ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Rabu, 06 Januari 2016

Blazing Star [Chapter 11] - Joining Hands



Blazing Star [Chapter 11]

by  Stephcecil
Cast : Kim Myungsoo, Son Naeun, Noh Yiyoung, Kim Taehyung / V, Lee Byunghun / L.Joe
Lenght : Chaptered || Genre : School Life, Music, Romantic, Friendship || Rating : Teen
Disclaimer : The cast isn't mine, but the plot is purely based of my imagination.
Summary : "Aku tidak Sendirian" 
                                                   Previous Part  : 1 || 2 || 3 || 4 || 5 || 6 || 7 || 8 || 9 || 10



Dalam rangka menghindari kecanggungan setelah pengakuan semalam, Yiyoung menolak bertatap muka dengan Myungsoo. Bahkan semenjak menginjakkan kaki di sekolah pagi itu, ia berlakon bak agen CIA yang tengah menyamar, menjaga jarak dari setiap member BZ. Ia pun rela mengulur jam karetnya –yang sudah melar- agar pelajaran dimulai tepat saat ia mendudukkan pantat di kelas. Dan untungnya, Seohyun sonsaengnim memanggil Yiyoung ke ruangannya saat istirahat pertama, untuk membahas rekomendasi universitas 20 besar SMA Jung Sang. Otomatis rencana ‘aku-tidak-akan-terlihat-oleh-siapapun’ Yiyoung berjalan lancar.

Tetapi perut Yiyoung tidak sanggup berkompromi lebih lama lagi, sehingga ia terpaksa mengendap-endap menuju kafetaria sekolah pada istirahat kedua. Dan begitu ia selesai menembus antrian panjang murid-murid kelaparan dengan nampan makanan di tangan, ia pikir ia bisa menghela napas lega, karena sejauh matanya menjelajahi kafetaria, tidak ditemukannya rambut merah menyala L.joe, atau wajah tampan Myungsoo. Di sisi lain, ia yakin kalau L.joe dan Naeun berada di perpustakaan atau ruang belajar, sementara Taehyung sibuk dengan tim menarinya.

Setidaknya, Yiyoung cukup aman sekarang.

Sepuluh menit pertama pun dihabiskannya untuk menyantap bibimbap dalam kedamaian. Well, Yiyoung memilih mengacuhkan definisi ‘damai’ yang bertolak belakang dengan situasi kafetaria Jung Sang, lagipula, perutnya sudah berdemo kelaparan karena ia melewatkan makan malam sekaligus sarapan –kejadian semalam menghilangkan nafsu makannya- dan memakan bibimbap tanpa mengkhawatirkan kemunculan member BZ merupakan kemewahan tersendiri.

Hanya saja, kalimat terakhir terbukti tak akurat karena Dewi Fortuna masih berkonfrontasi dengan Yiyoung. Mendadak saja, Myungsoo menampakkan batang hidungnya, dengan santai menempatkan diri di kursi seberang Yiyoung.

Sang bassis tersedak. Dan Myungsoo menyodorkan sekaleng soda tanpa berkata apapun.

“K-kenapa kau kemari?” ujar Yiyoung, sembari terbatuk kecil disela-sela kegiatannya menenggak soda. Kepalanya tertunduk, sedapat mungkin menghindari kontak mata. Ia tahu bagaimana mematikan pesona Myungsoo –terutama matanya­- dan ia menolak berubah menjadi lumeran mentega di hadapannya.

Myungsoo mengerjap, kepalanya ditelengkan ke samping, ia terlihat polos nan imut seperti bocah lima tahun. “Memangnya aku tak boleh makan siang?” jemarinya menunjuk ke arah nampan yang tergeletak di sisi mejanya.

Well, aku hanya-“

Sebelum Yiyoung sempat menjabarkan argumen, Myungsoo bergegas menyela. Dan tampaknya, Myungsoo mampu membaca pikirannya karena ia tak mengungkit peristiwa semalam. “Taehyung bilang dia akan pulang sekitar tengah malam, atau mungkin menginap di tempat teman dancenya. Jadi, dia menitipkan kunci cadangan rumahnya padaku agar kita tetap bisa latihan.”

Yiyoung tidak tahu yang mana yang lebih mencengangkan, rasa percaya Taehyung yang cenderung bodoh–Yiyoung tidak akan menyerahkan kunci rumahnya kepada orang yang baru ia kenal beberapa bulan- atau antusiasme gila Myungsoo. Maksudku, apakah BZ siap naik panggung hanya dengan dua orang personil? Anyway, Yiyoung masih tak mengubah pemikirannya semalam, bahwa menyerah mungkin merupakan pilihan terbaik dalam situasi mereka kini.

