Tittle : The Wedding and Psycho [3/3] - END
Main Cast : No Minwoo (Boyfriend) & Lee / No Rahyun (OC)
Author : Stephcecil
Lenght : Trilogi
Genre : Angst, Romance, Marriage life, Thriller, Crime
A/N : Request by Arisa. Yeah, akhirnya selesai juga fanfic satu ini! Maaf jika endingnya kurang memuaskan, karena saya takut kepanjangan --V. Happy reading, don't forget to RCL!
Previous Part : Chapter 1 || Chapter 2
Summary : "Ia merasa sebagai orang terbodoh di dunia. Ia terlambat menyadari salah satu hal terpenting dalam hidup manusia, cinta."
***
Setelah perjalanan yang cukup singkat dengan
pesawat, pasangan baru itupun tiba di pulau Jeju. Kini, mereka menggunakan
mobil sewaan untuk sampai di villa. Mobil sport merah yang disewa Minwoo
beratap terbuka, membuat angin sore berhembus kencang, bebas menerpa wajah
sekaligus tubuh mereka. Memberi sensasi dingin menyegarkan.
Lee Rahyun memberanikan diri beranjak dari posisi
duduk manisnya. Ia berdiri di mobil dan membuka lebar kedua tangannya ke
samping. Membiarkan tubuhnya kebas oleh hawa dingin, dan angin bermain-main
dengan rambutnya. Ia tidak peduli jika rambut ataupun penampilannya menjadi
acak-acakan. Yang terpenting bagi Rahyun adalah ‘kebebasan’. Dan kini, ia
merasa dirinya terasuki oleh perasaan tersebut.
Di sisi lain, Minwoo yang sedang mengemudi
tersenyum lebar. Entah mengapa, tindakan gadis itu terlihat menyenangkan.
Melihat Rahyun bahagia, ia turut bahagia. Bagi Minwoo, ada sesuatu yang membuat
ia ‘berbeda’. Entah itu senyum atau tingkah Rahyun yang selalu bebas dari
kepura-puraan. Tidak ada topeng disana. Ia dapat melihat, jika jauh di dalam
sorot kesepian manik hitam itu, terselubung suatu ketulusan mutlak.
***
Kurang lebih membutuhkan 20 menit perjalanan dari
bandara ke Villa. Tempat tujuan mereka terletak di atas bukit, dikelilingi
lembah curam, dan jika kau berjalan turun melalui jalan setapak memutar, di
sana akan ada pantai dengan pasirnya yang putih. Masih bersih dan jarang
terjamah. Tentu saja, karena tidak banyak orang yang mengetahui lokasi indah
itu. Termasuk para wisatawan asing yang berkunjung ke Korea.
Villa keluarga No tergolong besar, dengan gaya ala
jaman Victoria. Tampak jelas merupakan bangunan tua. Namun tentunya
telah direnovasi pada beberapa bagian, yang telah rusak terkikis usia.
Begitu tiba di villa, seorang wanita paruh baya
menyambut kedatangan mereka. Ia menggunakan seragam pelayan, dengan seulas
senyum lebar menghiasi wajah. Tanpa ada yang memberitahu pun, Rahyun yakin jika
dia adalah pengurus villa. Mereka hanya mengangguk sopan kemudian berlalu pergi
menuju lantai atas. Ada 3 kamar di lantai itu. 2 yang bersebelahan, dan 1 kamar
terletak di ujung. Rahyun yang kerap kali merasa asing bermalam di tempat baru,
memilih kamar tepat di samping Minwoo. Setidaknya keberadaan laki-laki itu
membuat ia merasa lebih ‘aman’.
Rahyun bergegas memasuki kamar dan membongkar
muatan kopernya, mengeluarkan pakaian dan meletakkannya di dalam lemari.
Setelah beres, ia pun merebahkan diri di kasur. Sungguh, perjalanan yang
ditempuh mereka tadi –walau cukup singkat- menguras tenaga Rahyun, yang pada
dasarnya tidak terbiasa merasakan letih.
Gadis itu baru saja hendak memejamkan mata barang
sejenak, ketika mendengar suara ketukan di pintu. Rahyun mendesah pelan.
Mengapa ada saja yang ingin merusak waktu istirahatnya? Akhirnya ia pun
beranjak berdiri dan membukakan pintu, untuk sang pengetuk yang ternyata
bernama No Minwoo.
“ Ada apa? “ tanya Rahyun, dengan kekesalan terasa
kental melalui nada bicaranya. Sedangkan Minwoo hanya terkekeh, membalas
pertanyaan Rahyun dengan raut polos tanpa dosa.
“ Maaf. Apakah aku menganggumu? “
Rahyun memutar bola mata sembari menekuk wajahnya.
Kemudian mengangguk mantap, yang dapat diartikan sebagai ‘Ya’. Sang lawan
bicara hanya mengedikkan bahu dengan santainya. Seolah rasa bersalah tidak ada
dalam kamus Minwoo.
“ Baiklah.. sebenarnya aku hanya ingin mengajakmu
ke pantai. “ jelas pria itu.
