ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Kamis, 20 September 2012

My Heart is Beating [One Shoot]


Tittle    : My Heart is Beating
Author : Micheel Ppyong
Genre  : Romance
Cast     : IU
              No Minwoo (Boyfriend)







IU
Sejak pertama aku melihat senyumnya, aku merasa tidak menyukainya. Waeyo? Em... Aku juga tidak tahu..

Minwoo
Aku tahu dia adalah yeoja yang manis. Dan kurasa aku mengalami apa yang dinamakan ‘love at first sight’ walau kelihatannya ia tidak begitu menyukaiku..

Author Pov
“Noona, bisakah kau memban..”
“Aniya! Aku sedang sibuk!”
Sekali lagi IU menolak Minwoo walau Minwoo saja belum menyelesaikan kalimatnya.
“Huft~” Minwoo menghembuskan napas kecewa. Sudah tiga bulan ia bekerja di kafe yang sama dengan IU ini. Ia yakin, ia tidak pernah membuat suatu kesalahan yang dapat membuat IU membencinya, tapi kenapa IU tidak pernah bersikap baik ataupun ramah padanya?
.
.
.
IU Pov

Untuk kesekian kalinya aku tak menghiraukan Minwoo. Bisa kulihat ia kecewa. Huh! Biarkan saja! Namja itu selalu membuatnya sebal. Lihat saja sekarang, yeoja-yeoja tak dikenal datang mengerumuninya. Baiklah, kuakui ia adalah namja yang manis dan bahkan sangat manis, tapi itu justru membuatku semakin se-baaal.. Yeoja-yeoja penggermarnya itu akan berlama-lama duduk hanya untuk menatap wajah Minwoo. Jika saja mereka memesan makan lebih banyak, maka kafe ini akan untung, tapi itu tidak dilakukan mereka. Mereka hanya membuat meja kafe ini penuh dan membuat pelanggan yang baru datang tidak jadi masuk karena melihat semua meja sudah penuh. Dan yang paling menyebalkan, mereka sangat berisik!!
.
.
.
Suatu hari Minwoo sakit. Yang kutahu ia memiliki seorang adik perempuan tapi... kenapa aku harus pergi menjenguknya?! Kim Donghyun, Boss kafe ini, menyuruhku datang ke apartemen namja itu untuk melihat keadaannya, tapi, tapi kenapa harus aku?! Padahal Kwangmin dengan senang hati menawarkan dirinya untuk menggantikanku, tapi Boss dengan kejam menolak usul Kwangmin. Huft~
Apartemen Minwoo terletak di tengah kota Seoul jadi tidak sulit untuk menemukannya.
Ting tong... Aku memencet bel apartemennya.
...
Tak ada jawaban.
Ting tong...
...
Tetap tak ada jawaban.
Ting tong... Ting tong... Ting tong...
Tok tok tok... Aku mengetuk pintu itu dengan tidak sabar. Aku hendak mengetuk pintu itu sekali lagi tapi tiba-tiba pintu itu terbuka dan tanganku yang terlanjur bergerak mengenai kepala seseorang. Duk..
“Auw!” Minwoo menjerit kesakitan.
“Mianhe, mianhe..” Dengan spontan aku mengusap pelan kepala Minwoo.
Minwoo terlihat bingung. “Noona..?”
Seakan tersadar, aku menarik tanganku dengan cepat. Kami sama-sama terdiam.
“Masuklah..” Minwoo mempersilakanku masuk. Aku masuk dengan kikuk . Ini pertama kalinya aku mengunjungi tempat tinggal seorang namja. Apalagi namja yang tidak begitu kusukai ini. “Anggap saja ini rumahmu sendiri..”
Apa? Anggap saja ini rumahku sendiri?? Yang benar saja!
Aku duduk di sofa lalu menatap berkeliling. Tempat ini cukup luas tapi tidak terlihat orang lain selain kami berdua. Seakan bisa membaca pikiranku, Minwoo berkata, “Aku tinggal sendirian.”
“Oh.. Em.. bukankah kau punya seorang adik perempuan?”
“Nae. Sebelumnya aku memang tinggal dengan orang tuaku dan Eunbin, tapi sebulan yang lalu aku pindah kemari.”
“Oh..” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Tapi kenapa Noona datang kemari?” Minwoo bertanya dengan ceria.
“Em... kudengar kau sakit..”
Minwoo mengerjapkan mata, bingung.
“E.. maksudku, Boss menyuruhku datang kemari untuk melihat keadaanmu...” Aku diam sejenak lalu bertanya lagi dengan kikuk, “Jadi.. bagaimana keadaanmu?”
Minwoo menyentuh dahinya sendiri. “Tidak panas.”
“Mana bisa hanya dengan begitu?!” Aku maju mendekatinya, ingin mengetahui suhu tubuhnya. Saat tanganku sudah hampi menyantuh dahinya tiba-tiba...
Sett.. Ia mencekal pergelangan tanganku. Aku terkejut dan tampaknya ia juga sama terkejutnya sepertiku. Aku menatapnya bingung dan ia balas menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.
...
Deg
Eh? Suara apa itu?
Deg Deg Deg
Suara apa itu? Tunggu, apa ini suara detak jantungku?
Minwoo masih mencekal pergelangan tanganku dan kami masih saling menatap sampai akhirnya hatiku berkata ini tidak boleh terjadi. Andwae.. “Minwoo-ya, bisa kau lepaskan tanganku?” kataku dingin. Aigo! Aku tidak pernah sedingin ini pada orang lain.
“Oh, mianhe..” Minwoo melepaskan tangannya perlahan.
Sss... hatiku berdesir. Merasa kehilangan saat tangannya benar-benar terlepas. Aigooo... ada apa dengan ku?! Kenapa aku jadi plinplan begini? “Le, lebih baik kau beristirahat,” kataku padanya.
“Arraseo..” Minwoo berjalan ke kamarnya. Dan entah kenapa aku mengikutinya.
“Kau punya termometer?” tanyaku ketika melihatnya berbaring di tempat tidur.
“Kurasa ada, di laci itu...” Minwoo menunjuk laci di sampingku. Segara aku mencari termometer di sana dan setelah menemukanya, kuukur suhu tubuhnya. 39 derajat..
“Kau punya es batu?”
“Nae..”
“Tunggu sebentar..” Aku berjalan menuju dapur lalu mengambil es batu dari kulkas dan sebuah baskom yang kuisi air. Tapi dimana aku bisa mendapatkan kain atau handuk? His... Kuputuskan wuntuk menggunakan saputanganku. Untung saja aku selalu membawanya. Aku kembali ke kamar Minwoo dan melihatnya melamun. “Minwoo-ya, kau sudah sarapan?” tanyaku sambil memeras saputanganku yang basah lalu meletakkannya di dahi namja itu.
“Nae. Aku sudah makan biskuit.”
“Apa? Mana bisa begitu? Biskuit tidak sama dengan sarapan! Tunggu sebentar, aku akan memasak sesuatu untukmu.” Aku berjalan cepat menuju dapur. Hanya memasak bubur karena yang terpenting adalah perutnya terisi. Aku berusaha memasak dengan cepat, tapi tetap saja membutuhkan waktu yang tidak singkat. Begitu kembali ke kamar Minwoo dengan semangkuk bubur, kulihat namja itu tertidur. Jika tidak segera dimakan bubur ini akan menjadi dingin tapi.. melihatnya tidur lelap, aku tidak tega membangunkannya.
Aku keluar kamar lalu meletakkan bubur itu di meja makan. Kupandangi apartemen Minwoo ini. Entah kenapa aku merasa nyaman di sini. Tapi... Omo! Kenapa aku tidak sadar? Tempat ini berantakan sekali!! Aku memunguti buku-buku Minwoo yang berserakan, membersihkan lantai, mengepel, melakukan semua hal yang bisa membuat tempat ini menjadi bersih dan rapi.

