ATTENTION !!!

Anyeonghaseyo our lovely reader ^^
Selamat datang di blog ini, Selamat membaca =)
Dan jangan lupa pula untuk meninggalkan jejak berupa komentar setelah membaca ^^

PS : dibutuhkan author baru untuk blog ini buat siapa saja, yang tertarik silahkan liat caranya di laman "yang mau jadi author kesini! ". kami membutuhkan author-author baru karena banyak author yang hiatus ._. kami selalu menerima author baru.

BAGI SEMUA AUTHOR : WAJIB selalu mengecek laman "Cuap-cuap reader and author" .

SAY NO TO PLAGIARISME & SILENT READER!!

Gomawo !

Sabtu, 27 September 2014

The Wedding and Psycho [3/3] - END


Tittle : The Wedding and Psycho [3/3] - END
Main Cast : No Minwoo (Boyfriend) & Lee / No Rahyun (OC)
Author : Stephcecil
Lenght : Trilogi
Genre : Angst, Romance, Marriage life, Thriller, Crime
A/N : Request by Arisa. Yeah, akhirnya selesai juga fanfic satu ini! Maaf jika endingnya kurang memuaskan, karena saya takut kepanjangan --V. Happy reading, don't forget to RCL!
Previous Part : Chapter 1 || Chapter 2
Summary :   "Ia merasa sebagai orang terbodoh di dunia. Ia terlambat menyadari salah satu hal terpenting dalam hidup manusia, cinta."




***



Setelah perjalanan yang cukup singkat dengan pesawat, pasangan baru itupun tiba di pulau Jeju. Kini, mereka menggunakan mobil sewaan untuk sampai di villa. Mobil sport merah yang disewa Minwoo beratap terbuka, membuat angin sore berhembus kencang, bebas menerpa wajah sekaligus tubuh mereka. Memberi sensasi dingin menyegarkan.

Lee Rahyun memberanikan diri beranjak dari posisi duduk manisnya. Ia berdiri di mobil dan membuka lebar kedua tangannya ke samping. Membiarkan tubuhnya kebas oleh hawa dingin, dan angin bermain-main dengan rambutnya. Ia tidak peduli jika rambut ataupun penampilannya menjadi acak-acakan. Yang terpenting bagi Rahyun adalah ‘kebebasan’. Dan kini, ia merasa dirinya terasuki oleh perasaan tersebut.

Di sisi lain, Minwoo yang sedang mengemudi tersenyum lebar. Entah mengapa, tindakan gadis itu terlihat menyenangkan. Melihat Rahyun bahagia, ia turut bahagia. Bagi Minwoo, ada sesuatu yang membuat ia ‘berbeda’. Entah itu senyum atau tingkah Rahyun yang selalu bebas dari kepura-puraan. Tidak ada topeng disana. Ia dapat melihat, jika jauh di dalam sorot kesepian manik hitam itu, terselubung suatu ketulusan mutlak.



                                                                          ***

Kurang lebih membutuhkan 20 menit perjalanan dari bandara ke Villa. Tempat tujuan mereka terletak di atas bukit, dikelilingi lembah curam, dan jika kau berjalan turun melalui jalan setapak memutar, di sana akan ada pantai dengan pasirnya yang putih. Masih bersih dan jarang terjamah. Tentu saja, karena tidak banyak orang yang mengetahui lokasi indah itu. Termasuk para wisatawan asing yang berkunjung ke Korea.

Villa keluarga No tergolong besar, dengan gaya ala jaman Victoria. Tampak jelas merupakan bangunan tua. Namun tentunya telah direnovasi pada beberapa bagian, yang telah rusak terkikis usia.

Begitu tiba di villa, seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan mereka. Ia menggunakan seragam pelayan, dengan seulas senyum lebar menghiasi wajah. Tanpa ada yang memberitahu pun, Rahyun yakin jika dia adalah pengurus villa. Mereka hanya mengangguk sopan kemudian berlalu pergi menuju lantai atas. Ada 3 kamar di lantai itu. 2 yang bersebelahan, dan 1 kamar terletak di ujung. Rahyun yang kerap kali merasa asing bermalam di tempat baru, memilih kamar tepat di samping Minwoo. Setidaknya keberadaan laki-laki itu membuat ia merasa lebih ‘aman’.

Rahyun bergegas memasuki kamar dan membongkar muatan kopernya, mengeluarkan pakaian dan meletakkannya di dalam lemari. Setelah beres, ia pun merebahkan diri di kasur. Sungguh, perjalanan yang ditempuh mereka tadi –walau cukup singkat- menguras tenaga Rahyun, yang pada dasarnya tidak terbiasa merasakan letih.

Gadis itu baru saja hendak memejamkan mata barang sejenak, ketika mendengar suara ketukan di pintu. Rahyun mendesah pelan. Mengapa ada saja yang ingin merusak waktu istirahatnya? Akhirnya ia pun beranjak berdiri dan membukakan pintu, untuk sang pengetuk yang ternyata bernama No Minwoo.

