahu sudah saatnya ia mengambil peran sebagai protagonis, ketika kalimat paling tak sensitive meluncur dari bibir tipis Myungsoo: “Maksudku, saat ini, apa ada yang lebih penting dibandingkan festival seni?”

Oh, how insensitive you are, Kim Myungsoo.

Yiyoung segera membuka mulut, “Myung, kurasa kau-“

Terlambat. 

“Kalaupun ada sesuatu yang salah disini, mungkin itu adalah keberadaanku. Aku tahu aku telah bertindak bodoh karena menyetujui tawaran kalian, walau dengan sedikit paksaan.” Suara bariton Joe menyela kasar perkataan Yiyoung.

Sang gadis blonde mengamati gerakan L.Joe yang dengan santainya -dan datarnya- meletakkan stik drum, lalu meraih tas birunya yang tergeletak di samping peralatan musik perkusi itu, “Karena tadi kau bertanya ‘apa ada yang lebih penting dibandingkan festival seni’, maka dengan senang hati aku akan menjawabnya-“

Joe bangkit berdiri, berjalan beberapa langkah, dan berhenti tepat di depan Myungsoo, “-kalau nilai dan masa depanku jauh lebih penting dibandingkan festival kebanggaanmu itu.”

Otak Yiyoung seolah berhenti berfungsi. Bahkan, dia hanya mampu berdiri mematung di tempat, saat L.joe –sengaja- menabrak bahu Myungsoo dengan bahunya sendiri. Seperti orang bodoh, diamatinya langkah-langkah panjang nan tegas Joe, membiarkan pemuda itu keluar dari studio. Ekspresi dan bahasa tubuh pemuda itu membuat Yiyoung déjà vu. Dingin. Persis seperti kali pertama mereka berinteraksi.

Naeun mengekori sepupunya tak lama kemudian. Sebelum mengenyahkan diri dari ruangan, dia sempat melempar tatapan bersalah ke arah Yiyoung.

Bunyi pintu yang ditutup memekakkan telinga.






***






“Ini payah sekali.”

Yiyoung menoleh menuju sumber suara, yakni pemuda tampan di sampingnya. Siluet wajahnya yang terpapar cahaya bulan menjadikan keelokan Myungsoo tampak tak nyata. Terlalu sempurna. Bahkan, hal itu sempat membuat Yiyoung tersihir, menghabiskan detik demi larut dalam pesonanya. Oh, Yiyoung yakin kalau pose terbaik seorang model professional pun tak mampu menyaingi keanggunan Myungsoo kini, yang hanya duduk diam di bangku besi ayunan tua.

Setidaknya, di mata Yiyoung.

“Young, menurutmu, apa yang harus kita lakukan?”

Barulah ketika pertanyaan di atas dilontarkan, Yiyoung membuka mulutnya, untuk pertama kali semenjak mereka meninggalkan rumah Taehyung dan berpikir kalau taman bermain di kompleks perumahan sang gitaris merupakan tempat sempurna untuk mendinginkan kepala. “Memangnya kau pikir, ada lagi yang bisa dilakukan dalam keadaan begini?”

Mungkin perkataan Yiyoung terdengar retorik di telinga orang lain. Tapi tidak bagi Myungsoo. Karenanya, ia membalas tanda tanya dengan tanda tanya, “Jadi, menurutmu kita harus mundur dari festival?”

Yiyoung mengedikkan bahu, sembari mengayun pelan ayunan yang didudukinya. Benda karatan tersebut menimbulkan bunyi derit yang cukup keras membelah keheningan malam. Dan Yiyoung tahu bahwa satu-satunya hal yang membuatnya tak merasa takut –karena taman itu gelap, hanya ada satu lampu jalan sekitar 1 meter dari lokasi mereka, ditambah lagi tidak manusia lain disana- adalah berkat keberadaan Myungsoo.