Beberapa saat kemudian...
Aku duduk di sofa. Kegiatan bersih-bersih ini membuat badanku pegal. Boleh tidak ya aku tidur di sini? Ah, sudahlah, tak apa. Saat aku bangun nanti, aku akan segera pulang...
.
.
.
Minwoo Pov

Aku terbangun dari tidurku. Jam berapa sekarang? Kulirik jam beker di atas meja di sampingku. Jam 5 sore. Sudah selama itukah aku tidur? Aku duduk di tempat tidurku. Sett.. Sebuah benda jatuh dari dahiku. Ternyata sebuah saputangan berwarna merah muda. Pasti ini milik IU-noona. Apa.. dia sudah pulang?
Kruuuyuuk..kruuuyuuk... Aku lapar sekali. Aku berjalan ke dapur, mencari sesuatu untuk mengisi perutku yang kelaparan dan... beruntung sekali aku! Ada semangkuk bubur di atas meja makan. Sudah dingin tapi tak apalah. Aku memakannya dengan lahap hingga habis. Walau ini hanya bubur tapi rasanya cukup lezat. Ini pasti buatan IU-noona. “Hehehe...” aku tertawa senang.
Kuperhatikan apartemenku. Aigoo.. Selain mengompres dan memasak bubur, IU-noona juga membersihkan apartemenku ini. Bagaimana caraku membalas kebaikannya ini?
Aku pergi ke ruang tengah untuk menonton televisi tapi kulihat seseorang tertidur di sofa. IU-noona? Jadi ia belum pulang? Aku duduk di samping sofa lalu memandang wajahnya yang sedang tertidur. Manis sekaliii...
Apa ini bisa disebut kemajuan? Ia begitu perhatian padaku seharian ini.. Tidak bisakah ia bersikap seperti ini setiap hari? Kenapa ia tidak menyukaiku?
“Uh...” IU-noona terbangun. Ia membuka matanya perlahan dan kaget melihatku sedang memandangnya.
“Sudah bangun, Noona?” tanyaku padanya.
“Nae. Nae..” Ia bangkit dari posisi tidurnya lalu duduk di sofa. “Sekarang jam berapa?”
“Jam lima..” kataku sambil tersenyum manis padanya.
“Jam lima? Kenapa aku tidur lama sekali?” IU menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Noona..”
“Nae?”
“Gamsahamnida.. Karena sudah mengompresku, memasak bubur dan membersihkan apartemenku yang berantakan ini. Jeongmal gamsahamnida..”
“Nae, cheonma..”
“Tapi bagaimana aku membalasnya?”
“Mwo? Ani, kau tidak perlu...”
Kruyuk... Perut IU keroncongan. Aku tersenyum mendengarnya. “Kajja, kita pergi! Aku akan mentraktirmu ramyun yang sangat lezat!” Aku menggegam tangannya keluar apartemen.
.
.
.
IU Pov

“Eottokhe, Noona?”
“Uwaaa.. Ini lezat sekali!!”
“Hahaha...” Minwoo tertawa.
“Waeyo?”
“Aniya.. Noona, maukah kau mendengar cerita lucu dariku?
“Boleh.”
Minwoo mulai bercerita dengan mata berbinar-binar. Bercerita tentang sahabat kembarnya, Youngmin dan Kwangmin, yang berkerja bersama kami di kafe sekaligus teman sekolah Minwoo. Mulai dari Youngmin yang selalu mencuci tangannya saat ia merasa gugup, Kwangmin yang pernah ditembak seorang yeoja yang ternyata salah mengira ia Youngmin, waktu dan posisi tidur mereka yang selalu sama, kemampuan telepathy mereka yang kadang membuat mereka sendiri sebal, dan lainnya. Minwoo hanya bercerita tentang Youngmin dan Kwangmin, tak sedikit pun menyinggung tentang dirinya.
Ketika kami selesai makan, ia bertanya, “Kau akan langsung pulang? Tidak mampir ke apartemen dulu?”
Aku kikuk mendengarnya. Ia bertanya seolah-olah itu adalah apartemen kami berdua. “Ah, aniya.. Kurasa tidak. Hari sudah malam, aku harus segera pulang.”
“Owh..” Entah kenapa, aku merasa dia kecewa.
Kami keluar dari restoran sederhana itu. Begitu terkejutnya kami saat melihat jutaan rintik hujan mengguyur kota Seoul.
“Aish... Kenapa bisa hujan?” Minwoo terlihat sebal. Ia melepas mantelnya. “Noona, kita lari sampai halte bus, nae?” Ia menarikku mendekatinya lalu memaparkan mantelnya di atas kepalaku dan kepalanya. “Kajja, Noona!”
Kami berlari di bawah hujan yang begitu deras. Entah kenapa, saat kami berlari cepat di bawah guyuran hujan, itu sangat manis bagiku. Aku belum pernah melakukan ini, berlari di bawah guyuran hujan hujan bersama seorang namja namja... Aigoo... Kenapa jadi begini??
Kami sampai di halte bus. Tempat itu kosong, tak ada seorang pun yang duduk di sana. Apa karena hujan?
“Hhh..hh..” Aku terengah-engah.
“Noona, gwaenchanayo?” Minwoo menatapku khawatir.
“Gwaenchana.. Hh..hh..” Aku melihat penampilan Minwoo yang basah kuyub. Rambutnya yang layu dan berantakan... “Hahaha...” Dia lucu sekali..
Minwoo bingung mengapa aku tertawa. Ia menatap penampilannya sendiri lalu beralih padaku. “Hahaha...” Ia ikut tertawa. Kami tertawa bersama.
Aku memandang wajah Minwoo. Saat tertawa, mata Minwoo jadi sipit dan... kenapa aku beranggapan ia sangat tampan..? Aku berhenti tertawa dan terus menatapnya. Seakan sadar aku berhenti tertawa, Minwoo juga ikut berhenti dan menatapku bingung. Pandangan kami bertemu. Kami berpandangan dalam diam, tapi beberapa saat kemudian, Minwoo menundukkan kepalanya.
Hening.. Hanya ada suara kendaraan yang berlalu lalang dan rintik hujan yang begitu deras.
“Noona, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Minwoo masih tetap menunduk.
“Nae..”
“Apa Noona membenciku?”
Pertanyaan itu begitu tiba-tiba.. Apakah aku membencinya? Bukan, bukan rasa benci. Yang kurasakan pada Minwoo saat ini bukanlah benci, tapi... takut.. “Aniya,” aku menjawab tegas.
Minwoo mengengkat kepalanya lalu menatapku tajam. “Lalu?”
Aku tidak bisa menjawabnya.
Minwoo tidak mau menunggu lama. Ia bertanya lagi, “Apa.. apa kau menyukaiku?”
Aku menatapnya bingung. “Apa mak..” ucapanku berhenti karena Minwoo mendekatiku. Awalnya perlahan, namun sedetik kemudian, ia menarikku mendekatinya lalu menciumku tepat di bibir. Aku terkejut bukan main, tapi aku juga tidak mendorongnya menjauh dariku..
Minwoo menarikku lebih dekat padanya. Bibirnya yang lembut terasa begitu hangat. Apalagi di malam yang begitu dingin ini, seperti mesin penghangat dari dinginnya udara malam yang masih saja hujan deras. Ini romantis bukan? Dicium seorang namja tampan di halte bus saat hujan turun dengan deras..
Aku membuka mata perlahan dan ternyata Minwoo juga melakukan hal yang sama denganku. Kami berpandangan..
Aiiish... Minwoo melepaskanku, tapi tetap menjaga jarak kami agar cukup dekat. Minwoo menatapku lekat. “Noona, saranghae..” katanya pelan namun dalam. “Aku tahu, saat ini kau tidak memiliki perasaan yang sama denganku.. Tapi bisakah kau memberiku kesempatan? Seminggu saja.. Dalam seminggu ke depan, aku akan membuatmu membalas perasaanku..”
.
.
.
Aigooo...
Aku menutup wajahku dengan selimut lalu bersembunyi di baliknya. Aigo..aigoo.. Eottokhe?! Bagaimana ini?! Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. Aku..dan Minwoo.. Aish.. Kenapa dia melakukannya? “Huft~ No Minwoo, kenapa kau menciumku?” Kenapa namja manis sepertinya bisa berubah menjadi seserius itu? Saat ia menatapku, aku merasa tubuhku meleleh. Dan..apa ia serius dengan perkataanya? Membuatku jatuh cinta padanya dalam seminggu? Yang benar saja!
Satu lagi, ia bertanya apa aku membencinya dan jawabanku adalah tidak. Aku hanya takut padanya. Tapi dalam seminggu ke depan, ia akan membuat ketakutanku ini semakin besar. Aku takut padanya. Aku takut..jatuh cinta padanya..
.
.
.
Esoknya..

