Tittle : White Roses
Author : HelloWorld (@dignaraa)
Cast :
·
Lee Seungri
(BIGBANG)
·
Park Bom (2NE1)
·
Sandara Park
(2NE1)
·
?
Genre : AU. Angst.
Length : Oneshoot
Song theme Cinta Matiku by MANTRA (selengkapnya baca di
helloworldfanfic.wordpress.com)
Disclaimer : tertarik dengan tebak-tebakan dari guru les. Apalagi
setelah nonton film Indo yang mengangkat tema ini, suer dah, ngga bisa tidur
& akhirnya mutusin buat bikin FF ini. Tokoh serta kehidupan mereka hanya
milik Allah SWT.
Be
a nice reader. PLAGIARISM is an EVIL do.
Poster : A lotta thanks Jisankey@secretbase14.wordpress.com
Poster : A lotta thanks Jisankey@secretbase14.wordpress.com
A/N : maaf ane post kemari padahal post yang kemaren-kemaren belum kelar,
kkk. bahasanya kaya anak kecil, gapapa ya? :v
Alur agak menyesatkan. FF horor pertama, jangan salahin kalo jadinya nggak horor (?) wkwk
Alur agak menyesatkan. FF horor pertama, jangan salahin kalo jadinya nggak horor (?) wkwk
>>>oOo<<<
Kematian.
09
November, 2009
Senja
ini hujan turun. Langitnya gelap. Walau begitu, kau tidak akan membutuhkan
senter atau alat penerangan semacamnya untuk mencapai rumah Sandara. Setelah
menengok jam di pergelangan tangan kiri, kuhempaskan nafas berat dan mencoba
melangkah di licinnya genangan air jalanan. Cukup berjalan hingga 500 meter
dari rumah dengan lampu jalanan seadanya kau bisa langsung mengetahui rumah
Dara. Ya, kediaman mewah nan megah tersebut adalah rumahnya, tempat dimana tak
lama lagi orang-orang akan berkumpul dan berkabung.
Kulipat
payung hitam dengan sembarangan, kemudian melepas sepatu, meletakkan seikatan
bunga mawar dan mulai berdoa untuk seseorang yang wajahnya terpampang di sebuah
figura foto, seseorang yang jasadnya sedang terlelap di peti. Setelahnya
kupalingkan perhatianku, kepada sepasang anak gadis yang menangis
tersendu-sendu di sana. Duduk berhadapan tampak saling menguatkan.
“Kau,
tidak apa-apa?” tanyaku sembari duduk di sandingnya. Mengetahui keberadaanku,
tangisan Bom nuna perlahan terhenti, kemudian pergi meninggalkan tempat hingga
hanya kami berdua yang duduk di kursi panjang ini. Dia memberiku kesempatan
untuk sekedar bicara dengan adik perempuannya.
“Apa
aku bodoh hingga mengatakan ‘aku baik-baik saja’ di saat seperti ini?”
sentaknya menginjak kaki kananku dengan keras. Aku menjerit singkat, kemudian
mengayunkan pergelangan telapak kakiku.
Dia
benar, mungkin pertanyaanku yang terlalu congkak untuk ditanyakan di saat
seperti ini.
“Araseo.
Menangislah,” Aku tau dia tidak akan berhenti menangis walau aku sudah datang.
“Tapi jangan lama-lama ya...”. Kurengkuh tubuh ringkihnya ke pelukan
terhangatku. Tidak cocok memang bila kami harus bermesraan di saat upacara pemakaman
Tuan Besar yang sebentar lagi berlangsung. Tetapi kupikir aku harus.
“Kenapa
memelukku?” tanyanya masih dengan isakkan yang ada.
“Udaranya
dingin...” jawabku memeluknya lebih erat.
Tak
lama kemudian dia tenang, menyandarkan kepala pada dadaku kemudian tertidur pulas
dengan sesuka hatinya. Tidak masalah, lebih baik daripada melihatnya terlarut
tangis. Kuangkat tubuhnya sampai di tempat tidur dan kuserahkan pada hyongje terdekatnya.