“ Pantai? Sekarang? “
“ Iya… terserah jika kau tidak mau ikut “
Bukannya langsung merespon tawaran tersebut, Rahyun
hanya terdiam di tempat. Membuat Minwoo salah mengartikan sikap Rahyun sebagai
penolakan, kemudian ia memutar tubuh dan berjalan menjauh. Namun baru beberapa
langkah, Minwoo terhenti. Seulas senyum tipis tersungging begitu saja, entah
mengapa perasaan bahagia merayapi batin, begitu Saera menyetujui ajakannya.
“ Baiklah. Aku ikut! “
***
Suara deburan ombak mendominasi, langit tampak
begitu biru, angin bertiup lembut disana. Tidak terlalu kencang, namun memberi
sensasi dingin menyejukkan. Dua anak manusia tengah beradu tawa dengan sudut
bibir melengkung ke atas, seolah senyum lebar itu enggan beranjak dari wajah
mereka. Keduanya lebih tampak layaknya anak kecil yang sibuk bermain,
dibandingkan orang dewasa dengan beban pada pundak masing-masing.
Rahyun berlari kecil di tepi pantai, membuat jejak
berupa cetakan telapak kaki di pasir putih yang baru ia lalui. Gadis itu sedang
berlari menghindari sesosok pemuda, dengan ekspresi bahagia jelas terpancar.
Sedangkan No Minwoo berhenti sejenak, kemudian ia membungkuk, dan menciduk
sedikit air dengan tangannya. Ia pun kembali mengejar Rahyun, dan membuang air
laut tersebut sebagai sebuah percikan yang membasahi punggung Rahyun.
Rahyun menoleh kesal. Ia menekuk wajah cantiknya. Tangan
Rahyun terulur, mendaratkan jitakan yang cukup keras di dahi Minwoo, membuat
pemuda itu meringis sakit.
“ Rasakan! “ cibir Rahyun seraya menjulurkan lidah,
mengejek Minwoo. Pemuda itupun tak terima, matanya membulat sempurna. Ia pun
melangkahkan kaki, mengejar sosok Rahyun yang kini kembali berlari menjauh.
Mungkin kabur demi menghindari ‘pembalasan’ Minwoo.
“ Yah! Berhenti kau! “ pekik Minwoo yang jelas tak
digubris oleh Rahyun, dia hanya terus berlari. Suara tawa Rahyun tertangkap
oleh indra pendengaran Minwoo. Cukup kencang hingga terdengar menyebalkan
baginya.
“ Kejar aku jika kau bisa! “ seru Rahyun yang terus
berlari. Sesekali ia menoleh ke belakang, demi mengecek jarak antara sang
pengejar dan dirinya. Hingga beberapa detik kemudian, ia merasakan sebuah
tangan mencengkeram erat perutnya. Memberi sensasi hangat nan menggelitik pada
diri Rahyun. Ia menoleh. Ekspresi terkejut jelas terlukis pada wajahnya.
Minwoo memeluknya dari belakang.
Dan itu sukses membuat semburat merah muda muncul
pada kedua pipi Rahyun. Ia terperanjat. Sungguh, seolah kini ada kupu-kupu
bersemayam dalam perutnya. Dan atas dasar apakah pria ini melakukan hal
tersebut? Jelas-jelas pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar perjanjian
hitam di atas putih.
“ Aku menangkapmu.. “ desis Minwoo tepat di telinga
Rahyun. Sensasi geli menerpa tengkuk gadis itu, ia bergidik.
Beberapa detik kemudian diisi dengan keheningan
mutlak. Hanya ada mereka berdua disana, menikmati panorama indah yang
terpampang di depan mata, suara deburan ombak, dan degup jantung masing-masing.
Entah mengapa keduanya seolah enggan beranjak dari posisi tersebut. Seharusnya
semua terasa canggung. Seharusnya ini tidak wajar. Namun entah mengapa. Jauh di
dalam hati Minwo, segalanya terasa benar. Memeluk gadis ini terasa benar.
Mendekapnya terasa wajar.
Ini aneh.
Begitupun dengan Rahyun. Batinnya berada dalam
pertempuran sengit. Terdapat sebongkah keinginan untuk membebebaskan diri, atau
bahkan menampar pria yang telah berlaku ‘tidak sopan’ pada dirinya. Namun akal
sehatnya menguap entah kemana. Faktanya, kini ia begitu menikmati gejolak hati
yang sungguh menggila. Ia merasa hangat. Nyaman. Dan tak ingin momen ini
berlalu cepat.
***
Sang mentari tertarik ke ufuk barat, kembali ke
tempat peraduannya. Seiring dengan munculnya semburat jingga penghias langit.
Gulungan ombak saling beradu membentuk ritme, ketika suhu udara semakin
menurun. Senja pun tiba menyambut malam.
No Rahyun duduk di atas pasir putih pantai, kedua
manik hitamnya memandang lekat fenomena alam yang kini terjadi di hadapannya.
Hanya ada satu kata untuk melukiskan perasaan gadis itu. Indah. Sementara di
samping Rahyun, Minwoo merasakan hal yang sama pula. Keduanya memang hidup
dalam hiruk pikuk kota yang diliputi kesibukan, sungguh menutup relasi mereka
dengan alam. Jadi tak heran jika menyaksikan fenomena seperti ini tergolong
langka dalam kamus hidup Rahyun dan
Minwoo.