“ Ada apa? “ tanya Rahyun, dengan kekesalan terasa kental melalui nada bicaranya. Sedangkan Minwoo hanya terkekeh, membalas pertanyaan Rahyun dengan raut polos tanpa dosa.

“ Maaf. Apakah aku menganggumu? “

Rahyun memutar bola mata sembari menekuk wajahnya. Kemudian mengangguk mantap, yang dapat diartikan sebagai ‘Ya’. Sang lawan bicara hanya mengedikkan bahu dengan santainya. Seolah rasa bersalah tidak ada dalam kamus Minwoo.

“ Baiklah.. sebenarnya aku hanya ingin mengajakmu ke pantai. “ jelas pria itu.

“ Pantai? Sekarang? “

“ Iya… terserah jika kau tidak mau ikut “

Bukannya langsung merespon tawaran tersebut, Rahyun hanya terdiam di tempat. Membuat Minwoo salah mengartikan sikap Rahyun sebagai penolakan, kemudian ia memutar tubuh dan berjalan menjauh. Namun baru beberapa langkah, Minwoo terhenti. Seulas senyum tipis tersungging begitu saja, entah mengapa perasaan bahagia merayapi batin, begitu Saera menyetujui ajakannya.

“ Baiklah. Aku ikut! “


***
                                                                            

Suara deburan ombak mendominasi, langit tampak begitu biru, angin bertiup lembut disana. Tidak terlalu kencang, namun memberi sensasi dingin menyejukkan. Dua anak manusia tengah beradu tawa dengan sudut bibir melengkung ke atas, seolah senyum lebar itu enggan beranjak dari wajah mereka. Keduanya lebih tampak layaknya anak kecil yang sibuk bermain, dibandingkan orang dewasa dengan beban pada pundak masing-masing.

Rahyun berlari kecil di tepi pantai, membuat jejak berupa cetakan telapak kaki di pasir putih yang baru ia lalui. Gadis itu sedang berlari menghindari sesosok pemuda, dengan ekspresi bahagia jelas terpancar. Sedangkan No Minwoo berhenti sejenak, kemudian ia membungkuk, dan menciduk sedikit air dengan tangannya. Ia pun kembali mengejar Rahyun, dan membuang air laut tersebut sebagai sebuah percikan yang membasahi punggung Rahyun.

Rahyun menoleh kesal. Ia menekuk wajah cantiknya. Tangan Rahyun terulur, mendaratkan jitakan yang cukup keras di dahi Minwoo, membuat pemuda itu meringis sakit.

“ Rasakan! “ cibir Rahyun seraya menjulurkan lidah, mengejek Minwoo. Pemuda itupun tak terima, matanya membulat sempurna. Ia pun melangkahkan kaki, mengejar sosok Rahyun yang kini kembali berlari menjauh. Mungkin kabur demi menghindari ‘pembalasan’ Minwoo.

“ Yah! Berhenti kau! “ pekik Minwoo yang jelas tak digubris oleh Rahyun, dia hanya terus berlari. Suara tawa Rahyun tertangkap oleh indra pendengaran Minwoo. Cukup kencang hingga terdengar menyebalkan baginya.

“ Kejar aku jika kau bisa! “ seru Rahyun yang terus berlari. Sesekali ia menoleh ke belakang, demi mengecek jarak antara sang pengejar dan dirinya. Hingga beberapa detik kemudian, ia merasakan sebuah tangan mencengkeram erat perutnya. Memberi sensasi hangat nan menggelitik pada diri Rahyun. Ia menoleh. Ekspresi terkejut jelas terlukis pada wajahnya.

Minwoo memeluknya dari belakang.

Dan itu sukses membuat semburat merah muda muncul pada kedua pipi Rahyun. Ia terperanjat. Sungguh, seolah kini ada kupu-kupu bersemayam dalam perutnya. Dan atas dasar apakah pria ini melakukan hal tersebut? Jelas-jelas pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar perjanjian hitam di atas putih.

“ Aku menangkapmu.. “ desis Minwoo tepat di telinga Rahyun. Sensasi geli menerpa tengkuk gadis itu, ia bergidik.

Beberapa detik kemudian diisi dengan keheningan mutlak. Hanya ada mereka berdua disana, menikmati panorama indah yang terpampang di depan mata, suara deburan ombak, dan degup jantung masing-masing. Entah mengapa keduanya seolah enggan beranjak dari posisi tersebut. Seharusnya semua terasa canggung. Seharusnya ini tidak wajar. Namun entah mengapa. Jauh di dalam hati Minwo, segalanya terasa benar. Memeluk gadis ini terasa benar. Mendekapnya terasa wajar.

Ini aneh.

Begitupun dengan Rahyun. Batinnya berada dalam pertempuran sengit. Terdapat sebongkah keinginan untuk membebebaskan diri, atau bahkan menampar pria yang telah berlaku ‘tidak sopan’ pada dirinya. Namun akal sehatnya menguap entah kemana. Faktanya, kini ia begitu menikmati gejolak hati yang sungguh menggila. Ia merasa hangat. Nyaman. Dan tak ingin momen ini berlalu cepat.