Tertengok
kamar Dara sekilas. Di salah satu sisinya aku masih dapat melihat brankas itu
tetap berada disana. Sudah cukup sering aku memasuki rumah ini dan menurutku
rupanya selalu sama dari aku SMA sampai sekarang, yang membedakannya hanya satu
itu, brangkas tua yang selama ini tak pernah ku ketahui. Sudah dua minggu dia
disana. Kukira almarhum Sajangnim tak
akan pernah meletakkan barang-barang pentingnya di ruangan Sandara. Tampak
kontras sekali untuk dipandang.
Aku
pergi, meninggalkan ruangan berjendela tinggi tersebut.
Tidak
main-main, Abeoji Sandara adalah seorang pengusaha besar di Seoul, bahkan
Korea. Beliau termasuk kategori orang penting di dunia saham, maka dari itu
pemakaman ini dirancang oleh keluarga begitu mewah karena dihadiri oleh
pengusaha-pengusaha penting lainnya. Mereka semua berkabung, mendoakan beliau
yang kudengar meninggal karena kecelakaan mobil yang mengenaskan. Menyedihkan
sekali bila Dara dan Bom nuna harus tinggal sendiri di rumah megah ini.
DUAK
“Akh!”
“Aishh,”
gerutuku mengusap kening, bersamaan dengan suara kletak benda kotak mengilap
yang jatuh ke lantai. Tak sengaja aku menabrak punggung gadis berambut pirang
yang tak lain adalah unnie-nya Dara, Park Bom. “Mianhaeo” kataku sambil menarik tubuh Bom nuna yang terjatuh akibat
lamunanku ketika berjalan.
Setelah
kubantu berdiri bukannya berterima kasih, dia malah clingak-clinguk. Setelah
mengambil benda-kotak-mengilap di lantai tiba-tiba... “YA!!!” ia membentakku
yang sedang menunduk 90o padanya. Belum sempat aku berpikir mengapa
bisa gadis paruh wanita ini bisa berdiri tegap seperti tiang beton di tengah
jalan, aku spontan bergidik. Sementara dia sudah menggeleng hebat, mengepalkan
tangan, tampak kesal luar biasa.
“Ku
bilang mianhaeyo nuna...”
Gadis
berambut pirang panjang ini seperti tak menerima permintaan maafku. “Damn Ya! Karena kau dia menghilang!”.
Padahal aku tidak bermaksud menabraknya dan kupikir itu bukan tergolong dalam
dosa besar, tetapi sepertinya dia kehilangan seseorang karena aku.
“Dia
siapa?” tanyaku yang tadinya ingin menepuk pundaknya, menanyakan siapa orang
yang dia cari. Batal. Seketika nyaliku mengucil ketika dia lebih cepat menoleh
kepadaku.
Sepasang
matanya yang sembab sekarang tampak garang. “Minggir!” bentaknya mendorong
tubuhku supaya menyingkir. Aku tidak mengerti. Dia terus berlari sambil mencari
seseorang dalam kerumunan manusia di rumah ini. Karena khawatir aku
mengikutinya, berniat membantunya. Sayang sekali, dia jauh menghilang dari
kerumunan dan aku tak sampai mengekorinya.
-----Park Bom
Pertama
kali aku bertemu dengannya adalah di saat aku berkunjung ke rumah Sandara ini
yang juga untuk pertama kalinya. Memang Sandara adalah satu-satunya teman
perempuan terdekatku di SMU.
Bom
nuna berparas cantik dengan rambut panjang bergelombang yang selalu tergerai
manis—ya
kuakui dia cantik tapi lebih cantik Dara, kekeke~. Dia ramah, nuna selalu ikut tersenyum dikala kami bercanda
bersama. Kupikir dia pendiam, mungkin karena aku tak pernah sekalipun
mengajaknya mengobrol. Tetapi tentu
saja Bom
nuna sangat dekat dengan yeodongsaeng-nya.