“ Indah sekali… “ gumam Rahyun, membuat Minwoo
menoleh menatapnya sembari tersenyum tipis. Namun gadis itu tidak menyadarinya,
ia tetap sibuk mengagumi pemandangan mentari yang perlahan menghilang di ufuk
barat.
Beberapa detik kemudian diliputi dengan keheningan,
tidak ada suara terucap. Hingga pada akhirnya, Rahyun menoleh ke arah samping
–hendak membicarakan sesuatu dengan Minwoo- ketika menyadari jika Minwoo
memperhatikannya dengan begitu intens. Membuat bibir Rahyun yang tadinya telah
sedikit terbuka kembali terkatup rapat. Ia sontak memundurkan kepala pula,
karena posisi wajah mereka yang terlalu dekat.
Semburat merah muda kembali muncul menghiasi kedua
pipi Rahyun. Gadis itu tersipu malu. Ia pun bergegas mengalihkan pandang ke
depan. Risih dan canggung, begitulah atmosfir yang terasa kental di sana.
“ Ada apa denganmu, huh? “ Minwoo terkikik kecil.
“ Tidak ada. “ dusta Rahyun dengan nada ketus.
“ Benarkah? “ Minwoo menaikkan salah satu alisnya,
seraya menyenggol sedikit bahu Rahyun dengan bahunya sendiri. Rahyun pun
mendelik kesal, yang jelas diabaikan oleh sang pelaku.
“ Benar! “
“ Cih, dasar pembohong “ sebuah cengiran lebar
ditunjukkan Minwoo, memamerkan deretan gigi putihnya. Namun kemudian, tawa
sekaligus cengiran itu menghilang, tergantikan oleh ringis kesakitan seseorang.
Tepat saja, sebuah jitakan keras mendarat mulus pada dahi Minwoo, untuk kedua
kalinya.
“ Yah! Kenapa kau suka sekali menjitakku?! “
protesnya.
“ Memang tidak boleh? “
“ Tentu saja tidak! “
“ Kenapa tidak? “
“ jeez.. kau ini! “ Sebelum Minwoo kembali
melancarkan aksi protes, gadis itu bergegas bangkit dari posisi duduknya dan
berlari menjauh, sadar jika Minwoo tidak akan tinggal diam. Dan benar
dugaannya, Minwoo mengejar Rahyun, namun jarak di antara mereka terlampau jauh.
Membuat ia terkekeh kecil, begitu menoleh dan melihat ekspresi Minwoo yang
kewalahan.
“ Yah! Berhenti kau! “
“ Tidak mau. Kau makhluk baboo! “
***
Perasaan Rahyun sungguh dibuat melayang hari itu.
Dengan langkah ringan sarat kebahagiaan, dia berjalan memasuki kamarnya.
Setelah mengunci rapat pintu dari dalam dan mengganti pakaiannnya dengan
pakaian yang nyaman untuk tidur, ia pun setengah melemparkan diri di atas
tempat tidur. Ia benar-benar lelah, namun perasaan bahagia lebih mendominasi
diri.
Hari ini begitu menyenangkan bagi Rahyun. Entah
mengapa ia seolah dapat melihat sisi baru Minwoo. Pria yang biasanya bertingkah
bagai pangeran es itu menunjukkan perubahan drastis. Ia tidak lagi bertingkah
dingin dan masa bodoh. Malahan, Minwoo begitu peduli dan hangat. Ia juga banyak
tersenyum hari ini. Hal yang Rahyun kira sangat sulit untuk dilakukan Minwoo,
sebelumnya.
Tunggu, mengapa ia jadi memikirkan pria itu? Ayolah
No Rahyun, kau tidak mungkin menyukainya! Pasti karena terlalu lelah, jadi ada
sesuatu yang tidak beres dengan otakmu. Ya, sebaiknya dia bergegas tidur
sekarang.
Namun baru sekitar 2 menit Rahyun memejamkan mata,
sebuah suara membelah keheningan kamar Rahyun. Dan tentunya, menganggu Rahyun
yang nyaris terlelap. Ia beranjak dari posisi berbaringnya demi meraih benda
mungil yang bergetar kecil itu. Begitu Rahyun menekan tombol jawab dan
menempelkan ponsel ke telinganya, sebuah suara lembut menyapa.
“ Yeobseo, Rahyun-ssi? “
“ Ne? “
“ Bagaimana kabarmu? “ tanya suara itu, membuat
kerutan seketika terlukis di dahi Rahyun. Yeoja tersebut buru-buru mengecek
nama penelepon yang terpampang di layar ponsel –tadi dia tidak mengeceknya
dulu- .
Oh, Park Soora. Kenapa dia menelepon? Memang benar
jika mereka saling ‘mengenal’. Tapi ini tergolong ‘berlebihan’ dalam kamus
Rahyun. Mereka berdua tidak begitu dekat untuk saling menelepon. Dan Rahyun
baru sadar, jika pertemuan di kafe beberapa waktu lalu juga aneh. Apa dia tidak
memiliki teman? Mengapa harus mengajak Rahyun untuk makan siang? Yang
jelas-jelas baru ditemuinya satu kali.
“ Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? “ walau
merasa ganjil dan tak wajar, Rahyun mencoba bersikap ramah.
“ Aku juga baik. Hahaha. Apa yang sedang kau
lakukan akhir-akhir ini? “
“ Kenapa kau bertanya.. ? “ begitu ia sadar jika
mungkin nada bicaranya terlalu ketus, Rahyun buru-buru menambahkan, “ Eoh,
maksudku… aku hanya ingin tahu “
Kembali terdengar suara tawa dari seberang, membuat
kedua alis Rahyun saling bertaut. Samar, ia dapat merasakan sarkasme di sana.
“ Kami sedang berlibur di villa keluarga No, di
Jeju. “ ujarnya.
“ Kami? “ ketidakjelasan dalam jawaban Rahyun
barusan, membuat Soora kembali bertanya. Rahyun menghela napas dalam. Oh
sungguh, sebenarnya ia merasa tidak enak sekarang. Namun harus bagaimana lagi?
Lagipula, Soora sendiri yang bertanya.
“ Maksudku… aku dan Minwoo. “
Klik!
Segera setelah kalimat tersebut meluncur keluar
dari bibir Rahyun, sambungan telepon diputus sepihak. Tentu saja, Soora yang
menghentikan panggilan. Sontak kekesalan merayapi diri Rahyun, yang benar
saja, gadis ini sangat tidak sopan!, batinnya.
Rahyun menghela nafas dalam dan berdecak kesal.
Kemudian pandangan matanya tertuju pada jam tua yang menempel pada sisi kiri
dinding kamar Rahyun. Jarum jam menunjukkan pukul 10.30 KST. Ouh, ternyata
sudah mulai larut.
Ia menguap lebar. No Rahyun memang bukan tipe orang
yang gemar tidur larut malam. Sejak kecil tubuhnya memang lemah dan mudah
kelelahan. Maka dari itu, waktu istirahat sangatlah penting baginya, tentu saja
tidur juga termasuk.
Rahyun meletakkan ponselnya di meja kecil samping
tempat tidur, meregangkan tubuh dan menguap sekali lagi, hingga akhirnya ia
merebahkan diri. Hanya butuh waktu beberapa menit baginya untuk terbang ke
pulau kapuk.
***
Di hari-hari berikutnya, tidak ada perubahan yang
signifikan terhadap aktivitas Rahyun dan Minwoo di pulau Jeju. Rutinitas mereka
hanya seputar sarapan, bermain di pantai, bersantai, dan melakukan kegiatan
ringan lainnya. Tentu saja, mereka menggunakan kesempatan tersebut sebagai
sarana untuk melarikan diri dari berbagai kegiatan sibuk di Seoul. Rahyun
dengan kuliahnya, dan Minwoo dengan pekerjaannya. Untuk sementara waktu, mereka
benar-benar masa bodoh dengan semua itu.
***
Rahyun dan Minwoo tengah menikmati makan malam
mereka. Pengurus rumah telah menyiapkan makanan di meja sebelum pergi dari
Villa. Bibi Jung –nama pengurus rumah- tidak menginap di Villa, melainkan di
sebuah gubuk kecil belakang Villa.
Minwoo terkekeh kecil ketika mengamati Rahyun yang
sibuk dengan makanannya. Gadis itu menyantap ayam panggang seolah tak ada hari
esok. Benar-benar rakus. Bukankah seharusnya seorang yeoja makan dengan pelan
dan anggun? Namun rupanya paradigma tersebut tidak berlaku bagi Rahyun.
Rahyun memicingkan mata dan menghentikan acara
makannya sejenak, setelah suara tawa Minwoo tertangkap samar oleh indra
pendengarannya.
Dengan mulut yang masih penuh, ia bertanya, “
Kenapa kau tertawa? “
“ Tidak ada. Tenang saja “ nada mengejek dalam
suara Minwoo membuat gadis itu tidak yakin. Ia segera menelan makanannya dan
kembali mendesak Minwoo dengan pertanyaan.
“ Kau menertawakanku? “
“ Tidak. Aku hanya menertawakan cara makanmu “
“ Ada yang salah dengan itu? “ kerutan terlukis di
kening Rahyun, ketika ia mengernyitkan dahi.
“ Kau makan seperti babi. Sangaaat rakus.. apa kau
menyadarinya? “ Minwoo kembali terkekeh.
“ Yah, makhluk baboo
sepertimu tidak pantas mengejekku. Seperti babi? Ouh, ayolah. Kau bahkan lebih
rakus dariku. Kau menghabiskan 2 porsi setiap kali kita makan, ingat? “ olok
Rahyun seraya menunjuk Minwoo tepat di wajah. Ia pun berdecak kesal, dan
kembali melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda.
Manik mata Minwoo membulat sempurna. Ia berkacak
pinggang. Tidak dapat menerima olokan Rahyun tersebut. Namun tepat ketika Ia
ingin membuka mulut dan membalas perkataan Rahyun, sesuatu yang aneh tiba-tiba
terjadi.