***




Sang mentari tertarik ke ufuk barat, kembali ke tempat peraduannya. Seiring dengan munculnya semburat jingga penghias langit. Gulungan ombak saling beradu membentuk ritme, ketika suhu udara semakin menurun. Senja pun tiba menyambut malam.

No Rahyun duduk di atas pasir putih pantai, kedua manik hitamnya memandang lekat fenomena alam yang kini terjadi di hadapannya. Hanya ada satu kata untuk melukiskan perasaan gadis itu. Indah. Sementara di samping Rahyun, Minwoo merasakan hal yang sama pula. Keduanya memang hidup dalam hiruk pikuk kota yang diliputi kesibukan, sungguh menutup relasi mereka dengan alam. Jadi tak heran jika menyaksikan fenomena seperti ini tergolong langka dalam kamus hidup Rahyun dan
Minwoo.

“ Indah sekali… “ gumam Rahyun, membuat Minwoo menoleh menatapnya sembari tersenyum tipis. Namun gadis itu tidak menyadarinya, ia tetap sibuk mengagumi pemandangan mentari yang perlahan menghilang di ufuk barat.

Beberapa detik kemudian diliputi dengan keheningan, tidak ada suara terucap. Hingga pada akhirnya, Rahyun menoleh ke arah samping –hendak membicarakan sesuatu dengan Minwoo- ketika menyadari jika Minwoo memperhatikannya dengan begitu intens. Membuat bibir Rahyun yang tadinya telah sedikit terbuka kembali terkatup rapat. Ia sontak memundurkan kepala pula, karena posisi wajah mereka yang terlalu dekat.

Semburat merah muda kembali muncul menghiasi kedua pipi Rahyun. Gadis itu tersipu malu. Ia pun bergegas mengalihkan pandang ke depan. Risih dan canggung, begitulah atmosfir yang terasa kental di sana.

“ Ada apa denganmu, huh? “ Minwoo terkikik kecil.

“ Tidak ada. “ dusta Rahyun dengan nada ketus.

“ Benarkah? “ Minwoo menaikkan salah satu alisnya, seraya menyenggol sedikit bahu Rahyun dengan bahunya sendiri. Rahyun pun mendelik kesal, yang jelas diabaikan oleh sang pelaku.

“ Benar! “

“ Cih, dasar pembohong “ sebuah cengiran lebar ditunjukkan Minwoo, memamerkan deretan gigi putihnya. Namun kemudian, tawa sekaligus cengiran itu menghilang, tergantikan oleh ringis kesakitan seseorang. Tepat saja, sebuah jitakan keras mendarat mulus pada dahi Minwoo, untuk kedua kalinya.

“ Yah! Kenapa kau suka sekali menjitakku?! “ protesnya.
           
“ Memang tidak boleh? “

“ Tentu saja tidak! “

“ Kenapa tidak? “

jeez.. kau ini! “ Sebelum Minwoo kembali melancarkan aksi protes, gadis itu bergegas bangkit dari posisi duduknya dan berlari menjauh, sadar jika Minwoo tidak akan tinggal diam. Dan benar dugaannya, Minwoo mengejar Rahyun, namun jarak di antara mereka terlampau jauh. Membuat ia terkekeh kecil, begitu menoleh dan melihat ekspresi Minwoo yang kewalahan.

“ Yah! Berhenti kau! “

“ Tidak mau. Kau makhluk baboo! “


***


Perasaan Rahyun sungguh dibuat melayang hari itu. Dengan langkah ringan sarat kebahagiaan, dia berjalan memasuki kamarnya. Setelah mengunci rapat pintu dari dalam dan mengganti pakaiannnya dengan pakaian yang nyaman untuk tidur, ia pun setengah melemparkan diri di atas tempat tidur. Ia benar-benar lelah, namun perasaan bahagia lebih mendominasi diri.

Hari ini begitu menyenangkan bagi Rahyun. Entah mengapa ia seolah dapat melihat sisi baru Minwoo. Pria yang biasanya bertingkah bagai pangeran es itu menunjukkan perubahan drastis. Ia tidak lagi bertingkah dingin dan masa bodoh. Malahan, Minwoo begitu peduli dan hangat. Ia juga banyak tersenyum hari ini. Hal yang Rahyun kira sangat sulit untuk dilakukan Minwoo, sebelumnya.

Tunggu, mengapa ia jadi memikirkan pria itu? Ayolah No Rahyun, kau tidak mungkin menyukainya! Pasti karena terlalu lelah, jadi ada sesuatu yang tidak beres dengan otakmu. Ya, sebaiknya dia bergegas tidur sekarang.

Namun baru sekitar 2 menit Rahyun memejamkan mata, sebuah suara membelah keheningan kamar Rahyun. Dan tentunya, menganggu Rahyun yang nyaris terlelap. Ia beranjak dari posisi berbaringnya demi meraih benda mungil yang bergetar kecil itu. Begitu Rahyun menekan tombol jawab dan menempelkan ponsel ke telinganya, sebuah suara lembut menyapa.