Setiap kali aku melihat mereka sedang bersama, mereka selalu bisa tertawa
lepas.
Beberapa
kali aku mengumbar pendapat tentangnya : ada aura aneh di sekitar Park Bom. Wajahnya
tampak murung saat tak ada orang yang memperhatikan. Namun aku tak berani
mengungkapkannya karena Dara bilang unnie-nya sangat sensitif dengan pendapat
orang. Aku heran, apa nuna itu sudah pernah pacaran ya? Mana ada namja yang mau bila sikapnya tertutup
seperti itu? Berbeda sekali dengan Sandara. Adik perempuannya yang ku kenal adalah
seorang periang, bersahabat dan sukar sekali untuk diam. Ya, sebelum
sepeninggalan ayah tersayangnya.
Dan
ini, kali pertama aku melihat tatapan mata Bom nuna. Entah mengapa ada sepasang
mata seorang gadis yang seperti itu.
*
Pria
Misterius.
30
Desember, 2009
Aku
bangun dari tempat tidur. Pukul 09.00am. Duduk sejenak di ranjang kemudian
berdecak seketika kakiku menyentuh lantai. AC apate menyala semalaman, aku lupa
mematikannya karena terlalu lelah. Sekarang tubuhku lemas sekali. Sial, aku diserang demam.
Hampir
dua bulan setelah kematian Sajangnim,
aku jadi agak banyak ikut campur dengan urusan perusahaan keluarganya. Bom nuna
yang menggantikan posisi beliau sekarang, dibantu dengan Sandara—tidak,
lebih tepatnya aku karena Sandara tak
memiliki bakat untuk urusan pekerjaan ayahnya, ia meminta bantuanku. Kau tau,
pelajaran Ekonomi, kata Dara selalu berhasil membuat kepalanya pening dengan
mata berkunang-kunang. Entah penyakit macam apa aku juga baru dengar ini -_-
Lalu
yang aku tau jelas pagi ini akan sangat terlambat untuk berangkat ke kantornya.
Tetapi apa aku bisa pergi... Aku benar-benar lelah, mematikan AC saja aku masih
terlalu malas. Sejurus kemudian mataku terpejam kembali.
Tak
lama kemudian... “Ting Tong”
Well, tidak ada malas-malasan lagi. Panggilan yang menyebalkan, aku harus
segera membukakan pintu.
Ciitt.
Seorang
pria meninggalkan seikat mawar putih di depan pintu. Tak tertata, sebagianpun
sudah ada yang patah tangkainya. Aku mengambilnya. Ingin aku tanyakan namun
pria itu tak terkejar. Tak mau ambil pusing aku berniat membuangnya ke tong
sampah dalam aparte.
Ciiitt.
Sejak kapan pintu aparte yang baru dua
tahun kudiami ini berdecit? Ketika
aku kembali memperhatikan mawar-mawar yang ada di genggamanku, tiba-tiba saja seluruh
tangkainya melayu, berubah warna menjadi hijau kecoklatan. Aku tidak yakin,
tapi aku memungutnya masih dengan keadaan segar! Dalam hitungan detik
tangkai-tangkai membusuk, mengeluarkan aroma menyengat, kemudian belatung-belatung
menjijikkan bermunculan mulai menggerogoti telapak tanganku... Aku menghempaskannya
ke lantai lalu
“Aaaaargh!!”
Mataku
terbelalak. Kuambil nafas terpanjang. Degupan jantung yang kacau menyesakkan
dada, seiring dengan dentuman ting tong ting tong bel aparte serasa tak
berujung. Shit! Fuckin’ nightmare.
Kakiku
melangkah gontai membukakan pintu.
“Annyeonghaseo..
ehh, Seungri-ssi? Anda sakit?...”
Yang
datang itu adalah sopir kantornya Sandara, Paman Kim dan seorang lagi Kang
Daesung, begitu paman Kim memperkenalkannya padaku. Dia klien penting dari luar
kota yang harusnya kutemui pagi ini.