“Oh ya, Taehyung bilang dia tetap berpartisipasi di band, selama jadwalnya mengijinkan.” Myungsoo menambahkan.

Yiyoung mengangguk singkat dan mencoba tersenyum optimis, tapi ia yakin ekspresi wajahnya terlihat luar biasa canggung. “Baguslah kalau begitu.”

Myungsoo balas tersenyum tipis.

Lalu, keduanya sibuk menekuni makanan masing-masing, tanpa menghiraukan betapa berat atmosfir yang menggantung di udara. Yiyoung terus menunduk demi menghindari kontak mata, sementara Myungsoo mengetuk-ngetukkan jemari kirinya –yang bebas dari sumpit- di atas meja, menghasilkan ritme beraturan yang meningkatkan kadar ketegangan Yiyoung.

Setelah Yiyoung melicinkan piringnya, ia segera berdiri dan berniat melenyapkan diri dari kafetaria secepat usain bolt. Ia baru berhasil memutar tubuh ketika suara bariton Myungsoo menginterupsi indra pendengaran, “Kalau kau merasa canggung dengan semua ini, lupakan saja apa yang kukatakan semalam. Lagipula, aku akan pergi sebentar lagi.”

Yiyoung membeku di tempat. Ada bagian dalam dirinya yang hancur oleh perkataan Myungsoo, retak dan terbelah. Lidahnya terlampau kelu untuk memberi respon, tapi telinganya masih berfungsi baik karena kalimat Myungsoo selanjutnya terdengar jelas, “Kau akan datang latihan malam ini, kan?”

Yang ditanya menjawab singkat –berjuang agar vibrasi suaranya tak tampak, “Okay.”



***




“Myung, kurasa kita harus mempertimbangkan lagi idemu. Lagu kita dirancang untuk dimainkan empat instrumen. Ini tidak akan berhasil.” Adalah kesimpulan Yiyoung setelah 30 menit latihan berdua saja dengan Myungsoo. Bahkan jika Taehyung serius mengenai kesediannya berpartisipasi, lagu mereka tetap akan terdengar ganjil tanpa keyboardist dan drummer.

Tampaknya jalan pikiran Myungsoo serupa dengan Yiyoung, karena raut wajah sang leader begitu suntuk. Keluar sebagai pemenang festival hanyalah mimpi kalau mereka nekad tampil seperti ini. Di sisi lain, membuat lagu berbeda yang cocok dimainkan trio –dia, Yiyoung, Taehyung- membutuhkan banyak waktu, sementara festival seni tinggal sejengkal lagi.

“Menurutmu, kita harus bagaimana?”

Yiyoung menghempaskan diri di atas sofa ungu studio Taehyung seraya menghela napas panjang. “Kita tidak memiliki pilihan lain, selain membujuk mereka untuk kembali bergabung.”

Dahi Myungsoo mengerut. Ia tidak menyukai ide tersebut. Kedua temannya itu tampak serius dengan alasan apapun yang mereka miliki kemarin, dan membujuk mereka bukanlah hal mudah. Lagipula, ia yakin jika amarah mereka terhadapnya belumlah reda. Tetapi, ia tak memiliki pilihan lain.

“Okelah.”



***





Son Naeun mengusap wajahnya dengan kasar. Tiga jam telah berlalu semenjak ia berkutat dengan tumpukan buku biologi di ruang belajar SMA Jung Sang, dan dua gelas espresso pun habis ia konsumsi. Walaupun begitu, kafein tak cukup manjur mengusir kantuk dan penat yang menggelayuti sang keyboardist.

Betapa ingin ia melemparkan diri menuju kenyamanan kamarnya, namun ia tahu masa depannya jauh lebih penting. Naeun meregangkan tubuh, memperbaiki posisi duduknya, sebelum kembali menghapal seluk beluk kingdom fungi. Baru sekitar 10 menit ia meresapi ilmu biologi, kegiatannya terusik oleh sosok familiar yang tiba-tiba duduk di sampingnya. NohYiyoung.

Naeun menghela napas panjang, lalu memutar posisinya sehingga dia berhadapan langsung dengan wajah Yiyoung. “Kenapa kau disini?”

Yiyoung membuka bibirnya, dan dikatupkan kembali saat sadar alibi ‘aku-ingin-belajar-karena-ini-ruang-belajar’ tidak akan sukses, melainkan memancing emosi Naeun lebih jauh. Sebagai sahabat Yiyoung, dia tahu kalau sang bassis hanya membuka buku pelajaran pada malam sebelum ujian. Pada akhirnya, Yiyoung memilih untuk berterus terang, “Aku ingin tahu apakah kau tetap akan berpartisipasi di band.”