Seakan tak terjadi apa-apa, aku dan Minwoo menjalani pekerjaan kami seperti biasa. Hanya saja tadi pagi, saat aku baru saja datang, ia tersenyum padaku. Bukan senyum manis seperti biasanya tapi senyum singkat yang membuatku terus penasaran apa artinya. Mungkinkah ia tidak mau orang lain tahu tentang apa yang terjadi pada kami? Tapi kenapa orang lain tidak boleh tahu? Apa karena usiaku yang lebih tua darinya? Huh, kenapa juga aku memikirkannya, toh aku belum menjadi yeojachingunya...
...
Hisss
“Apa yang terjadi?” Bora, pegawai baru yang sudah cukup dekat denganku, bertanya.
“Waeyo?” Aku bingung dengan pertanyaannya.
“Kemarin kau ke rumah Minwoo, kan?” Bora meletakkan kepalanya di meja.
“Nae.. Waeyo? Ada yang salah?” Aku juga meletakkan kepalaku di meja.
“Kukira kau tidak menyukainya.” Bora memejamkan mata.
Aigo.. Apa aku terlihat begitu tidak menyukai Minwoo? Kenapa semua orang beranggapan sama? “Hiss.. Bukan begitu..”
“Jadi kau menyukainya?”
Omo! Kenapa pertanyaan mereka juga sama? Hiss.. Aku diam saja.
Bora yang tidak mendapat jawaban apa-apa dariku, membuka mata. “Hei..”
“Kita bicara yang lain saja..”
“Ah, sudahlah! Aku tidak mau! Lebih baik tidak usah bicara apa-apa..”
“Kau kenapa, Bora?”
“Aku ingin tidur.. Ti-dur! Semalam aku hanya tidur 3 jam!” Bora menunjukkan ketiga jarinya ke wajahku.
“Waeyo?”
“Aaaa... Cinta membuatku gilaaa!!!” Bora berteriak kencang.
...
Hah??
.
.
.
Sudah tiba saatnya kafe tutp. Aku membereskan barang-barangku, bersiap untuk pulang. Kulihat Minwoo berjalan keluar kafe, namun tiba-tiba Kwangmin menghalanginya.
“Hei, kenapa kau meninggalkanku dan Hyung?” Kwangmin bertanya seperti seorang yeojachingu yang ditinggal oleh namjachingunya.
“Ah, mianhe, Kwang.. Hari ini aku tidak pulang denganmu dan Youngmin-hyung. Aku sudah ada janji..”
“Janji? Dengan siapa? Yeojachingumu?” tanya Kwangmin asal.
“Nae..” Minwoo tersenyum lalu keluar dari kafe.
“Jinjjayo? Kau sudah punya yeojachingu? Kenapa kau tidak cerita pada.. Hei, Woo!” Kwangmin mengejar Minwoo, tapi kurasa Minwoo sudah menghilang karena Kwangmin kembali dengan wajah kusut.
Yeojachingu? Minwoo sudah punya yeojachingu? Tapi..kenapa.. Kenapa dia bilang... Aaah, sudahlah aku tak mau peduli!!!
“Noona, kami pulang dulu..” Youngmin berpamitan padaku sementara Kwangmin mengikuti di belakangnya dengan wajah lesu.
“Nae.. Hati-hati di jalan!” Aku melambaikan tangan pada mereka. Youngmin membalasnya sambil berjalan keluar kafe.
Sudah tak ada orang lain di kafe ini selain aku, Hyunseong serta Boss yang masih menghitung keuntungan hari ini di ruang kerja. Hah.. Seandainya aku bisa pulang bersama seseorang dan tidak harus pulang sendirian malam ini.. Malam ini saja..
Huft~
Aku keluar kafe dengan membawa sekantong plastik besar sampah. “Uuuh... Berat sekali.. Sebenarnya apa isinya? Batu?” aku mengeluh kesal karena sebenarnya ini bukan tugasku.
“Sini kubawakan..”
Aku terkejut saat tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berdiri tepat di sampingku. “Ah!” Kantong sampah itu jatuh.
“Hati-hati, Noona..” kata Minwoo sambil membungkuk mengambil kantong sampah itu lalu membawanya ke tempat pembuangan sampah di depan kafe.
Aku bingung kenapa ia masih ada di sini? Aku memperhatikannya dari jauh. Ia berbalik padaku. “Noona, sampai kapan kau akan berdiri di sana?”
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal lalu berjalan cepat menuju Minwoo. “Kenapa kau masih di sini? Bukannya..bukannya kau ada janji dengan yeojachingu..mu?” Entah mengapa aku tidak suka saat mengatakannya.
“Hehehe..” Minwoo tertawa ringan. “Aku berbohong. Bisa dikatakan aku setengah berbohong. Aku tidak punya janji dengan siapa pun, tapi aku ingin mengantar pulang ‘calon’ yeojachinguku..” Minwoo tersenyum lebar.
“A-apa maksudmu?”
“Aku ingin mengantar Noona pulang..”
Jadi.. maksudnya.. Aku adalah calon yeojachingunya? Uwaaa.. >//<
“Ti, tidak perlu.. Aku bisa pulang sendiri..”
“Andwae! Seminggu ini Noona haru pulang denganku..” Minwoo menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang marah karena tidak boleh makan permen.
Aku bingung harus berkata apa. Sebenarnya aku sering kali takut saat pulang sendirian, apalagi di jalanan yang gelap. Jika ada Minwoo, mungkin aku akan merasa sedikit lebih aman. “Arra..”
“Yeah!” Minwoo melompat senang lalu dengan gerakan cepat, ia mencium pipi kiriku...
“Hei!”
Minwoo berlari menghindariku yang mengejarnya. “Hahaha... Noona, pipimu merah seperti tomat!!!”
“Minwoo!!”
.
.
.
“Minwoo-ya, kenapa kita makan ramyun lagi?” Aku menatap tajam Minwoo yang sedang meniup ramyunnya.
“Mwo?”
“Kenapa kita selalu makan ramyun?” Walau tempat ini searah dengan apartemenku dan tidak sama dengan kedai ramyun kemarin malam, tapi tetap saja ini kedai ramyun!
“Aku suka ramyun.. Apa Noona tidak suka?” kata Minwoo dengan polos.
“Aiiish... Bukan itu maksudku! Aku juga suka ramyun, tapi apa kau tidak bosan makan ramyun terus menerus?”
Minwoo terlihat berpikir serius. “Kalau Noona ingin makanan lainnya... bagaimana kalau besok kita keliling Seoul untuk mencoba semua makanan lezat?!” katanya dengan wajah berseri-seri.
“Mwo?”
“Nae.. Besok kafe hanya buka sampai sore. Jadi sepulang kerja kita jalan-jalan, arra?”
.
.
.
“Annyeong, Noona! Selamat malam dan sampai jumpa besok!” Minwoo melambaikan tangannya lalu berjalan pelan menjauhiku.
Aku terus menatap punggungnya hingga ia benar-benar menghilang di ujung jalan. Aku berjalan menuju apartemenku yang lengang karena aku memang tinggal sendiri di sini. Kujatuhkan diriku ke tempat tidur. Tidak perlu mandi atau hanya sekedar mengganti pakaianku. Aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa kecuali cepat tidur dan cepat bangun besok. “Huft~ Apa acara jalan-jalanku dengan Minwoo besok... termasuk kencan?” Tiba-tiba wajah Minwoo yang tersenyum manis muncul di benankku. “Aaah.. Apa yang sedang kaupikirkan, Pabo?!” Aku memukul kepalaku sendiri. Jantungku berdebar keras. Apa yang akan terjadi antara aku dan Minwoo besok?
.
.
.
Saat itu pukul 4 sore, sudah waktunya kafe tutup karena hari ini Sweet Romance hanya buka setengah hari.
Ketika sedang membereskan piring di meja, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk...

