ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Jumat, 19 September 2014

Nado Saranghae [One Shoot]



Tittle: Nado Saranghae.
Author: Farikha Kwon.
Genre: Romance, Friendship, Hurt, etc.
Rating: Teen.
Length: One Shoot.
Main Cast:
Sandara Park.
Kwon Jiyong.

A/N: Hello Chingudeul, Farikha imnida ^^ aku Author baru di blog kita tercinta ini. terima kasih untuk Admin Stepcecil yang sudah menerimaku.

Sorry for Typo and Happy reading^^

___


Aku yang selalu ada di sampingmu. Aku yang selalu ada untukmu. Dan aku yang selalu mencintaimu, bagaimanapun keadaanmu. Tapi, kenapa selalu dia, dan hanya dia yang ada di hatimu?


***
   
    "Dara, apa besok ada meeting dengan investor baru?!" Tanya G- Dragon dengan suara keras, yang bisa merobek gendang telinga milik siapa saja yang mendengarnya. Dia Direktur utama di perusahaan tempatku bekerja. Aku memang bekerja sebagai sekretarisnya, tapi aku lebih suka memanggilnya dengan nama aslinya, Kwon Jiyong, bukannya Sajangnim.

   "Ya! Tidak bisakah kau memelankan suaramu untuk kali ini saja, hah?!" Ucapku dengan suara yang lebih keras, dibandingkan suara Jiyong. Aku memasuki ruang kerja Jiyong sambil bertolak pinggang, dan menatapnya yang sedang duduk di kursi kebesarannya dengan tajam.

   "Kenapa kau harus marah-marah? Aku atasanmu, seharusnya aku yang marah-marah, huh..." Jiyong melonggarkan dasi hitamnya, dan menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat lesu, tidak seperti biasanya. Dia kenapa?.

   "Hei, neo gwaenchana?" Aku mendekati Jiyong, sembari menyentuh dahinya dengan punggung tanganku.

   "Aisshh, nan gwaenchana." Jiyong menepis tanganku, lalu dia berdiri dan berbalik menatap suasana di balik jendela besar ruangannya. Terlihat suasana jalanan kota Seoul, yang tengah ramai dipadati mobil-mobil dan para pekerja kantoran yang berjalan di trotoar, yang hendak pulang atau sekedar melepas lelah di kedai-kedai pinggir jalan.

   Aku menatap Jiyong yang sedang menatap Matahari, yang perlahan-lahan mulai menghilang dan kembali ke peraduannya. Cahaya oranye yang dipancarkan oleh Matahari, menerpa wajah Jiyong dan menambah kadar ketampanannya. Aissh, apa yang aku pikirkan?.

   "Kau kenapa?" Tanya Jiyong, saat dia melihatku sedang menggelangkan kepala dengan cepat.

   "Aku tidak apa-apa, ah...ruangan ini gelap sekali, sebaiknya aku segera menyalakan lampunya." Segera kulangkahkan kaki menuju saklar yang berada di dekat pintu, sebelum Jiyong melihat wajahku yang memerah karena memikirkan wajahnya yang...ah, sudahlah.

   "Dara, tunggu!" Jiyong menangkap pergelangan tangan kananku. Entah kenapa, sentuhan tangannya seperti ada aliran listriknya. Membuat jantungku bergetar dan melompat-lompat tak karuan. Bukannya aku berlebihan, tapi Jiyong tidak pernah menyentuhku seperti ini. Walaupun aku dan dia sudah bersahabat sejak dulu, saat kami masih kuliah.

   Jiyong tak bersuara. Aku hanya mendengar suara napasnya. Oh Tuhan, kenapa dia seperti ini? Membuatku melayang-layang ke udara, dan berharap sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

   "Aku, merindukan Kiko." Perlahan genggaman tangan Jiyong melemah.

   Seperti terjatuh dari lantai paling atas di gedung ini. Sakit. Sangat sakit, saat mendengar kalimat yang baru saja Jiyong ucapkan.

   "Lalu, aku harus berbuat apa?" Aku berusaha tersenyum, walaupun Jiyong tidak mungkin melihatnya. Karena ruangan ini gelap, dan hanya diterangi oleh cahaya bulan yang baru saja menampakkan wujudnya.

   "Aku..ingin menginap di apartement-mu, apa boleh?" Aku bisa melihat Jiyong yang tersenyum, meski hanya diterangi cahaya yang sangat minim.

   Aku mengangguk, "Cepatlah! Thunder pasti sedang merengek, karena tidak ada makanan yang bisa dimakan di apartement."