“ Yeobseo, Rahyun-ssi? “

“ Ne? “

“ Bagaimana kabarmu? “ tanya suara itu, membuat kerutan seketika terlukis di dahi Rahyun. Yeoja tersebut buru-buru mengecek nama penelepon yang terpampang di layar ponsel –tadi dia tidak mengeceknya dulu- .

Oh, Park Soora. Kenapa dia menelepon? Memang benar jika mereka saling ‘mengenal’. Tapi ini tergolong ‘berlebihan’ dalam kamus Rahyun. Mereka berdua tidak begitu dekat untuk saling menelepon. Dan Rahyun baru sadar, jika pertemuan di kafe beberapa waktu lalu juga aneh. Apa dia tidak memiliki teman? Mengapa harus mengajak Rahyun untuk makan siang? Yang jelas-jelas baru ditemuinya satu kali.

“ Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? “ walau merasa ganjil dan tak wajar, Rahyun mencoba bersikap ramah.

“ Aku juga baik. Hahaha. Apa yang sedang kau lakukan akhir-akhir ini? “

“ Kenapa kau bertanya.. ? “ begitu ia sadar jika mungkin nada bicaranya terlalu ketus, Rahyun buru-buru menambahkan, “ Eoh, maksudku… aku hanya ingin tahu “

Kembali terdengar suara tawa dari seberang, membuat kedua alis Rahyun saling bertaut. Samar, ia dapat merasakan sarkasme di sana.


“ Kami sedang berlibur di villa keluarga No, di Jeju. “ ujarnya.

“ Kami? “ ketidakjelasan dalam jawaban Rahyun barusan, membuat Soora kembali bertanya. Rahyun menghela napas dalam. Oh sungguh, sebenarnya ia merasa tidak enak sekarang. Namun harus bagaimana lagi? Lagipula, Soora sendiri yang bertanya.

“ Maksudku… aku dan Minwoo. “


Klik!

Segera setelah kalimat tersebut meluncur keluar dari bibir Rahyun, sambungan telepon diputus sepihak. Tentu saja, Soora yang menghentikan panggilan. Sontak kekesalan merayapi diri Rahyun, yang benar saja, gadis ini sangat tidak sopan!, batinnya.

Rahyun menghela nafas dalam dan berdecak kesal. Kemudian pandangan matanya tertuju pada jam tua yang menempel pada sisi kiri dinding kamar Rahyun. Jarum jam menunjukkan pukul 10.30 KST. Ouh, ternyata sudah mulai larut.

Ia menguap lebar. No Rahyun memang bukan tipe orang yang gemar tidur larut malam. Sejak kecil tubuhnya memang lemah dan mudah kelelahan. Maka dari itu, waktu istirahat sangatlah penting baginya, tentu saja tidur juga termasuk.

Rahyun meletakkan ponselnya di meja kecil samping tempat tidur, meregangkan tubuh dan menguap sekali lagi, hingga akhirnya ia merebahkan diri. Hanya butuh waktu beberapa menit baginya untuk terbang ke pulau kapuk.


***
        
Di hari-hari berikutnya, tidak ada perubahan yang signifikan terhadap aktivitas Rahyun dan Minwoo di pulau Jeju. Rutinitas mereka hanya seputar sarapan, bermain di pantai, bersantai, dan melakukan kegiatan ringan lainnya. Tentu saja, mereka menggunakan kesempatan tersebut sebagai sarana untuk melarikan diri dari berbagai kegiatan sibuk di Seoul. Rahyun dengan kuliahnya, dan Minwoo dengan pekerjaannya. Untuk sementara waktu, mereka benar-benar masa bodoh dengan semua itu.



***

Rahyun dan Minwoo tengah menikmati makan malam mereka. Pengurus rumah telah menyiapkan makanan di meja sebelum pergi dari Villa. Bibi Jung –nama pengurus rumah- tidak menginap di Villa, melainkan di sebuah gubuk kecil belakang Villa.

Minwoo terkekeh kecil ketika mengamati Rahyun yang sibuk dengan makanannya. Gadis itu menyantap ayam panggang seolah tak ada hari esok. Benar-benar rakus. Bukankah seharusnya seorang yeoja makan dengan pelan dan anggun? Namun rupanya paradigma tersebut tidak berlaku bagi Rahyun.

Rahyun memicingkan mata dan menghentikan acara makannya sejenak, setelah suara tawa Minwoo tertangkap samar oleh indra pendengarannya.

Dengan mulut yang masih penuh, ia bertanya, “ Kenapa kau tertawa? “

“ Tidak ada. Tenang saja “ nada mengejek dalam suara Minwoo membuat gadis itu tidak yakin. Ia segera menelan makanannya dan kembali mendesak Minwoo dengan pertanyaan.

“ Kau menertawakanku? “

“ Tidak. Aku hanya menertawakan cara makanmu “

“ Ada yang salah dengan itu? “ kerutan terlukis di kening Rahyun, ketika ia mengernyitkan dahi.

“ Kau makan seperti babi. Sangaaat rakus.. apa kau menyadarinya? “ Minwoo kembali terkekeh.