Naeun mendengus, dipandangnya Yiyoung seakan ia baru menanyakan dari arah mana matahari terbit. Dia tidak berniat bersikap bak pemain antagonis dalam drama, tetapi beban di pundak Naeun memberinya tekanan besar dan ia benar-benar stress.

“Apakah menurutmu masa depanku adalah bahan candaan?”

“Tentu saja tidak. Aku tidak bermaksud begitu.”

Naeun melipat kedua tangan di depan dada, “Dengarkan aku, Noh Yiyoung. Aku tidak memiliki otak brilian sepertimu, aku berada di peringkat 19 dari 20 murid kelas unggulan dan kemungkinan besar ditendang dari sana jika semester depan nilaiku tak meningkat.”

“Prestasi akademis bukanlah segalanya, Eun.”

“Oh, benarkah? Apa kau pikir aku bisa mendapat pekerjaan bagus tanpa ijazah dari universitas ternama? Aku bukan Bill Gates!”

Yiyoung tersentak. Selama bertahun-tahun ia mengenal Son Naeun, tak pernah sekalipun dia berteriak. Merasa bahwa emosi Naeun telah mencapai puncak, Yiyoung berpikir kalau tak ada gunanya melanjutkan perbincangan tanpa kepala dingin. Lagipula, ia merasa tak nyaman menjadi bahan tontonan murid-murid lain di ruang belajar, yang perhatiannya teralihkan oleh volume suara Naeun barusan.

Sembari bangkit berdiri, ia melempar satu pertanyaan retorik dengan suara lirih, “Apakah kau bahagia seperti ini?”

Naeun tak menjawab.



***




Pemuda berambut kemerahan itu menyeret langkahnya dengan lesu. Tepat setelah ini –seusai jam formal sekolah- ia masih harus menjalani kursus privat. Padahal, suasana hati serta otaknya yang terus diasah tengah berdemo meminta jatah istirahat.

Memiliki IQ diatas rata-rata bukanlah jaminan bahwa ia bisa mengerjakan setiap soal atau menganalisis materi apapun semudah itu. Lee Byunghyun juga manusia.

Joe mendesah. Kemudian, melalui sudut matanya, ia menangkap visual sebuah bangunan familiar di ujung jalan. D’classic. Sudah berapa lama berselang sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki disana? Well, semenjak bergabung dengan BZ, Joe tak merasa perlu pergi kesana demi menggebuk drum, karena segalanya telah terfasilitasi di studio Taehyung.

Kerinduannya akan tempat tersebut, serta sensasi menggelitik yang menyerang jemari Joe –sudah dua hari ia tak berlatih- bagaikan melodi maut seorang siren. Dalam sekejap, Joe mendapati dirinya berada di dalam toko musik dan menyapa ahjussi paruh baya pemilik toko. Sang ahjussi yang mengenal baik Joe pun mempersilahkannya memainkan salah satu drum.

Menit-menit berikutnya dihabiskan Joe menikmati gelombang nostalgia. Aroma pengharum ruangan lemon D’classic dan nada-nada yang terpantul dari instrument favoritnya seolah membawanya menuju dimensi lain. Tanpa disadari, raut lesunya tergantikan oleh senyum lebar dan binar antusias.

Orang lain boleh berkata bahwa ia murni pengguna otak kiri, bahwa ia tak cocok menjadi apapun selain ilmuwan atau peneliti. Ia harus belajar keras, pergi ke Harvard atau Stanford, lalu menjadi generasi penerus profesi ayahnya.

Namun beberapa hari terakhir, setelah ia mencoba mengikuti keinginan ayahnya: “jangan fokus pada hal lain. Teruslah belajar.” Ia merasa begitu lelah nan pasif. Dan meskipun ia tak tahu persis seperti apa neraka itu, ia yakin rasanya tak akan jauh berbeda. Hidup seperti boneka marionette, diatur kesana kemari, meninggalkan hal yang ia cintai.

Saat ini, ditemani oleh drum dan alunan musik, ia kembali hidup.

Bullsh*t. Joe tidak akan mengijinkan orang lain menjadi diktator atas dirinya. Ini adalah hidupnya.

Tawa lepasnya terdengar merdu saat ia selesai memainkan instrument ciptaan BZ. Pun senyum lebarnya setia melekat. Merasa puas akan permainannya, Joe beranjak berdiri dan meletakkan stik drumnya. Tetapi, gerakannya terhenti ketika seseorang memanggil namanya.

Yah, L.Joe!”