Kau lelah? Aku lelah, tapi bukan karena pekerjaan hari ini. Aku lelah menunggu waktu yang berjalan begitu lambat hari ini.. Tinggal 15 menit lagi ^^ Kutunggu kau di taman dua blok dari sini, kau tahu kan?

-Minwoo-

Aku tersenyum membacanya. Sebenarnya aku juga tidak sabar menung... Ah, itu Minwoo! Sedang membawa nampan penuh piring ke dapur. Kwangmin berdiri di sampingnya. Setedik kemudian, pandangannya tertuju padaku. Tidak ada perubahan pada ekspresi wajahnya tapi aku merasa matanya jadi berbinar dan ia tersenyum dengan matanya (-_-) atau... ini hanya perasaanku?

15 menit kemudian..
“Aku pulang dulu. Gamsahamnida~” Aku keluar kafe setelah berpamitan. Sempat kudengar Kwangmin memaksa hyungnya, Youngmin, untuk menceritakan siapa yeojachingu Minwoo. Aku tahu Minwoo menolak (lagi) untuk pulang bersama  dengan si kembar walau aku tak tahu apa alasannya yang ia katakan pada mereka hari ini.
Aku sudah sampai di taman yang dimaksud Minwoo. Karena hari masih sore, taman itu dipenuhi anak-anak yang sedang bermain. Aku mengedarkan pandangan ke penjuru taman itu. Di mana Minwoo?
“Sebuah es krim untuk nona yang cantik ini!” Tiba-tiba sebuah es krim muncul di hadapanku. Karena terkejut, aku bergerak mundur ke belakang dan tanpa sengaja tersandung orang yang berdiri di belakangku..
“Uwaaa...!!” Kami jatuh bersamaan. Orang itu juga kaget dan memelukku  dari belakang. Tangannya yang memegang es krim menyentuh bahuku. Kami jatuh dengan posisi aku menindihnya dan ia sedang memelukku. Kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat, masih terkejut. Akhirnya aku sadar banyak orang yang memperhatikan kami. Aku hendak berdiri tapi tangan orang itu masih bdrtahan di bahuku. Aku berbalik padanya dan.. “Minwoo?”
“Ah..” Seakan tersadar, Minwoo melepaskan tangannya dari bahuku. Aku bangkit berdiri, begitu juga Minwoo. “Mianhe.. Maaf karna telah mengagetkanmu..” Minwoo menatap bahuku. Ia terkejut. “Ah! Es krimnya.. es krimnya tumpah di bahumu!”
“Mwo?” Aku menatap nanar pada kausku yang berlumur es krim. “Aaah.. Bagaimana ini? Aku tidak membawa baju lain!”
.
.
.
“Minwoo...”
“Nae?”
Aku menatap baju yang baru saja Minwoo belikan untukku sebagai permohonan maaf. Aku suka model baju ini, tapi... Kenapa ia harus membeli baju couple? Sepasang baju yang berbeda warna, merah muda untukku dan biru untuknya. Ada gambar seorang yeoja, yang sedang duduk di bangku taman sambil tersipu-sipu, di bajuku. Dan gambar seorang namja yang berdiri sambil mengarahkan sebuah balon dan karangan bunga. Jika dilihat sekilas, baju itu tidak berkesan apa-apa, tapi saat aku dan Minwoo yang memakainya berdiri bersampingan, maka akan nampak bahwa kedua baju itu berasal dari satu gambar yang menceritakan namja yang memberikan hadiah pada yeojanya. “Kenapa kau membeli baju ini?”
“Eh? Waeyo, Noona? Kau tidak suka?”
“Em.. bukan begitu. Hanya sa..”
“Kalau begitu, kau menyukainya.” Minwoo menggenggam tanganku lalu membawaku berlari bersamanya.
“Mi, minwoo? Kita mau kemana?”
“Kau akan segera tahu. Kajja, Noona! Aku takut kita tidak tepat waktu!”
“Mwo?”
Minwoo tetap tidak menjawabku. Ia terus membawaku berlari bersamanya. Ia tidak berlari terlalu cepat, sepertinya ia tahu bahwa aku tidak biasa berlari.
Beberapa saat kemudian kami berhenti. Sebuah sungai panjang di tengah taman ada terpapar hadapanku. Sungai panjang yang jernih dan memiliki tatanan teratur dangan taman kota yang mengelilinginya. Jadi, kami berlari tergesa-gesa hanya untuk melihat sebuah sungai?
Minwoo berdiri di belakangku lalu menutup kedua mataku dengan telapak tangannya. “Minwoo-ya?”
“Tunggu sebentar. Jebal.. Tunggulah sebentar saja.” Minwoo menghitung mundur. “Lima.. empat.. tiga.. dua..” Minwoo melepas tangannya.
“Minwoo-ya?”
“Kau sudah boleh membuka matamu, Noona..”
Kubuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama kali kulihat adalah sungai. Sungai dengan warna jingga yang sangat indah. Ternyata ini yang hendak Minwoo tunjukkan padaku. Peristiwa yang terjadi setiap harinya tapi tetap tak membuatku bosan walau telah berulang kali aku melihatnya.. Matahari terbenam. Semburat jingganya terpancar di air sungai dan melukis langit senja dengan sangat indah.
“Kau menyukainya, Noona?” tanya Minwoo.
 “Nae. Aku..” Kutatap wajah Minwoo yang sedang memandangku. Ia sedang tersenyum manis. Deg
“Aku.. Aku sangat menyukai..” Senyummu..
.
.
.
Minwoo menyerahkan sekaleng soda padaku. Ia baru saja kembali dari minimarket terdekat untuk membeli minuman. Aku menerimanya lalu meminumnya seteguk.
“Apa kau lelah, Noona?” tanya Minwoo.
“Mwo? Eh, aniya.. Tadi, setelah pulang kerja, aku merasa cukup lelah. Tapi entah mengapa rasa lelah itu hilang perlahan-lahan. Apa ini karenamu?”
...
Aigo! Apa yang baru saja kukatakan? Aku melirik Minwoo. Aish... Ia tersenyum dengan bangga!
“Arraseo..” Minwoo menatapku penasaran. “Noona, apa kau bisa naik sepeda?”
“Mwo? Naik sepeda? Tentu saja!”
“Arra.. Ayo kita sewa sepeda!”
“Mi, Minwoo?”
Untuk sekian kalinya, Minwoo menggenggam tanganku. Ia membawaku menuju tempat penyewaan sepeda. Kami menyewa sebuah sepeda dengan dua kayuhan. Aku duduk di depan sedangkan Minwoo di kursi belakang. “Kajja!”
Kami mengayuh bersamaan. Melewati jalan lurus yang yang pinggirnya di tanamai pohon-pohon yang saling berbaris rapi untuk berdiri tegak. Udara terasa sejuk dan hangat.. atau hanya perasaanku saja? Mengingat ini masih musim dingin.. -__-
“Apa yang kau rasakan?” Minwoo tiba-tiba bertanya.
“Mwo? A-apa maksudmu?” tanyaku tanpa berhenti mengayuh.
“Gwaenchana..” Minwoo teridam. Aku bingung kenapa dia mengajukan pertanyaan yang aneh tapi aku tak berani untuk bertanya lebih lanjut. Kami mengayuh dan terus mengayuh...
.
.
.
“Aaaa...” Minwoo menyuruhku membuka mulut. Sebuah tteobokki masuk ke dalam mulutku. Rasanya hangat dan lezat. “Eottokhe?”
“Le, lezat..” Aku tersipu karena perlakuan Minwoo padaku. Apalagi saat kulihat bibi pemilik kedai itu tersenyum-senyum melihat kami.
“Noona, sekarang giliranmu..”
“Giliran? Giliran apa?”
Minwoo tersenyum lebar. “Giliranmu menyuapiku..”
“Mwo? A-aku?
Minwoo mengangguk cepat. Apa aku harus menyuapinya? Apa harus? Tapi mengingat kebaikannya padaku hari ini...
Aku menatap Minwoo yang juga sedang menatapku penuh harap. “Arraseo..” Aku menusuk sepotong tteobokki lalu mengarahkannya pada Minwoo. Ia tidak membuka mulutnya namun justru merogoh sakunya. “Minwoo-ya?”
“Chakamma, Noona..” Ia mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya lalu mengarahkan benda itu ke hadapanku. Ia mendekat padaku sambil membuka mulutnya. Jepret.. Ia memotretku dan dirinya sendiri. “Bagus kan, Noona?” Ia menunjukkan layar ponselnya padaku. Fotoku dan Minwoo. Minwoo yang sedang melahap tteobokki yang kusuapkan padanya dan aku yang terlihat bingung. “Ini foto pertama Noona yang kumiliki. Boleh aku menyimpannya?” Minwoo tersenyum manis padaku.
“Aa..”
Deg
Suara itu lagi. Bagaimana ini? Jangan sampai detak jantungku ini terdengar Minwoo! Tidak boleh! “Ah... Nae. Tentu,” jawabku akhirnya.
Minwoo tersenyum lebar lalu melanjutkan makannya dengan lahap
Suara itu.. Kenapa suara itu selalu datang saat Minwoo tersenyum? Dan kenapa juga suara itu harus muncul?
.
.
.
Kurasa waktu tidak akan pernah berpihak padaku.  Saat aku ingin hari cepat berlalu, waktu begitu lambat. Saat aku ingin ini semua tidak berakhir, waktu berjalan begitu cepat. Hari ini adalah hari ke-enam Minwoo untuk ‘memanfaatkan’ kesempatannya. Cepat sekali..
Sejauh ini, aku rasa Minwoo berhasil. Berhasil untuk... Yah, kau tahulah. Tapi har ini, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sesuatu yang membuatku memutuskan untuk menjauhinya..
.
.
.
Aku sedang mencatat pesanan pelanggan saat kulihat seorang yeoja masuk ke kafe. Ia mengedarkan pandangan mencari seseorang. Beberapa saat kemudian ia berlari mendekat seseorang... Minwoo? Saat melihat yeoja itu, Minwoo tampak terkejut. Mereka membicarakan sesuatu tapi tak lama kemudian mereka berjalan bersama menuju... ruang loker? Kenapa mereka ke sana?
“Nona? Nona?!” Pelanggan yang sedang kulayani menatapku bingung.
“Mianhe, jeongmal mianhe... Jadi apa yang Anda pesan?”
.
.
.
Siapa yeoja itu sebenarnya?
Setelah mengantar pesanan pelanggan, aku pergi diam-diam ke ruang loker. Aku tahu in perbuatan bodoh, dan memalukan. Tapi rasa penasaranku sudah terlalu besar, aku tidak bisa memendamnya lag.
Aku mendekati ruang loker dengan perlahan. Pintunya tidak ditutup dan aku bisa langsung melhat apa yang terjadi di dalamnya... Minwoo sedang memeluk yeoja itu. Sedang memeluk yeoja itu..?
“Eottokhe, Oppa? Aku tidak mau.. Aku tidak mau djodohkan, Oppa!” Yeoja itu menangis dan memeluk Minwoo lebih erat.
Minwoo mengelus rambutnya. “Tenanglah.. Aku akan bicara pada mereka.. Mereka tidak bisa seenaknya.” Mnwoo melepaskan pelukannya lalu menatap yeoja itu. Ia menghapus air mata yeoja itu.
Kini aku bisa melihatnya. Yeoja itu berambut hitam kecokelatan. Matanya bulat tapi lancip di kedua ujungnya. Wajahnya cantk dan manis. Bibirnya tipis dan pipinya merona seperti warna bunga sakura yang sering kulihat saat berlibur ke Jepang.
Jadi, dia adalah yeojachingu Minwoo?
Haha... Aku tertawa perih. Sudah kuduga. Tidak mungkin namja manis sepertinya menyukaiku yang lebih lebih tua darinya. Kenapa aku begitu pabo? Tanpa terasa air mataku menetes. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Kenapa aku harus mengikut permainannya? Dan kenapa aku harus jatuh cinta padanya?
.
.
.
“Noona!” Minwoo mengejarku yang baru saja keluar dari kafe.
Terpaksa aku berhenti dan berbalik padanya. “Nae?”
“Noona, waeyo?”
“Apa maksudmu, Minwoo?”
“Kenapa kau meninggalkanku? Bukankah kita seharusnya pulang bersama?”
“Ah, aku...” Aku bingung. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Bahwa aku sudah tahu jika ia punya seorang yeojachingu dan telah membohongiku? “Aku.. Minaheyo, Minwoo. Maaf, hari ini aku tidak bisa pulang denganmu. Aku sudah ada janji dengan.. em.. teman lamaku..” Aniya. Ternyata aku tidak bisa berkata yang sesungguhnya. Itu terlalu menyakitkan.
“Ah..” Minwoo tampak kecewa tetapi berusaha untuk menutupinya. “Arraseo. Tapi besok luangkan waktu untukku ya? Aku ingin kita jalan-jalan seharian. Aku sudah minta jatah libur untuk kita berdua pada Boss. Eottokhe, Noona?”
“Nae..” Itu jawabanku..
.
.
.
Besok, Noona. Pukul 9 pagi di Lotte World ^^