Paman
Kim meletakkan sapu tangan basahnya ke jidatku, “em, gwaenchanha” kataku
berbaring di sofa. Memalukan sekali aku harus memakai kemeja kusut yang kemarin
kupakai tidur di depan klien perusahaan seperti ini. “Maaf, saya sedang tidak
enak badan” kataku dengan formal.
“Tidak
apa-apa,” jawabnya santai sembari mengumbar senyum. Aku belum pernah menangani
orang ini sebelumnya. Mungkin. Mataku buram, sulit sekali untuk mengenalinya
dengan jelas...
*
Kematian
Kedua.
14
Januari 2010
“Hinks
hinks”
Suara
tangisan gadis bergeming mengisi kesunyian taman. Aku dapat melihat punggungnya
dari kejauhan. Rambut panjangnya yang ditiup angin senada dengan guguran daun menjari
berwarna cokelat kekuningan dari ranting-ranting pohon. Aku tak mengerti,
kenapa ada gadis sepertinya sedang menangis di tempat sekosong ini?
“N..nuna?
Gwaenchanhayo?”
Dia
masih tak berhenti terisak, juga sama sekali tak menggubrisku. Aku kw-kw
kebingungan. Disini tidak ada orang selain kami. Apa dia telah disakiti
seseorang? Atau ditinggal pacarnya sendirian? Eh, atau bisa saja dia tak
mengerti bahasa Korea yang kugunakan? “Miss,
say something to me” tambahku.
Isakannya
terhenti dalam sekejap. Tinggal suara angin, dan ranting-ranting yang saling
bergesekan jauh diatas kepala kami. Tak lama kemudian terdengar jawaban, “Bagaimana
bisa kau memanggilku dengan sebutan itu...”
[Insert
the shocking pause here]
.
.
Ah!
Kedua mataku langsung mendelik lebar. Aku mengenal betul suara lugunya. Gadis
ini, Dara! “Kenapa kau menangis di sini?”. Tanyaku hendak memeluknya. Kedua
tanganku telah menengadah, namun sejurus kemudian ia menghindar. Wajahnya
sembab, pucat nampak ketakutan. Walau suara isakkannya tak terdengar lagi, aku
masih bisa melihat air matanya meleleh.
“Dara,
kenapa?...”
Hari
ini Sandara sungguh berbeda, walau masih nampak cantik seperti biasa. Rambutnya
memanjang, aku ingat persis seperti Sandara sekitar tujuh tahun lalu—pertemuan pertama kami. Dress manisnya kuning kelabu,
merdu sekali dengan cuaca sore ini. Sayang, air matanya terus mengalir membuat
kantungnya membesar dan sembab.
“...ada
yang salah denganku?”.
Harusnya
dia yang bertanya seperti itu. Tetapi lihat, tampangnya sungguh ketakutan
berhadapan denganku. Tangan kanannya gemetaran merapat di dada sementara tangan
yang lain sibuk mengusap air mata. “mendekatlah..” tambahku. Butuh beberapa
detik untuknya bergerak kaku mendekatiku. Kepalanya menunduk, seperti sedang
menyembunyikan sesuatu. Aku tak mengerti, ini bukan Dara yang kukenal...
Dia
mendekat perlahan, sampai benar-benar dekat. Aku tahu dia memaksakan isakkannya
supaya tak terdengar olehku, tetapi tetap saja dia tak bisa membendung air
matanya yang terjun satu per satu. Menyedihkan, apa sebenarnya yang telah
membuatnya jadi seperti ini? Tak tahan melihat matanya berair-air, kuraih
tangan kirinya. Kugenggam erat supaya tak bisa menghindar lagi dariku. Ingin
sekali rasanya mengusap air matanya, jikapun aku tak tau sebab pasti ia
menangis.
“Ri...?”
“huh?”
“Apa
kita akan terus bersama?...”