“ Yah, makhluk baboo sepertimu tidak pantas mengejekku. Seperti babi? Ouh, ayolah. Kau bahkan lebih rakus dariku. Kau menghabiskan 2 porsi setiap kali kita makan, ingat? “ olok Rahyun seraya menunjuk Minwoo tepat di wajah. Ia pun berdecak kesal, dan kembali melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda.

Manik mata Minwoo membulat sempurna. Ia berkacak pinggang. Tidak dapat menerima olokan Rahyun tersebut. Namun tepat ketika Ia ingin membuka mulut dan membalas perkataan Rahyun, sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi.

Seketika lampu di seluruh penjuru Villa padam dan menyisakan kegelapan mencekam. Melalu indra pendengarannya, ia dapat mendengar Rahyun yang menjerit terkejut. Ia tahu gadis itu benci kegelapan. Tidak ada secercah cahaya pun disana, kecuali sinar redup sang bulan yang menyelusup melalui jendela besar ruang makan. Namun tentu saja, itu tidak cukup sama sekali.

“ Kau tidak apa-apa? “ Tanya Minwoo. Pandangan matanya ia arahkan ke seberang meja, tempat dimana Rahyun berada. Meskipun ia mengetahui dengan jelas, jika gadis itu tidak mampu melihat dirinya, begitupun ia, dengan kegelapan yang mendominasi.

“ Ak-aku tidak apa-apa. “ Dengan terbata Rahyun menjawab. Kekalutan merasuki diri. Ia takut. Ia benci kegelapan. Bahkan kedua matanya telah berkaca-kaca. Oh Tuhan, ia sekali rasanya ia menangis sekarang juga.

“ Benarkah? “ pertanyaan sarat kekhawatiran kembali terlontar melalui bibir Minwoo.

“ Ya. Aku tidak apa-apa. “

“ Baiklah jika begitu. Aku akan pergi ke ruang bawah tanah. Tombol pengatur sirkuit listrik ada di sana. Kau tunggulah, dan jangan kemana-kemana. Aku akan segera kembali! “

Tanpa sadar Rahyun mengangguk kecil, kemudian ia berkata. “ kau cepatlah kembali dan jangan lupa untuk berhati-hati “

“ Tenang saja. “

Seulas senyum tersungging pada wajah Minwoo begitu mendengar kalimat terakhir gadis itu. Segumpal kebahagiaan muncul seketika. Entah mengapa, fakta bahwa Rahyun ‘mengkhawatirkannya’ membuat ia bahagia. Mungkinkah ia mulai menyukai seorang No Rahyun?

Tidak. Sepertinya tidak mungkin . Mereka baru saja bertemu, dan Rahyun sangat jauh dari tipe ideal Minwoo –feminim dan lembut-. Sedangkan Rahyun sungguh bertolak belakang. Gadis yang satu ini sama sekali tidak lembut, suka bertingkah seenaknya, dan seperti yang kalian lihat tadi, bahkan ia menyantap makanan dengan rakus. Jadi, sisi mana dari Rahyun yang berhasil menarik perhatian Minwoo?

Kemudian ia berusaha menyingkirkan pemikiran aneh tersebut. Ada yang jauh lebih penting untuk diurusnya saat ini. Lampu yang tiba-tiba padam dengan sendirinya, merupakan hal aneh. Dan mungkin saja sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Mengingat hal itu, Minwoo bergegas melangkahkan kaki menuju ruang bawah tanah.



***


Kira-kira 5 menit telah berlalu setelah Minwoo menghilang dari ruang makan, meninggalkan Rahyun seorang diri. Ia berdiri dengan kedua tungkai kaki yang gemetar. Ia benci kegelapan. Ia benci menunggu. Dan diatas semuanya, Rahyun benci sendirian.

Jantungnya berdegup begitu kencang. Ia menggigit bibir bawahnya cemas. Kedua tangan terkepal erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Namun Rahyun tidak peduli. Dalam benaknya, hanya tersirat keinginan agar Minwoo segera kembali. Ia tidak tahan dengan situasi ini.

Bagaimana jika Minwoo tidak kembali? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu? Atau bahkan pada dirinya sendiri? Atau bagai-

Berbagai pemikiran buruk yang berkelebat di otaknya terhenti seketika, saat manik mata Rahyun menangkap sebuah siluet manusia di pojok ruang makan. Dan sosok tersebut berjalan mendekat ke arah Rahyun.

Pada awalnya, Rahyun salah mengira identitas sosok itu sebagai No Minwoo. Namun tidak lagi ketika jarak di antara mereka semakin berkurang. Kini logika Rahyun mulai bekerja. Ia sadar jika tubuh Minwoo tidak sekecil itu, sadar pula jika ruang bawah tanah dan ruang makan terletak di lantai yang berbeda, Minwoo tidak akan kembali secepat ini. Lalu siapa sosok di hadapannya ini?

Kedua mata Rahyun mendelik sempurna ketika cahaya bulan yang menyelusup melalui jendela ruang makan, membuat sebuah benda berkilat indah. Walau keremangan menghalangi indra penglihatannya untuk melihat benda itu dengan jelas. Namun itu cukup bagi Rahyun agar dapat mengidentifikasi benda tersebut. Sebuah pisau berukuran sedang.