-Minwoo-
Aku membaca pesan itu dengan gusar. Haruskah aku pergi? Atau lebih baik tidak? Tidak bisakah aku menggunakan waktuku? Aku ingn tetap bersamanya. Melihat namja itu tersenyum. Sehari saja, besok pada hari ketujuh. Har terakhirku bersamanya. Setelah itu... setelah itu aku akan menghindarinya.
Nae, aku memang bodoh, dan memalukan. Tapi aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Aku ingin merasakan jatuh cinta, walau pada orang yang salah..
.
.
.
Aku mengedarkan pandangan, mencari namja itu. Dan dengan cepat aku menemukannya walau tempat ini begitu ramai. Ia sedang melambaikan tangan penuh semangat padaku. Hari ini ia tampak begitu manis. Dengan kaos putih bertuliskan namanya dan sebuah celana jeans hitam panjang. Ia juga memakai topi berwarna merah, warna kesukaannya.
Aku tak tahu apa tanggapannya pada penampilanku hari ini tapi aku sudah berusaha untuk tampl sebaik mungkin dengan one piece putih selutut yang jarang sekali kugunakan.
“Annyeong, Noona!” Ia tersenyum manis padaku.
Deg
Haha~ Aku tertawa miris. Suara itu muncul lagi. Kenapa Minwoo harus tersenyum seperti itu padaku? Senyumnya membuatku tidak percaya bahwa ia telah berbohong padaku. Membuatku ingin selalu memercayai perkataannya, bahwa ia menyukaiku..
“Noona, kau cantik sekali hari ini..”
Aku tersenyum mendengarnya. Biarlah, sehari ini saja, aku melupakan kejadian kemarin..
“Gomawoyo, Minwoo. Kau juga.”
“Cantik?”
“Bukan. Maksudku, kau juga, sangat tampan..”
Minwoo tersenyum lagi. “Kajja, Noona!” Ia menggenggam tanganku lalu mengajakku berkelilng Lotte World. “Kau ingin bermain apa, Noona?” Minwoo menatapku dengan berbinar.
“Aaa.. Aku ingin naik jet coster dan kapal coloumbus!” seruku bersemangat.
“Arra!” Minwoo tersenyum senang.
Kami bermain hampir seluruh macam permainan di tempat ini, termasuk naik kuda-kudaan untuk anak kecil. Aku begitu senang dan menikmati kebersamaan kami. “Minwoo, ayo kita masuk rumah hantu! Pasti seru sekali!”
“Mwo? Eh...” Minwoo tampak gusar tapi aku tidak memedulikannya. Kali ini aku yang menariknya mengikuti rumah hantu. Tempat itu gelap, sama seperti rumah-rumah hantu yang telah kukunjungi sebelumnya. Sedikit menyeramkan. Tiap kali ada hantu palsu yang muncul, aku menjerit karena terkejut, bukan karena takut. Aku tahu semua hantu yang ada di tempat ini adalah palsu. Selama berada di dalam, aku terus menggenggam tangannya. Entah kenapa tangannya terasa dingin dan aku mulai menyadari bahwa Minwoo tidak berteriak bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun sedari tadi.
“Minwoo-ya?”
...
Tidak ada jawaban. Aku memutuskan untuk segera keluar dari tempat ini. Cahaya sudah terlihat di depan kami. Begitu sampai di luar, aku melihat keadaan Minwoo. Omo!! Wajahnya merah padam. Dan baru kusadari tangannya berkeringat dingin. “Minwoo-ya? Kau kenapa?”
Minwoo menoleh padaku. “A.. a-aku takut tempat gelap dan... hantu...” Ia menundukkan kepalanya.
Aku ternganga. Minwoo takut pada hantu? “Hahaha... Yang benar saja!” Aku tertawa tidak percaya.
Minwoo mengeryitkan dahi. Lalu berjalan cepat meninggalkanku.
“Ah..” Aku mengejarnya dengan berlari. “Minwoo-ya! Mianheyo, maaf aku tidak bermaksud..” perkataanku berhenti. Minwoo berbalik padaku dengan cepat dan sedetik kemudian..
Cup
Ia mengecup bibirku sesaat. Bisa kurasakan pipiku memanas.
“Yak! Kenapa kau menciumku di depan umum?!” Aku memandang sekelilingku. Fiuh~ Untung saja tak ada yang memperhatikan kami.
“Aku tidak peduli! Kau membuatku sebal! Sekarang kau harus membelikanku es krim!” Minwoo duduk di bangku panjang yang terletak di bawah sebuah pohon.
“Min..woo-ya..” Bukannya seharusnya aku yang marah padanya? Ia menciumku tiba-tiba di depan umum!
Huft~
Kulangkahkan kakiku menuju kedai penjual es krim, lalu membeli 2 cone es krim cokelat. Kubawa es krimku menuju Minwoo yang sedang memerhatikanku dari jauh. Aku duduk di samping Minwoo lalu menyerahkan salah satu es krim di tanganku padanya. Ia menerimanya lalu memakan es krim itu perlahan. “Minwoo-ya, kau masih marah padaku?”
Minwoo diam sesaat sebelum menggeleng perlahan. Aku memegang kedua bahunya lalu menghadapkannya padaku. Memaksanya untuk menatapku. “Lalu?”
Minwoo menatapku tepat di mata. “Aku hanya merasa...”
“Merasa? Merasa apa?”
Minwoo menggeleng lagi. “Aku tidak tahu.. Aku hanya merasa.. tidak bersemangat.. Ah, sudahlah! Tidak usah dibahas!”
Aku memandang kosong padanya.. “Minwoo-ya, boleh tidak..” Aku mengeluarkan ponselku dari saku. “Boleh tidak aku menyimpan sebuah fotomu?”
Awalnya, Minwoo bingung dengan perkataanku tapi beberapa saat kemudian ia mengerti maksudku dan tersenyum senang. “Tentu!”
Minwoo duduk lebih dekat padaku. Kami berfoto-foto ria, hingga kami merasa cukup.
“Noona..” panggil Minwoo tiba-tiba.
“Nae?”
“Sudah lama aku ingin melakukan ini bersamamu...” Minwoo berhenti bicara lalu memandangku.
“Melakukan apa?”
“Mau tidak kau naik kincir raksasa bersamaku?”
Aku balas menatapnya. “Naik.. Kincir raksasa?”
“Nae..” Minwoo mengangguk cepat. “Eothokkeyo, Noona?”
Aku tersenyum padanya.. “Nae.. Boleh saja!”
Kami berjalan menuju wahana kincir raksasa. Wahana itu tidak begitu ramai, karena kebanyakan orang lebih suka naik wahana yang seru dan sedikit menegangkan seperti jet coster dan kora-kora.  Kami tidak perlu mengantri terlalu lama dan bisa langsung masuk ke ruangan kincir tu. Kincir memutar perlahan dengan kami di dalamnya.
“Aku selalu suka naik kincir raksasa, walau hanya naik sendirian. Tiap kali aku mengajak adikku, Eunbin, dia akan menolak dan berkata bahwa bahwa permainan ini tidak seru. Haha..” Minwoo tertawa dengan pandangan lurus ke depan. “Jadi, aku selalu berdiam diri dan melamun di dalam sini. Tapi kali ini...” Minwoo menatapku lekat “ada Noona bersamaku... Gomawoyo, Noona.. Terima kasih..”
“Aku suka naik kincir. Kita bisa melihat pemandangan Seoul di sore hari..”
“Nae, kau benar..” Minwoo melirik jam tangannya. “Noona, sebentar lagi matahari terbenam! Mudah-mudahan kita bisa melihatnya dari puncak kincir ini!”
“Jinjjayo?” Aku memandang ke luar jendela. Aigo! Benar apa yang dikatakan Minwoo, kami sudah hampir berada di puncak dan sebentar lagi matahari akan tenggelam. Aku menunggu.. menunggu... dan.. itu dia! Sang raja telah kembali ke peristirahatannya dan kami sudah sampai di puncak. Aku terus memandang matahari yang tenggelam dan tak menyadari Minwoo yang beranjak dari tempat duduknya, mendekatiku lalu berlutut di hadapanku.