‘Tentu
saja, Dara’ Aku ingin mengutarakannya, tetapi dalam sekejap lidahku kelu, tak
dapat bersuara. Bermenit-menit hening yang tak biasa mencekam. Rahangku menguat,
kenapa denganku ini?!!
Lalu
suara angin berhembus menggelitik kuping. Begitu aku membuka mata Sandara telah
mengunci bibirku dengan ciumannya, menatapkan milikku dan miliknya dengan
memegangi leher belakangku. Dia memaksakan ini, aku dapat merasakannya. Masih meneteskan
air mata.
Ah, paksaan atau tidak itu bukan masalah.
Aku tak peduli, yang jelas aku tulus
mencintainya. Kubalas ciumannya tanpa ragu. Namun lambat laun tanpa sadar
kakinya terlihat tak menyentuh tanah lagi, tubuhnya mengayang. Selanjutnya
berangsur-angsur dirinya menghilang dihembus angin. Apa lagi sekarang?! “Dara!!..”. Namun teriakanku percuma, dia
seakan tak mendengar. Suara angin semilir berubah menjadi angin ribut, membuat
telingaku mendengung hebat. Sakit. Cairan merah kental pelan-pelan meleleh dari
sana, dan
“Haahh~.....”
Sesak.
Jantungku seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ternyata kelopak
mataku baru benar-benar terbuka sekarang. Jam digital menunjukkan pukul
01.00am. Ya, terlalu pagi untuk
melakukan apapun. Tubuhku terlentang lemas di kasur, keringat dingin bercucuran
dari dahi, tampaknya aku masih demam. Suhu
ruangan terasa membekukan kulit padahal AC sedang tak menyala. Seungrii, kembali tidur!! Dengan paksa aku
pejamkan mata erat-erat. Kau tau jika begini terus lingkar mata pandaku akan semakin
memarah.
Jadi,
yang tadi itu apa? Mimpi buruk? Lalu kenapa mulutku ikut-ikutan asin?...
07.10am
Sudah
dua hari tidak keluar aparte sama sekali. Pengap. Akupun tak ingin Dara sedih
dan bingung membantu pekerjaan kakaknya di kantor karena demam ringanku. “Sret”,
kupastikan dasi telah terikat dengan benar. Seungri
Seungri, kau selalu tampak hebat dengan Blazzer! Gumamku seraya memegang
jakun, memasang tampang yakin #plak.
Sandara, hari ini aku tak akan
mengecewakanmu!
“Dreet,
dreett...”
Lagi-lagi
suara pengusik. Kali ini ponsel. Aku lupa menaruhnya dimana tadi sehabis mandi,
dan sialnya benda itu kupasang profil vibrate. Butuh waktu satu menit bagiku hingga
menemukannya di bawah bantal ranjang. Nama Paman Kim tertera. Dua kali ia
menelepon setelah yang pertama tak terangkat. Beliau ini, pagi-pagi sudah
telepon. Kalau tidak urusan kator ya
pasti menawari berangkat bersama. “Yeoboseo...?”.
Beberapa
detik kemudian entah tiba-tiba saja tanganku terasa licin. Dengusan singkat
terhembus. Ini tidak mungkin. That guy’s
try to fucking kidding me... Dia bilang nona-nya meninggal, Sandara
meninggal.
Ini
akan menjadi hal yang paling tidak lucu yang pernah kudengar.
*
Devil
May Care.
21
Januari 2010
“Kau
pembunuhnya!”
"Kau gila!"
CTARR!!
Petir menyambar di tengah hujan angin nan deras malam ini, tepat sepeninggalan
Sandara. Tak ada tangis air mata, hanya kebisuan. Karenanya seluruh pegawai hari
ini dipulangkan. Aku membela-belakan diri kemari untuk mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi.
Park
Bom, dia tau yeodongsaeng-nya meninggal karena dibunuh, ditembak kepalanya oleh
seseorang. Mereka bilang Sandara ditemukan diatas tempat tidur dengan peluru
bersarang di kepala, ceceran darah, dan tak ada harapan sekecil apapun untuknya
selamat dari maut. Namun Bom hanya pasrah. Tak ada tindakan otopsi atau apapun
untuk menelusuri seluk beluk kematian Dara. Itu semua membuatku naik darah.