“ Si-siapa kau? Apa yang ingin kau lakukan? “ Sadar dengan situasi yang berbahaya, sontak Rahyun mundur beberapa langkah, dengan maksud menjaga jarak di antara mereka. Sosok tersebut tidak menjawab pertanyaan bernada kalut dari Rahyun. Ia hanya memperlihatkan senyum separuh, terkesan dingin sekaligus menyeramkan.

Rahyun terus berjalan mundur. Namun rupanya dewi fortuna tidak berpihak pada gadis itu. Ia menemui jalan buntu, dalam artian tidak dapat kabur lebih jauh lagi. Di belakangnya telah terdapat dinding yang menahan tubuh Rahyun. Sedang di hadapannya, sosok tersebut terus berjalan mendekat. Hingga beberapa detik berlalu dan akhirnya jarak di antara mereka tidak sampai satu meter.

Ketegangan dan sunyi mendominasi. Detak jarum jam terdengar jelas di telinga Rahyun. Ia juga dapat mendengar hembusan napas seseorang di dekatnya. Bulu tengkuknya meremang seketika. Rasanya ia ingin menghilang sekarang juga. No Rahyun menahan napas seraya memejamkan kedua mata. Bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Sosok itu melayangkan pisau di udara. Ia memamerkan seringai sarat kepuasan. Akhirnya waktu untuk menyalurkan sakit sekaligus benci yang ia rasakan tiba. Namun tepat saat itu juga, lampu kembali menyala. Ruangan tersebut dipenuhi cahaya lampu, yang membuat tempat tersebut terang benderang.

“ Sialan! “

Rahyun dapat mendengar sosok itu mendesis kesal. Seiring dengan sebuah hujaman yang menusuk dada kirinya. Seketika perih dan sakit tak terbayangkan mendera tubuh Rahyun. Bau anyir darah mendominasi. No Rahyun menunduk, demi melihat sebuah pisau yang tertancap di dada kirinya. Darah mengucur deras, merembes dan membuat noda merah mencolok pada kaus putih Rahyun. Penglihatannya mulai mengabur dan berkunang-kunang. Kemudian tenaga Rahyun seolah terkuras habis, kedua kakinya tidak lagi mampu menyangga beban tubuh.

No Rahyun merosot di tempat. Tubuh lemahnya ia sandarkan ke dinding. Samar ia dapat melihat sosok di hadapannya dengan lebih jelas –karena lampu telah kembali menyala- . Sosok itu mengenakan pakaian serba hitam, masker hitam, dan melalui rambut yang dikuncir kuda tersebut, Rahyun tahu jika dia adalah seorang perempuan.

Dalam situasi hidup-mati dan napas yang terengah, berbagai pikiran berkelebat dalam benaknya. Banyak. Ia memikirkan sahabatnya, Lee Yoora. Apa yang tengah gadis itu lakukan? Apakah gadis itu akan merasa kehilangan jika nyawa Rahyun melayang saat ini? Rahyun menggeleng kecil. Tidak. Ia tahu Yoora memiliki kepribadian setegar batu karang. Ia pasti kuat, apapun yang menimpanya.

Rahyun membayangkan kedua orang tua yang sedang menantinya dengan tangan terbuka. Apakah jika dia pergi nantinya, dia akan langsung berjumpa dengan mereka? Lalu tempat seperti apakah surga itu?

“ Pergilah ke neraka, dasar jalang! “ suara yang familiar itu seolah menyadarkan Rahyun dari khayalan gadis itu. Ia tahu suara ini. Ia mengenalnya. Namun siapa… ?

Rahyun terperanjat kaget. Jika ingatannya tidak salah.. maka identitas sang pelaku adalah..

“ Park Soora? “


***



Minwoo mengernyitkan dahi ketika berhasil menyalakan kembali tegangan listrik. Bagaimana tidak? Tombol-tombol pengatur sirkuit listrik itu tampak dimanipulasi oleh seseorang, sehingga lampu sempat padam barusan.

Dan kadar keheranan Minwoo semakin meningkat, begitu Ia menyadari ruang bawah tanah yang terlihat bersih. Seolah ada yang baru saja merapikan tempat tersebut dan tinggal di sana. Terlebih lagi saat pandangan mata Minwoo tertumbuk pada sebuah selimut kecil, terlipat rapi di pojok ruangan.

Apa ada yang tinggal disini?

Hal tersebut tidak mungkin terjadi, bukan? Hanya ada mereka berdua serta bibi Jung –yang bahkan tidak menginap- di Villa. Namun bukti-bukti absurd yang terpampang di hadapannya kini memudarkan keraguan Minwoo. Hening beberapa saat. Ia sibuk dengan berbagai pemikiran yang berkelebat dalam benaknya.

Seketika Minwoo terkesiap kaget.

Jika benar ada seseorang yang ‘tinggal’ disini, bukankah itu berarti mereka sedang dalam bahaya? Bukankah itu juga berarti ada yang sengaja membuntuti mereka?