***


   
   Aku menekan beberapa digit nomor yang menjadi pin apartement-ku. Setelah pintu terbuka, aku langsung masuk dan mengganti wedge heels-ku dengan sandal lantai. Jiyong hanya mengikuti langkahku tanpa bersuara. Sejak dalam perjalan tadi, dia hanya diam dan memandang jalanan dengan tatapan kosong. Sebegitu menderitanya dia tanpa Kiko?. Kiko itu sudah menyakitimu Ji, sadarlah!.

   "Mandilah, dan ganti kemejamu dengan kaus milik Thunder." Aku menyerahkan handuk putih kepada Jiyong, yang sedang duduk dan sibuk menganti-ganti saluran televisi dengan remote control. "Thunder ada di kamar, aku akan memasak untuk makan malam."

   Aku sudah lama tinggal di Seoul. Sejak aku masih kuliah di Seoul National University. Semua keluargaku tinggal di Busan. Dan awalnya aku hanya tinggal seorang diri, tapi dua tahun lalu, adikku yang bernama Thunder mendapat beasiswa di Seoul University, dan dia kini tinggal bersamaku. Walau sudah menjadi seorang mahasiswa, tetap saja dia bersikap manja terhadapku, terutama saat ada Jiyong, pasti mereka berdua akan menertawakanku habis-habisan.

   "Apa dia sedang mandi?" Tanya Thunder, yang datang tiba-tiba dan langsung membantuku mencuci sayuran untuk campuran Ramyon buatanku.

   Aku hanya mengangguk, dan menatap sekilas adikku yang tergila-gila dengan daging ini.

   "Aku heran, kenapa setiap kali dia sedang sedih atau sedang merindukan wanita itu, dia harus menginap di sini." Ucap Thunder, sembari tetap serius mencuci Wortel di tangannya.

   Aku berbalik menuju meja makan dan mulai menyiapkan bahan untuk membuat Ramyon. "Mungkin dia merasa lebih baik jika berada di sini."

  "Aku tahu tentang perasaan Noona, kenapa tak mengatakan yang sejujurnya saja..itu akan membuat perasaan Noona lebih tenang." Ucap Thunder.

   Aku hanya terdiam mendengar ucapan Dongsaeng-ku yang polos ini. Tapi, darimana dia tahu tentang perasaanku? Apa dia sekarang menjadi seorang peramal?.

   "Hahahahaha...." Thunder tertawa terbahak, sampai dia harus memegang perut ratanya itu, "Aku hanya bercanda Noona, tapi wajahmu terlihat lucu sekali saat aku mengatakannya, hahahaha...."

   "Ya! Kenapa kau tertawa, hah?! Kau sakit jiwa, huh..." Aku memukul kepala Thunder dengan Selada, tak peduli dengan Seladanya yang hancur dan mengotori rambutnya.

   "Ampun Noona, tapi kau memang sangat lucu..." 

   "Kenapa kau mengotori rambut Dongsaeng-ku dengan Selada? Thunder cepat mandi, dan bersihkan rambutmu." Jiyong yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan hanya mengenakan celana hitamnya dan bertelanjang dada, membuatku tak bisa menahan tawa.

   "Hahahahaha..." Aku benar-benar tertawa keras, sampai membuat Jiyong dan Thunder menutup telingnya.

   "Ya! Kenapa kau teratawa? Apa yang lucu?!" Jiyong menatapku, tak mengerti.

   "Hahahahaha..." Aku kembali tertawa, sembari menatap perut Jiyong dan Thunder bergantian, "Ya Tuhan...apa salahku, sampai aku harus mengenal dua pria yang memiliki perut kurus dan rata seperti kalian, hahahahaha..."

   "Mworago?! Thunder, ayo kita serang!" Jiyong dan Thunder mendekat ke arahku dengan seringaian tajam di wajah mereka.

   "Ya! Apa yang...hahahahaha, geli..hentikan!" Jiyong dan Thunder menggelitiki perut dan pinggangku, membuatku geli setengah mati.

   "Ini balasan untuk yang menghina perut seksi kami!" Akhirnya Jiyong dan Thunder menghentikan kegiatannya.

   "Huh, nappeun! Tapi tunggu, tadi kau bilang kalau Thunder itu Dongsaeng-mu?" Aku mengernyitkan kening, menatap Jiyong yang bersimbah peluh di pelipisnya karena menggelitikiku dengan semangat.

   "Ya, dia Dongsaeng kesayanganku selain Seungri Panda.." Jiyong memeluk Thunder sok akrab.