Seketika lampu di seluruh penjuru Villa padam dan
menyisakan kegelapan mencekam. Melalu indra pendengarannya, ia dapat mendengar
Rahyun yang menjerit terkejut. Ia tahu gadis itu benci kegelapan. Tidak ada
secercah cahaya pun disana, kecuali sinar redup sang bulan yang menyelusup
melalui jendela besar ruang makan. Namun tentu saja, itu tidak cukup sama
sekali.
“ Kau tidak apa-apa? “ Tanya Minwoo. Pandangan
matanya ia arahkan ke seberang meja, tempat dimana Rahyun berada. Meskipun ia
mengetahui dengan jelas, jika gadis itu tidak mampu melihat dirinya, begitupun
ia, dengan kegelapan yang mendominasi.
“ Ak-aku tidak apa-apa. “ Dengan terbata Rahyun
menjawab. Kekalutan merasuki diri. Ia takut. Ia benci kegelapan. Bahkan kedua
matanya telah berkaca-kaca. Oh Tuhan, ia sekali rasanya ia menangis sekarang
juga.
“ Benarkah? “ pertanyaan sarat kekhawatiran kembali
terlontar melalui bibir Minwoo.
“ Ya. Aku tidak apa-apa. “
“ Baiklah jika begitu. Aku akan pergi ke ruang
bawah tanah. Tombol pengatur sirkuit listrik ada di sana. Kau tunggulah, dan
jangan kemana-kemana. Aku akan segera kembali! “
Tanpa sadar Rahyun mengangguk kecil, kemudian ia
berkata. “ kau cepatlah kembali dan jangan lupa untuk berhati-hati “
“ Tenang saja. “
Seulas senyum tersungging pada wajah Minwoo begitu
mendengar kalimat terakhir gadis itu. Segumpal kebahagiaan muncul seketika.
Entah mengapa, fakta bahwa Rahyun ‘mengkhawatirkannya’ membuat ia bahagia.
Mungkinkah ia mulai menyukai seorang No Rahyun?
Tidak. Sepertinya tidak mungkin . Mereka baru saja
bertemu, dan Rahyun sangat jauh dari tipe ideal Minwoo –feminim dan lembut-.
Sedangkan Rahyun sungguh bertolak belakang. Gadis yang satu ini sama sekali
tidak lembut, suka bertingkah seenaknya, dan seperti yang kalian lihat tadi,
bahkan ia menyantap makanan dengan rakus. Jadi, sisi mana dari Rahyun yang
berhasil menarik perhatian Minwoo?
Kemudian ia berusaha menyingkirkan pemikiran aneh
tersebut. Ada yang jauh lebih penting untuk diurusnya saat ini. Lampu yang tiba-tiba
padam dengan sendirinya, merupakan hal aneh. Dan mungkin saja sesuatu yang
buruk akan segera terjadi. Mengingat hal itu, Minwoo bergegas melangkahkan kaki
menuju ruang bawah tanah.
***
Kira-kira 5 menit telah berlalu setelah Minwoo
menghilang dari ruang makan, meninggalkan Rahyun seorang diri. Ia berdiri
dengan kedua tungkai kaki yang gemetar. Ia benci kegelapan. Ia benci menunggu.
Dan diatas semuanya, Rahyun benci sendirian.
Jantungnya berdegup begitu kencang. Ia menggigit
bibir bawahnya cemas. Kedua tangan terkepal erat, hingga buku-buku jarinya
memutih. Namun Rahyun tidak peduli. Dalam benaknya, hanya tersirat keinginan
agar Minwoo segera kembali. Ia tidak tahan dengan situasi ini.
Bagaimana
jika Minwoo tidak kembali? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada pria
itu? Atau bahkan pada dirinya sendiri? Atau bagai-
Berbagai pemikiran buruk yang berkelebat di otaknya
terhenti seketika, saat manik mata Rahyun menangkap sebuah siluet manusia di
pojok ruang makan. Dan sosok tersebut berjalan mendekat ke arah Rahyun.
Pada awalnya, Rahyun salah mengira identitas sosok
itu sebagai No Minwoo. Namun tidak lagi ketika jarak di antara mereka semakin
berkurang. Kini logika Rahyun mulai bekerja. Ia sadar jika tubuh Minwoo tidak
sekecil itu, sadar pula jika ruang bawah tanah dan ruang makan terletak di
lantai yang berbeda, Minwoo tidak akan kembali secepat ini. Lalu siapa sosok di
hadapannya ini?
Kedua mata Rahyun mendelik sempurna ketika cahaya
bulan yang menyelusup melalui jendela ruang makan, membuat sebuah benda
berkilat indah. Walau keremangan menghalangi indra penglihatannya untuk melihat
benda itu dengan jelas. Namun itu cukup bagi Rahyun agar dapat mengidentifikasi
benda tersebut. Sebuah pisau berukuran sedang.
“ Si-siapa kau? Apa yang ingin kau lakukan? “ Sadar
dengan situasi yang berbahaya, sontak Rahyun mundur beberapa langkah, dengan
maksud menjaga jarak di antara mereka. Sosok tersebut tidak menjawab pertanyaan
bernada kalut dari Rahyun. Ia hanya memperlihatkan senyum separuh, terkesan
dingin sekaligus menyeramkan.