Kemudian secepat kilat Minwoo melesat keluar dari ruang bawah tanah, menaiki tangga menuju ke lantai atas. Kekhawatiran benar-benar merasuki diri. Jantungnya berdegup kencang tak karuan. Dalam hati, ia sungguh berharap tidak ada hal buruk yang terjadi, dan gadis yang ia tinggalkan tadi baik-baik saja.

Entah mengapa ia begitu takut saat ini. Ia takut kehilangan seseorang. Seseorang yang akhir-ahir ini selalu berada di dekatnya dan menarik perhatian Minwoo. Orang itu memiliki daya tarik tersendiri di matanya. Dan orang itu adalah No Rahyun.

Rahyun pasti ketakutan sekarang

Minwoo berlari layaknya manusia yang tengah kehilangan akal. Hingga berkali-kali ia nyaris terjatuh dan menabrak perabotan. Namun ia tidak peduli. Di pikirannya hanya ada satu hal, yaitu : ia harus menemui No Rahyun secepat mungkin.



***



Langkah tergesa Minwoo akhirnya terhenti ketika ia menginjakkan kaki di ruang makan. Kedua manik hitam pemuda itu membulat sempurna. Napasnya tercekat. Rahangnya mengeras seketika, begitupun dengan raga yang seolah membeku di tempat. Jika ada kata diatas kata “syok” maka hanya kata tersebut yang mampu melukiskan perasaan Minwoo sekarang.

Ia sungguh berharap jika saat ini Minwoo tengah bermimpi. Dan jika iya, tolong segera bangunkan dia. Ia tidak ingin berlama-lama dalam mimpi buruk macam ini. Pemandangan yang kini terpampang di hadapannya tidaklah nyata, bukan?

Sosok yang ia khawatirkan tergolek lemah di sana, di ujung ruang makan. Darah mengucur deras dari dada sebelah kirinya. Dan apakah benda terkutuk itu benar-benar menancap di tubuh Rahyun? Apakah benar gadis itu tengah meregang nyawa?

Minwoo menahan napasnya, seiring dengan suara yang menandakan jika dirinya tidak sedang bermimpi.

Sosok berpakaian serba hitam itu memutar tubuh menghadap ke arah Minwoo. Manik hitamnya seolah mengejek pria itu, mewakili segenap kepuasan dalam usaha pelampiasan rasa sakitnya. Dengan senyum separuh yang tersembunyi di balik masker hitam, Soora berkata, “ Senang melihatmu disini, No Minwoo “

Suaranya begitu tenang, begitu pula dengan gerakan Soora ketika ia membuka masker hitam miliknya. Kini senyum separuh itu tidak lagi tersembunyi. Ia menyeringai sinis. Kedua tangan Minwoo terkepal kuat menahan amarah.

“ Apa yang kau lakukan, Soora? “ desisnya tajam.

“ Aku? Kurasa kau dapat menebak sendiri apa yang sedang kulakukan. Aku baru saja menyingkirkan orang yang berani merenggutmu dariku “ Soora menoleh dan menggerakan dagu, menunjuk ke arah Rahyun. Gadis itu berada dalam ujung tanduk. Napasnya terasa berat. Begitu pula dengan kedua mata yang seolah menuntut untuk segera dipejamkan.

“ Kau benar-benar gila Park Soora. Dia tidak merebut aku darimu. Aku mencampakkanmu karena keinginanku sendiri. Aku tidak tahan dengan sikap posesif mu. Dan perjodohan ini.. “ Minwoo memberi jeda sebelum akhirnya melanjutkan, “ Aku sendiri yang menyetujuinya. “

“ Sudah kuduga kau akan mengatakan hal itu. Kau sungguh kejam, Minwoo-ah “ Seringai sinis itu perlahan memudar, tergantikan oleh kabut bening yang mendominasi manik hitam Soora.

" Kejam katamu? Kau bahkan jauh lebih buruk, Park Soora! Kau membuat nyawa orang lain dalam bahaya!" Sedetik kemudian Minwoo menghambur ke arah Rahyun tengah meregang nyawa, napas gadis itu tinggal satu-satu. Minwoo membaringkan gadis itu dan meletakkan kepala Rahyun pada pangkuannya. Noda darah pun merembes membasahi celana panjang Minwoo. Namun ia tidak peduli.

Manik matanya menatap lekat milik Rahyun dengan kekalutan mendalam. Sementara Rahyun sendiri hanya tersenyum tipis. Ia memandang wajah Minwoo dan mengulurkan tangannya, mengusap pipi Minwoo dengan penuh kasih sayang. Seandainya hal ini tidak terjadi, seandainya Tuhan memberi ia waktu sedikit lebih banyak...

No Rahyun tidak mengerti kapan tepatnya perasaan sakral tersebut merayapi hatinya. Ia tidak tahu apa yang membuat seorang No Minwoo menarik perhatian Rahyun. Ia tidak tahu sejak kapan ia mencintai pria ini. Orang yang asing tiba-tiba memaksa masuk dalam kehidupan Rahyun, dengan perjanjian hitam di atas putih dan sumpah suci di hadapan altar, sebagai seorang suami.