   "Ya! Kalian membuatku mual karena melihat tingkah kalian." Aku mengambil panci dan mulai merebus air dan memasukkan mie.


___



   Aku mengambil dua selimut, untuk Jiyong dan Thunder yang tertidur di sofa depan televisi. Aku mencium kening Thunder dan mengusap pelan puncak kepalanya, kebiasaanku sejak dulu.

   Setelah itu, aku menyelimuti Jiyong dengan selimut milikku. Aku merendahkan tubuhku, agar bisa menatap wajah Jiyong yang sedang tertidur.

   Aku membelai wajah Jiyong dengan lembut. Menelusuri setiap lekukakan wajah tampannya. Menyentuh bibirnya dengan jari telunjukku, memainkan hidungnya dengan pelan. Aku sering melakukan ini setiap kali Jiyong tertidur. Saat dia tertidur di kantor, atau saat dia menginap di apartement-ku. Saat aku baru menyadari jika aku mencintainya, hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku tak bisa mengatakan tentang perasaanku. Aku takut, jika Jiyong akan menjauhiku.

   Aku menyeka air mata yang jatuh dari mataku. Sebegitu sakitnya mencintai seorang Kwon Jiyong, yang masih sangat mencintai Mizuhara Kiko, mantan kekasihnya.

   Aku melihat Jiyong yang perlahan membuka matanya, "Kau menangis, Dara?"

   Aku menggeleng, "Tidak, aku hanya merasa sangat mengantuk sekali, sampai mengeluarkan air mata."

   Jiyong bangun dan merebahkan punggungnya di sandaran sofa, "Tidurlah, pasti kau lelah sekali." Jiyong menepuk-nepuk pahanya, dan menyuruhku untuk merebahkan kepalaku di sana.

   Aku terdiam sejenak. Menatap Jiyong yang sedang menatapku. Apa arti dari tatapannya itu? Kenapa kau melakukan ini? Apa kau memberikan harapan kepadaku? Oh Tuhan, siapapun, tolong sadarkan aku.

   "Kau mau memandangku seperti itu sampai pagi, ppalli!" Jiyong menarik tanganku, dan perlahan merebahkan kepalaku di pangkuannya. Kemudian, dia menarik selimut yang tadi menutupi tubuhnya, dan menyelimuti tubuhku dari kaki hingga dagu. "Annyonghi jumuseyo, my butterfly.."

Mwo?! Dia bilang apa? My butterfly? Apa dia benar-benar ingin membuatku bermimpi indah, dan kemudian terbangun dengan kenyataan yang sangat pahit. Kenyataan jika dirinya masih sangat mencintai Kiko.



***



   Aku menyesap black coffe dari gelas kertas, yang berada di tangan kananku. Sambil melihat pemandangan kota Seoul yang selalu ramai, seperti kota yang tak pernah tidur. Aku merapikan sebagian rambutku yang menutupi wajahku akibat diterpa oleh angin. Di atap gedung ini, anginnya bertiup kencang. Tetapi memberi kesejukkan.

   Aku merentangkan kedua tanganku, menikmati ketenangan di tempat ini. Tempatku menumpahkan segala perasaan dan emosiku. Termasuk perasaanku kepada Jiyong, dan emosiku saat mengetahui jika Jiyong berpacaran dengan Kiko.

   "Kau hebat sekali, bisa memendam perasaan sebesar ini selama bertahun-tahun..." Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Park Bom sedang berdiri dan menatapku tajam.

   Aku kembali menatap suasana kota Seoul, "Ya, tapi aku tidak seberuntung Kiko, yang bisa mendapatkan hati Jiyong."

   Ku rasakan Bom menyentuh kedua bahuku, sembari tersenyum kepadaku. "Kau hanya kalah cepat dengan Kiko, Dara."

   Bom memeluk erat tubuhku. Aku bisa merasakan kehangatan dari istri TOP ini. Aku dan Bom sudah bersahabat sejak kecil, dan hanya dia yang tahu tentang perasaanku kepada Jiyong, kecuali Tuhan tentunya.

   "Aku sangat mencintainya, Bom. Sampai kapan aku harus memendam perasaan ini?" Aku mulai menangis di pelukan Bom, tak peduli dengan baju kerjanya yang basah akibat tangisanku.

   Bom melepas pelukannya, dan menatap serius tepat ke dalam manik mataku, "Kau harus mengatakannya, Dara. Sudah terlalu lama kau memendamnya. Kau tinggal mengatakan, 'Jiyong, saranghae!' Lalu perasaanmu akan merasa lebih lega.." Bom memalingkan wajahnya, dan menatap ke arah gedung-gedung yang berdiri dengan kokoh. "Kau hanya mengatakan tentang perasaanmu. Bukan memintanya untuk membalas perasaanmu."