Rahyun terus berjalan mundur. Namun rupanya dewi
fortuna tidak berpihak pada gadis itu. Ia menemui jalan buntu, dalam artian
tidak dapat kabur lebih jauh lagi. Di belakangnya telah terdapat dinding yang
menahan tubuh Rahyun. Sedang di hadapannya, sosok tersebut terus berjalan
mendekat. Hingga beberapa detik berlalu dan akhirnya jarak di antara mereka
tidak sampai satu meter.
Ketegangan dan sunyi mendominasi. Detak jarum jam
terdengar jelas di telinga Rahyun. Ia juga dapat mendengar hembusan napas
seseorang di dekatnya. Bulu tengkuknya meremang seketika. Rasanya ia ingin
menghilang sekarang juga. No Rahyun menahan napas seraya memejamkan kedua mata.
Bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Sosok itu melayangkan pisau di udara. Ia memamerkan
seringai sarat kepuasan. Akhirnya waktu untuk menyalurkan sakit sekaligus benci
yang ia rasakan tiba. Namun tepat saat itu juga, lampu kembali menyala. Ruangan
tersebut dipenuhi cahaya lampu, yang membuat tempat tersebut terang benderang.
“ Sialan! “
Rahyun dapat mendengar sosok itu mendesis kesal.
Seiring dengan sebuah hujaman yang menusuk dada kirinya. Seketika perih dan
sakit tak terbayangkan mendera tubuh Rahyun. Bau anyir darah mendominasi. No
Rahyun menunduk, demi melihat sebuah pisau yang tertancap di dada kirinya.
Darah mengucur deras, merembes dan membuat noda merah mencolok pada kaus putih
Rahyun. Penglihatannya mulai mengabur dan berkunang-kunang. Kemudian tenaga
Rahyun seolah terkuras habis, kedua kakinya tidak lagi mampu menyangga beban
tubuh.
No Rahyun merosot di tempat. Tubuh lemahnya ia
sandarkan ke dinding. Samar ia dapat melihat sosok di hadapannya dengan lebih
jelas –karena lampu telah kembali menyala- . Sosok itu mengenakan pakaian serba
hitam, masker hitam, dan melalui rambut yang dikuncir kuda tersebut, Rahyun
tahu jika dia adalah seorang perempuan.
Dalam situasi hidup-mati dan napas yang terengah,
berbagai pikiran berkelebat dalam benaknya. Banyak. Ia memikirkan sahabatnya,
Lee Yoora. Apa yang tengah gadis itu lakukan? Apakah gadis itu akan merasa
kehilangan jika nyawa Rahyun melayang saat ini? Rahyun menggeleng kecil. Tidak.
Ia tahu Yoora memiliki kepribadian setegar batu karang. Ia pasti kuat, apapun
yang menimpanya.
Rahyun membayangkan kedua orang tua yang sedang
menantinya dengan tangan terbuka. Apakah jika dia pergi nantinya, dia akan
langsung berjumpa dengan mereka? Lalu tempat seperti apakah surga itu?
“ Pergilah ke neraka, dasar jalang! “ suara yang
familiar itu seolah menyadarkan Rahyun dari khayalan gadis itu. Ia tahu suara
ini. Ia mengenalnya. Namun siapa… ?
Rahyun terperanjat kaget. Jika ingatannya tidak
salah.. maka identitas sang pelaku adalah..
“ Park Soora? “
***
Minwoo mengernyitkan dahi ketika berhasil
menyalakan kembali tegangan listrik. Bagaimana tidak? Tombol-tombol pengatur
sirkuit listrik itu tampak dimanipulasi oleh seseorang, sehingga lampu sempat
padam barusan.
Dan kadar keheranan Minwoo semakin meningkat,
begitu Ia menyadari ruang bawah tanah yang terlihat bersih. Seolah ada yang
baru saja merapikan tempat tersebut dan tinggal di sana. Terlebih lagi saat
pandangan mata Minwoo tertumbuk pada sebuah selimut kecil, terlipat rapi di
pojok ruangan.
Apa ada yang tinggal disini?
Hal tersebut tidak mungkin terjadi, bukan? Hanya
ada mereka berdua serta bibi Jung –yang bahkan tidak menginap- di Villa. Namun
bukti-bukti absurd yang terpampang di hadapannya kini memudarkan keraguan
Minwoo. Hening beberapa saat. Ia sibuk dengan berbagai pemikiran yang
berkelebat dalam benaknya.
Seketika Minwoo terkesiap kaget.
Jika benar ada seseorang yang ‘tinggal’ disini,
bukankah itu berarti mereka sedang dalam bahaya? Bukankah itu juga berarti ada
yang sengaja membuntuti mereka?
Kemudian secepat kilat Minwoo melesat keluar dari
ruang bawah tanah, menaiki tangga menuju ke lantai atas. Kekhawatiran
benar-benar merasuki diri. Jantungnya berdegup kencang tak karuan. Dalam hati,
ia sungguh berharap tidak ada hal buruk yang terjadi, dan gadis yang ia
tinggalkan tadi baik-baik saja.