Kerongkongan Minwoo tercekat. Rasa sesak itu mendera diri. Begitu kuat dan menyiksa. Hingga akhirnya ia tidak mampu menahannya lagi. Kristal bening itu pun jatuh, membentuk aliran sungai kecil di pipinya. Ia adalah seorang pria, yang begitu anti mengeluarkan air mata. Namun apa daya? ini begitu menyakitkan baginya. Tentu saja, kehilangan seseorang yang kau sayangi akan selalu terasa menyakitkan. Dan rasa sakit tersebut seolah membunuh Minwoo.

Tiba-tiba Rahyun menggumamkan sesuatu tak jelas, membuat Minwoo harus menunduk, mendekatkan kepalanya pada wajah Rahyun agar dapat mendengar apa yang gadis itu katakan.

" Mi-Minwoo-ya.. " suara Rahyun yang begitu pelan terdengar miris di telinganya.

" Ne? " lirih Minwoo.

" Aku... "

" Ya? "

" A-aku.. aku mencintaimu. " bisik Rahyun, sebelum akhirnya ia menghembuskan napas terakhir. Kemudian ia memejamkan kedua mata, yang jelas tidak akan terbuka lagi selamanya. Minwoo membeku di tempat. Seolah menolak untuk percaya pada kejadian yang baru ia alami.

Dengan perasaan hancur, ia mengguncangkan tubuh Rahyun yang tidak bernyawa itu, berharap Rahyun akan kembali. Ya. Kembali tersenyum padanya, kembali bertengkar dengannya, dan kembali berada di sisinya.

Namun jauh di dalam sana, Minwoo tahu jika usahanya tidak akan menghasilkan apapun. Ia tidak dapat mengembalikan nyawa seseorang. Dan tidak ada seorang pun yang bisa.

Kata-kata terakhir yang terucap dari bibir Rahyun seolah menonjok ulu hati Minwoo. Gadis itu berkata jika dia mencintainya. No Rahyun mencintai Minwoo. Tangis Minwoo kembali pecah saat mengingat hal tersebut. Ia tidak lagi mempedulikan harga dirinya sebagai seorang lelaki. Bahkan orang terkuat dan paling tegar di dunia pun memerlukan sandaran, dan mengungkapkan kesedihan melalui tangisan, bukan?

Terdapat satu hal yang ia sesali. Mengapa ia tidak menyadari perasaan gadis itu? Bahkan ia tidak sadar dengan apa yang ia sendiri rasakan. Ia merasa sebagai orang terbodoh di dunia. Ia terlambat menyadari salah satu hal terpenting dalam hidup manusia, cinta.

Tapi jarum jam tidak akan pernah bergeser ke kiri. Waktu tidak mungkin berputar kembali. 

Ketika Minwoo tengah tenggelam dalam keterpurukan sekaligus kehilangannya. Soora mengamati adegan perpisahan miris tersebut dengan air mata berlinangan. Rasa sakit menghujam diri, begitupun sesak yang mendera. Ia berpikir jika dirinya juga merupakan korban. Ia berpikir jika saja pernikahan itu tidak pernah terjadi. Atau bahkan jika ia dan Minwoo tidak pernah bertemu.. ia tidak mungkin berubah menjadi seperti ini.

Siapa yang mengira jika cinta dan cemburu dapat membuat seseorang kehilangan kewarasannya? Dalam kasus Soora, kedua hal itu merubah ia dari gadis normal menjadi seorang psycho. Dan kini, monster pembunuh.

Perlahan namun pasti, tangan Soora yang berlumuran darah merogoh saku celana hitamnya. Sebuah benda mematikan lain ia keluarkan dari sana. Ia mengamati sejenak sosok sang penguasa hati yang sedang meratapi kepergian seseorang. Orang lain yang dia cintai, dan orang itu bukan Park Soora.

Soora menghela nafas dalam. Kemudian ia arahkan pistol tersebut di dekat pelipisnya. Ia memejamkan mata. Pasrah. Bibirnya bergetar hebat saat mengatakan, " Selamat tinggal, No Minwoo.. Aku mencintaimu" Soora tersenyum pedih sebelum akhirnya menarik pelatuk pistol.

DOOORR!

***

" kau adalah bagian dari hidupku yang datang dan pergi. Sebuah perubahan bagai badai dalam hati. Seolah takdir tengah mempermainkan kita. Dan ketika sadar.. itu semua sudah terlambat.. "


-END-

7 komentar:

  1. Woohoo!! Akhirnya fanfic ini kelar sampe chapter terakhir :v
    sesuatu endingnya. Kaget waktu tau Soora bunuh diri --v

    BalasHapus
  2. wow ga happy ending saya suka saya suka ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya gak happy ending ._.
      Terimakasih sudah mau baca, komen,dan suka ^^

      Hapus
  3. maaf baru bisa review disini ... hua... ff.nya keren.. masih berharap next sih , tpi udah ending ternyata.... daebak thor... keep writing ya thor... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwk.. kalo dibuat lebih panjang lagi, ff lain bakal terlantar --V ini juga udah diubah endingnya jadi lebih singkat. Makasih ya :)

      Hapus