ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Selasa, 09 September 2014

The Wedding and Psycho [1/3]



Tittle : The Wedding and Psycho
Main Cast : No Minwoo (Boyfriend), Lee Rahyun (OC)
Genre : Angst, Romance, Thriller, Crime, Marriage Life
Author : Stephcecil
Lenght : Trilogi
A/N : Request by Arisa.
Summary :  " Pada usianya yang sangat muda, yaitu 18 tahun. Lee rahyun harus menikah dengan No Minwoo karena ikatan keluarga"


***



Suasana di kafe itu tergolong sepi. Tidak banyak pelanggan di sana. Salah satu meja kafe telah dikuasai dua orang yang tengah beradu pandang. Saling menatap penuh arti, dilanda dilema yang tersirat dalam benak masing-masing. Kurang lebih lima menit sudah bibir mereka terkatup rapat, Hingga akhirnya sebuah suara bariton membelah keheningan tersebut.

“ Ayo kita batalkan saja perjodohan ini. “

Sang lawan bicara semakin mengunci tatapannya pada pria pemilik wajah imut itu. Gejolak dalam hatinya menolak keras usul Minwoo. Ia tidak mengerti jalan pikiran namja yang duduk manis di hadapannya ini.

“ Sudah kubilang aku tidak bisa. “

“ Karena itu permintaan eomma-mu? Ayolah. Orang tua jaman sekarang memang suka seenaknya. Apa begitu susah menolak permintaan eomma-mu? Lee Rahyun, kita hidup di jaman modern. Apa kau tidak merasa geli dengan ide ini? Perjodohan? Yang benar saja. “

“ Kubilang aku tidak bisa menolaknya. Aku punya alasan sendiri. “

“ Kalau begitu aku yang akan memohon pada eomma-mu. “

“ Kau tidak bisa… “

“ Kenapa? “ Minwoo mulai kesal.

“ Dia sudah pergi jauh. Ke sebuah tempat yang tidak mungkin kau jangkau. “ lirih Rahyun.

No Minwoo terhenyak seketika. Penuturan gadis bernama Lee Rahyun itu bagaikan pukulan keras baginya. Ia mendesah pelan, kemudian menyandarkan punggungnya di kursi kafe. Kenapa ia tidak menyadarinya? Raut wajah gadis yang muram itu seharusnya dapat menyadarkan Minwoo. Belum lagi kini ia melihat kabut bening yang mulai terbentuk pada kedua manik mata kecoklatan Rahyun.

No Minwoo membuat seorang gadis menangis.

“ Maafkan aku… aku tidak tahu “ hanya kalimat itu yang meluncur dari bibir Minwoo. Sebuah permintaan maaf.

“ Setelah Appa pergi, aku hidup seorang diri dengan eomma-ku. Dan setelah eomma meninggal bulan lalu. Ia mengatakan permintaan terakhirnya. Yaitu agar perjodohan ini segera dilaksanakan. “

Tanpa diminta, Lee Rahyun menjelaskan kondisi terakhirnya. Sebuah alasan yang membuat ia mematuhi perjodohan tersebut. Walaupun hal ini menentang hati nurani Rahyun. Namun apa boleh buat? Ia tidak memiliki pilihan lain. Ia tidak ingin menjadi anak durhaka. Selama ibunya masih hidup, ia sering mengecewakannya. Dan sekarang, Rahyun ingin menebus kesalahan itu.

Yah, walaupun ini sangat berat.

Keluarga Lee Rahyun bergelimang harta, begitupun dengan Minwoo. Keduanya sama-sama memiliki dua perusahaan terbesar di Korea. Yang satu di bidang otomotif, yang lain bergerak di industri mode. Maka tak heran jika kedua orang tua mereka menjodohkan sang anak kesayangan masing-masing. Demi apa? Tentu saja uang.

Sebelum peristiwa maut berupa kecelakaan yang merenggut nyawa nyonya Lee, kedua keluarga rupanya telah diam-diam mengatur perjodohan. Dan Rahyun baru mengetahuinya dari Pengacara keluarga Lee. Tentu saja informasi itu ia dapat dari wasiat sang ibu. Sedangkan Minwoo, ia baru mengetahui perihal perjodohan dari Appa nya kemarin. Maka dari itu, sebelum Keluarga No mengadakan pertemuan secara resmi dengan Rahyun. Minwoo memutuskan untuk menemui gadis itu terlebih dahulu. Dan tentu saja, mengajak Rahyun membatalkan perjodohan menjadi salah satu motif nya menemui Rahyun.

Dan hasilnya? Nihil.

Kedua manik mata Minwoo kini mengamati gadis yang tengah tertunduk lesu. Ia dapat menangkap sorot kesedihan melalui pancaran mata Rahyun. Sungguh, dirinya prihatin. Minwoo kembali menghela nafas dalam, ia dirundung kegalauan. Hati nurani dan ego Minwoo saling berseteru, berebut untuk mendominasi pikirannya.

Akhirnya setelah beberapa detik penuh keheningan. Ia mengambil keputusan.

“ Baiklah… aku tidak akan menentangnya lagi. “

Seulas senyum pun menghiasi wajah Lee Rahyun.



                                                                             ***



Ruangan itu didominasi dengan warna hitam. Membuat setiap orang yang masuk ke dalamnya bergidik ngeri. Gelap. Sungguh gelap dengan hanya beberapa lilin sebagai sumber penerangan. Lilin-lilin tersebut berjejer rapi di atas meja kayu. Puluhan foto menghiasi dinding yang juga berwarna hitam. Namun terdapat keganjalan dari foto-foto itu, dimana hanya terfokus pada satu objek.

Dan sang objek bernama No Minwoo.



                                                                            ***


@ Seoul University Library

“ Dasar gadis malang… “

Suara itu berasal dari gadis yang kini tengah menggelengkan kepalanya. Ia tidak percaya. Akal sehat dalam kepala Lee Yoora menolak keras penuturan sahabatnya. Namun apa daya? Kenyataan berkata lain. Sahabatnya, Lee Rahyun baru saja memberitahu perihal yang cukup sensitif, dan jelas akan mempengaruhi masa depan gadis itu.

Rahyun hanya terdiam, menyadari sepasang mata yang menatapnya penuh kemirisan.

“ Tenang saja. Tuhan tahu yang terbaik untuk mu. Percayalah semua akan baik-baik saja. “ hibur Yoora.

Kemudian Yoora beranjak dari bangkunya –yang tadinya berseberangan dengan Rahyun- dan beralih posisi duduk di samping gadis itu. Tangannya menepuk pelan bahu Rahyun, mencoba menyalurkan kekuatan dan semangat, secuil pun tak apa. Itu sudah cukup bagi Rahyun.

“ Aku tidak apa-apa, tenang saja Yoora – ya . “ ucapnya.

“ Kau tidak bisa membohongiku. Aku sudah mengenalmu bertahun-tahun. Apa kau kira aku tidak menyadari ekspresi wajahmu itu? Jangan sok kuat. “

“ Tapi aku sungguh tidak apa-apa. Jangan khawatir. “

“ Berhenti menipuku. “

Rahyun meringis. Sekeras apapun ia berusaha, ia tetap tidak bisa menipu seorang Lee Yoora. Rahyun memilih diam, kembali larut dalam buku bacaannya, walau tentu saja pikirannya terfokus pada hal lain. Tingkah Rahyun membuat sang sahabat mendecakkan lidah karena kesal.

“ Gadis bodoh.. “

Dan detik berikutnya buliran kristal bening meluncur membasahi pipi putih Lee Rahyun. Tanpa dikomando, Yoora pun mendekap tubuh Rahyun dalam pelukannya. Sebuah pelukan penuh kehangatan dari seorang sahabat.



                                                                                 ***





No Family’s House, 18.00 PM

Sesosok pria paruh baya mendaratkan tatapannya pada dua orang yang dilanda kegusaran. Lee Rahyun dan No Minwoo. Kedua orang tersebut tidak dapat diam di tempat duduk mereka. Ada saja yang mereka lakukan. Contohnya saja Minwoo, ia menggigit bibir bawahnya tanpa alasan. Sedangkan gerak-gerik sang pria paruh baya sungguh berbanding terbalik. Pembawaannya begitu tenang. Dan pria itu merupakan Ayah Minwoo.

“ Kalian tidak perlu mempersiapkan apa-apa. “

Tuan Lee bersuara, sembari mengulurkan tangannya demi mengambil segelas teh tawar yang tersaji di hadapannya. Kemudian ia menyesap minuman hangat tersebut perlahan, memberi sensasi menggelitik pada kerongkongannya.

“ Apa maksud ayah? “ Minwoo menelengkan kepalanya ke samping. Pertanda ia sedang bingung dengan situasi yang dihadapinya sekarang. Sementara Sora hanya mengerutkan keningnya.

“ Maksudku, sebenarnya perjodohan ini sudah disiapkan jauh-jauh hari. Sewa gedung, tanggal pernikahan, bahkan cincin. Kami juga sudah menyiapkan undangan untuk orang-orang terdekat kalian. Semuanya sudah disiapkan. Yang harus kalian lakukan hanyalah menyusun daftar tamu dan tentu saja… “ Tuan No beralih melirik Minwoo dan calon menantunya itu sejenak, disusul senyuman tipis.

“ …. Mempersiapkan diri kalian “ lanjutnya.

Minwoo meneguk ludahnya sendiri. Tuan No yang merupakan ayahnya sendiri itu memang terlihat ramah dari luar. Namun kepribadiannya sedikit menakutkan –jika kau mengenalnya lebih dekat- .

“ Ahjus- “

“ Panggil aku abeoji. “ ralat Tuan No saat Rahyun akan menanyakan sesuatu.

“ Ah, ne, abeoji.. “ Rahyun menurut.

“ Ada apa, calon menantuku? “

Jujur, panggilan asing itu membuat Rahyun sedikit bergidik. Dan terang saja, hingga kini, ia belum siap untuk menjadi menantu dari keluarga lain. Apalagi jika sang kepala keluarga memiliki senyum yang terlampau lebar, hingga membuatnya terlihat ‘mengerikan’ di mata Rahyun.

Pada usianya yang sangat muda, yaitu 18 tahun. Lee rahyun harus menikah dengan No Minwoo karena ikatan keluarga. Sebuah fakta menggelikan, batin Rahyun.

“ Jika aku tidak salah dengar tadi. Keluarga kita sudah menetapkan tanggal pernikahan. Jadi, bukankah sudah sewajarnya jika Abeoji mengatakan pada kami kapan resepsi dilaksanakan? “

Pertanyaan Rahyun sukses menarik fokus Minwoo, yang sedari tadi sibuk bergulat dengan kopinya. Ia mendongak dan kemudian mengamati calon istri serta abeojinya itu.

“ Hahaha. Maafkan aku. Aku semakin tua dan pikun. Jadi lupa memberitahu kalian “ jawab Tuan No disertai tawa. Walau sungguh, sebenarnya tidak ada yang patut ditertawakan. Tiada hal yang lucu. Yah, setidaknya begitu menurut Minwoo dan Rahyun.

“ Jadi… kapan akan dilaksanakan? “ sela Minwoo tak sabar.

“ Tanggal tujuh. Hari Sabtu minggu depan “

Uhuk.


Lee Rahyun nyaris tersedak teh hangat yang baru setengah jalan menyusuri kerongkongannya. Matanya mendelik terkejut. Ia buru-buru meletakkan cangkir tehnya di atas meja makan dan beralih menatap pemuda itu. Raut wajah Minwoo tak jauh berbeda dari Rahyun. Keduanya sama-sama mengalami Syok.

Tubuh Rahyun seolah disiram seember air es. Yang benar saja, Secepat ini?!

“ Abeoji. Ini tidak bisa dilakukan. Ini terlalu cepat, kami bahkan belum saling mengenal satu sama lain. “ protes Minwoo.

“ Minwoo benar. Ini terlalu cepat… “ Rahyun tak mau kalah, ia ikut menimpali Minwoo.

Sedangkan Tuan No hanya kembali menyunggingkan seulas senyum. Dan sedetik kemudian, pria tua itu tertawa lepas. Sungguh, munggkin hanya dia yang tahu apa yang begitu menggelikan disana. Situasi tersebut tidak mengandung faktor sekecil apapun yang dapat menimbulkan tawa orang lain.

“ Hahahaha “

Rahyun bergidik. Apa yang salah dengannya?

“ Terlalu cepat menurut kalian? Kita bisa saja menunda pernikahan hingga tiga atau bahkan empat bulan kedepan. Dan itu tidak akan berpengaruh apapun. Pada akhirnya, perjodohan tetap dilaksanakan.”

Lee Rahyun meringis. Otaknya sibuk mencerna perkataan Tuan lee, yang baru disadarinya merupakan sebuah fakta. Apa gunanya menunda hal ini? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Ini adalah sebuah situasi dimana semua cerita memiliki akhir yang sama. Mereka akan menikah. Ini keputusan mutlak.

“ Ya, kurasa juga begitu. Baiklah, jalankan saja sesuai rencana awal. “ putus Rahyun.

Sang aboeji hanya mengangguk kecil. Ia senang karena Rahyun setuju dengan keputusan awal kedua keluarga. Sama sekali tidak ada hal merepotkan bernama penundaan. Di lain pihak, Minwoo mendelik terkejut, kemudian dia menoleh serta menatap Rahyun dengan pandangan aneh. Tidak mengerti jalan pemikiran gadis ini.

Yah, dia sendiri memang telah menyetujui perjodohan mereka. Tapi tidak bisakah Rahyun berpikir kalau ini terlalu cepat?

“ Lee Rahyun! Apa kau gila? “

Bentakan Minwoo hanya direspon dalam diam oleh Rahyun. Gadis itu menundukkan kepalanya, dengan kedua tangan sibuk meremas ujung rok yang dipakainya. Tanpa sadar, Minwoo mengepalkan kedua telapak tangan begitu erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Ia terbawa emosi. Namun tidak mampu melakukan apapun.

“ Ini gila… “ desis Minwoo.



                                                                          ***



Ruangan berukuran 5x4 meter itu diliputi kesunyian. Begitu hening. Hanya ada suara detak jarum jam, diiringi deru nafas seseorang. Orang itu bernama No Minwoo. Ia tampak sibuk dengn lembaran-lembaran kertas yang berhamburan di mejanya. Selang beberapa menit, namja itu menyerah. Dengan kasar dia meremas salah satu kertas yang baru beberapa detik lalu tekun digelutinya. Ia tidak sedang dalam mood yang baik hari ini.

Minwoo menunduk, menopangkan kepala pada kedua tangannya, yang juga digunakan pemuda tersebut untuk memijit pelan pelipisnya. Kepalanya pening. Seolah tidak cukup dipusingkan oleh masalah pekerjaan, kini ada ‘masalah’ baru di hadapannya. Dan yang satu ini, menyangkut masa depan Minwoo.

Ia mengerang, kepalanya kembali pening ketika kata ‘pernikahan’ kembali tersirat dalam benak Minwoo. Sungguh, sang Abeoji benar-benar menyusahkannya. Dan lagi gadis aneh itu, Lee Rahyun, Apakah dia gila? Dengan tenangnya setuju pernikahan dilaksanakan minggu depan. Bahkan tanpa acara pertunangan terlebih dahulu. Ouh, Yang benar saja!
Krieekk.. –suara pintu dibuka-

No Minwoo sontak mendongak, menatap sepasang manik mata milik orang yang baru saja menerobos paksa memasuki ruang kerjanya. Sedangkan yang ditatap hanya merespon dengan cengiran lebar. Tanpa dikomando pula, orang itu mendaratkan pantatnya di kursi. Hingga kini kedua orang tersebut duduk berseberangan dengan meja kerja Minwoo sebagai pemisah.

“ Ya! Kudengar kau akan menikah. Aku nyaris mati terkejut saat menerima undangan pernikahanmu! “ ujar Jo Youngmin.

Bocah kaya yang berbicara dengannya ini adalah Jo Youngmin. Ia memang setahun lebih dari tua dari Minwoo, namun tingkahnya sungguh tidak dewasa. Selain menghambur-hamburkan uang kedua orang tuanya, ia seolah tidak memiliki pekerjaan lain. Ya, sebenarnya wajar saja. Keluarga Jo merupakan salah satu chaebol di Korea. Sama seperti keluarga Minwoo.

" Bisakah kita jangan membicarakan hal ini? Aku sedang tidak dalam mood yang baik, hyung " ujar Minwoo kesal.

" Kenapa? Apa gadis itu jelek? Tidak sesuai tipemu, eoh? "

" Bukan begitu. Dia cantik.. hanya saja.. "

" Apa? Dia galak? Menyebalkan. Oh ayolah Minwoo-ya. Tidak ada gadis yang sempurna. Selama dia cantik.. seharusnya bukan masalah.." youngmin terkekeh.

Oh ya, jangan lupakan fakta bahwa namja ini merupakan playboy kelas kakap. Sebut saja gadis cantik mana yang belum dikencaninya.

" Entahlah, aku baru bertemu dengannya dua kali.. "

" Lalu kenapa kau tidak menyukainya? "

Minwoo hanya diam. Sibuk bergelung dengan kertas-kertas laporan di meja, yang tampak jauh lebih menarik dibanding menanggapi ocehan Youngmin.

Namun bukan Jo Youngmin namanya jika menyerah begitu saja.

" Ya! Minwoo-ah, kau belum menjawabku. " cecar Youngmin.

No Minwoo mendongakkan kepala, meninggalkan sejenak laporan-laporan di atas meja, dan menghela nafas berat sebelum merespon pertanyaan Youngmin, dengan jawaban berupa kalimat panjang.
           
" Manusia normal macam apa yang suka dijodohkan dengan gadis asing, karena ikatan keluarga? Ayolah hyung, aku tidak peduli apa gadis itu cantik atau jelek dan aku juga tidak peduli tentang kepribadiannya. Aku lebih peduli dengan masa depanku, yang harus hidup bersama seorang gadis asing yang bahkan baru kutemui dua kali! " sentak Minwoo.

Namja berambut kepirangan yang menjadi lawan bicara hanya mengangguk pelan. Emosi Minwoo nyaris mencapai puncaknya. Ia memutuskan untuk bungkam. Tidak ingin membuat sahabatnya itu meledak.
           
" Jadi hyung.. apa tujuanmu kemari? " lirih Minwoo

Seulas senyum tersungging pada wajah Youngmin. Sudah waktunya ia menceritakan kisah perjalanan keliling dunia yang dijalaninya sejak 3 bulan lalu, sebelum akhirnya kembali menginjakkan kaki di Korea, demi menghadiri pernikahan Minwoo.



                                                                              ***


@Book Store


Seorang gadis tengah berusaha meraih sebuah buku dengan tangannya, namun sayang buku yang ia cari terletak di bagian paling atas rak. Terlalu tinggi bagi tubuhnya yang mungil. Lee Rahyun berusaha sekuat tenaga, ia bahkan berjinjit demi menambah tinggi tubuhnya, walau jelas tak berpengaruh banyak.

Tiba-tiba sebuah tangan lain muncul dan meraih buku itu dengan begitu mudah. Rahyun menurunkan tumitnya, menoleh ke arah sang pemilik tangan yang tengah tersenyum padanya kini.

“ kau mencari ini, bukan? “

Orang asing berambut pirang itu memberikan buku berjudul “Da Vinci Code” pada Rahyun. Sedangkan Lee Rahyun mengambil buku tersebut dengan ekspresi malu-malu yang terlukis jelas pada wajahnya.

“ N-Ne… terimakasih “ Rahyun membungkukkan badannya.

“ Tidak perlu berterimakasih. Aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu kesulitan dengan rak yang tinggi. Sudah sewajarnya jika aku membantu, bukan? “

“ Tapi tetap saja aku harus berterimakasih “ ujar Raehyun.

“ Kalau begitu.. sama-sama “

“ Eh ? “ Raehyun menaikkan alisnya.

“ Kalau kau berterimakasih. Aku harus mengucapkan ‘sama-sama’ sebagai balasannya, iya kan? “

Lee Rahyun hanya mengangguk kecil. Sedangkan seulas senyum lebar telah menghiasi wajah Youngmin. Pertemuan yang kebetulan tadi membuat status kedua orang asing itu dari tak saling kenal menjadi teman. Sebuah percakapan singkat, namun hangat.

“ Apa kau menyukai buku misteri? Aku juga menyukainya. Kau mau kurekomendasikan buku lain? “ tawar Youngmin.

Rahyun kembali merespon dengan anggukan kecil. Kemudian gadis bermarga Lee itu mengekori Youngmin yang sudah berjalan duluan menuju bagian lain dari toko buku tersebut.



                                                                              ***



Seorang gadis tengah terlelap di kasurnya, deru nafas gadis itu terdengar beraturan. Ekspresi penuh ketenangan terlukis jelas pada wajah Park Soora. Begitu polos. Layaknya bayi. Suara detik jam mendominasi kesunyian. Namun tak berlangsung lama karena sebuah dering ponsel memecah keheningan tersebut. Sontak Park Soora terusik dari istirahat malamnya, ia menggeliat kecil, kemudian meraih ponsel yang terletak di meja samping tempat tidur. Ia pun beranjak duduk dan menempelkan ponsel itu di telinganya. Lagaknya ogah-ogahan, bahkan tanpa mengecek terlebih dahulu identitas sang penelepon.

“ Yeobseo? “ sapa Soora sembari menguap lebar, melepaskan sisa kantuk.

“ Soora-ya? Ini aku Jiyeon “

Oh, Park Jiyeon? Soora ingat. Ia teman dari orang itu sekaligus temannya sendiri.

“ Aku tahu. Ada apa menelponku pada jam seperti ini? Ini masih jam 3 pagi “ keluh Soora.

Dalam hatinya, ia berharap jika yang akan dibicarakan Jiyeon tergolong hal penting. Alasan apapun itu, sebaiknya itu penting dan memiliki sangkut paut dengan Soora. Ayolah, tidak ada yang mau menelepon dan mengusik jam tidur orang lain untuk alasan sepele.

“ Errr… sebenernya aku sempat bingung harus membicarakan ini denganmu atau tidak. Tapi berhubung kita bertiga dulu adalah teman dekat.. kupikir aku harus melakukannya.. “

Nada suara Jiyeon yang terdengar gugup tertangkap indera pendengaran Soora, membuat kening gadis itu berkerut. Heran.

“ Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan ? “

“ Ini tentang Minwoo. Aku yakin ia tidak mengirimkan itu padamu.. jadi .. “

“ Mengirimkan apa? “ sela Soora.

“ Undangan pernikahan “

Sumpah demi apapun, momen disaat kata ‘pernikahan’ dicerna oleh otak Park Soora, sensasi dingin itu menyerang. Tubuhnya menegang seketika. Kedua manik hitam Soora mendelik. Ia begitu terperanjat. Bagi Park Soora, jauh lebih baik ada yang menikamnya tepat di jantung, membuat nyawanya melayang detik itu juga. Yah, itu jauh lebih baik dibanding merasakan sakit semacam ini.

Kabut itu bening itu mulai terbentuk pada manik hitam Soora, bersamaan dengan sesak yang menerpa dirinya. Sudah pasti menyakitkan jika orang yang pernah mendiami hatimu, berada di sampingmu, dan membisikkan kata ‘I love you’ di telingamu… kini akan melakukan upacara sakral bersama orang lain. Bukan dirimu. Terutama bagi Park Soora, tidak ada yang lebih menyakitkan dari ini.

No Minwoo adalah orang itu.

No Minwoo adalah mantan kekasih Park Soora.

No Minwoo adalah obsesi nya.

Dan di mata Soora, tidak boleh ada orang lain yang berada di samping Minwoo. Tidak ada yang boleh selain dirinya. Hingga kini, ia tidak mampu menerima alasan Minwoo memutuskan hubungan mereka dulu. Pria itu berkata jika Soora terlalu protektif. Tidak. Bukan begitu. Ia hanya terlalu mencintai No Minwoo.

“ Soora-ya ? “

“ ………….”

“ Park Soora? Kau tidak apa-apa? “

Suara sarat kekhawatiran terdengar dari seberang telepon, menyadarkan Soora dari lamunanya.

“ Ne… “

“ Baguslah jika begitu. Jadi… Bagaimana penda – “

“ Bisa aku minta foto undangan itu? Aku ingin datang kesana. “ sela Soora, sebelum Jiyeon sempat menuntaskan kalimatnya.

Permintaan Soora membuat Park Jiyeon mengerutkan kening. Heran. Perkiraan gadis itu meleset jauh. Sewajarnya Soora tidak datang pernikahan tersebut. Bukankah itu akan menyakitkan bagi Soora? Melihat Minwoo duduk di pelaminan bersama orang lain? Jiyeon tidak mengerti dengan jalan pikiran temannya itu.

“ Kau yakin? “ Jiyeon menaikkan sebelah alisnya.

“ Iya. Tolong kirimkan saja “ desak Soora.

“ Baiklah. Tunggu sebentar, akan kukirimkan fotonya padamu “

Klik. Sambungan telepon diputus sepihak. Park Soora menurunkan ponsel dari telinganya. Kedua tangan gadis itu mengepal erat. Seolah menahan emosi yang berkecamuk dalam hati, dirinya dipenuhi emosi bernama amarah.

Kemudian pandangan Soora terarah pada vas bunga bercorak abstrak yang terletak di meja samping tempat tidur. Menit berikutnya, vas bunga yang tadinya utuh kini hanya tinggal pecahan keramik. Bertebaran di lantai kamar Soora. Yah, gadis itu yang melempar vas bunga. Emosinya sudah di luar kendali. Ia tak dapat mengontrolnya lagi.

Park Soora tertawa keras. Jenis tawa yang dapat membuat bulu kudukmu meremang seketika. Tawa itu menggema hingga ke seluruh ruangan di rumah itu.

Tak dihiraukannya rasa sakit yang menjalari lengannya. Rasa sakit yang disebabkan oleh pecahan keramik, menembus kulit luar gadis itu. Membuat darah segar mengalir dari tempat sayatan, mencetak pola merah tak beraturan pada selimut ungu Soora.

Dan detik itu juga. Ia, Park Soora, bersumpah akan membunuh siapapun yang berani merebut Minwoo darinya. Karena sekali lagi, No Minwoo adalah Obsesinya.

Minwoo merupakan jantung hati Park Soora. Ia tidak dapat hidup tanpanya.



                                                                              ***


“ Bersediakah anda menerima saudari Lee Rahyun menjadi istri anda yang sah? Mendampingi dia disaat sehat atau sakit, untung dan malang, hingga maut memisahkan kalian? “

Mempelai pria terdiam sejenak. Tidak langsung merespon ucapan sang pendeta. Kekalutan merayapi diri No Minwoo, di dalam hatinya terdapat secercah ketidaksiapan. Kira-kira seminggu yang lalu, ia dikejutkan oleh perihal perjodohan oleh Appanya. Dan kini, ia sudah berdiri di depan altar. Mengikat sumpah sakral dengan gadis asing bernama Lee Rahyun, yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.

Namun tidak ada lagi yang dapat ia lakukan.

Akhirnya, setelah sepuluh detik penuh. Sumpah itu meluncur dari bibir Minwoo.

“ Ya, saya bersedia. “

Sang pendeta mengalihkan fokusnya pada mempelai wanita.

“Bersediakah anda menerima saudara No Minwoo menjadi suami anda yang sah? Mendampingi dia disaat sehat atau sakit, untung dan malang, hingga maut memisahkan kalian?
           
Berbeda dengan Minwoo yang membutuhkan waktu untuk berpikir sejenak. Lee Rahyun langsung menjawab tanpa keraguan sedikit pun. Tentu saja, ini merupakan amanat terakhir dari ibunya.

“ Ya, saya bersedia. “

Setelah pendeta meresmikan mereka menjadi suami-istri yang sah. Orang itupun menyuruh Minwoo melakukan sesuatu yang sontak membuat rona wajah Rahyun memerah karena malu. Walaupun hal ini sudah jelas ada dalam tata cara upacara pernikahan, namun tetap saja, ini mengejutkan bagi Rahyun.

Yah, Minwoo menempelkan bibir nya pada kening Lee Rahyun. Ia mencium gadis itu.

Kemudian terdengar sorakan riuh dari arah hadirin. Mereka turut berbahagia atas disatukkannya kedua insan tersebut di hadapan Tuhan. Namun sayangnya, tidak semua orang disana berbahagia. Ada sepasang mata yang mengamati mereka sejak awal upacara dilakukan. Mata itu memandang dengan tatapan sedih bercampur amarah membara. Mata itu sarat dengan kebencian, dendam tak tersalurkan.

Mata itu….. menakutkan.





TBC...

2 komentar:

  1. AAHH...daebak
    suka banget genre kya gini ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih udah mau suka dan ngasih komen <3 ^^ btw, ini arisa yang request ff ini bukan, ya? hehehe

      Hapus