“Noona..” panggilannya membuatku menoleh padanya dan.. merasakan rasa hangat menjalar di bibirku.. Minwoo menciumku lagi. Ciuman yang hangat dan lembut. Membuat sengatan listrik menjalar di tubuhku, leherku dan pipiku, dimana Minwoo menyentuhku..
Aku diam tak berkutik. Mataku tidak terpejam, menatap Minwoo yang memejamkan matanya di hadapanku. Apa maksud semua ini? Apa arti ciuman ini? Apa ciuman perpisahan? Apakah dia menyesal? Atau ia justru ingin tetap seperti ini? Tidak memberitahuku tentang yang sebenarnya? Apa aku boleh membalasnya?
Tess.. Air mataku jatuh tanpa bisa ditahan. Rasanya ada sesuatu yang menusuk dadaku, seperti duri atau pisau yang tajam. Sangat menyakitkan...
Karena wajah kami saling bersentuhan, Minwoo dapat merasakan basah air mataku yang mengalir di antara pipi kami. Ia membuka matanya dan terkejut melihatku menangis. Ia melepaskan bibirnya lalu menghapus air mataku. “Noona.. waeyo?”
Aku memandangnya tepat di mata. Ia khawatir, aku tahu itu. Aku diam, tak ingin memberikan jawaban apapun. Hah~ Ternyata aku memang yeoja pabo! Sangat bodoh..
Aku menyentuh kedua pipinya dengan kedua tanganku lalu mendekatkan wajahku padanya. Aku memejamkan mataku. Kali ini akulah yang menciumnya. Dan ini merupakan hal gila yang baru pertama kali kulakukan tapi entah kenapa, aku ingin melakukannya. Aku menciumnya lembut dengan ritme perlahan. Aku tahu ia bingung. Ia hanya diam, tidak melakukan apa-apa, namun sedetik kemudian ia membalas ciumanku.
Minwoo yang mengulum bibirku, aku yang melingkarkan tanganku pada lehernya, ia yang menarikku lebih dekat padanya, aku yang mulai kehabisan napas dan tersengal-sengal.. Apa kau tahu betapa senangnya aku saat kami, berdua, benar-benar berciuman?
.
.
.
Kami berjalan masuk ke kafe ramai itu. Kami mengambil meja kosong di sudut ruangan, tidak ada pilihan lain, semua meja sudah penuh.
“Aku pesan makanan dulu,” kata Minwoo sambil berjalan menuju tempat pemesanan yang sangat ramai. Ia harus mengantri cukup lama di sana.
Setelah ini apa? Aku tidak tahu sama sekali apa yang seharusnya kulakukan. Apa yang seharusnya Minwoo lakukan. Dan apa yang seharusnya kami berdua lakukan. Aku mengambil ponselku. Memencet beberapa tombol lalu memandang kosong pada layar ponselku. Foto Minwoo...
Ini konyol!
Aku sadar, aku sangat mencintainya. Mencintai seorang namja dalam enam hari ini dan akan berakhir besok..
Aku memandang Minwoo yang masih tetap mengantri..
Aniyo, kurasa semua ini akan berakhir saat ini juga! Aku meraih tasku lalu melangkah keluar kafe dengan cepat. Dengan rasa perih di dadaku dan air mata yang mengalir di pipiku. Aku tidak tahu Minwoo melihatku berjalan keluar atau tidak tapi aku tahu ini akhirnya. Cukup sudah..
.
.
.
“Oppa saranghae, aku menyukaimu...” Aku menunduk malu. Ini perbuatan nekad namanya. Aku menyukai namja manis di hadapanku, Sehun, sejak tiga bulan yang lalu. Aku tidak pernah jatuh cinta sebelumnya, dan Sehun-lah namja pertama yang membuat jantungku berdetak dua bahkan tiga kali lebih cepat. Ia mengenalku dan kami cukup dekat, karena kami mengikuti klub yang sama, seni lukis. Kami sering bertemu di kelas seni dan kami juga sering jalan bersama. Ia punya senyum yang manis dan ia namja yang baik...
“Waeyo?” Sehun menatapku bingung.
Apa ia tidak mendengar perkataanku? “E..e.. itu.. aku, aku menyukaimu, Oppa”
Sehun menatapku tapi aku tidak tahu apa arti dari tatapan itu. Apa ia juga menyukaiku? Atau sebaliknya?
Sehun membungkuk dalam-dalam. “Mianhaeyo, Jieun... Aku tidak menyukaimu. Aku tidak pantas untukmu..” Sehun menegakkan kepalanya lagi. “Lagipula... kau masih terlalu kecil untuk berpacaran. Lebih baik kau fokus saja pada pelajaranmu..” Sehun mengacak rambutku dengan lembut. Kelakuannya ini membuatku tambah sakit hati. Kalau dia ingin menolakku, kenapa juga ia harus bersikap lembut padaku? Lagipula.. dia menyebutku masih terlalu kecil untuk berpacaran?! Omo! Beda usiaku dengannya hanya dua tahun. Dan tahun ini, usiaku akan menginjak 16 tahun!
Sejak saat itu aku menjauhinya. Dan kupikir dia akan minta maaf padaku karena perkataannya atau mungkin ia akan meminta supaya kami berteman saja, tapi kenyataannya, ia tidak melakukan apa-apa. Dan seminggu setelah itu, aku melihatnya berjalan dengan seorang yeoja yang mengenakan seragam SMP. Awalnya kukira yeoja itu adalah adiknya atau sepupunya, atau sanak saudaranya.. tapi aku salah! Dari teman-teman seangkatanku dan teman-teman seangkatannya, kudengar Sehun sedang berpacaran dengan murid SMP! Dengan kata lain, yeoja yang kulihat bersamanya adalah yeojachingu-nya..
Dasar namja kejam!
Dia bilang aku masih kecil, tapi ternyata dia berpacaran dengan yeoja yang lebih kecil dariku! Seorang siswa SMP!
Sejak saat itu aku jadi tidak ingin jatuh cinta lagi, atau lebih tepatnya, aku takut untuk jatuh cinta. Cinta hanya akan membuatku kesal dan... sakit hati..
.
.
.
“Noona...”
“Mianheyo, Minwoo.. Aku sedang sibuk..” Aku berjalan menuju meja pelanggan dengan cepat, tidak ingin Minwoo melanjutkan perkataannya. Ini seperti deja vu. Dimana aku kembali menolaknya seperti hari-hari sebelum seminggu terakhir ini. Aigoo.. Seminggu ya? Hahaha~ aku tertawa sinis dalam hati. Hari ini adalah hari terakhir masa seminggu yang dikatakan Minwoo. Seminggu yang membuatku ingin terus mengingatnya sekaligus ingin segera menguburnya dalam”. Entah mengapa, kepulanganku secara diam-diam kemarin, membuatku menyadari bahwa yang salah dalam hal ini adalah aku. Si yeoja pabo yang memercayai sesuatu yang bahkan awalnya kuragukan sendiri.
Setelah aku pergi, aku tidak tahu bagaimana dengan Minwoo. Yang kutahu adalah ia tidak mengejarku dan tidak berusaha mencariku. Aku terus berharap ia akan mengirimiku pesan yang menanyakan mengapa aku pergi meninggalkannya, tapi ternyata tidak ada. Tidak ada satupun pesan yang berasal darinya..
Seharian ini aku terus menghindarinya. Sebisa mungkin bekerja jauh-jauh darinya, walau itu sangat susah karena ada saja saat kami harus berpapasan. Dan saat itu juga Minwoo akan memanggilku dan mencoba mengatakan sesuatu namun aku akan berjalan cepat menjauhinya. Tapi aku tidak tahu sampai kapan aku akan terus menghindarinya, sampai berapa lama?
.
.
.