“Lalu
kau merelakannya begitu saja??”
“Seungri,
takkan bisa orang yang telah pergi bangkit kembali...”
“Tapi
bukan begitu!!” Teriakku, tak berdampak ekspresi apapun padanya. Aku geram.
Tidak ada siapapun di rumah ini selain dia dan Dara. Tidak ada seorangpun yang
menyimpan dendam dan begitu dekat dengan Dara. Aku tau dia, jikapun tidak aku
ingin dia menjelaskan tentang keberadaan brangkas tua yang ternyata adalah
miliknya!
“Dengan
dasar apa kau menuduhku?” Ujarnya, sembari melipat kedua tangannya, menurutku
itulah yang disebut ‘angkuh’.
Aku
memang tidak—belum—memiliki bukti yang cukup untuk menuduhnya, namun aku
yakin dengan beberapa lembar foto yang kutemukan di kamar Sandara. “Dia,
siapa?” tanyaku. Terpampang hasil potretan kerumunan manusia berpakaian hitam,
dan dari sana seakan menunjukkan bidikan fokusnya terhadap seorang pria. Aku
memiliki firasat tentangnya.
“itu...
milik Sandara, bukan?” balasnya mencoba mengelak.
“Kau
bercanda?” remehku sedikit mendengus. Kami berdua tau latar foto tersebut
adalah di rumah ini, tepatnya saat pemakaman Sajangnim sekitar dua bulan yang lalu. “Kala itu Dara terlalu lelah
menangis dan kubawa dia ke kamarnya. Dia telah tertidur pulas”
“Katakan
sesuatu. Bukankah dia adalah seorang klien perusahaan yang kemarin harusnya ditangani
oleh Sandara?...” tambahku bertubi-tubi, ingin segera membuka mulutnya.
“Kau
mengenalnya?” Park Bom, tanyanya tiba-tiba berubah penuh semangat.
Bukankah ini terlalu aneh? Mataku melotot. Wanita, susah sekali mengajaknya
serius. “Bom. Katakan sejujurnya”
“Apa
maksudmu?”
Ingatanku
mulai menggeledahi kejadian dua bulan yang lalu. “Ketika aku menabrakmu di
beranda, ingat? kau menjatuhkan sesuatu. Itu kamera saku, benar kan?”
“Kau
benar. Aku memang yang memotretnya”
Ya, aku
tahu itu. “Tetapi,
tak ada hubungan sama sekali dengan itu. Bukan itu alasannya...”
Oke.
Paling tidak ia telah mengaku bahwa ialah pembunuh Sandara. “.....” aku coba
tenang, dengan baik mengontrol emosi. Hanya butuh waktu untuk melapor polisi.
“Semua
ini karena... aku mencintaimu, Lee Seungri” katanya mengembangkan senyum merayu.
Mataku tak henti mendelik. Wanita ini sudah kehilangan akal sehat. “Aku
mencintaimu lebih dari Sandara”. Tidak,
ia hanya mengalihkan perhatian. Itu senyum imitasi, Seungri! Mendadak
kepalaku serasa pening. Aku menggeleng-gelengkan kepala, namun tak berubah.
Senyum Park Bom seperti membiusku perlahan-lahan.
Dia
memelukku, sambil meneteskan air mata haru—atau air mata imitasi, entahlah. Padahal besok adalah
upacara pemakaman adiknya. Apa ini saat yang tepat untuk berpelukan? Apa aku
harus meninggalkan kekasihku Dara sendiri, dikebumikan, lalu memulai lembar
baru dengan Bom begitu saja? Manusia macam apa yang bisa...
Ia
menyatakan cinta seperti tanpa dosa. Membunuh adiknya kemudian menyatakan cinta
pada pacar si adik? Monster tercantik, benar. Semua hal berkecamuk dalam
pikiran sampai-sampai aku tidak sadar Bom telah menusuk diriku dari belakang.