   Aku terdiam sejenak. Mencoba mencerna ucapan Bom. Kupikir, yang di katakan Bom ada benarnya juga. Tapi, bagaimana reaksi Jiyong saat mengetahuinya. Apa dia akan menjauhiku? Atau bahkan, dia akan menertawakanku? Aisshh, Dara pabo.


___



   Ku langkahkan kaki menuju ruang kerja Jiyong. Dalam langkahku, aku berdoa, semoga Tuhan melindungiku dan memberikanku kelancaran saat mengatakan perasaanku kepada Jiyong. 

   Tetapi, aku sendiri tidak yakin, jika aku akan mengatakannya dengan lancar. Atau aku akan seperti orang gagap saat mengatakannya. Entahlah, yang jelas aku akan berusaha yang terbaik.

   "Ah, Oppa...aku menginginkan lebih dari ini.."

   Mwo?! Aku menutup mulutku, saat melihat Jiyong sedang berciuman dengan Kiko dengan berbaring di atas sofa. "Ji..." Suaraku terdengar sangat parau, air mataku tak dapat dibendung lagi. Ini benar-benar sakit. Lebih sakit saat mendengar Jiyong lebih mencintai Kiko.



   "Dara!"


   Aku tak mempedulikan Jiyong yang memanggilku. Aku terus berlari menjauh dari tempat itu. Kalau perlu, aku akan menjauh dari Jiyong untuk selamanya. Aku mencintaimu Jiyong. Aku sangat mencintaimu. Tak sadarkah kau dengan perasaanku selama ini? Saranghae, Jiyong.



   Bruakk!!
  



                                                                      ***

(Author POV)



  "Kau mencari siapa, Ji?" TOP mendekati Jiyong yang terlihat kebingungan, di depan gedung YG Coorporation.

   "Hyung, kau tahu di mana Dara?" Jiyong menatap TOP dengan memohon, berharap Hyung-nya itu mengetahui ke mana perginya Dara beberapa menit yang lalu.

  "Ne, ikut aku, kajja!" TOP berjalan menuju BMW hitamnya yang terparkir, diikuti Jiyong di belakangnya.
   Jiyong nampak tak mengerti dengan maksud TOP, yang akan membawanya entah ke mana. "Hyung, kau mau membawaku ke mana?"

   TOP melajukan mobil mewahnya dengan kecepatan penuh. Tak memedulikan keadaan jalanan kota Seoul yang lumayan padat. "Diamlah, nanti kau akan tahu!"

   Jiyong menatap kosong ke arah jalanan yang terlihat buram, karena TOP mengendarai mobilnya seperti orang kesurupan.

   Entah kenapa, Jiyong begitu mengkhawatirkan Dara saat ini. Sampai-sampai dia melupakan Kiko, yang mungkin saat ini sedang marah-marah tidak jelas. Jiyong merasa sangat bersalah terhadap Dara. Tak seharusnya dia melakukan perbuatan tadi di kantor, karena Dara bisa masuk dengan leluasa ke ruang kerjanya.

   "Kita sudah sampai, kajja!" TOP menyadarkan Jiyong dari lamunannya. Mengajaknya memasuki gedung besar, yang identik dengan warna putih.

   Jiyong mengernyitkan keningnya, menatap bagian depan gedung Rumah Sakit Seoul. "Hyung, untuk apa kita ke sini?"

   TOP tak menjawab pertanyaan Jiyong. Ia tetap melangkahkan kaki menuju ruang ICU, tempat Dara dirawat.

   "Oppa..." Bom langsung memeluk TOP, sambil tetap menangis, yang melunturkan makeup-nya.

   "Tenang yeobo, Dara pasti akan baik-baik saja." TOP mengelus lembut punggung istrinya, berusaha menenangkannya.

   Jiyong tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Siapa yang sakit? Dara kenapa?. Jiyong menatap Thunder yang sedang menangis dan di tenangkan oleh Seungri, lalu menatap Bom yang menangis di pelukkan Hyung-nya.

  "Apa kalian keluarga pasien?" Tanya seorang dokter yang baru keluar dari ruang ICU.

  "Ne Sonsaengnim, kami keluarganya." Jawab TOP dengan tenang.

  "Jwosong hamnida, saya harus mengatakan ini." Dokter paruh baya itu mengembuskan napas berat, lalu berkata, "Sandara koma, karena benturan di kepalanya terlalu keras dan mengakibatkan retak pada kepala belakangnya."