Pagi berlalu, siang berlalu, sore pun berlalu. Aku sedang membereskan piring dan gelas-gelas yang akan segera kucui pula. Semua kulakukan dengan tergesa. Aku ingin cepat pulang, ingin pulang lebih cepat dari pada yang lain, atau lebih tepatnya, aku ingin pulang lebih cepat dari Minwoo. Selama seminggu ini ia mengantarkanku pulang terus dan kurasa malam ini pun ia akan mengantarku pulang. Tapi aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin menjauhinya, terus menjauhinya hingga ia lelah dan akhirnya akan berhenti mengejarku. Aku tahu aku egois. Sebenarnya, bisa saja aku mengatakan langsung padanya bahwa aku tahu apa yang sebenarnya, bahwa ia sudah punya yeojachingu dan aku hanya mainannya saja tapi aku terlalu takut. Bagaimana jika ia menyangkalnya? Atau yang lebih buruk, ia menertawakanku karena telah masuk jebakannya? Aku tidak mau itu terjadi..
“Mianheyo, Boss..” Aku melongok ke dalam ruang kerja Kim Donghyun. Ia sedang menghitung pendapatan hari ini dengan Hyunseong. “Eh.. Maaf, aku boleh ijin pulang lebih dulu? Aku ada urusan mendadak,” kataku bohong.
“Oh, tentu saja. Lagipula ini sudah jam pulang kan? Pulanglah. Hati-hati di jalan, IU!” kata Boss sambil melambaikan tangan.
“Arraseo. Aku permisi..” Aku keluar kefe dengan langkah cepat. Semua pegawai melihatku dan tidak seperti biasanya, aku tidak berpamitan pada mereka. Aku tidak ingin Minwoo tahu aku pulang lebih cepat dan ia akan mengejarku lalu bertanya mengapa.
Aku berjalan menyusuri trotoar untuk sampai ke halte. Menunggu tidak begitu lama di sana lalu naik bus menuju apartemenku. Kupandangi jalanan Seoul yang ramai walau hari sudah malam. “Semuanya.. kembali seperti semula..” gumamku.
Aku pulang sendirian lagi. Merasa kelelahan sendiri dan kesepian..
Huft~
Aku mendorong pintu apartemenku lalu menyalakan lampu. Merebahkan diri ke sofa sebentar sebelum akhirnya pergi ke kamar mandi. Aku mandi dan berendam selama 15 menit lalu meminum susu dingin yang ada di kulkas. “Kurasa aku tidak akan apa-apa malam i..”
Ting tong.. Bel apartemenku berbunyi. Dengan malas aku berjalan menuju pintu apartemenku. Aku melirik jam dinding di ruang tamu. Sudah jam 11 malam, siapa orang kurang kerjaan yang datang semalam ini?!
Aku membuka pintu tanpa bertanya dulu siapa orang itu lewat intercom. “Ada a..” perkataanku tertahan saat melihat Minwoo berdiri di depan pintu apartemenku. Wajahnya dingin dan tanpa ekspresi. Aku terpaku menatapnya sebelum menutup pintu dengan cepat. Sial! Aku gagal. Gerak Minwoo lebih cepat dariku, kakinya menahan pintu. Ia mendorong pintu dengan kasar, membuatku terdorong ke belakang, lalu menutup pintu dengan kasar pula. Ia mendekatiku dengan cepat lalu mendorongku ke dinding. Sebelum aku mengerti apa yang dilakukannya, ia mencium bibirku dengan kasar dan penuh emosi. Aku terpaku sesaat sebelum akhirnya mendorongnya menjauhiku.
“Apa yang kau..” Minwoo mendorongku ke dinidng lagi, kali ini lebih kasar, lalu menciumku bertubi-tubi. Ia menekanku ke dinding dan membuatku sesak napas. Dadaku sakit sekali, aku tidak bisa bernapas. Karena kesakitan, air mataku mengalir. Minwoo membuka matanya dan melihatku menangis. Ia melepaskanku. Aku merosot ke lantai karena tidak kuat menahan tubuhku sendiri..
“Hhh.. hh..” Dadaku naik turun karena terengah-engah.
Minwoo duduk di lantai di hadapanku. Memandangiku dengan mata tajamnya.
Aku tidak menyangka. Sungguh tidak menyangka bahwa ia akan datang ke apartemenku malam ini. Apa ia sadar aku pulang meninggalkannya lalu datang kemari?
“Waeyo, Noona?” katanya setelah kami diam beberapa saat. “Ada apa denganmu? Kenapa kau menghindariku terus? Sebenarnya apa salahku padamu? Kukira kau sudah tidak membenciku, kukira kau sudah merubah pandanganmu terhadapku. Kukira kau sudah bisa menerimaku. Kukira aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku. Tapi kenapa jadi begini? Apa semua perkiraanku padamu salah?! Apa semua yang telah kulakukan padamu selama seminggu ini tidak berarti?!”
“Cukup!” Aku membentaknya. “Kenapa kau terus menghujani dengan pertanyaan? Kalau begitu aku ingin tanya padamu! Kenapa kau mengejarku?  Dan kenapa harus aku? Kenapa tidak yeoja lain saja? Apa kau tidak tahu bahwa usiaku lebih tua darimu? Dan kenapa kau tetap mengejarku walau sebenarnya kau sudah puya yeojachingu?! Apa kau ingin mempermainkanku?!” Selesai. Semuanya sudah kuungkapkan.
Minwoo menatapku bingung. “Apa maksudmu? Yeojachingu? Kau bicara apa sebenarnya?”
Aku menatapnya kesal. “Hentikan! Jangan membodohiku lagi! Aku melihatmu beberapa hari yang lalu, kau memeluknya dengan penuh sayang dan ia menangis padamu dan memanggilmu oppa! Apa itu bukti yang kurang?!”
Minwoo mengernyitkan dahi. Ia merogoh dompetnya lalu menunjukkan sebuah foto yang terselip di dalamnya. “Apa yeoja ini yang kaumaksud?”
Aku melirik foto itu. Nae, yeoja di foto itu adalah yeoja yang sama dengan yeoja yang berpelukan dengan Minwoo beberapa hari lalu. Aku memalingkan wajahku dan ak menjawab. Kurasa Minwoo mengerti bahwa aku mengiyakan pertanyaannya.
“Ini Eunbin..” kata Minwoo pelan, membuatku menoleh padanya. “Kau pernah bertanya di mana adikku kan? Aku menjawab ia tinggal bersama orangtuaku..”
Aku terbelalak. Kurasa aku bisa menebak perkataan Minwoo selanjutnya.
Minwoo mengacungkan foto itu. “Yeoja dalam foto ini adalah Eunbin, adik perempuanku satu-satunya. Kau mengerti?”
Aku bingung harus mengatakan apa. Jadi selama ini aku salah sangka? Aku menangis karena salah mengira adik Minwoo adalah yeojachingunya? Omona.. betapa pabonya aku!!
Aku bangkit berdiri ingin segera masuk ke kamarku karena aku begitu malu pada Minwoo. Baru dua langkah aku berjalan, Minwoo memelukku dari belakang. “Jangan pergi. Apa setelah ini kau akan menghindariku lagi?”
Aku menunduk. Aku sendiri juga tidak tahu.
“Aku tidak peduli bagaimana sikapmu selama ini, kenapa kau menghindariku akhir-akhir ini, tentang pertengkaran konyol ini. Bahkan tentang usiamu yang lebih tua dariku... itu semua tidak penting. Yang penting adalah aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Dan kuharap kau juga memiliki perasaan yang sama..” Ia memutar bahuku, membuatku berhadapan dengannya. Ia memegang kedua pipiku lalu mengangkat wajahku. “Nan neol saranghaeyo, Noona.. Would you be my.. girlfriend?”
Dia ingin menjadikanku sebagai yeojachingunya? Astaga.. Aku menangis terharu lalu mengangguk.
Minwoo tersenyum senang lalu memelukku erat. “Aku mencintaimu, Noona! Jeongmal saranghaeyo!”
.
.
.