Bau anyir seketika menyeruak kedalam hidung.
Tak
bisa bergerak, tubuhku bergetar lemas tak berdaya. Setelah seliter darah
mengucur dari pinggang belakangku, dia mengeluarkan senapan laras pendek yang
kuyakin berasal dari brangkas tuanya. “See you!”
DOR!
...menggelikan. Kau peluk aku sebelum
membunuhku.
***
~SiDE STORY~
Author POV
Lagi-lagi upacara pemakaman dilaksanakan di rumah megah itu. Foto
seorang gadis manis berumur dua puluh empat terpampang. Orang-orang berdatangan
silih berganti, berkabung dan memberi semangat kepada Park Bom, sang pemilik
rumah.
“Kuatkan dirimu, Bom-ssi”
seorang pria berperawakan tegap menghampirinya yang sedang murung melipat kaki
diatas kursi panjang tak jauh dari keramaian. Rautnya berubah semenjak menatap
lekat pria tersebut. Pria itu membalas tatapan Bom dengan senyum singkat,
kemudian mulai melangkah pergi.
“Tunggu, Kang... Daesung?”
“Hm?” Pria itu menoleh. Ia tak menyangka bahwa rekan kerja
perusahaannya ini telah menghafal namanya diantara puluhan klien. “Iya, noona?”
“Tidakkah keberatan kau menemaniku sejenak?”
“Eh? Tentu, noona...”
“Ruanganmu hebat
sekali” puji Daesung seraya mengekor Bom menuju ke kamarnya. Ia minta ditemani
untuk mengambil pakaian ganti.
“Ya, ini ruangan
pribadiku”. Benar saja, Bom tak pernah mengijinkan siapapun masuk kedalam
ruangannya selain dirinya sendiri, Sandara dan Abeoji, tetapi kini mereka berdua telah tiada.
Semua tertata
rapi di sini, mulai dari perabotan hingga pernak-pernik pakaian klasik semua
Park Bom yang membeli dan merawatnya. Daesung sampai terperangah, baru kali
pertama ia melihat ruangan seindah ini selain di museum. Pasti mahal dan tak
mudah untuk mendapatkan mereka.
Ada empat wardobe klasik yang dimiliki Bom.
Sementara Bom menggeledahi salah satu almari, Daesung takjub dan penasaran, kemudian
dengan lancang ia membuka satu almari lain. Begitu ia membuka kenop pintu tubuhnya
terjatuh, jantungnya berdetak diluar batas normal, tercekat dan tak dapat
bersuara lagi. Mayat Lee Seungri, orang yang ia temui beberapa saat yang lalu
terduduk menyamping disana, pucat tak bernyawa.
“Ada apa, Daesung-ssi?”
Bom yang memergokinya hanya tersenyum—imitasi.
-FIN-
Waa, akhirnya!
Terimakasih udah membaca kkk~~ ^^
Lima hari bikin
FF ini, geje banget ya ceritanya?? -_- yang udah baca dari atas sampe bawah
komen yaa ^___^ kasih kritik/masukan/pendapat kalian tentang ini. Kalo nggak
keberatan juga tolong jawab tebak-tebakan dibawah :
Question
1. Menurut
kalian apa alasan Bom membunuh Dara?
2. Apa
alasan Bom membunuh Seungri kemudian?
Aku yakin udah
banyak yang tau soal ini (_._)
Hadiahnya? Aku kasi cium satu-satu aja deh? huwehehehe #bugh
Hadiahnya? Aku kasi cium satu-satu aja deh? huwehehehe #bugh
`1. karena cemburu sama Dara?!
BalasHapus2. Karena tau seungri bakal ngelapor ke polisi?!
Btw, FF nya kereen.. walau aku lumayan gak ngerti #GUBRAK ._.V
uwaaahhh... keren thor!! ^^
BalasHapuseummm.. jawabannya sama kayak commen diatas deh !! *Plak