Entah mengapa ia begitu takut saat ini. Ia takut
kehilangan seseorang. Seseorang yang akhir-ahir ini selalu berada di dekatnya
dan menarik perhatian Minwoo. Orang itu memiliki daya tarik tersendiri di
matanya. Dan orang itu adalah No Rahyun.
Rahyun pasti
ketakutan sekarang
Minwoo berlari layaknya manusia yang tengah
kehilangan akal. Hingga berkali-kali ia nyaris terjatuh dan menabrak perabotan.
Namun ia tidak peduli. Di pikirannya hanya ada satu hal, yaitu : ia harus
menemui No Rahyun secepat mungkin.
***
Langkah tergesa Minwoo akhirnya terhenti ketika ia
menginjakkan kaki di ruang makan. Kedua manik hitam pemuda itu membulat
sempurna. Napasnya tercekat. Rahangnya mengeras seketika, begitupun dengan raga
yang seolah membeku di tempat. Jika ada kata diatas kata “syok” maka hanya kata
tersebut yang mampu melukiskan perasaan Minwoo sekarang.
Ia sungguh berharap jika saat ini Minwoo tengah
bermimpi. Dan jika iya, tolong segera bangunkan dia. Ia tidak ingin
berlama-lama dalam mimpi buruk macam ini. Pemandangan yang kini terpampang di
hadapannya tidaklah nyata, bukan?
Sosok yang ia khawatirkan tergolek lemah di sana,
di ujung ruang makan. Darah mengucur deras dari dada sebelah kirinya. Dan
apakah benda terkutuk itu benar-benar menancap di tubuh Rahyun? Apakah benar
gadis itu tengah meregang nyawa?
Minwoo menahan napasnya, seiring dengan suara yang
menandakan jika dirinya tidak sedang bermimpi.
Sosok berpakaian serba hitam itu memutar tubuh
menghadap ke arah Minwoo. Manik hitamnya seolah mengejek pria itu, mewakili
segenap kepuasan dalam usaha pelampiasan rasa sakitnya. Dengan senyum separuh
yang tersembunyi di balik masker hitam, Soora berkata, “ Senang melihatmu
disini, No Minwoo “
Suaranya begitu tenang, begitu pula dengan gerakan
Soora ketika ia membuka masker hitam miliknya. Kini senyum separuh itu tidak
lagi tersembunyi. Ia menyeringai sinis. Kedua tangan Minwoo terkepal kuat
menahan amarah.
“ Apa yang kau lakukan, Soora? “ desisnya tajam.
“ Aku? Kurasa kau dapat menebak sendiri apa yang
sedang kulakukan. Aku baru saja menyingkirkan orang yang berani merenggutmu
dariku “ Soora menoleh dan menggerakan dagu, menunjuk ke arah Rahyun. Gadis itu
berada dalam ujung tanduk. Napasnya terasa berat. Begitu pula dengan kedua mata
yang seolah menuntut untuk segera dipejamkan.
“ Kau benar-benar gila Park Soora. Dia tidak
merebut aku darimu. Aku mencampakkanmu karena keinginanku sendiri. Aku tidak
tahan dengan sikap posesif mu. Dan perjodohan ini.. “ Minwoo memberi jeda
sebelum akhirnya melanjutkan, “ Aku sendiri yang menyetujuinya. “
“ Sudah kuduga kau akan mengatakan hal itu. Kau
sungguh kejam, Minwoo-ah “ Seringai sinis itu perlahan memudar, tergantikan
oleh kabut bening yang mendominasi manik hitam Soora.
" Kejam katamu? Kau bahkan jauh lebih buruk,
Park Soora! Kau membuat nyawa orang lain dalam bahaya!" Sedetik kemudian
Minwoo menghambur ke arah Rahyun tengah meregang nyawa, napas gadis itu tinggal
satu-satu. Minwoo membaringkan gadis itu dan meletakkan kepala Rahyun pada
pangkuannya. Noda darah pun merembes membasahi celana panjang Minwoo. Namun ia
tidak peduli.
Manik matanya menatap lekat milik Rahyun dengan
kekalutan mendalam. Sementara Rahyun sendiri hanya tersenyum tipis. Ia
memandang wajah Minwoo dan mengulurkan tangannya, mengusap pipi Minwoo dengan
penuh kasih sayang. Seandainya hal ini tidak terjadi, seandainya Tuhan memberi
ia waktu sedikit lebih banyak...
No Rahyun tidak mengerti kapan tepatnya perasaan
sakral tersebut merayapi hatinya. Ia tidak tahu apa yang membuat seorang No
Minwoo menarik perhatian Rahyun. Ia tidak tahu sejak kapan ia mencintai pria
ini. Orang yang asing tiba-tiba memaksa masuk dalam kehidupan Rahyun, dengan perjanjian
hitam di atas putih dan sumpah suci di hadapan altar, sebagai seorang suami.