Joe menoleh. Disana, di ambang pintu, berdiri sesosok Kim Myungsoo. Lengkap dengan senyum lebar dan kedua jempol yang teracung keatas, dia berseru ceria, “Kau keren sekali barusan.”

Selama beberapa saat, sang pemuda berambut merah tak tahu reaksi apa layak diberikan. Ia memang kerap menerima pujian berkaitan prestasi akademis atau otak briliannya. Tetapi, baru kali ini sebuah pujian sederhana mampu menyentuh hatinya.

Pada akhirnya, ia memutuskan untuk melempar seulas senyum tulus, disusul ucapan terimakasih. Keduanya merupakan hal spesial, karena jarang sekali –bahkan nyaris tak pernah- Joe membuka topeng dinginnya di hadapan orang lain.

Mungkin Yiyoung benar, Myungsoo berpikir, sembari tertawa kecil dan mengajak Joe keluar dari D’classic.

Everything is going to be okay. 





***

 


@Next Day

“Kurasa rencana kita gagal, Myung.”

Kim Myungsoo mendongak dan memandang Yiyoung yang duduk manis di atas sofa ungu studio dengan wajah lesu. Ia benci bersikap pesimis, tapi kali ini ia merasa Yiyoung benar adanya. Tidak mudah membujuk dua member yang cenderung keras kepala.

Sang leader mendesah, lalu mendaratkan pantat tepat di samping Yiyoung. Ia mengabaikan gejolak dalam perutnya ketika bahu mereka saling bersentuhan, akibat panjang sofa yang kurang memadai. Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri bahwa Myungsoo masih tak dapat bersikap normal didekat Yiyoung, terutama setelah ia mengungkapkan perasaannya.

Guys, masih ada sedikit waktu kalau kita ingin menggunakan rencana B. Ada sekitar satu minggu.” Taehyung –yang duduk diatas karpet studio- menyahut lantang, dan menarik perhatian kedua temannya.

Yiyoung menggeleng, “Kau gila? 60% lagu kita dibuat oleh Naeun. Dia yang paling ahli soal mengcompose lagu. Dan satu minggu itu-“

“-Satu minggu tidak akan cukup jika ditambah dengan persiapan final.” Potong Myungsoo.

Taehyung bungkam.

Beberapa menit kemudian diisi oleh keheningan berpadu atmosfir suram. Ketiga kawan larut dalam aktivitas serta pemikiran masing-masing. Taehyung memainkan nada-nada buntung nan random menggunakan gitarnya, Yiyoung memasang earphone untuk mendengarkan lagu, sementara Myungsoo bermain game di ponsel. Tidak ada yang berinisiatif mengajak latihan, sebab toh percuma saja tanpa kehadiran drummer dan keyboardist mereka. Waktu terus berselang tanpa disadari.

Myungsoo menguap, lalu mengecek jam pada layar ponselnya, 10.00 PM. Sudah larut. Rasa perih di matanya menandakan bahwa ia sibuk bermain game hingga lupa waktu. Ia menguap, dan memutuskan untuk mengakhiri sesi latihan mereka malam ini. Mengenai langkah selanjutnya –apakah nekat mengcompose lagu baru atau terus membujuk Naeun-Joe- akan ia pikirkan nanti saja karena suasana hatinya sedang tak dapat diajak bernegoisasi kini.

Myungsoo meregangkan tubuh dan berdiri dari posisi duduknya selama beberapa jam terakhir. Kemudian, diguncang-guncangkannya tubuh Yiyoung yang tengah berkelana di alam mimpi.

Yah, bangun.”

Yiyoung menggeliat. Matanya merah dan mukanya kusut khas orang baru bangun tidur. Menyimpulkan bahwa Yiyoung sudah cukup ‘sadar’, ia memilih untuk membereskan gitarnya sebelum berpamitan pada Taehyung –dia pergi ke kamar mandi- lalu pulang. Tetapi, begitu ia berbalik saat mendengar bunyi cklek tanda pintu studio terbuka, ia tak mendapati sosok Taehyung, melainkan dua bocah yang baru saja melancarkan perang dingin. Son Naeun dan Lee Byunghun.

Son Naeun berdiri di ambang pintu sembari tersenyum canggung, “Hey guys, maaf kami telat. Butuh waktu untuk menyeret orang ini kemari.” Ia mengarahkan ibu jarinya kebelakang, menunjuk pemuda berambut merah yang berdiri kaku di belakangnya.

Bermodal ekspresi robotiknya, Joe menyapa, “Hey.”

Myungsoo dan Yiyoung pun saling berpandangan, lalu keduanya tergelak lega.