Bagaimanapun juga, helaan napas Myungsoo pada detik berikutnya mengalihkan perhatian Yiyoung dari derit sumbang ayunan. Meski hanya terfasilitasi oleh pencahayaan minimal, Yiyoung mendeteksi bagaimana sudut bibir sang pemuda saling tertarik ke samping, membentuk garis lurus.

Yiyoung mengenal ekspresi itu. Dia menyaksikannya tak sampai satu jam yang lalu.

Myungsoo mendengus. “Menyerah, ya? Kedengarannya menarik.”

Ditempatkan dalam situasi seperti ini, tak urung Yiyoung merasa canggung, mengesampingkan kedekatan –terlalu dekat malah- yang mereka bangun belakangan. Yiyoung tak tahu harus bereaksi apa. Maka, ia hanya diam. Hening. Dan takdir membiarkan keheningan mengisi menit-menit di antara mereka.

Hingga Myungsoo memecahnya. “Tapi aku tidak sudi, Young. This is not my style.”

Yiyoung menggigit bibir bawahnya, lalu membasahinya. Ia memang bukan ahli filsafat. Tapi, pengalamannya bernapas selama 17 tahun di dunia, tanpa sadar mendorongnya berbicara bak orang dewasa, “Myung, terkadang, ada hal-hal yang harus kita relakan. Ada saat-saat dimana kita harus menyerah terhadap keadaan. “

“Bukan begitu maksudku.”

Yiyoung tak menangkap getaran depresif yang terkandung dalam suara Myungsoo.

“Kalaupun kita terpaksa mundur dari kompetisi kali ini, bukan berarti tidak ada kesempatan lain, kan? Tahun depan, kita masih berstatus sebagai siswa Jung Sang. Seperti tema lagu kita, Youth, yang berarti masa muda. Kita masih-“

Sungguh, Yiyoung lebih memilih menghadapi skenario menyebalkan lain, misalnya sarkasme Myungsoo atau bentuk ekspresif kekeraskepalaannya. Apapun. Apapun selain mimpi buruk yang ia hadapi sekarang. Ia bahkan rela membanting gitas bass kebanggannya, asalkan seseorang bersedia mengguyurnya dengan air dingin.

Tolong katakan, jika ini hanyalah mimpi buruk yang terlampau nyata.

Segalanya berlangsung layaknya adegan slow motion. Myungsoo bangkit berdiri, lalu berjongkok di depan Yiyoung. Perlahan namun pasti, diraihnya tangan sang bassis. Ia melemparkan senyum miris saat ia mendongak dan menatap sepasang manik kecokelatan Yiyoung.

“Aku menyukaimu Young. Aku tahu aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu.” Myungsoo mendecakkan lidah.

Lagi-lagi, Yiyoung tak tahu reaksi apa yang patut diberikan. Ia mematung seperti boneka mannequin.

Ia baru saja menerima sebuah pengakuan cinta. Yang begitu mendadak. Yang begitu tak cocok dengan situasi.  Seharusnya aku bahagia, tapi kenapa rasanya ada yang salah?

Bukannya kupu-kupu khas roman picisan, melainkan batu imajinerlah yang bersemayam di dalam perutnya. Yang kerap ia rasakan begitu mendapat firasat buruk. Dan kali ini, ia berharap ia salah.

Oh, betapa memuakkan permainan takdir.

“Tapi aku harap kau tidak membalas perasaanku,” Myungsoo menyelipkan helaian rambut pirang Yiyoung di belakang telinganya secara perlahan, “Karena aku akan pergi Young.”

Kerongkongannya tercekat. “A-apa maksudmu?”

“Satu bulan lagi. “

“Apa yang satu bulan lagi?”

“Satu bulan lagi aku harus kembali ke Amerika.”


======================================================================
A/N: So, so- apa ada yang nyadar saya pakai lebih banyak percakapan disini/? hahaha. Btw, akhirnya BZ sampai di tahap konflik. Ini FF panjang banget, saya yang nulis aja gak nyangka bakal sepanjang ini lol ._. okay, don't forget RCLnya! Thanks for reading.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar