Tittle : The Wedding and Psycho
Main Cast : No Minwoo (Boyfriend), Lee Rahyun (OC)
Genre : Angst, Romance, Thriller, Crime, Marriage Life
Author : Stephcecil
Lenght : Trilogi
A/N : Request by Arisa.
Summary : " Pada usianya yang sangat muda, yaitu 18 tahun. Lee rahyun harus menikah dengan No Minwoo karena ikatan keluarga"
***
Suasana di kafe itu tergolong sepi. Tidak banyak
pelanggan di sana. Salah satu meja kafe telah dikuasai dua orang yang tengah
beradu pandang. Saling menatap penuh arti, dilanda dilema yang tersirat dalam
benak masing-masing. Kurang lebih lima menit sudah bibir mereka terkatup rapat,
Hingga akhirnya sebuah suara bariton membelah keheningan tersebut.
“ Ayo kita batalkan saja perjodohan ini. “
Sang lawan bicara semakin mengunci tatapannya pada
pria pemilik wajah imut itu. Gejolak dalam hatinya menolak keras usul Minwoo.
Ia tidak mengerti jalan pikiran namja yang duduk manis di hadapannya ini.
“ Sudah kubilang aku tidak bisa. “
“ Karena itu permintaan eomma-mu? Ayolah. Orang tua
jaman sekarang memang suka seenaknya. Apa begitu susah menolak permintaan eomma-mu? Lee Rahyun, kita hidup di
jaman modern. Apa kau tidak merasa geli dengan ide ini? Perjodohan? Yang benar
saja. “
“ Kubilang aku tidak bisa menolaknya. Aku punya
alasan sendiri. “
“ Kalau begitu aku yang akan memohon pada eomma-mu. “
“ Kau tidak bisa… “
“ Kenapa? “ Minwoo mulai kesal.
“ Dia sudah pergi jauh. Ke sebuah tempat yang tidak
mungkin kau jangkau. “ lirih Rahyun.
No Minwoo terhenyak seketika. Penuturan gadis
bernama Lee Rahyun itu bagaikan pukulan keras baginya. Ia mendesah pelan,
kemudian menyandarkan punggungnya di kursi kafe. Kenapa ia tidak
menyadarinya? Raut wajah gadis yang muram itu seharusnya dapat menyadarkan
Minwoo. Belum lagi kini ia melihat kabut bening yang mulai terbentuk pada kedua
manik mata kecoklatan Rahyun.
No Minwoo membuat seorang gadis menangis.
“ Maafkan aku… aku tidak tahu “ hanya kalimat itu
yang meluncur dari bibir Minwoo. Sebuah permintaan maaf.
“ Setelah Appa pergi, aku hidup seorang diri dengan
eomma-ku. Dan setelah eomma meninggal bulan lalu. Ia mengatakan permintaan
terakhirnya. Yaitu agar perjodohan ini segera dilaksanakan. “
Tanpa diminta, Lee Rahyun menjelaskan kondisi
terakhirnya. Sebuah alasan yang membuat ia mematuhi perjodohan tersebut.
Walaupun hal ini menentang hati nurani Rahyun. Namun apa boleh buat? Ia tidak
memiliki pilihan lain. Ia tidak ingin menjadi anak durhaka. Selama ibunya masih
hidup, ia sering mengecewakannya. Dan sekarang, Rahyun ingin menebus kesalahan
itu.
Yah, walaupun ini sangat berat.
Keluarga Lee Rahyun bergelimang harta, begitupun
dengan Minwoo. Keduanya sama-sama memiliki dua perusahaan terbesar di Korea.
Yang satu di bidang otomotif, yang lain bergerak di industri mode. Maka tak
heran jika kedua orang tua mereka menjodohkan sang anak kesayangan
masing-masing. Demi apa? Tentu saja uang.
Sebelum peristiwa maut berupa kecelakaan yang
merenggut nyawa nyonya Lee, kedua keluarga rupanya telah diam-diam mengatur
perjodohan. Dan Rahyun baru mengetahuinya dari Pengacara keluarga Lee. Tentu
saja informasi itu ia dapat dari wasiat sang ibu. Sedangkan Minwoo, ia baru
mengetahui perihal perjodohan dari Appa nya kemarin. Maka dari itu, sebelum
Keluarga No mengadakan pertemuan secara resmi dengan Rahyun. Minwoo memutuskan
untuk menemui gadis itu terlebih dahulu. Dan tentu saja, mengajak Rahyun
membatalkan perjodohan menjadi salah satu motif nya menemui Rahyun.
Dan hasilnya? Nihil.
Kedua manik mata Minwoo kini mengamati gadis yang
tengah tertunduk lesu. Ia dapat menangkap sorot kesedihan melalui pancaran mata
Rahyun. Sungguh, dirinya prihatin. Minwoo kembali menghela nafas dalam, ia
dirundung kegalauan. Hati nurani dan ego Minwoo saling berseteru, berebut untuk
mendominasi pikirannya.
Akhirnya setelah beberapa detik penuh keheningan.
Ia mengambil keputusan.
“ Baiklah… aku tidak akan menentangnya lagi. “
Seulas senyum pun menghiasi wajah Lee Rahyun.
***
Ruangan itu didominasi dengan warna hitam. Membuat
setiap orang yang masuk ke dalamnya bergidik ngeri. Gelap. Sungguh gelap dengan
hanya beberapa lilin sebagai sumber penerangan. Lilin-lilin tersebut berjejer
rapi di atas meja kayu. Puluhan foto menghiasi dinding yang juga berwarna
hitam. Namun terdapat keganjalan dari foto-foto itu, dimana hanya terfokus pada
satu objek.
Dan sang objek bernama No Minwoo.
***
@ Seoul University Library
“ Dasar gadis malang… “
Suara itu berasal dari gadis yang kini tengah
menggelengkan kepalanya. Ia tidak percaya. Akal sehat dalam kepala Lee Yoora
menolak keras penuturan sahabatnya. Namun apa daya? Kenyataan berkata lain.
Sahabatnya, Lee Rahyun baru saja memberitahu perihal yang cukup sensitif, dan
jelas akan mempengaruhi masa depan gadis itu.
Rahyun hanya terdiam, menyadari sepasang mata yang
menatapnya penuh kemirisan.
“ Tenang saja. Tuhan tahu yang terbaik untuk mu.
Percayalah semua akan baik-baik saja. “ hibur Yoora.
Kemudian Yoora beranjak dari bangkunya –yang
tadinya berseberangan dengan Rahyun- dan beralih posisi duduk di samping gadis
itu. Tangannya menepuk pelan bahu Rahyun, mencoba menyalurkan kekuatan dan
semangat, secuil pun tak apa. Itu sudah cukup bagi Rahyun.
“ Aku tidak apa-apa, tenang saja Yoora – ya . “
ucapnya.
“ Kau tidak bisa membohongiku. Aku sudah mengenalmu
bertahun-tahun. Apa kau kira aku tidak menyadari ekspresi wajahmu itu? Jangan
sok kuat. “
“ Tapi aku sungguh tidak apa-apa. Jangan khawatir.
“
“ Berhenti menipuku. “
Rahyun meringis. Sekeras apapun ia berusaha, ia
tetap tidak bisa menipu seorang Lee Yoora. Rahyun memilih diam, kembali larut
dalam buku bacaannya, walau tentu saja pikirannya terfokus pada hal lain.
Tingkah Rahyun membuat sang sahabat mendecakkan lidah karena kesal.
“ Gadis bodoh.. “
Dan detik berikutnya buliran kristal bening
meluncur membasahi pipi putih Lee Rahyun. Tanpa dikomando, Yoora pun mendekap
tubuh Rahyun dalam pelukannya. Sebuah pelukan penuh kehangatan dari seorang
sahabat.
***
No Family’s House, 18.00 PM
Sesosok pria paruh baya mendaratkan tatapannya pada
dua orang yang dilanda kegusaran. Lee Rahyun dan No Minwoo. Kedua orang
tersebut tidak dapat diam di tempat duduk mereka. Ada saja yang mereka lakukan.
Contohnya saja Minwoo, ia menggigit bibir bawahnya tanpa alasan. Sedangkan
gerak-gerik sang pria paruh baya sungguh berbanding terbalik. Pembawaannya
begitu tenang. Dan pria itu merupakan Ayah Minwoo.
“ Kalian tidak perlu mempersiapkan apa-apa. “
Tuan Lee bersuara, sembari mengulurkan tangannya
demi mengambil segelas teh tawar yang tersaji di hadapannya. Kemudian ia
menyesap minuman hangat tersebut perlahan, memberi sensasi menggelitik pada kerongkongannya.
“ Apa maksud ayah? “ Minwoo menelengkan kepalanya
ke samping. Pertanda ia sedang bingung dengan situasi yang dihadapinya
sekarang. Sementara Sora hanya mengerutkan keningnya.
“ Maksudku, sebenarnya perjodohan ini sudah
disiapkan jauh-jauh hari. Sewa gedung, tanggal pernikahan, bahkan cincin. Kami
juga sudah menyiapkan undangan untuk orang-orang terdekat kalian. Semuanya
sudah disiapkan. Yang harus kalian lakukan hanyalah menyusun daftar tamu dan
tentu saja… “ Tuan No beralih melirik Minwoo dan calon menantunya itu sejenak,
disusul senyuman tipis.
“ …. Mempersiapkan diri kalian “ lanjutnya.
Minwoo meneguk ludahnya sendiri. Tuan No yang
merupakan ayahnya sendiri itu memang terlihat ramah dari luar. Namun
kepribadiannya sedikit menakutkan –jika kau mengenalnya lebih dekat- .
“ Ahjus- “
“ Panggil aku abeoji. “ ralat Tuan No saat Rahyun
akan menanyakan sesuatu.
“ Ah, ne, abeoji.. “ Rahyun menurut.
“ Ada apa, calon menantuku? “
Jujur, panggilan asing itu membuat Rahyun sedikit
bergidik. Dan terang saja, hingga kini, ia belum siap untuk menjadi menantu
dari keluarga lain. Apalagi jika sang kepala keluarga memiliki senyum yang
terlampau lebar, hingga membuatnya terlihat ‘mengerikan’ di mata Rahyun.
Pada usianya yang sangat muda, yaitu 18 tahun. Lee
rahyun harus menikah dengan No Minwoo karena ikatan keluarga. Sebuah fakta
menggelikan, batin Rahyun.
“ Jika aku tidak salah dengar tadi. Keluarga kita
sudah menetapkan tanggal pernikahan. Jadi, bukankah sudah sewajarnya jika
Abeoji mengatakan pada kami kapan resepsi dilaksanakan? “
Pertanyaan Rahyun sukses menarik fokus Minwoo, yang
sedari tadi sibuk bergulat dengan kopinya. Ia mendongak dan kemudian mengamati
calon istri serta abeojinya itu.
“ Hahaha. Maafkan aku. Aku semakin tua dan pikun.
Jadi lupa memberitahu kalian “ jawab Tuan No disertai tawa. Walau sungguh,
sebenarnya tidak ada yang patut ditertawakan. Tiada hal yang lucu. Yah,
setidaknya begitu menurut Minwoo dan Rahyun.
“ Jadi… kapan akan dilaksanakan? “ sela Minwoo tak
sabar.
“ Tanggal tujuh. Hari Sabtu minggu depan “
Uhuk.
Lee Rahyun nyaris tersedak teh hangat yang baru
setengah jalan menyusuri kerongkongannya. Matanya mendelik terkejut. Ia
buru-buru meletakkan cangkir tehnya di atas meja makan dan beralih menatap
pemuda itu. Raut wajah Minwoo tak jauh berbeda dari Rahyun. Keduanya sama-sama
mengalami Syok.
Tubuh Rahyun seolah disiram seember air es. Yang
benar saja, Secepat ini?!
“ Abeoji. Ini tidak bisa dilakukan. Ini terlalu
cepat, kami bahkan belum saling mengenal satu sama lain. “ protes Minwoo.
“ Minwoo benar. Ini terlalu cepat… “ Rahyun tak mau
kalah, ia ikut menimpali Minwoo.
Sedangkan Tuan No hanya kembali menyunggingkan
seulas senyum. Dan sedetik kemudian, pria tua itu tertawa lepas. Sungguh,
munggkin hanya dia yang tahu apa yang begitu menggelikan disana. Situasi
tersebut tidak mengandung faktor sekecil apapun yang dapat menimbulkan tawa
orang lain.
“ Hahahaha “
Rahyun bergidik. Apa yang salah dengannya?
“ Terlalu cepat menurut kalian? Kita bisa saja
menunda pernikahan hingga tiga atau bahkan empat bulan kedepan. Dan itu tidak
akan berpengaruh apapun. Pada akhirnya, perjodohan tetap dilaksanakan.”
Lee Rahyun meringis. Otaknya sibuk mencerna
perkataan Tuan lee, yang baru disadarinya merupakan sebuah fakta. Apa gunanya
menunda hal ini? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Ini adalah sebuah situasi
dimana semua cerita memiliki akhir yang sama. Mereka akan menikah. Ini
keputusan mutlak.
“ Ya, kurasa juga begitu. Baiklah, jalankan saja
sesuai rencana awal. “ putus Rahyun.
Sang aboeji hanya mengangguk kecil. Ia senang
karena Rahyun setuju dengan keputusan awal kedua keluarga. Sama sekali tidak
ada hal merepotkan bernama penundaan. Di lain pihak, Minwoo mendelik terkejut,
kemudian dia menoleh serta menatap Rahyun dengan pandangan aneh. Tidak mengerti
jalan pemikiran gadis ini.
Yah, dia sendiri memang telah menyetujui perjodohan
mereka. Tapi tidak bisakah Rahyun berpikir kalau ini terlalu cepat?
“ Lee Rahyun! Apa kau gila? “
Bentakan Minwoo hanya direspon dalam diam oleh
Rahyun. Gadis itu menundukkan kepalanya, dengan kedua tangan sibuk meremas
ujung rok yang dipakainya. Tanpa sadar, Minwoo mengepalkan kedua telapak tangan
begitu erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Ia terbawa emosi. Namun tidak
mampu melakukan apapun.
“ Ini gila… “ desis Minwoo.
***
Ruangan berukuran 5x4 meter itu diliputi kesunyian.
Begitu hening. Hanya ada suara detak jarum jam, diiringi deru nafas seseorang.
Orang itu bernama No Minwoo. Ia tampak sibuk dengn lembaran-lembaran kertas
yang berhamburan di mejanya. Selang beberapa menit, namja itu menyerah. Dengan
kasar dia meremas salah satu kertas yang baru beberapa detik lalu tekun
digelutinya. Ia tidak sedang dalam mood yang baik hari ini.
Minwoo menunduk, menopangkan kepala pada kedua
tangannya, yang juga digunakan pemuda tersebut untuk memijit pelan pelipisnya.
Kepalanya pening. Seolah tidak cukup dipusingkan oleh masalah pekerjaan, kini
ada ‘masalah’ baru di hadapannya. Dan yang satu ini, menyangkut masa depan
Minwoo.
Ia mengerang, kepalanya kembali pening ketika kata
‘pernikahan’ kembali tersirat dalam benak Minwoo. Sungguh, sang Abeoji
benar-benar menyusahkannya. Dan lagi gadis aneh itu, Lee Rahyun, Apakah dia
gila? Dengan tenangnya setuju pernikahan dilaksanakan minggu depan. Bahkan
tanpa acara pertunangan terlebih dahulu. Ouh, Yang benar saja!
Krieekk.. –suara pintu dibuka-
No Minwoo sontak mendongak, menatap sepasang manik
mata milik orang yang baru saja menerobos paksa memasuki ruang kerjanya.
Sedangkan yang ditatap hanya merespon dengan cengiran lebar. Tanpa dikomando
pula, orang itu mendaratkan pantatnya di kursi. Hingga kini kedua orang
tersebut duduk berseberangan dengan meja kerja Minwoo sebagai pemisah.
“ Ya! Kudengar kau akan menikah. Aku nyaris mati
terkejut saat menerima undangan pernikahanmu! “ ujar Jo Youngmin.
Bocah kaya yang berbicara dengannya ini adalah Jo
Youngmin. Ia memang setahun lebih dari tua dari Minwoo, namun tingkahnya
sungguh tidak dewasa. Selain menghambur-hamburkan uang kedua orang tuanya, ia
seolah tidak memiliki pekerjaan lain. Ya, sebenarnya wajar saja. Keluarga Jo
merupakan salah satu chaebol di Korea. Sama seperti keluarga Minwoo.
" Bisakah kita jangan membicarakan hal ini?
Aku sedang tidak dalam mood yang baik, hyung " ujar Minwoo kesal.
" Kenapa? Apa gadis itu jelek? Tidak sesuai
tipemu, eoh? "
" Bukan begitu. Dia cantik.. hanya saja..
"
" Apa? Dia galak? Menyebalkan. Oh ayolah
Minwoo-ya. Tidak ada gadis yang sempurna. Selama dia cantik.. seharusnya bukan
masalah.." youngmin terkekeh.
Oh ya, jangan lupakan fakta bahwa namja ini merupakan
playboy kelas kakap. Sebut saja gadis cantik mana yang belum dikencaninya.
" Entahlah, aku baru bertemu dengannya dua
kali.. "
" Lalu kenapa kau tidak menyukainya? "
Minwoo hanya diam. Sibuk bergelung dengan
kertas-kertas laporan di meja, yang tampak jauh lebih menarik dibanding
menanggapi ocehan Youngmin.
Namun bukan Jo Youngmin namanya jika menyerah
begitu saja.
" Ya! Minwoo-ah, kau belum menjawabku. "
cecar Youngmin.
No Minwoo mendongakkan kepala, meninggalkan sejenak
laporan-laporan di atas meja, dan menghela nafas berat sebelum merespon
pertanyaan Youngmin, dengan jawaban berupa kalimat panjang.
" Manusia normal macam apa yang suka
dijodohkan dengan gadis asing, karena ikatan keluarga? Ayolah hyung, aku tidak
peduli apa gadis itu cantik atau jelek dan aku juga tidak peduli tentang
kepribadiannya. Aku lebih peduli dengan masa depanku, yang harus hidup bersama
seorang gadis asing yang bahkan baru kutemui dua kali! " sentak Minwoo.
Namja berambut kepirangan yang menjadi lawan bicara
hanya mengangguk pelan. Emosi Minwoo nyaris mencapai puncaknya. Ia memutuskan
untuk bungkam. Tidak ingin membuat sahabatnya itu meledak.
" Jadi hyung.. apa tujuanmu kemari? "
lirih Minwoo
Seulas senyum tersungging pada wajah Youngmin.
Sudah waktunya ia menceritakan kisah perjalanan keliling dunia yang dijalaninya
sejak 3 bulan lalu, sebelum akhirnya kembali menginjakkan kaki di Korea, demi
menghadiri pernikahan Minwoo.
***
@Book Store
Seorang gadis tengah berusaha meraih sebuah buku
dengan tangannya, namun sayang buku yang ia cari terletak di bagian paling atas
rak. Terlalu tinggi bagi tubuhnya yang mungil. Lee Rahyun berusaha sekuat
tenaga, ia bahkan berjinjit demi menambah tinggi tubuhnya, walau jelas tak
berpengaruh banyak.
Tiba-tiba sebuah tangan lain muncul dan meraih buku
itu dengan begitu mudah. Rahyun menurunkan tumitnya, menoleh ke arah sang
pemilik tangan yang tengah tersenyum padanya kini.
“ kau mencari ini, bukan? “
Orang asing berambut pirang itu memberikan buku
berjudul “Da Vinci Code” pada Rahyun. Sedangkan Lee Rahyun mengambil buku
tersebut dengan ekspresi malu-malu yang terlukis jelas pada wajahnya.
“ N-Ne… terimakasih “ Rahyun membungkukkan
badannya.
“ Tidak perlu berterimakasih. Aku hanya kebetulan
lewat dan melihatmu kesulitan dengan rak yang tinggi. Sudah sewajarnya jika aku
membantu, bukan? “
“ Tapi tetap saja aku harus berterimakasih “ ujar
Raehyun.
“ Kalau begitu.. sama-sama “
“ Eh ? “ Raehyun menaikkan alisnya.
“ Kalau kau berterimakasih. Aku harus mengucapkan
‘sama-sama’ sebagai balasannya, iya kan? “
Lee Rahyun hanya mengangguk kecil. Sedangkan seulas
senyum lebar telah menghiasi wajah Youngmin. Pertemuan yang kebetulan tadi
membuat status kedua orang asing itu dari tak saling kenal menjadi teman.
Sebuah percakapan singkat, namun hangat.
“ Apa kau menyukai buku misteri? Aku juga
menyukainya. Kau mau kurekomendasikan buku lain? “ tawar Youngmin.
Rahyun kembali merespon dengan anggukan kecil.
Kemudian gadis bermarga Lee itu mengekori Youngmin yang sudah berjalan duluan
menuju bagian lain dari toko buku tersebut.
***
Seorang gadis tengah terlelap di kasurnya, deru
nafas gadis itu terdengar beraturan. Ekspresi penuh ketenangan terlukis jelas
pada wajah Park Soora. Begitu polos. Layaknya bayi. Suara detik jam mendominasi
kesunyian. Namun tak berlangsung lama karena sebuah dering ponsel memecah
keheningan tersebut. Sontak Park Soora terusik dari istirahat malamnya, ia
menggeliat kecil, kemudian meraih ponsel yang terletak di meja samping tempat
tidur. Ia pun beranjak duduk dan menempelkan ponsel itu di telinganya. Lagaknya
ogah-ogahan, bahkan tanpa mengecek terlebih dahulu identitas sang penelepon.
“ Yeobseo? “ sapa Soora sembari menguap lebar,
melepaskan sisa kantuk.
“ Soora-ya? Ini aku Jiyeon “
Oh, Park Jiyeon? Soora ingat. Ia teman dari orang itu sekaligus temannya sendiri.
“ Aku tahu. Ada apa menelponku pada jam seperti
ini? Ini masih jam 3 pagi “ keluh Soora.
Dalam hatinya, ia berharap jika yang akan dibicarakan
Jiyeon tergolong hal penting. Alasan apapun itu, sebaiknya itu penting dan
memiliki sangkut paut dengan Soora. Ayolah, tidak ada yang mau menelepon dan
mengusik jam tidur orang lain untuk alasan sepele.
“ Errr… sebenernya aku sempat bingung harus
membicarakan ini denganmu atau tidak. Tapi berhubung kita bertiga dulu adalah
teman dekat.. kupikir aku harus melakukannya.. “
Nada suara Jiyeon yang terdengar gugup tertangkap
indera pendengaran Soora, membuat kening gadis itu berkerut. Heran.
“ Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan ? “
“ Ini tentang Minwoo. Aku yakin ia tidak
mengirimkan itu padamu.. jadi .. “
“ Mengirimkan apa? “ sela Soora.
“ Undangan pernikahan “
Sumpah demi apapun, momen disaat kata ‘pernikahan’
dicerna oleh otak Park Soora, sensasi dingin itu menyerang. Tubuhnya menegang
seketika. Kedua manik hitam Soora mendelik. Ia begitu terperanjat. Bagi Park
Soora, jauh lebih baik ada yang menikamnya tepat di jantung, membuat nyawanya
melayang detik itu juga. Yah, itu jauh lebih baik dibanding merasakan sakit
semacam ini.
Kabut itu bening itu mulai terbentuk pada manik
hitam Soora, bersamaan dengan sesak yang menerpa dirinya. Sudah pasti
menyakitkan jika orang yang pernah mendiami hatimu, berada di sampingmu, dan
membisikkan kata ‘I love you’ di telingamu… kini akan melakukan upacara sakral
bersama orang lain. Bukan dirimu. Terutama bagi Park Soora, tidak ada yang
lebih menyakitkan dari ini.
No Minwoo adalah orang itu.
No Minwoo adalah mantan kekasih Park Soora.
No Minwoo adalah obsesi nya.
Dan di mata Soora, tidak boleh ada orang lain yang
berada di samping Minwoo. Tidak ada yang boleh selain dirinya. Hingga kini, ia
tidak mampu menerima alasan Minwoo memutuskan hubungan mereka dulu. Pria itu
berkata jika Soora terlalu protektif. Tidak. Bukan begitu. Ia hanya terlalu mencintai
No Minwoo.
“ Soora-ya ? “
“ ………….”
“ Park Soora? Kau tidak apa-apa? “
Suara sarat kekhawatiran terdengar dari seberang
telepon, menyadarkan Soora dari lamunanya.
“ Ne… “
“ Baguslah jika begitu. Jadi… Bagaimana penda – “
“ Bisa aku minta foto undangan itu? Aku ingin
datang kesana. “ sela Soora, sebelum Jiyeon sempat menuntaskan kalimatnya.
Permintaan Soora membuat Park Jiyeon mengerutkan
kening. Heran. Perkiraan gadis itu meleset jauh. Sewajarnya Soora tidak datang
pernikahan tersebut. Bukankah itu akan menyakitkan bagi Soora? Melihat Minwoo
duduk di pelaminan bersama orang lain? Jiyeon tidak mengerti dengan jalan
pikiran temannya itu.
“ Kau yakin? “ Jiyeon menaikkan sebelah alisnya.
“ Iya. Tolong kirimkan saja “ desak Soora.
“ Baiklah. Tunggu sebentar, akan kukirimkan fotonya
padamu “
Klik. Sambungan telepon diputus sepihak. Park Soora
menurunkan ponsel dari telinganya. Kedua tangan gadis itu mengepal erat. Seolah
menahan emosi yang berkecamuk dalam hati, dirinya dipenuhi emosi bernama
amarah.
Kemudian pandangan Soora terarah pada vas bunga
bercorak abstrak yang terletak di meja samping tempat tidur. Menit berikutnya,
vas bunga yang tadinya utuh kini hanya tinggal pecahan keramik. Bertebaran di
lantai kamar Soora. Yah, gadis itu yang melempar vas bunga. Emosinya sudah di
luar kendali. Ia tak dapat mengontrolnya lagi.
Park Soora tertawa keras. Jenis tawa yang dapat
membuat bulu kudukmu meremang seketika. Tawa itu menggema hingga ke seluruh
ruangan di rumah itu.
Tak dihiraukannya rasa sakit yang menjalari
lengannya. Rasa sakit yang disebabkan oleh pecahan keramik, menembus kulit luar
gadis itu. Membuat darah segar mengalir dari tempat sayatan, mencetak pola
merah tak beraturan pada selimut ungu Soora.
Dan detik itu juga. Ia, Park Soora, bersumpah akan
membunuh siapapun yang berani merebut Minwoo darinya. Karena sekali
lagi, No Minwoo adalah Obsesinya.
Minwoo merupakan jantung hati Park Soora. Ia tidak
dapat hidup tanpanya.
***
“ Bersediakah anda menerima saudari Lee Rahyun
menjadi istri anda yang sah? Mendampingi dia disaat sehat atau sakit, untung
dan malang, hingga maut memisahkan kalian? “
Mempelai pria terdiam sejenak. Tidak langsung
merespon ucapan sang pendeta. Kekalutan merayapi diri No Minwoo, di dalam
hatinya terdapat secercah ketidaksiapan. Kira-kira seminggu yang lalu, ia
dikejutkan oleh perihal perjodohan oleh Appanya. Dan kini, ia sudah berdiri di
depan altar. Mengikat sumpah sakral dengan gadis asing bernama Lee Rahyun, yang
sebentar lagi akan menjadi istrinya.
Namun tidak ada lagi yang dapat ia lakukan.
Akhirnya, setelah sepuluh detik penuh. Sumpah itu
meluncur dari bibir Minwoo.
“ Ya, saya bersedia. “
Sang pendeta mengalihkan fokusnya pada mempelai wanita.
“Bersediakah anda menerima saudara No Minwoo
menjadi suami anda yang sah? Mendampingi dia disaat sehat atau sakit, untung
dan malang, hingga maut memisahkan kalian?
Berbeda dengan Minwoo yang membutuhkan waktu untuk
berpikir sejenak. Lee Rahyun langsung menjawab tanpa keraguan sedikit pun.
Tentu saja, ini merupakan amanat terakhir dari ibunya.
“ Ya, saya bersedia. “
Setelah pendeta meresmikan mereka menjadi
suami-istri yang sah. Orang itupun menyuruh Minwoo melakukan sesuatu yang
sontak membuat rona wajah Rahyun memerah karena malu. Walaupun hal ini sudah
jelas ada dalam tata cara upacara pernikahan, namun tetap saja, ini mengejutkan
bagi Rahyun.
Yah, Minwoo menempelkan bibir nya pada kening Lee
Rahyun. Ia mencium gadis itu.
Kemudian terdengar sorakan riuh dari arah hadirin.
Mereka turut berbahagia atas disatukkannya kedua insan tersebut di hadapan
Tuhan. Namun sayangnya, tidak semua orang disana berbahagia. Ada sepasang mata
yang mengamati mereka sejak awal upacara dilakukan. Mata itu memandang dengan
tatapan sedih bercampur amarah membara. Mata itu sarat dengan kebencian, dendam
tak tersalurkan.
Mata itu….. menakutkan.
TBC...
AAHH...daebak
BalasHapussuka banget genre kya gini ^_^
makasih udah mau suka dan ngasih komen <3 ^^ btw, ini arisa yang request ff ini bukan, ya? hehehe
Hapus