2 tahun kemudian

“Chagiya, bisa kau membantuku?”
Aku menoleh pada Minwoo yang membawa beberapa kantong plastik belanjaan. Jika ini dua tahun yang lalu, aku akan menolaknya mentah-mentah. “Nae!” Aku berlari padanya dan membantunya membawa kantong plastik itu. “Kenapa kau belanja banyak sekali?”
“Tidak apa kan? Aku ingin mengadakan pesta di apartemenku pada malam tahun baru nanti.” Minwoo tersenyum padaku.
Deg
Suara itu lagi...
Huft~
Walau aku sudah berpacaran dengannya selama dua tahun, tapi tetap saja jantungku selalu berdegup kencang saat ia tersenyum. Aneh sekali. Apa Minwoo itu listrik yang selalu membuat jantungku berdegup kencang hanya dengan senyumnya ya?
“Tapi kenapa kau harus belanja malam ini? Bukankah kita mau jalan-jalan di malam natal? Bagaimana kita bisa berkeliling dengan bawaan sebanyak ini?” Aku bertanya ketus padanya.
“Aish... Chagiya, jangan marah begitu... bagaimana kalo kita menghabiskan malam natal di apartemenku saja?” Minwoo mengedipkan sebelah matanya.
“A-apa?”
“Ayolaaah...” kata Minwoo dengan manja. Ia mencium pipi kananku lalu menggandeng tanganku yang memakai sarung tangan warna merah pemberian darinya. Sarung tangan yang sama dengan sarung tangan yang sedang Minwoo kenakan sekarang.
Aku berlari bersama Minwoo di jalanan kota Seoul yang sedang hujan salju...

END

7 komentar:

  1. Howaa... FFnya so Sweet >.<
    Minwoo ma IU eonnie cocok banget !! >.<

    BalasHapus
    Balasan
    1. howaaa...
      akhirnya ada juga yg coment di ff-ku ^^
      gomawoyo :D
      Bestfriend jga ya?

      Hapus
    2. Cheonma..
      Iya, Bestfriend juga thor..^^

      Hapus
    3. uwaaa senengnya ada bestfriend lgi d sini
      ska ma siapa? minwoo?

      Hapus
  2. Lucu, meanrik, romance
    ceritanya ini kaya kebalikan dari coffe latte yang pernah aku baca keke ><

    BalasHapus