Kerongkongan Minwoo tercekat. Rasa sesak itu
mendera diri. Begitu kuat dan menyiksa. Hingga akhirnya ia tidak mampu
menahannya lagi. Kristal bening itu pun jatuh, membentuk aliran sungai kecil di
pipinya. Ia adalah seorang pria, yang begitu anti mengeluarkan air mata. Namun
apa daya? ini begitu menyakitkan baginya. Tentu saja, kehilangan seseorang yang
kau sayangi akan selalu terasa menyakitkan. Dan rasa sakit tersebut seolah membunuh
Minwoo.
Tiba-tiba Rahyun menggumamkan sesuatu tak jelas,
membuat Minwoo harus menunduk, mendekatkan kepalanya pada wajah Rahyun agar
dapat mendengar apa yang gadis itu katakan.
" Mi-Minwoo-ya.. " suara Rahyun yang
begitu pelan terdengar miris di telinganya.
" Ne? " lirih Minwoo.
" Aku... "
" Ya? "
" A-aku.. aku mencintaimu. " bisik
Rahyun, sebelum akhirnya ia menghembuskan napas terakhir. Kemudian ia
memejamkan kedua mata, yang jelas tidak akan terbuka lagi selamanya. Minwoo
membeku di tempat. Seolah menolak untuk percaya pada kejadian yang baru ia
alami.
Dengan perasaan hancur, ia mengguncangkan tubuh
Rahyun yang tidak bernyawa itu, berharap Rahyun akan kembali. Ya. Kembali tersenyum
padanya, kembali bertengkar dengannya, dan kembali berada di sisinya.
Namun jauh di dalam sana, Minwoo tahu jika usahanya
tidak akan menghasilkan apapun. Ia tidak dapat mengembalikan nyawa seseorang.
Dan tidak ada seorang pun yang bisa.
Kata-kata terakhir yang terucap dari bibir Rahyun
seolah menonjok ulu hati Minwoo. Gadis itu berkata jika dia mencintainya. No
Rahyun mencintai Minwoo. Tangis Minwoo kembali pecah saat mengingat hal
tersebut. Ia tidak lagi mempedulikan harga dirinya sebagai seorang lelaki.
Bahkan orang terkuat dan paling tegar di dunia pun memerlukan sandaran, dan
mengungkapkan kesedihan melalui tangisan, bukan?
Terdapat satu hal yang ia sesali. Mengapa ia tidak
menyadari perasaan gadis itu? Bahkan ia tidak sadar dengan apa yang ia sendiri
rasakan. Ia merasa sebagai orang terbodoh di dunia. Ia terlambat menyadari
salah satu hal terpenting dalam hidup manusia, cinta.
Tapi jarum jam tidak akan pernah bergeser ke kiri.
Waktu tidak mungkin berputar kembali.
Ketika Minwoo tengah tenggelam dalam keterpurukan
sekaligus kehilangannya. Soora mengamati adegan perpisahan miris tersebut
dengan air mata berlinangan. Rasa sakit menghujam diri, begitupun sesak yang
mendera. Ia berpikir jika dirinya juga merupakan korban. Ia berpikir jika saja
pernikahan itu tidak pernah terjadi. Atau bahkan jika ia dan Minwoo tidak
pernah bertemu.. ia tidak mungkin berubah menjadi seperti ini.
Siapa yang mengira jika cinta dan cemburu dapat
membuat seseorang kehilangan kewarasannya? Dalam kasus Soora, kedua hal itu
merubah ia dari gadis normal menjadi seorang psycho. Dan kini, monster
pembunuh.
Perlahan namun pasti, tangan Soora yang berlumuran
darah merogoh saku celana hitamnya. Sebuah benda mematikan lain ia keluarkan
dari sana. Ia mengamati sejenak sosok sang penguasa hati yang sedang meratapi
kepergian seseorang. Orang lain yang dia cintai, dan orang itu bukan Park
Soora.
Soora menghela nafas dalam. Kemudian ia arahkan
pistol tersebut di dekat pelipisnya. Ia memejamkan mata. Pasrah. Bibirnya
bergetar hebat saat mengatakan, " Selamat tinggal, No Minwoo.. Aku
mencintaimu" Soora tersenyum pedih sebelum akhirnya menarik pelatuk
pistol.
DOOORR!
***
" kau adalah bagian dari hidupku yang datang dan pergi. Sebuah perubahan bagai badai dalam hati. Seolah takdir tengah mempermainkan kita. Dan ketika sadar.. itu semua sudah terlambat.. "
-END-
Woohoo!! Akhirnya fanfic ini kelar sampe chapter terakhir :v
BalasHapussesuatu endingnya. Kaget waktu tau Soora bunuh diri --v
Ehehehe...
HapusIyakah? terimakasih sudah mau komen ^^
wow ga happy ending saya suka saya suka ^^
BalasHapusIya gak happy ending ._.
HapusTerimakasih sudah mau baca, komen,dan suka ^^
maaf baru bisa review disini ... hua... ff.nya keren.. masih berharap next sih , tpi udah ending ternyata.... daebak thor... keep writing ya thor... :)
BalasHapuswkwk.. kalo dibuat lebih panjang lagi, ff lain bakal terlantar --V ini juga udah diubah endingnya jadi lebih singkat. Makasih ya :)
HapusDaebak saya suka thor. :)
BalasHapus