  "Mwo, jeongmal?!" Semua yang berada di tempat itu terkejut, tak terkecuali Jiyong.

  Jiyong merasakan lututnya lemas, tubuhnya sudah tak bertenaga.

  "Sonsaengnim, apa tidak ada cara untuk menyelamatkan Dara?" TOP berusaha setenang mungkin, agar tidak memperkeruh keadaan.

  "Hanya keajaiban yang bisa menyembuhkannya, berdoalah!"


____



   Jiyong menatap Dara yang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, dengan kabel-kabel di sekelilingnya, yang terhubung dengan alat pendeteksi detak jatung.

   Jiyong duduk di kursi yang ia letakkan di samping tempat tidur Dara. Membelai rambut Dara, menyentuh lembut wajah Dara. Lalu, digenggamnya tangan Dara. Menautkan jemarinya dengan jemari Dara. Merasakan kehangatan tubuh gadis yang selalu ada untuknya.

   "Kau pasti kuat, bertahanlah, Dara…" Setetes demi setetes, air mata Jiyong membasahi punggung tangan Dara.

   Jiyong terus menangis, sembari tetap menggenggam tangan Dara. Dia tak mau kehilangan Dara. Mulai saat ini, dan seterusnya, Jiyong berjanji akan selalu menjaga Dara.

   Tangisan Jiyong mereda, saat dirasakannya tangan Dara mulai bergerak. "Dara, kau sudah sadar?"

   "Ji..." Terdengar suara Dara yang lemah, matanya mulai terbuka dan menatap Jiyong di sampingnya.

   "Ne Dara, aku di sini." Jiyong mendekat kearah Dara. Menatap Dara lebih dekat, "Kau harus bertahan, Dara! Kau harus kuat!" Ucap Jiyong, sembari mengecup lembut kening Dara.

   "S-saranghae, Ji..." Dara membelai wajah Jiyong, dengan keadaannya yang masih lemah. Tenaganya belum sepenuhnya kembali.

  "Nado saranghae, Dara." Jiyong mengecup bibir Dara dengan lembut. Akhirnya Jiyong menyadari perasaan yang selama ini dialaminya ketika berada di dekat Dara. Perasaan yang tak pernah dialaminya ketika berada di dekat wanita lain, termasuk Kiko.

   Perlahan, mata Dara kembali terpejam. Deru napasnya perlahan tidak terdengar. Genggaman tangannya pun, juga melemah.
 


   Titt.....!!




   Jiyong melihat ke layar alat pendeteksi detak jantung. Jiyong tak percaya, hatinya mencelos saat dilihatnya grafik yang terlihat seperti sandi rumput, perlahan berubah menjadi garis lurus.

   "Chagi, bangun! Bangunlah! Dan katakan, kau tak akan meninggalkanku, Chagi.." Jiyong memeluk erat tubuh Dara yang terbujur kaku. Yang baru saja mengembuskan napas terakhirnya.


   "Saranghae Dara..jangan tinggalkan aku.."



***



   Langit yang dihiasi gumpalan awan hitam, dan bunyi rintik hujan, mengiringi pemakaman Dara. Terlihat banyak pelayat yang ikut mengantar Dara ke tempat peristirahatan terakhirnya.

   Jiyong duduk bersimpuh di samping makan Dara. Air matanya tak berhenti, sejak tadi malam. Bahkan, beberapa kali dia mencoba bunuh diri dengan menenggak racun. Beruntung TOP berhasil mencegah tindakan bodohnya. Tetapi tetap saja, Jiyong seperti mayat hidup. Wajah pucat, mata sembab, dan rambut acak-acakan.

   Selesai memanjatkan doa, para pelayat mulai meninggalkan pemakaman, kecuali Jiyong. Jiyong tetap di tempat, mengusap lembut batu nisan yang bertuliskan nama Sandara Park. Di atas batu nisan itu, terlihat sebuah kupu-kupu indah hinggap di atasnya. Seperti ikut bersedih dengan kepergian Dara.

   "Nado saranghae Dara, tenanglah di sana!"




THE END

Mian kalau kurang memuaskan ^^ don't forget to RCL.

4 komentar:

  1. Bahasa eonni enak banget sumpah :v
    Gimana sih caranya -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Saeng udah mau baca dan koment. Kuncinya sih terus membaca dan belajar. Bahasa kamu juga enak kok Saeng, cuma penulisannya saja perlu diperbaiki :)

      Hapus
  2. terima kasih, sudah mau membaca :)

    BalasHapus