 ***





Hari-hari berikutnya tampak kabur di mata Yiyoung. Latihan yang berlangsung intensif nan agresif –menurut Naeun- membuahkan perkembangan pesat bagi kekompakan, kemampuan, serta performa mereka. Sebagai leader, Myungsoo juga memastikan kehadiran mereka pada setiap latihan, yang mana berlangsung sepanjang minggu, setiap pulang sekolah hingga tengah malam.

Tiada kesempatan untuk lengah. Bahkan, jam istirahat sekolah pun dijadikan sarana berdiskusi.

“Aku tidak tahu kalau oppa benar-benar bisa nge-rap.” Adalah pujian Naeun saat sang sepupu memamerkan keahlian barunya.

Joe menyeringai, sembari bersandar pada pohon besar di taman belakang sekolah –yang dijadikan basecamp kedua BZ , karena Myungsoo berpikir suasana di sini jauh lebih baik dibandingkan kafetaria. “Sebelumnya tidak bisa, tapi aku berlatih. Dan ternyata itu tidak sesulit yang kukira.”

Taehyung meninju pelan bahu Joe, “Sombong sekali kau.”







***






H-1

Semenjak menginjakkan kaki di aula luas SMA Jung Sang, Noh Yiyoung terus menggigiti kukunya. Ruangan luas berkapasitas maksimum 1000 manusia itu terasa sempit oleh adanya sejumlah partisipan. Sementara diatas panggung berdekorasi meriah setinggi dua meter di tengah ruangan, Eye Candy melakukan performa mereka. Meski hanya sepotong-sepotong –karena ini kompetisi- tapi skill individual mereka begitu mengintimidasi, dan membuat peserta lain yang menunggu giliran di pinggiran aula gugup.

Kurang dari 24 jam sebelum BZ unjuk diri. Dan jantung Yiyoung semakin bertalu memikirkan bahwa besok adalah hari H, momen dimana mereka menjudikan skill, puluhan jam latihan, serta keberuntungan di hadapan juri.

Jika bukan karena Naeun, Yiyoung pasti sudah tertinggal saat ketiga member lain naik ke atas panggung untuk gladi bersih. Sembari menghindari tatapan mengintimidasi peserta lain, sang gadis blonde pun menyetel gitar bassnya. Wajah-wajah penasaran nan menghakimi yang terlihat dari atas panggung dikaburkannya dengan ahli. Lagipula, ini bukan pertama kali ia melakukan gladi bersih atau persiapan kompetisi. Bukankah ia gadis emas dari keluarga musikal?

Ini hanya gladi bersih. C’mon.

“Semua sudah siap?”

Suara Myungsoo mengalihkan perhatiannya. Sontak ia mendongak, lalu mengangguk mantap. Naeun, Joe, dan Taehyung juga melakukan hal sama. Aba-aba berupa ketukan drum dari Joe mengawali performa instrumental mereka.

Yiyoung tersenyum kecil.

Ini bukan apa-apa.

Diliriknya keempat rekan band merangkap sahabat-sahabatnya.

Aku tidak sendirian.

Senyumnya mengembang lebar.

.
.
.
TBC
===========================================================================
A/N: Heyyooo, sorry for (as usual) very slooow update and short chapter. Dan ini mungkin FF terakhir sebelum saya hiatus persiapan ujian nasional huwaaa TT^TT. Tapi tenang aja, selama laptop dan otak masih berfungsi, saya pasti bakal lanjutin kok. Tapi gak janji kapan =) karena mungkin ke depanny saya juga bakal sibuk sama perkuliahan .-. i'm sorry cause this chapter is boring, and terrible writing skill (jujur, saya juga ngerasa kemampuan nulis saya makin parah #no #please). But i'll keep trying! May God bless us my readers. I love you wherever you are.

A/N *: Please comment or like =). Writing is not that easy, guys. Maaf jika ada typo, plot membosankan, dll. I'm only a human and very amateur author, after all. <3 

7 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. suka banget sama cerita dan tokoh2nya. lanjut please. I don't think your story is boring kok, exciting banget malah. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. REALLY? Makasih ya TT^TT
      Udah sering pengen nelantarin tapi ini cerita kok kebayang mulu.
      Berasa beban kadang-kadang, hahaha lol.
      Makasih udah mau baca dan ngasih komentar *bow* =)

      Hapus
  3. huwaaaa ceritanya keren author. ditunggu banget lanjutannya.

    BalasHapus
  4. Masih progress. Saya bakal lanjutin kok =)

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Wah keren nih tulisannya min... tetap berkarya dan jangan menyerah..

    BalasHapus